KRITIK SOSIAL DALAM PUISI-PUISI TAUFIK ISMAIL
Oleh
Agustin Prasetyawati - 100211404896
Karya sastra merupakan suatu hasil
kreatifitas seni berupa keindahan yang imajinatif. Melalui karya sastra
seseorang dapat mengekspresikan diri untuk mengungkapkan segala daya imajinya.
Salah satu hasil karya sastra yang mempunyai kedudukan dalam dunia sastra
adalah puisi. Puisi merupakan salah satu cabang sastra yang menggunakan
kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan imajinasi. Puisi dipandang
sebagai hasil tiruan peristiwa-peristiwa kehidupan nyata. Pengarang sebagai
manusia pada umumnya menangkap berbagai peristiwa atau fenomena dalam kehidupan
sebagai sumber inspirasi dalam menciptakan karya-karyanya.
Puisi merupakan ungkapan isi hati. Ini merupakan definisi
singkat tentang makna sebuah puisi. Puisi juga merupakan respon terhadap
situasi sosial yang terjadi di sekelilingnya. Puisi itu harus membumi,
seolah-olah mesti menapak kehidupan. Puisi bukan sekedar imajinasi belaka.
Menulis puisi bagi penyair berarti juga merupakan ekspresi kreatif, dan estetis
untuk menanggapi, menafsirkan, dan mengkritisi kehidupan sosial. Puisi dapat
lahir dari sebuah perenungan. Wan Anwar menyebutkan bahwa menulis puisi butuh
kontemplasi bukan instan. Apabila sebuah puisi dilahirkan secara instan, maka
hidupnya sebuah puisi juga akan instan. Realita demikian terjadi pada
puisi-puisi karya Taufiq Ismail.
Membaca puisi-puisi
Taufik Ismail akan mengingatkan kita pada semangat juang para
pemuda untuk memperjuangkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik sistem
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam puisi-puisinya, Taufik Ismail tak pernah
berhenti menyerukan kritik-kritik sosial, politik, hukum dan ekonomi. Semangat
heroik seorang pemuda cukup kental dalam karya-karya penyair nasional yang satu
ini.
Bagi kaum muda aktivis pergerakan mahasiswa, puisi puisi
Taufik Ismail adalah inspirasi. Bahasa politik saja ternyata tak cukup untuk
menjaga semangat reformasi Indonesia yang terus dijalankan, bahasa sastra
adalah bahasa metafora yang cukup halus. Sindiran sopan dan kritikan halus
disampaikan para sastrawan seperti Taufik Ismail melalui karya-karyanya. Siapa
pun dapat menikmatinya secara terbuka.
Taufik memberikan pencerahan kondisi objektif Indonesia
kepada para pembaca. Objektivitas yang ditampilkan Taufik semata-mata bukanlah
untuk kepentingan politik tertentu, melainkan ungkapan naluri seorang anak
bangsa yang tergerak hatinya untuk menyuarakan kondisi real negaranya
kepada orang lain. Tak ada yang pantas merasa tersindir, sebab Taufik Ismail
berbicara dengan jujur pada kapasitas dirinya sebagai seorang sastrawan.
Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair pelopor Angkatan ’66
yang mampu menyuarakan kritik sosial melalui puisi. Kritik terhadap kepincangan
sosial dan berbagai peristiwa yang menimpa masyarakat diungkapkan Taufik secara
lugas dan jelas, menohok, dan jujur. Puisi-puisi Taufik Ismail adalah kritik
sosial yang tajam.
Kita sebut saja salah satu judul puisi Taufiq Ismail yaitu Sajadah
Panjang. Puisi ini popular karena liriknya didendangkan oleh Bimbo dan
selalu diperdengarkan terutama ketika bulan Ramadhan. Puisi yang berjudul Sajadah Panjang ini
ditulis pada tahun 1984, jika dihitung usianya sudah mencapai 25 tahun. Namun, Sajadah
Panjang tidak lekang dimakan usia hingga saat ini. Apabila dikaji
secara tekstual, maka puisi yang tergolong bernuansa religius ini tidak hanya
hasil sebuah kontemplasi. Bukan hanya sekedar sebuah himne, melainkan di
dalamnya sarat amanat yang lebih jauh akan membuat orang sadar akan kualitas
ibadahnya.
Puisi “Sajadah Panjang” adalah pernyataan Taufiq yang
mengharukan tentang pengabdiannya pada Tuhan. Ada sajadah panjang terbentang/
dari kaki buaian/ sampai ke tepi kuburan hamba/ kuburan hamba bila mati// Ada
sajadah panjang terbentang/ hamba tunduk dan sujud/ di atas sajadah panjang
ini/ diselingi sekedar interupsi/ mencari rezeki/ mencari ilmu/ mengukur jalanan
seharian/ begitu terdengar suara adzan/ kembali tersungkur hamba// Ada sajadah
panjang terbentang/ hamba tunduk dan rukuk/ hamba sujud dan tak lepas kening
hamba/ mengingat dikau/ sepenuhnya//.
