KASIH TAK SAMPAI DALAM “AZAB DAN SENGSARA”
KARYA MERARI SIREGAR
Oleh
Agustin Prasetyawati - 100211404896
Karya sastra
merupakan suatu hasil kreatifitas seni berupa keindahan yang imajinatif.
Melalui karya sastra seseorang dapat mengekspresikan diri untuk mengungkapkan
segala daya imajinya. Salah satu hasil karya sastra yang mempunyai kedudukan
dalam dunia sastra adalah prosa. Karya sastra dipandang sebagai hasil tiruan
peristiwa-peristiwa kehidupan nyata. Pengarang sebagai manusia pada umumnya
menangkap berbagai peristiwa atau fenomena dalam kehidupan sebagai sumber
inspirasi dalam menciptakan karya-karyanya.
Umumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel
Azab dan Sengsara ini sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah kesusastraan
Indonesia modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih banyak didasarkan
pada anggapan bahwa kesusastraan Indonesia modern lahir tidak dari peran
berdirinya Balai Pustaka, 1917, yang cikal bakalnya berdiri tahun 1908. Sungguhpun
sebenarnya tidak sedikit novel yang terbit sebelum Balai Pustaka berdiri, dalam
hal pemakaian bahasa Melayu sekolahan, Azab dan Sengsara yang mengawalinya.
Dalam konteks itulah novel ini menempati kedudukan penting.
Sebelum masuk kepada pembahasan analisis novel ini, saya
akan memaparkan sinopsis Novel “Azab dan Sengsara” ini terlebih dahulu sebagai
berikut.
Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah
Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga
tersebut terdari dari seorang ibu yang sudah janda, Nuriah namanya. Dia
memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin yang memiliki
paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua laki-laki yang berusia empat
tahun.
Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok.
Mereka hidup bertiga penuh kesengsaraan dan kesedihan yang ditanggung
bersama-sama. Semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak
pernah mengeluh dan putus asa. Semua permasalahan hidupnya diserahkan kepada
Allah Subhanahu wata’ala.
Kisah sedihnya bermula dengan kematian ayahnya Sutan
Barigin. Di saat itu kebagiaanya sebagai seorang gadis terenggut secara
tiba-tiba. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan,
tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga
banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis. Harta yang habis itu
diakibatkan oleh prilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki
sifat tamak, rakus, keras kepada, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan
orang lain. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda
nenek yaitu Baginda Mulia, Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan
Marah Sait, Sutan Barigin malah memperakanya ke pengadilan. Yang keji lagi
Sutan Barigin tidak mau mengaku saudara pada Baginda Mulia. Sebenarnya
Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan
diberikan Sutan Barigin kepadanya akan diterima saja. Sutan barigin tetap tidak
mau dan ingin memperkarakan saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya
ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah
saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Barigin naik
banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara perlu
biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait
mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh
Baginda Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin
tetap kalah sampai akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima
saran istri dan Baginda Mulia untuk berdamai. Sesal kemudian tidak berguna.
Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang dierima Sutan Barigin dan anak keluarga
ikut menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir Sutan Barigin
terkena penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang loba dan
tamak itu.
Kesedihan Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya
Aminudin ke kota Medan, hingga hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah
terbina sejak lama. Di Medan Aminudin bekerja di perkebunan tembakau. Ia
mencoba menyurati Mariamin. Bahkan dalam suratnya mengatakan hendak
meminang Mariamin untuk dijadikan istrinya.
Aminudin menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin kepada
ibunya dan segara di antarkanya ke Medan. Tapi ayah Aminudin malah membawa
perempuan lain ke Medan dengan alasan Mariamin bukan jodoh Aminudin. Pendapat
itu bersumber dari seorang dukun yang dimintai pendapat ayahnya Aminudin..
Dengan sangat terpaksa, kecewa dan menyesal Aminudin menika dengan perempuan
yang tidak dicintainya karena cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah
pada Mariamin ia sampaikan lewat surat serta permohonan ma’af kepada
keluarganya. Semua itu bukan kehendak Aminudin untuk meninggalkan Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran
ibunya. Kasibun seorang laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin.
Mariamin di bawa juga ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu
dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia
selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular
kepadanya.
Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi
meninggalkan Medan dan pulang kembali ke Sipirok. Di Sipirok inilah berakhirnya
penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Gadis yang suci dan bernasib malang itu
menemui ajalnya. untuk mengakhiri ajab dan kesengsaraan di dunia yang fana ini.
