Translate

Friday, May 10, 2013

ESAI KRITIK PUISI Agustin Prasetyawati

KRITIK SOSIAL DALAM PUISI-PUISI TAUFIK ISMAIL

Oleh
Agustin Prasetyawati - 100211404896



Karya sastra merupakan suatu hasil kreatifitas seni berupa keindahan yang imajinatif. Melalui karya sastra seseorang dapat mengekspresikan diri untuk mengungkapkan segala daya imajinya. Salah satu hasil karya sastra yang mempunyai kedudukan dalam dunia sastra adalah puisi. Puisi merupakan salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan imajinasi. Puisi dipandang sebagai hasil tiruan peristiwa-peristiwa kehidupan nyata. Pengarang sebagai manusia pada umumnya menangkap berbagai peristiwa atau fenomena dalam kehidupan sebagai sumber inspirasi dalam menciptakan karya-karyanya.

Puisi merupakan ungkapan isi hati. Ini merupakan definisi singkat tentang makna sebuah puisi. Puisi juga merupakan respon terhadap situasi sosial yang terjadi di sekelilingnya. Puisi itu harus membumi, seolah-olah mesti menapak kehidupan. Puisi bukan sekedar imajinasi belaka. Menulis puisi bagi penyair berarti juga merupakan ekspresi kreatif, dan estetis untuk menanggapi, menafsirkan, dan mengkritisi kehidupan sosial. Puisi dapat lahir dari sebuah perenungan. Wan Anwar menyebutkan bahwa menulis puisi butuh kontemplasi bukan instan. Apabila sebuah puisi dilahirkan secara instan, maka hidupnya sebuah puisi juga akan instan. Realita demikian terjadi pada puisi-puisi karya Taufiq Ismail.
Membaca puisi-puisi Taufik Ismail akan mengingatkan kita pada semangat juang para pemuda untuk memperjuangkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam puisi-puisinya, Taufik Ismail tak pernah berhenti menyerukan kritik-kritik sosial, politik, hukum dan ekonomi. Semangat heroik seorang pemuda cukup kental dalam karya-karya penyair nasional yang satu ini.
Bagi kaum muda aktivis pergerakan mahasiswa, puisi puisi Taufik Ismail adalah inspirasi. Bahasa politik saja ternyata tak cukup untuk menjaga semangat reformasi Indonesia yang terus dijalankan, bahasa sastra adalah bahasa metafora yang cukup halus. Sindiran sopan dan kritikan halus disampaikan para sastrawan seperti Taufik Ismail melalui karya-karyanya. Siapa pun dapat menikmatinya secara terbuka.
Taufik memberikan pencerahan kondisi objektif Indonesia kepada para pembaca. Objektivitas yang ditampilkan Taufik semata-mata bukanlah untuk kepentingan politik tertentu, melainkan ungkapan naluri seorang anak bangsa yang tergerak hatinya untuk menyuarakan kondisi real  negaranya kepada orang lain. Tak ada yang pantas merasa tersindir, sebab Taufik Ismail berbicara dengan jujur pada kapasitas dirinya sebagai seorang sastrawan.
Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair pelopor Angkatan ’66 yang mampu menyuarakan kritik sosial melalui puisi. Kritik terhadap kepincangan sosial dan berbagai peristiwa yang menimpa masyarakat diungkapkan Taufik secara lugas dan jelas, menohok, dan jujur. Puisi-puisi Taufik Ismail adalah kritik sosial yang tajam.
Kita sebut saja salah satu judul puisi Taufiq Ismail yaitu Sajadah Panjang. Puisi ini popular karena liriknya didendangkan oleh Bimbo dan selalu diperdengarkan terutama ketika bulan Ramadhan. Puisi yang berjudul Sajadah Panjang ini ditulis pada tahun 1984, jika dihitung usianya sudah mencapai 25 tahun. Namun, Sajadah Panjang tidak lekang dimakan usia hingga saat ini. Apabila dikaji secara tekstual, maka puisi yang tergolong bernuansa religius ini tidak hanya hasil sebuah kontemplasi. Bukan hanya sekedar sebuah himne, melainkan di dalamnya sarat amanat yang lebih jauh akan membuat orang sadar akan kualitas ibadahnya.