Metafora “sajadah panjang” adalah metafora yang jelas mendekatkan
kita pada simbol islam. Tapi yang terpenting sebenarnya adalah kenyataan bahwa
metafora itu merupakan simbol pengabdian total. Melalui metafora itu, Taufiq
hendak melukiskan dirinya sendiri sebagai seorang yang selalu “tunduk dan
sujud” di hadapan Tuhan. Kesibukan duniawi memang tak ditinggalkan sama sekali.
Cuma, kesibukan itulah hanya semacam “interupsi” yang sejenak saja. Begitu
selesai urusan tersebut, pengabdian melalui “sajadah panjang” itu akan kembali
dilanjutkan. Di sini, agama lagi-lagi tak berperan sebagai sekadar “latar
belakang”. Agama setidak-tidaknya mewujud dalam nilai-nilainya, dalam puisi
tersebut adalah pokok soal terpenting.
Melalui “sajadah panjang”, Taufiq sebenarnya sedang melakukan
semacam pengingatan pada para pembaca puisinya tentang Tuhan. Tendensi ini,
sebenarnya sama dengan pengakuan Taufiq Ismail sendiri. Tahun 1984, ia memang
pernah membuat pengakuan bahwa karya sastra yang ditulisnya adalah “sebuah
dzikir”. Artinya, melalui puisi-puisi yang ditulisnya, Taufiq hendak membawa
para pembacanya mengingat Sang Pencipta.
Tapi pengingatan, Taufiq tak berarti bahwa dia hanya membuat
puisi tentang Tuhan saja. Sebaliknya, Taufiq justru lebih banyak membuat puisi
berdasar realitas sosial yang ia hadapi. Justru dengan membahas persoalan-persoalan
sosial dalam puisinya, secara tak langsung Taufiq ingin membawa pembacanya
menyadari kehadiran Tuhan.
Dalam sebuah kesempatan lain, Taufiq pernah mengatakan bahwa
tujuannya menciptakan puisi adalah untuk beramal saleh. Baginya, hidup adalah sebuah
sajadah yang terbentang dari kaki buaian sampai tepi lahat. Kegiatan utama
dalam sajadah itu adalah shalat. Kegiatan lain hanya semacam penyela dari
shalat. Tapi, yang penting pula adalah bagaimana mentransformasikan kegiatan
sehari-hari agar menjelma menjadi derivasi dari shalat.
Akherat, itulah tujuan kesenian Taufiq. Cuma, mencapai
akherat bukan berarti meninggalkan dunia. Maka, berbeda dengan kecenderungan
puisi sufistik yang menekankan pada ekspresi religius saat melakukan interaksi
personal dengan Tuhan serta berusaha menghindari narasi tentang dunia, puisi
Taufiq justru menggunakan dunia sebagai kendaraan menuju Tuhan. Bagi Taufiq,
tugas manusia sebagai khalifah di dunia menunjukkan bahwa manusia sama sekali
tidak boleh meninggalkan dunia. Melalui kehidupan sosial, yaitu interaksi
manusia dengan sesamanya dan dengan makhluk Tuhan yang bukan manusia. Seorang
manusia bisa berangkat melakukan pendekatan terhadap Tuhan. Di sini,
kecenderungan puisi Taufiq sebagai dzikir sosial makin terasa.
Salah satu interaksi sosial yang juga bisa dianggap sebagai
jalan pendekatan kepada Tuhan adalah pembelaan terhadap orang-orang yang lemah.
Taufiq Ismail menyadari hal yang demikian. Ia menyadari bahwa usaha membela
kaum tertindas dari kedzaliman yang menimpa mereka bukan hanya sebuah kerja
demi kemanusiaan, tapisekaligus juga demi keimanan dan pengabdiannya pada
Tuhan.
Ada sajadah panjang
terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang
terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang
ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu mendengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang
terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud tak lepas kening
hamba
Mengingat dikau sepenuhnya
Taufiq Ismail memang banyak menulis puisi religius dan kritik
sosial. Saya menyukai puisi ini karena syairnya yang sangat simbolik, lepas
dari fakta bahwa puisi ini memang dimusikalisasi dengan manis oleh Bimbo.