Arwahnya yang suci naik ke tempat yang mahamulia, yang disediakan Tuhan untuk
hamba-Nya yang percaya dan taat kepada-Nya.
Tema Azab
dan Sengsara sendiri yang mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan
harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang baru. Novel-novel yang terbit
di luar Balai Pustaka yang umumnya menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa
Melayu pasar juga banyak yang bertema demikian. Jadi, secara tematik,
novel Azab dan Sengsara belumlah secara tajam mempermasalahkan perkawinan
dalam hubungannya dengan adat.
Novel yang berjudul “Azab dan Sengsara” ini cukup sesuai
dengan keadaan jaman (tahun 1920-an), yaitu ketika banyaknya kejadian kawin
paksa/perjodohan atas kehendak orang tua bukan atas dasar cinta.
Dilihat dari segi estetika (keindahan), tema cerita ini
cukup mengandung unsur-unsur keindahan. Ceritanya diungkapkan dengan gaya yang
sangat menarik. mengungkapkan kisah-kasih dua anak manusia yang yang sangat
memilukan, karena keadaan tidak menghendaki mereka bersatu dan hidup bahagia,
sehingga kesengsaraan-kesengsaraanlah yang kerap kali mereka terima. Novel ini
pun mengandung unsur-unsur kebaikan, yaitu adanya kepatuhan kepada kedua orang
tua, ketaatan kepada Allah, kesabaran, dan perjuangan hidup.
Dalam novel “ Azab dan Sengsara “Karya Merari Siregar ini
saya menemukan beberapa tokoh yang berperan dalam novel ini diantaranya adalah
sebagai berikut.
Mariamin, anaknya Sutan Barigin dan ibu Nuriah. Seoran gadis
cantik, penyabar,tekun, ulet, berbudi pekerti halus dan patuh kepada orang tua.
( Azab dan Sengsara : 33 ). Aminudin, pemuda tampan kekasih Mariamin yang berbudi
pekerti baik, sopan, peduli pada orang lain. ( Azab dan Sengsara : 35 ). Sutan
Barigin, ayahnya Mariamin yang memiliki watak keras kepala, bengis, loba dan
tamak, dengki dan khianat. ( Azab dan Sengsara :35,94 ). Nuriah, istri Sutan
Barigin berwatak baik, penyabar, peduli pada sesame. ( Azab dan Sengsara :31 ).
Baginda Mulia, Saudara sutan Barigin yang senenek. Wataknya baik dan penyayang
pada saudara. Ibu Aminudin, adiknya Sutan Barigin. Wataknya baik, penyayang
keluarga. Bapaknya Aminudin, baik, peduli keluarga. Hanya ada kelemahan yaitu
suka menjodohkan anak dan suka pergi ke dukun untuk menanyakan jodoh Aminudin.
Marah sait, seorang penghasut alias pokrol bambu pada Sutan Barigin. ( Azab dan
Sengsara : 91,92 ). Kasibun, seorang lelaki hidung belang. Suami Mariamin yang
kejam. Orang yang pintar dalam tipu daya. ( Azab dan Sengsara : 146,150,151,158
).
Sedangkan dalam penokohanya, karakter untuk tiap tokoh,
dapat diketahui melalui kajian analitik tokoh. Watak tokoh diketahui secara
lansung dari pengarang yang menguraikan sifat tokohnya sebagaimana contoh
kutipan yang tertulis berikut.
“Sutan
Barigin orang yang telah rusak binasa budinya dari kecilnya, tiada mempunyai
hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba dan tamak, dengki dan khianat, itu
sajalah yang memenuhi pikiranya. Herankah lagi kita, kalau segala jerih payah
bapak Aminudin itu sia-sia belaka? Sutan Barigin tinggal bersitegang urat leher
saja, perkataan siapa pun tiada diindahkanya, lain daripada asutan pokrol
bamboo yang cerdik itu “ (Azab dan Sengsara : 94).
Dalam novel ini latar tempat yaitu di sebelah Timur di
watasi Dolok (gunugan) Sipisan, di sebelah Barat Sibualbuali, Simagomago
berdiri agak di sebelah Selatan, yang menjadi watas dan tanah Angkola.
Simole-ole membatasi dataran tinggi itu pada sebelah Utara dengan dataran
tinggi Pangaribuan (Toba).
