Translate

Friday, May 10, 2013

ESAI KRITIK PROSA Agregat Illah Nur Yanuar

MEMAKNAI CINTA DENGAN LEBIH ELEGAN

Oleh
Agregat Illah Nur Yanuar - 100211406096



Karya sastra berupa novel yang berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” karya Darwis Tere Liye ini didominasi oleh cerita tentang romantisme, namun sebenarnya tidak hanya romantisme yang ditawarkan dalam novel ini. Nilai-nilai sosial dan moral pun terangkum di dalamnya. Penceritaan tentang perjuangan serta kehidupan dapat ditemuai di dalamnya.

Sebauh perjuangan manusia yang terpinggirkan, kehidupan keluarga dengan dua anak kecil yang menjadi pengamen, untuk memabantu kehidupan keluarga yang telah ditinggal oleh sang Ayah. Masa kanak-kanak yang seharusnya menjadi masa yang paling menyenangkan, ternyata harus dirasakan oleh kedua anak ini dengan penuh liku. Gambaran tentnag mereka ini sebenarnya bukanlah menjadi hal aneh dimasyarakat kita, Indonesia. Kerapkali karena alasan ekonomilah mereka terpaksa menjalani kehidupan yang jauh dari kata layak. Keras kehidupan mereka jalani, masa sekolah  pun terpaksa mereka tinggalkan utnuk mencari uang.
Meskipun pada nove ini penceritaan tentang kehidupan yang kumuh dan serba kekurangan itu hanya tergambar sedikit, namun hal itulah yang menjadi dasar dari sebuah perjuangan hidup. Keyakinan dan perasaan yang tertanam di hati setiap orang dapat menjadi cambuk. Novel karya Tere Liye ini mengajarkan kepada kita untuk meyakini sebuah perasaan. Seperih dan sesakit perasan yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, hidup itu terus berlanjut.
Aku belajar darinya. Membuat energi kesedihan itu menjadi sesuatu yang berguna. Tak penting apakah itu baik atau buruk. Tidak penting lagi. Bukankah baik-buruk itu relatif? Baik bagi Kak Ratna, buruk bagiku, kan? Tak peduli kerut muka menyenangkan yang aku miliki meluntur empat tahun terakhir. Tak peduli sikapku berubah jauh dari seorang Tania yang akan selalu membanggakan Ibu. Yang selalu membanggakan dia.
Ah, itu semua hanya omong kosong.
Hidup akan terus beranjut dalam bentuk apapun. (hal. 160)
Kutipan itu menunjukkan kepada kita bahwa hidup manusia hanya manusia sendirilah yang menentukan arah tujuannya. Orang lain hanya menjadi faktor x atas penentu tujuan kita, tanpa kita sadari, namun terkadang banyak pula orang yang mengharap faktor dari selain diri mereka untuk memotivasinya. Padahal diri kita tetap penentu utama.
Novel dengan gaya bahasa yang ringan dan mudah dimengerti ini, sangat gamplang menjelaskan tentang arti cinta. Bukan tentang indahnya kebersamaan dalam cinta, namun cinta yang tak dapat diungkap, cinta bagi mereka yang percaya akan kekuataannya, cinta yang terbukti dengan sebuah pembuktian terhadap diri. Cinta anak kepada Ibu yang ia buktikan dengan sebuah hasil yang membanggakan.
Lihatlah anakmu!
Benar-benar berubah.
Anak kumuh dan kotor itu telah berubah. Anak yang belepotan jelaga asap mobil, debu jalanan, sekarang tumbuh menjadi gadis berambut hitam legam dengan tatapan mata yakin memandang masa depan. (hal.128)
Namaku terpahat di plakat depan kampus; lulusan terbaik; lulusan tercepat; lulusan terbaik GPA-nya. Aku hanya menyentuh pahatan itu dengan jemari, pelan, dan tersenyum.
Lihatlah Ibu! (hal.201)
Tidak hanya cinta ia kepada Ibu, namun juga pembuktian cintanya terhadap seseorang yang telah menjadi sangat berarti bagi hidupnya. Perasaan memang menguasai sebagian otak manusia, baik dalam berpikir maupun dalam bekerja. Tere Liye mencoba mengajak untuk merenung dan mengobrak-abrik tatanan hati pembaca. Novel dengan genre remaja ini, sukses membuat pembaca terenyuh, terharu, dan tak jarang pula meneteskan air mata.
Novel ini memang tidak berhappy ending, namun novel ini dapat membawa pesan yang mendalam, tentang sebuah perjuangan hidup dan juga tentang sebuah pencarian jati diri berikut dengan kisah cintanya.
Cerita tentang romantisme cinta akan menjadi bagian dari kisah hidup anak manusia. Seperti pula yang terjadi pada tokoh utama novel ini. Kisah cinta yang terbalas namun tidak sempurna, karena pada hakikatnya tidak akan ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, tidak juga cinta. Seperti yang telah diceritakan pada novel ini, dengan penceritaan alur mundur. Tokoh utama yang memendam rasa terhadap seseorang yang teah mereka anggap sebagai malikat penolong untuk keluarganya dan memberi harapan masa depan.
    Novel yang tidak hanya berkisah tentang remaja ini juga telah membuat pembaca merenung tentang makna hidup. Makna kompetisi di dalam hidup, tidak banyak memang, namun cukup dapat dijadikan renungan. Karena hidup ini seyogyanya adalah sebuah persaingan, yang menang dan kuat adalah yang dapat bertahan. Apalagi setting di dalam novel ada di Singapura dan Indonesia.
Singapura, negara yang memiliki persaingan hidup yang tinggi. Hal ini terlihat pula di dalam pola pendidikannya. Masih di Singapura, urusan tentang menilai seseorang juga dapat dilukakan sesuka hati.
Di Singapura, urusan menilai seseorang dilakukan transparan dan objektif. (hal. 169)

 Novel yang memiliki tebal 256 halaman ini, sedikit banyak telah mengajarkan pula tentang kuatnya sebuah hati, bahwa manusia sejatinya tak harus menangis beralay-alay ria untuk urusan cinta, bahwa manusia sesungguhnya memiliki hati yang sangat kuat untuk sekedar menyelesaikan rumitnya pahit manis cinta dan tentunya memiliki cara yang elegan untuk menyelesaikannya.

No comments:

Post a Comment