Coba simak baris-baris ini:
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Sajadah itu terbentang dari kaki buaian sampai ke tepi
kuburan. Tentu saja kalau kita membayangkan sajadah secara fisik, ini memang
menjadi hal yang aneh bahkan konyol. Bagaimana caranya ada sajadah terhampar
dari buaian di rumah kita sampai kuburan di kampung sebelah, misalnya. Akan
tetapi, buaian di sini menyimbolkan kelahiran, sementara kuburan menyimbolkan
kematian. Jadi, sajadah yang berarti adalah ibadah, ketundukan kita pada Tuhan,
berlaku dari kita lahir hingga kita mati.
Syair yang juga sangat “romantis” adalah
Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Mengukur jalanan seharian. Betapa lelahnya, mungkin juga bosan,
panas berpeluh. Ini gambaran yang sangat mengena bagaimana kita bisa sangat
lelah dengan urusan duniawi. Dan saat itulah kita tunduk dan sujud, yang
disebut oleh Taufiq sebagai sekadar interupsi.
Dalam totalitasnya puisi-puisi tertentu seringkali menunjukkan
adanya relevansi sosial. Di zaman yang serba modern ini, orang-orang lebih
banyak terbuai dengan teknologi internet terutama facebook.
Mengingat adanya pergeseran zaman, jarang sekali ditemukan banyak ‘Hamba
tunduk dan sujud di atas sajadah yang panjang ini’ Kita hanya
menyaksikan hamba yang lanjut usia atau yang masih ingusan di atas sajadah
panjang. Keadaan tersebut merupakan realita sosial yang biasa terjadi di
masjid-masjid megah daerah perkotaan.
Realita sosial ini merupakan sebuah peringatan bagi manusia
sebagai makhluk Tuhan yang masih diberi kesempatan untuk introspeksi diri.
Lebih jauh bagi Taufiq Ismail, standar pokok dalam estetika kesenian juga dalam
kesusastraan adalah “Mengingatkan para pembacanya kepada Sang Pencipta”.
Begitu pula pada puisi Taufik yang
berjudul “Rindu Rasul”. Seperti kita ketahui bahwa Rindu Rasul
merupakan salah satu puisi Taufiq Ismail yang digubah menjadi musikalisasi
puisi oleh grup musik Bimbo. Sama halnya Sajadah Panjang. Jika Sajadah Panjang lebih kental
pada unsur religiusitas yakni sisi vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Maka
Rindu Rasul merupakan pengejewantahan dari seorang suri tauladan yang saat ini
sulit kita temukan.
Dalam dunia politik yang penuh intrik, banyak cara dihalalkan
demi mendapatkan kekuasaan. Dinamika sosial yang heterogen membuat tidak
sedikit kalangan yang haus akan kekuasaan. Baru-baru ini politik taktis
dilaksanakan dalam pesta rakyat 2009. Pemilihan Presiden tidak jarang menguras
kantong pejabat demi mendapatkan kursi di Pemerintahan. Beberapa oknum
berseliweran sebagai tim sukses agar calon andalannya mendapatkan suara
terbanyak. Masalah Pemilihan Umum dan manipulasi suara yang terjadi di dalamnya
sampai soal memusuhi, menyingkirkan, dan membunuh menjadi tema sosial yang
dibahas dalam beberapa puisi Taufiq Ismail.
Jika manusia dianggap makhluk paling sempurna dari makhluk
ciptaan Tuhan lainnya, maka Nabi Muhammad, Rasulullah SAW lah yang merupakan
manusia paling sempurna hingga akhir zaman. Berlinangan airmata menahan
kerinduan pada sosok pemimpin seperti Rasulullah. Dengan demikian, Taufiq
Ismail berusaha menuangkan kerinduannya kepada Rasul tercinta dalam puisi
tersebut.
Kritik sosial yang disampaikan Taufik Ismail tidak hanya
berupa kritik antara manusia dan Tuhannya, namun juga kritik sosial yang
mewakili suara aspirasi mahasiswa. Salah satu bentuk dari kritik tersebut
adalah terdapat pada puisi Taufik Ismail yang berjudul “Takut ’66 Takut ‘98”.
TAKUT ’66 TAKUT ‘98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada
mahasiswa
Jabatan struktural memegang kewenangan dalam hal kebijakan.
Ucapan lisan antara atasan dengan atasan akan jadi lebih formal dan dianggap
resmi dibandingkan prosedural yang ditempuh mahasiswa. “Mahasiswa harus punya
etika”, pola pikir seseorang akan dinilai dariattitude dan
kepribadian yang ditampilkan. Lagi-lagi benturan birokrasi merupakan lahan
panas bagi seseorang yang tak punya wewenang.