Puisi “Sajadah Panjang” adalah pernyataan Taufiq yang mengharukan tentang pengabdiannya pada Tuhan. Ada sajadah panjang terbentang/ dari kaki buaian/ sampai ke tepi kuburan hamba/ kuburan hamba bila mati// Ada sajadah panjang terbentang/ hamba tunduk dan sujud/ di atas sajadah panjang ini/ diselingi sekedar interupsi/ mencari rezeki/ mencari ilmu/ mengukur jalanan seharian/ begitu terdengar suara adzan/ kembali tersungkur hamba// Ada sajadah panjang terbentang/ hamba tunduk dan rukuk/ hamba sujud dan tak lepas kening hamba/ mengingat dikau/ sepenuhnya//.
Metafora “sajadah panjang” adalah metafora yang jelas mendekatkan kita pada simbol islam. Tapi yang terpenting sebenarnya adalah kenyataan bahwa metafora itu merupakan simbol pengabdian total. Melalui metafora itu, Taufiq hendak melukiskan dirinya sendiri sebagai seorang yang selalu “tunduk dan sujud” di hadapan Tuhan. Kesibukan duniawi memang tak ditinggalkan sama sekali. Cuma, kesibukan itulah hanya semacam “interupsi” yang sejenak saja. Begitu selesai urusan tersebut, pengabdian melalui “sajadah panjang” itu akan kembali dilanjutkan. Di sini, agama lagi-lagi tak berperan sebagai sekadar “latar belakang”. Agama setidak-tidaknya mewujud dalam nilai-nilainya, dalam puisi tersebut adalah pokok soal terpenting.
Melalui “sajadah panjang”, Taufiq sebenarnya sedang melakukan semacam pengingatan pada para pembaca puisinya tentang Tuhan. Tendensi ini, sebenarnya sama dengan pengakuan Taufiq Ismail sendiri. Tahun 1984, ia memang pernah membuat pengakuan bahwa karya sastra yang ditulisnya adalah “sebuah dzikir”. Artinya, melalui puisi-puisi yang ditulisnya, Taufiq hendak membawa para pembacanya mengingat Sang Pencipta.
Tapi pengingatan, Taufiq tak berarti bahwa dia hanya membuat puisi tentang Tuhan saja. Sebaliknya, Taufiq justru lebih banyak membuat puisi berdasar realitas sosial yang ia hadapi. Justru dengan membahas persoalan-persoalan sosial dalam puisinya, secara tak langsung Taufiq ingin membawa pembacanya menyadari kehadiran Tuhan.
Dalam sebuah kesempatan lain, Taufiq pernah mengatakan bahwa tujuannya menciptakan puisi adalah untuk beramal saleh. Baginya, hidup adalah sebuah sajadah yang terbentang dari kaki buaian sampai tepi lahat. Kegiatan utama dalam sajadah itu adalah shalat. Kegiatan lain hanya semacam penyela dari shalat. Tapi, yang penting pula adalah bagaimana mentransformasikan kegiatan sehari-hari agar menjelma menjadi derivasi dari shalat.
Akherat, itulah tujuan kesenian Taufiq. Cuma, mencapai akherat bukan berarti meninggalkan dunia. Maka, berbeda dengan kecenderungan puisi sufistik yang menekankan pada ekspresi religius saat melakukan interaksi personal dengan Tuhan serta berusaha menghindari narasi tentang dunia, puisi Taufiq justru menggunakan dunia sebagai kendaraan menuju Tuhan. Bagi Taufiq, tugas manusia sebagai khalifah di dunia menunjukkan bahwa manusia sama sekali tidak boleh meninggalkan dunia. Melalui kehidupan sosial, yaitu interaksi manusia dengan sesamanya dan dengan makhluk Tuhan yang bukan manusia. Seorang manusia bisa berangkat melakukan pendekatan terhadap Tuhan. Di sini, kecenderungan puisi Taufiq sebagai dzikir sosial makin terasa.
Salah satu interaksi sosial yang juga bisa dianggap sebagai jalan pendekatan kepada Tuhan adalah pembelaan terhadap orang-orang yang lemah. Taufiq Ismail menyadari hal yang demikian. Ia menyadari bahwa usaha membela kaum tertindas dari kedzaliman yang menimpa mereka bukan hanya sebuah kerja demi kemanusiaan, tapisekaligus juga demi keimanan dan pengabdiannya pada Tuhan.

Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati

Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi

Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu mendengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud tak lepas kening hamba
Mengingat dikau sepenuhnya

Taufiq Ismail memang banyak menulis puisi religius dan kritik sosial. Saya menyukai puisi ini karena syairnya yang sangat simbolik, lepas dari fakta bahwa puisi ini memang dimusikalisasi dengan manis oleh Bimbo.
Coba simak baris-baris ini:
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Sajadah itu terbentang dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan. Tentu saja kalau kita membayangkan sajadah secara fisik, ini memang menjadi hal yang aneh bahkan konyol. Bagaimana caranya ada sajadah terhampar dari buaian di rumah kita sampai kuburan di kampung sebelah, misalnya. Akan tetapi, buaian di sini menyimbolkan kelahiran, sementara kuburan menyimbolkan kematian. Jadi, sajadah yang berarti adalah ibadah, ketundukan kita pada Tuhan, berlaku dari kita lahir hingga kita mati.
Syair yang juga sangat “romantis” adalah
Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian

Mengukur jalanan seharian. Betapa lelahnya, mungkin juga bosan, panas berpeluh. Ini gambaran yang sangat mengena bagaimana kita bisa sangat lelah dengan urusan duniawi. Dan saat itulah kita tunduk dan sujud, yang disebut oleh Taufiq sebagai sekadar interupsi.
Dalam totalitasnya puisi-puisi tertentu seringkali menunjukkan adanya relevansi sosial. Di zaman yang serba modern ini, orang-orang lebih banyak terbuai dengan teknologi internet terutama facebook. Mengingat adanya pergeseran zaman, jarang sekali ditemukan banyak ‘Hamba tunduk dan sujud di atas sajadah yang panjang ini’ Kita hanya menyaksikan hamba yang lanjut usia atau yang masih ingusan di atas sajadah panjang. Keadaan tersebut merupakan realita sosial yang biasa terjadi di masjid-masjid megah daerah perkotaan.
Realita sosial ini merupakan sebuah peringatan bagi manusia sebagai makhluk Tuhan yang masih diberi kesempatan untuk introspeksi diri. Lebih jauh bagi Taufiq Ismail, standar pokok dalam estetika kesenian juga dalam kesusastraan adalah “Mengingatkan para pembacanya kepada Sang Pencipta”.
Begitu pula pada puisi Taufik yang berjudul “Rindu Rasul”. Seperti kita ketahui bahwa Rindu Rasul merupakan salah satu puisi Taufiq Ismail yang digubah menjadi musikalisasi puisi oleh grup musik Bimbo. Sama halnya Sajadah Panjang. Jika Sajadah Panjang lebih kental pada unsur religiusitas yakni sisi vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Maka Rindu Rasul merupakan pengejewantahan dari seorang suri tauladan yang saat ini sulit kita temukan.
Dalam dunia politik yang penuh intrik, banyak cara dihalalkan demi mendapatkan kekuasaan. Dinamika sosial yang heterogen membuat tidak sedikit kalangan yang haus akan kekuasaan. Baru-baru ini politik taktis dilaksanakan dalam pesta rakyat 2009. Pemilihan Presiden tidak jarang menguras kantong pejabat demi mendapatkan kursi di Pemerintahan. Beberapa oknum berseliweran sebagai tim sukses agar calon andalannya mendapatkan suara terbanyak. Masalah Pemilihan Umum dan manipulasi suara yang terjadi di dalamnya sampai soal memusuhi, menyingkirkan, dan membunuh menjadi tema sosial yang dibahas dalam beberapa puisi Taufiq Ismail.
Jika manusia dianggap makhluk paling sempurna dari makhluk ciptaan Tuhan lainnya, maka Nabi Muhammad, Rasulullah SAW lah yang merupakan manusia paling sempurna hingga akhir zaman. Berlinangan airmata menahan kerinduan pada sosok pemimpin seperti Rasulullah. Dengan demikian, Taufiq Ismail berusaha menuangkan kerinduannya kepada Rasul tercinta dalam puisi tersebut.
Kritik sosial yang disampaikan Taufik Ismail tidak hanya berupa kritik antara manusia dan Tuhannya, namun juga kritik sosial yang mewakili suara aspirasi mahasiswa. Salah satu bentuk dari kritik tersebut adalah terdapat pada puisi Taufik Ismail yang berjudul “Takut ’66 Takut ‘98”.
TAKUT ’66 TAKUT ‘98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa

Jabatan struktural memegang kewenangan dalam hal kebijakan. Ucapan lisan antara atasan dengan atasan akan jadi lebih formal dan dianggap resmi dibandingkan prosedural yang ditempuh mahasiswa. “Mahasiswa harus punya etika”, pola pikir seseorang akan dinilai dariattitude dan kepribadian yang ditampilkan. Lagi-lagi benturan birokrasi merupakan lahan panas bagi seseorang yang tak punya wewenang.
Mengapa mesti berlindung di bawah selimut mahasiswa yang kewajibannya hanya kuliah tanpa organisasi, tanpa memiliki ambisi untuk sekedar mencicipi suramnya rimba kehidupan. Kepekaan itu membangkitkan kepedulian akan pentingnya arti berjuang. Karena terus menerus terkungkung dalam ketakutan adalah kebinasaan. Toh, akhirnya pemegang kekuasaan tertinggi -- dalam hal ini presiden pun takut pada mahasiswa.
Puisi berjudul “Takut ‘66, Takut ‘98” tidak hanya jadi saksi sejarah pada masa orde lama, pemberantasan PKI dan hancurkan tirani. Hingga ada jargon: Bangkit, Lawan, Hancurkan Tirani!pembakar semangat mahasiswa. Kemudian, Takut ’98 merupakan implementasi dari masa orde baru tahun ‘98. Kita pasti masih ingat dalam benak bahwa Presiden Soeharto digulingkan oleh mahasiswa ketika korupsi merajalela dan krisis moneter menjerat leher rakyat.
Mahasiswa yang dielu-elukan sebagai agent of change sesungguhnya memiliki kekuatan maha dahsyat jika mau berjuang di jalan yang benar. Bukan berarti menjelmakan diri sebagai pahlawan atau pejuang ’45 yang semangatnya membara dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi memang terasa lebih sulit mempertahankan kemerdekaan dibandingkan mendapatkan kemerdekaan. Jika dahulu rakyat Indonesia berperang dengan parang, bambu runcing dan senjata seadanya. Tapi, saat ini rakyat Indonesia terutama generasi muda mesti berperang dengan logika, perang yang ada adalah perang ideologi.
Melihat kenyataan tersebut, puisi tidak hanya sebuah produk inspirasi, melainkan sebuah pencarian kebermaknaan hidup. Puisi tidak akan lepas dari realitas sosialnya. Walaupun sebutlah sebuah puisi kamar yang berkutat pada eksplorasi masalah privasipun tidak lepas dari masalah sosial. Jika seseorang mengutarakan isi hati, lalu membuat puisi cinta dan yang sejenisnya. Maka puisi tersebut juga merupakan respon terhadap kegiatan sosial. Dalam hal ini ada interaksi antarpersonal meski dalam bentuk tulisan. Manusia merupakan makhluk Zoon Politicon menurut Aristoteles. Manusia tidak dapat hidup sendiri, seperti halnya sebelah kaki tidak akan mampu menopang tubuh seseorang. Akan jadi seimbang dan kukuh apabila keduanya utuh.
Sebagai akhir dari uraian ini, dapat diketahui bahwa pilihan kata yang ada pada puisi karya Taufik Ismail sungguh berbeda dengan puisi-puisi karya sastrawan lainnya. Ada kekhasan yang tidak dimiliki oleh puisi lain dan hanya akan ditemui pada puisi-puisi karyanya. Di antara puisi-puisi milik sastrawan Indonesia lainnya, puisi karya Taufik Ismail memiliki kejujuran di setiap baitnya. Penyair ini melukiskan kejadian demi kejadian dengan lugas. Kering ia katakan kering. Kemarau ia katakan kemarau.
Penggunaan majas dalam puisi-puisi Taufik Ismail juga tidak terlalunjlimet. Ia merangkainya dengan cukup sederhana. Tapi justru dengan kesederhanaan itulah, puisi karyanya mudah dikenali dan digemari oleh orang awam. Jangan bandingkan dengan puisi milik Sutardji Calzoum Bachri. Karena kedua puisi ini adalah puisi dengan gaya yang berbeda. Puisi milik Sutardji Calzoum Bachri penuh dengan trik dan intrik. Penempatan kata per-kata yang ada pada puisi milik SCB sungguh tidak biasa. Tidak seperti puisi pada umumnya.
Ditambah lagi pilihan kata dan makna yang terkandung di dalamnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat orang awam tidak menyukai puisi. Mereka harus berpikir terlebih dahulu untuk bisa benar-benar menikmati. Berbeda dengan puisi-puisi Taufik Ismail, yang lebih sederhana.

Daftar Rujukan:
Ahira, Anne. 2010. Karakteristik Puisi Ciptaan Taufik Ismail, (Online), (http://publiksastra.net/puisi-puisi-taufik-ismail-yang-memotret-sejarah/, diakses pada tanggal 24 Maret 2013).

Anonim. 2004. Lirik Nasyid Sajadah Panjang, (Online), (http://liriknasyid.com/index.php/lirik/detail/130/bimbo-sajadah-panjang.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013).

No comments:

Post a Comment