Kemudian latar waktu terjadi sekitar tahun 1920-an. Kisah
ini ditulis oleh Merari Siregar yang saat itu berusia 24 tahun. Kecerdasan,
daya imajinasi, serta emosional pengarang sangat kuat dan tajam dalam
mengkritik adat istiadat yang ada di daerahnya. Latar budaya yang mengisahkan
adat istiadat di tapanuli, kawin paksa dan pernikahan dalam satu marga
yang disukai oleh keluarga mereka seperti menikahkan anak kakak dan anak
adiknya seperti kutipan.
“Meneurut
adat orang di negeri itu ( Batak ) seharusnyalah bagi Aminudin menyebut
Mariamin adik ( anggi bahasa Batak ) dan perkawinan antara anak muda ini sangat
disukai orang tua kedua belah pihak.” Tali perkauman bertambah kuat, “ kata
orang di kampong-kampung. Barangkali perkawinan serupa ini tiada biasa di
tempat lain. “Lain padang lain belalang, lain tanah lain lembaganya, kata
peribahasa. “ ( Azab dan Sengsara : 33).
Masalah kawin paksa dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Pikiran
yang serupa itu acapkali didapati pada setengah kampong, yang kurang
mengindahkan hal perkawinan serupa itu di belakang hari., Mereka memandang
perkawinan itu suatu kebiasaan, yakni kalau anak perempuan sudah genap umurnya
harus dijodohkan. Demikian pula jadinya pada anak laki-laki. Haruslah ia lekas
dikawinkan, karena keaibanlah di mata orang banyak kalau orang tua terlambat
memperistrikan anaknya.” ( Azab dan Sengsara : 59-70)
Selain itu menjelaskan masalah perkauman marga seperti marga
siregar,dan marga harahap, dan latar agama yaitu nilai agama yang dianut tokoh
yaitu agama Islam. ( Azab dan Sengsara : 48, 83, 90, 93, 163 ).
Alur yang terdapat dalam novel Azab dan Sengsara adalah alur
maju. Untuk mengetahui sebab kesengsaraan keluarga Mariamin, pengarang menyorot
balik kisah kehidupan Sutan Barigin semasa kejayaan dan kekayaan yang masih
melimpah. Karena suka berperkara daripada berdamai tentang harta warisan
akhirnya kehidupan Sutan Baringin terbalik 180 derajat menjadi melarat, hina
dan sengsara.
Cerita dilanjutkan dengan pernikahan aminudin dengan gadis
lain, Mariamin dengan Kasibun yang berakhir dengan kaburnya Mariamin kembali ke
Sipirok. Sebagai solusi pengarang mewafatkan tokoh Mariamin sebagai akhir
cerita dan akhir kesengsaraan dunia untuk keluarga Mariamin.
Sudut pandang pengarang dalam novel “Azab dan Sengsara”
yaitu pengarang menempatkan diri sebagai observer yang mengamati tiap kejadian
dan peristiwa dalam cerita. Pengarang menggunakan teknik bercerita “Dia-an”
artinya pengalaman diwakilkan pada tokoh-tokohnya.
Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam novel ini
yaitu bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia melayu. Urutan bahasa yang
runtut, enak dibaca dan mudah dipahami pembaca. Penggunaan ungkapan, gaya
bahasa serta peribahasa nampak dalam tiap pengisahan. Ungkapan ‘pokrol
bambu’ untuk orang yang suka menghasut dan menipu sama artinya dengan trong
kohkol nyaring bunyinya. Sarung bengkok di makan mata pisau yang bermakna orang
licik,pelit, serakah akan hancur oleh sifat yang buruk itu.
Amanat dari pengarang novel yaitu selalu bersikap sabar
dalam menempuh ujian yang sangat berat, jangan putus asa dari rahmat Allah.
Budi pekerti yang baik dan terpuji akan membawa kebahagian hidup di di dunia
dan akhirat. Sifat serakah,pelit, kejam, aniaya, khianat akan membawa
kehancuran pada orang tersebut. Janganlah kita percaya pada dukun masalah
perjodohan karena itu perbuatan musyrik. Manusia hanya merencanakan, Tuhan yang
menentukan. Pendidikan moral, agama dan akhlak mulia lebih berharga dari harta
benda.