Mengapa mesti berlindung di bawah selimut mahasiswa yang
kewajibannya hanya kuliah tanpa organisasi, tanpa memiliki ambisi untuk sekedar
mencicipi suramnya rimba kehidupan. Kepekaan itu membangkitkan kepedulian akan
pentingnya arti berjuang. Karena terus menerus terkungkung dalam ketakutan
adalah kebinasaan. Toh, akhirnya pemegang kekuasaan tertinggi --
dalam hal ini presiden pun takut pada mahasiswa.
Puisi berjudul “Takut ‘66, Takut ‘98” tidak hanya jadi saksi
sejarah pada masa orde lama, pemberantasan PKI dan hancurkan tirani. Hingga ada
jargon: Bangkit, Lawan, Hancurkan Tirani!pembakar semangat
mahasiswa. Kemudian, Takut ’98 merupakan implementasi dari masa orde baru tahun
‘98. Kita pasti masih ingat dalam benak bahwa Presiden Soeharto digulingkan
oleh mahasiswa ketika korupsi merajalela dan krisis moneter menjerat leher
rakyat.
Mahasiswa yang dielu-elukan sebagai agent of change sesungguhnya
memiliki kekuatan maha dahsyat jika mau berjuang di jalan yang benar. Bukan
berarti menjelmakan diri sebagai pahlawan atau pejuang ’45 yang semangatnya
membara dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi memang terasa lebih sulit
mempertahankan kemerdekaan dibandingkan mendapatkan kemerdekaan. Jika dahulu
rakyat Indonesia berperang dengan parang, bambu runcing dan senjata seadanya.
Tapi, saat ini rakyat Indonesia terutama generasi muda mesti berperang dengan
logika, perang yang ada adalah perang ideologi.
Melihat kenyataan tersebut, puisi tidak hanya sebuah produk
inspirasi, melainkan sebuah pencarian kebermaknaan hidup. Puisi tidak akan
lepas dari realitas sosialnya. Walaupun sebutlah sebuah puisi kamar yang
berkutat pada eksplorasi masalah privasipun tidak lepas dari masalah sosial.
Jika seseorang mengutarakan isi hati, lalu membuat puisi cinta dan yang
sejenisnya. Maka puisi tersebut juga merupakan respon terhadap
kegiatan sosial. Dalam hal ini ada interaksi antarpersonal meski dalam bentuk
tulisan. Manusia merupakan makhluk Zoon Politicon menurut
Aristoteles. Manusia tidak dapat hidup sendiri, seperti halnya sebelah kaki
tidak akan mampu menopang tubuh seseorang. Akan jadi seimbang dan kukuh apabila
keduanya utuh.
Sebagai akhir dari uraian ini, dapat diketahui bahwa pilihan
kata yang ada pada puisi karya Taufik Ismail sungguh berbeda dengan puisi-puisi
karya sastrawan lainnya. Ada kekhasan yang tidak dimiliki oleh puisi lain dan
hanya akan ditemui pada puisi-puisi karyanya. Di antara puisi-puisi milik
sastrawan Indonesia lainnya, puisi karya Taufik Ismail memiliki kejujuran di
setiap baitnya. Penyair ini melukiskan kejadian demi kejadian dengan lugas.
Kering ia katakan kering. Kemarau ia katakan kemarau.
Penggunaan majas dalam puisi-puisi Taufik
Ismail juga tidak terlalunjlimet. Ia merangkainya dengan cukup
sederhana. Tapi justru dengan kesederhanaan itulah, puisi karyanya mudah
dikenali dan digemari oleh orang awam. Jangan bandingkan dengan puisi milik
Sutardji Calzoum Bachri. Karena kedua puisi ini adalah puisi dengan gaya yang
berbeda. Puisi milik Sutardji Calzoum Bachri penuh dengan trik dan intrik.
Penempatan kata per-kata yang ada pada puisi milik SCB sungguh tidak biasa.
Tidak seperti puisi pada umumnya.
Ditambah lagi pilihan kata dan makna yang terkandung di
dalamnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat orang awam tidak menyukai puisi.
Mereka harus berpikir terlebih dahulu untuk bisa benar-benar menikmati. Berbeda
dengan puisi-puisi Taufik Ismail, yang lebih sederhana.
Daftar Rujukan:
Ahira, Anne. 2010. Karakteristik Puisi Ciptaan Taufik Ismail,
(Online), (http://publiksastra.net/puisi-puisi-taufik-ismail-yang-memotret-sejarah/,
diakses pada tanggal 24 Maret 2013).
Anonim. 2004. Lirik Nasyid Sajadah Panjang, (Online),
(http://liriknasyid.com/index.php/lirik/detail/130/bimbo-sajadah-panjang.html,
diakses pada tanggal 20 Maret 2013).
No comments:
Post a Comment