Patriotisme A ‘la
Andrea Hirata dalam Novel Sebelas Patriot
Oleh: Izzul Mutho’
Berbicara
tentang patriotisme tentu kita akan flasback
ke masa lalu tentang sebuah perjuangan bangsa indonesia. Jika kita mampu bekaca
lagi, patriotisme identik dengan kesengsaraan dan pengorbanan. Kata
“Patriotik”. Tentu itu yang bisa kita sematkan pada jiwa-jiwa pahlawan yang
berkorban selama 3,5 abad melawan kesengsaraan dan derita yang selama masa
penjajahan. Memang benar. Jiwa kepahlawanan itulah yang menjadikan bangsa ini
menjadi bangsa yang kuat “ Rawe-rawe
rantas malang-malang putung”.
Namun,
apakah demikian pada masa ini?
Patriotisme
pada era modern ini mungkin tidak bisa kita sinkronkan dengan situasi pada masa
penjajahan. Lalu, apakah patriotik memiliki kemunduran makna pada era ini?
Tentu saja tidak. Dewasa ini, kita bisa memaknai patriotik menjadi beberapa
hal. Salah satunya adalah melalui karya. Andrea Hirata contohnya. Mengkritik
itu harus menggunakan cara yang cerdas. Disini Andrea mengajarkan kita
bagaimana menjadi seorang yang patriotik tanpa harus berperang. Dengan karyanya
yang berjudul “Sebelas Patriot”.
Jika
kita amati dalam novel Sebelas Patriot karya Andrea Hirata. Nilai-nilai
patriotisme dalam novel ini dapat kita bagi dalam dua hal, yaitu pada masa
lampau dan pada masa modern seperti ini. Pada masa lampau orang bisa dikatakan
patriot karena telah melawan penjajah dari tanah air. Pada tokoh ayah dikatakan
patriot masa lampau karena hidup pada masa penjajahan. Akan tetapi, tokoh ayah
tidak melawan dengan cara peperangan, melainkan dengan bermain bola karena dia
hanya kuli parit tambang.
“....Mereka tak menghiraukan bahaya yang
bahkan dapat mengancam jiwa. Mereka tidak dapat menahan diri untuk tidak
bermain sepak bola. Karena sepak bola adalah kegembiraan mereka satu-satunya.
Karena mereka tahu bahwa sepak bola berarti bagi rakyat jelata yang mendukung
mereka. Lapangan sepak bola adalah medan pertempuran untuk melawan penjajah.”
(hal 21)
Sedangkan
pada era modern ini, patriot bukan hanya dengan jalan perang. Dengan menjadi
kebanggan negara saja kita bisa dikatakan patriot. Pada novel sebelas patriot, patriot pada era modern
bisa kita lihat pada tokoh Ikal. Bukan hanya ingin membanggakan negara karena
kecintaanya. Tetapi juga ingin membanggakan ayahnya dan meneruskan perjuangan
ayahnya menjadi pemain PSSI.
“Orang
seperti Ayah bukanlah orang yang hidup dengan sebuah kemewahan harapan yang
sering disebut sebagai cita-cita, namun aku yakin, jika ayah benar-benar
bercita-cita, cita-citanya pasti ingin menjadi pemain sepakbola untuk membela
bangsanya, menjadi pemain PSSI. Namun,
jangan risau Ayah, ini aku, anakmu, akan menggantikanmu. Aku akan menjadi
pemain PSSI!” (hal 36)
Pada
kutipan di atas, kita bisa lihat kecintaan si Ikal terhadap ayahnya dan PSSI.
Ikal yang ingin membanggakan ayahnya. Meski telah gagal dalam seleksi nasional
PSSI. Ikal ingin membahagiakan ayahnya dengan menyukai apa yang di suka oleh
ayahnya.
“Ah, senangnya!Di dunia ini pasti hanya aku
yang tahu nama klub dan pemain sepak bola kesayangan ayah. Aku bertanya terus,
tapi sunyi, sepi, senyap. Sejak itu, selain menggemari PSSI, aku pun menjadi
penggemar Real Madrid.” (hal67).
Dalam
novel Sebelas Patriot ini, Andrea
Hirata mengajak kita untuk membangkitkan nasionalisme bangsa indonesia. Dengan
novel ini patriotisme diharapkan muncul pada bangsa indonesia dengan menyadari
kecintaanya terhadap tanah air.
“Aku setuju, dan pasti Adriana sependapat
denganku, bahwa menggemari tim sepak bola negeri sendiri adalah 10% mencintai
sepak bola 90% dan mencintai tanah air....” (hal 88)
Memang
benar. Tanah air merupakan merupakan wadah kita dalam bercinta. Bisa kita sebut
demikian. Sebab, dengan tanah air kita akan bisa bersatu. Sebagai pahlawan
tidak hanya dengan itu. Bisa kita tuangkan dengan karya kita. Karya anak bangsa
yang menjadi permata.
Begitu mudahnya
patriotik dalama arti saat ini. Patriotik bukan hal yang tabu pada era ini.
Dengan diri sendiri kita bisa menjadi patriotik bagi diri sendiri, keluarga,
dan negara yaitu melalui karya.
No comments:
Post a Comment