Translate

Friday, May 10, 2013

ESAI KRITIK PUISI Agregat Illah Nur Yanuar

MEMBACA ”JEMBATAN” SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Oleh
Agregat Illah Nur Yanuar - 100211406096


Dalam sebuah sajak, kerapkali menggambarkan tentang realita keadaan sosial masyarakat. Masyarakat pada suatu daerah tertentu, dan dalam sajak Sutardji kali ini menggambarkan realita sosial yang terjadi di negeri ini.
Puisi Sutardji yang berjudul jembatan, akan membawa kita pada realita suatu bangsa, bangsa yang memiliki jembatan yang menjadi penghubung, namun jembatan itu juga dapat menjadi penghalang atau pemisah. Pada puisi “Jembatan” ini saya mencoba menggali makna yang terkandung pada baris-baris sajaknya.

Sutardji adalah penyair yang telah menghasilkan banyak karya, salah satunya adalah yang akan saya bicarakan ini. Pada sajak ini sangat terlihat, seorang Sutardji meukiskan keadaan masyarakat, meski puisi ini bukanlah puisi baru, namun keadaan yang tergambar pada puisi tersebut tidaklah jauh berbeda dengan keadaan hari ini.

JEMBATAN
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa
Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduk pakewuh dalam isyarat dan kilah tanpa makna
Maka akupun pergi menatap pada wajah berjuta
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota
Wajah orang tergusur
Wajah yang ditilang malang
Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai plaza
Wajah yang diam-diam menjerit melengking
Melonglong dan mengucap:
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu
Tapi wahai saudara satu bendera,
kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?
Sementara jalan mekar-mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota,
jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara
Gerimis tak mampu mengucapkan kibaran-Nya,
lalu tanpa tangis mereka menyanyi:
padamu negeri
air mata kami

Puisi tersebut memiliki syair-syair yang indah, namun pada puisi tersebut juga dijelaskan bahwa kepedihan rakyat tidak akan dapat dideskripsikan oleh keindahan baris-baris sajak. Karena kepedihan yang dilambangkan dengan air mata itu merupakan kesedihan yang mendalam, hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa...

Dalam sajak awal puisi ini dijelasakan tentang kepedihan seorang yang lemah, lemah harta, orang-orang malang yang hanya sekedar menjadi penonton, maupun orang yang hanya mengalami ketertindasan. Padahal setiap tahunnya kiat memperingati hari sumpah pemuda, yang mencerminkan semangat persatuan bangsa ini, Indonesia. Namun,barangkali hari ini, kata-kata itu hanya menjadi deretan baris kata tanpa ruh.
Melonglong dan mengucap:
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu

Menjadi sangat ironi, melihat keadaan bangsa ini yang seakan mempunyai jurang yang menjadi jarak pemisah antara manusia beruntung dan tidak beruntung di negeri ini.  Padahal pembangunan menajdai marak di negeri ini, namun ternyata keadaan itu hanya semakin memperdalam jurang. Dan jurang itu hanya dapat terlewati oleh jembatan, tapi siapakah? Apakah? Yang akan menjadi jembatan itu? .

Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara

Pada bait tersebut digambarkan tentang “mereka” (para penguasa) yang menjadi manusia yang tidak peduli terhadap saudara sebangsa dan bernegara, padahal merekalah yang telah membuat jurang itu semakin dalam.
Kesedihan dan air mata mereka tak mampu mengubah kekuasaan mereka (konglomerat) dalam menegakkan kuasa-Nya.
Puisi “Jembatan” tersebut dapat menggambarkan secara gamblang, tentang keadaan sosial bangsa. Tidak adanya jembatan yang menjadi penghubung antara pemerintah dengan rakyat, seakan keadaan sosial kapitalisme menjadi potret bangsa hari ini.

Membiarkan yang kecil semakin mengecil dan yang besar semakin pula menjadi besar dan berkuasa. Rakyat kecil yang tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati kelayakan, dan yang berada di atas seakan menutup mata untuk melihat ke bawah. Sutardji menceritakan semua hal itu dalam puisinya ini yang berjudul “Jembatan”.

No comments:

Post a Comment