MEMBACA ”JEMBATAN” SUTARDJI CALZOUM
BACHRI
Oleh
Agregat Illah Nur Yanuar - 100211406096
Dalam sebuah sajak, kerapkali
menggambarkan tentang realita keadaan sosial masyarakat. Masyarakat pada suatu
daerah tertentu, dan dalam sajak Sutardji kali ini menggambarkan realita sosial
yang terjadi di negeri ini.
Puisi Sutardji yang berjudul jembatan, akan
membawa kita pada realita suatu bangsa, bangsa yang memiliki jembatan yang menjadi penghubung, namun
jembatan itu juga dapat menjadi penghalang atau pemisah. Pada puisi “Jembatan” ini
saya mencoba menggali makna yang terkandung pada baris-baris sajaknya.
Sutardji adalah penyair yang telah
menghasilkan banyak karya, salah satunya adalah yang akan saya bicarakan ini.
Pada sajak ini sangat terlihat, seorang Sutardji meukiskan keadaan masyarakat,
meski puisi ini bukanlah puisi baru, namun keadaan yang tergambar pada puisi
tersebut tidaklah jauh berbeda dengan keadaan hari ini.
JEMBATAN
Sedalam-dalam
sajak takkan mampu menampung air mata bangsa
Kata-kata telah lama terperangkap dalam
basa-basi
dalam teduk pakewuh dalam isyarat dan
kilah tanpa makna
Maka
akupun pergi menatap pada wajah berjuta
Wajah
orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota
Wajah
orang tergusur
Wajah
yang ditilang malang
Wajah
legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan
Wajah
yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai plaza
Wajah
yang diam-diam menjerit melengking
Melonglong dan mengucap:
tanah
air kita satu
bangsa
kita satu
bahasa
kita satu
bendera
kita satu
Tapi
wahai saudara satu bendera,
kenapa kini ada sesuatu yang terasa
jauh beda di antara kita?
Sementara
jalan mekar-mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota,
jembatan-jembatan tumbuh kokoh
merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu
menjembatani jurang di antara kita?
Di
lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka pancangkan
koyak-moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara
Gerimis tak mampu mengucapkan kibaran-Nya,
lalu tanpa tangis mereka menyanyi:
padamu
negeri
air
mata kami
Puisi tersebut memiliki syair-syair
yang indah, namun pada puisi tersebut juga dijelaskan bahwa kepedihan rakyat
tidak akan dapat dideskripsikan oleh keindahan baris-baris sajak. Karena
kepedihan yang dilambangkan dengan air mata itu merupakan kesedihan yang
mendalam, hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa...
Dalam sajak awal puisi ini dijelasakan
tentang kepedihan seorang yang lemah, lemah harta, orang-orang malang yang
hanya sekedar menjadi penonton, maupun orang yang hanya mengalami
ketertindasan. Padahal setiap tahunnya kiat memperingati hari sumpah pemuda,
yang mencerminkan semangat persatuan bangsa ini, Indonesia. Namun,barangkali
hari ini, kata-kata itu hanya menjadi deretan baris kata tanpa ruh.
Melonglong dan mengucap:
tanah air
kita satu
bangsa
kita satu
bahasa
kita satu
bendera
kita satu
Menjadi sangat ironi, melihat keadaan
bangsa ini yang seakan mempunyai jurang yang menjadi jarak pemisah antara
manusia beruntung dan tidak beruntung di negeri ini. Padahal pembangunan menajdai marak di negeri
ini, namun ternyata keadaan itu hanya semakin memperdalam jurang. Dan jurang
itu hanya dapat terlewati oleh jembatan, tapi siapakah? Apakah? Yang akan
menjadi jembatan itu? .
Di
lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka
pancangkan koyak-moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara
Pada bait tersebut digambarkan tentang
“mereka” (para penguasa) yang menjadi manusia yang tidak peduli terhadap
saudara sebangsa dan bernegara, padahal merekalah yang telah membuat jurang itu
semakin dalam.
Kesedihan dan air mata mereka tak mampu
mengubah kekuasaan mereka (konglomerat) dalam menegakkan kuasa-Nya.
Puisi “Jembatan” tersebut dapat
menggambarkan secara gamblang, tentang keadaan sosial bangsa. Tidak adanya
jembatan yang menjadi penghubung antara pemerintah dengan rakyat, seakan
keadaan sosial kapitalisme menjadi potret bangsa hari ini.
Membiarkan yang kecil semakin mengecil
dan yang besar semakin pula menjadi besar dan berkuasa. Rakyat kecil yang tidak
mempunyai kesempatan untuk menikmati kelayakan, dan yang berada di atas seakan
menutup mata untuk melihat ke bawah. Sutardji menceritakan semua hal itu dalam
puisinya ini yang berjudul “Jembatan”.
No comments:
Post a Comment