Kisah ini mengandung tuntunan yang baik dan berguna bagi
para remaja, yang biasanya gampang berputus atas jika tengah menghadapi suatu
kegagalan. Karena pada umumnya mereka kurang menyadari bahwa belum berhasilnya
seseorang dalam mencapai cita-cita itu sebenarnya merupakan baru ujian dan
cambuk untuk lebih berhasil meraihnya.
Kisah cinta abadi penuh duka antara Mariamin dengan
Aminudin. Dua sejoli yang dipisahkan oleh harapan akan nasib baik di tanah
rantau, ternyata mendatangkan petaka yang memupus cinta Mariamin hingga ke
lubang kematian. Inilah parodi yang paling gelap tentang stereotipe kota dan
desa, bahwa tidak selamanya tanah rantau yang bagi kebudayaan Minang dianggap
tanah harapan, selalu bisa memberi kebahagiaan. Aminuddin yang terjebak ke
dalam nilai-nilai baru yang dianggapnya lebih baik, pada akhirnya tak pernah
merasa kasih sayang sejati. Ia adalah potret manusia gagal yang senantiasa
berlari, dan terus berlari.
Karya
sastra memberi kesenangan dan faedah bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat
penikmatnya. Nilai-nilai yang terdapat di dalamnya sangat bermanfaat untuk
diteladani. Begitu juga pada novel “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar
ini, di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bisa digali oleh pembacanya dan
sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan
cerita yang ada pada novel Azab dan Sengsara, saya menyimpulkan ada nilai
sosial yang terkandung di dalamnya. Hal ini tercermin pada kehidupan dan kisah
cinta Aminudin dan Mariamin. Hanya karena perbedaan status sosial keluarganya,
mereka tidak bisa menjalani hidup bersama dalam ikatan rumah tangga.
Jika
hal ini dihadapkan pada keadaan pada masa sekarang, tetap saja hal ini masih
terjadi pada kalangan masyarakat di sekitar kita. Mereka yang mempunyai status
sosial tinggi tidak mau mengenal bahkan membantu masyarakat yang ada di
sekitarnya yang memiliki status sosial rendah. Padahal jika dipikir-pikir semua
itu pada dasarnya sama saja, tidak ada bedanya masyarakat yang mempunyai status
sosial tinggi dan rendah di mata masyarakat.
Kebahagiaan hidup
juga tidak bisa hanya dilihat berdasarkan status sosial masyarakat, namun juga
harus dilihat dari kehidupan masyarakat tersebut. Tidak sedikit orang yang
berstatus sosial tinggi tetapi kehidupannya tidak harmonis dan tidak bahagia.
Tetapi banyak orang yang hidupnya harmonis dan bahagia meskipun status
sosialnya rendah. Dengan memaksakan kehendak untuk bergaul dengan masyarakat
yang mempunyai status sosial tinggi saja, itu akan menghambat seseorang dalam
memperoleh kebahagiaannya. Oleh karena itu sepatutnya kita tidak membedakan
status sosial dalam menjalani kehidupan ini. Karena semuanya berhak mendapat
kebahagiaan.
Keunggulan dari novel “ Azab dan Sengsara “ adalah terletak
dalam penekanan untuk memberikan kesadaran pada pembaca agar jangan berbuat mengikuti
adat istiadat yang kurang baik. Buku ini sangat luar biasa dalam menanamkan
moral dan akhlak mulia untuk pembaca. Tokoh antagonis dari Sutan Barigin dan
Marah Sait membuat kita sadar terkadang sifat tersebut ada pada diri kita. Maka
hindari dan jauhilah. Keunggulan lain yaitu dalam cara menyajikan
kisahnya. Cerita disusun secara rapi, enak dibaca dan mudah dipahami.
Penggunaan ungkapan, gaya bahasa dan peribahasa sangat menyentuh perasaan.
Namun di sisi lain tiap karya sastra ada kelemahanya juga.
Konflik yang terjadi sangat sederhana. Tidak terlalu rumit sehingga pembaca
tidak terlalu dituntuk untuk berpikir keras. Konfliknya tunggal yaitu berkisar
perebutan harta warisan saja. Ini merupakan masalah sosial yang terjadi di
masyarakat pada umumnya.
Daftar Rujukan:
Siregar,
Merari. 2000. Azab dan Sengsara. Balai
Pustaka.
Sundiawan,
Awan. 2009. Ringkasan Novel: Azab dan
Sengsara, (Online), (http://awan965.wordpress.com/2009/04/14/ringkasan-novel-azab-dan-sengsara/, diakses pada 6 April 2013).
No comments:
Post a Comment