Translate

Friday, May 10, 2013

ESAI KRITIK PUISI Ranggi Ramadhani Ilminisa

W.S. RENDRA: ORANG-ORANG TERCINTA SEBUAH REPLIKA PARA LONTHE DAN KAUM TERSISIH LAIN
Oleh: Ranggi Ramadhani Ilminisa

Berbicara mengenai sebuah karya sastra, maka pada setiap bagian karya sastra tentu memiliki makna yang terkandung di dalamnya, baik tersirat maupun tersirat. Cara penyampaian makna tersebut tentu berbeda antara penyair yang satu dengan penyair yang lain. Salah satu yang menjadi sorotan kali ini adalah sajak-sajak W.S. Redra yang lebih dominan menyuarakan nasib para kaum tersisih. Penyiratan makna dalam sajak karya Rendra dikemas secara apik, hingga jeritan mereka para lonthe dan kaum tersisih lain dapat terlupakan.

Sajak W.S Rendra adalah sajak yang menjadi kebanggaan bagi dunia sastra Indonesia. Karya-karyanya yang lebih banyak menyindir permasalahan sosial membuatnya menjadi sosok penyair yang berbeda. Masalah sosial yang terjadi di Indonesia sepertinya menjadi fokus kajian masalah yang sangat menarik bagi Rendra. Dengan caranya ia menunjukkan rasa cintanya terjadap tanah air, yakni melalui permainan kata dengan goresan tangannya.
Salah satu sajak Rendra yang menyiratkan kritik pedas terhadap para politisi yang menghina adanya lonthe adalah “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta.”

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sebagai sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah
Bahkan sex mereka perpolitikkan

Dari kutipan sajak Rendra tersebut menyiratkan adanya ketidakadilan perlakuan terhadap mereka para pekerja seks komersial. Pada baris Kalian adalah temanku mengindikasikan bahwa rendra berada di pihak mereka/ “para pekerja seks komersial.” Dan penyair tidak suka jika mulut dan tingkah para badut yang tertuang dalam media masa mengusik keberadaan para pekerja seks dan menganggap mereka sebagai sumber bencana negara. Para badut dalam sajak ini tentu mengacu pada para petinggi negara. Jelas dalam hal ini Rendra sangat memberontak tindakan para badut yang tega memolitikkan seks.
Bukan hanya itu, Rendra berusaha memberikan semangat kepada mereka/pekerja seks komersial untuk bersatu dan berani mengungkap renik ketidaknyamanan dan ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan. Berikut adalah nukilan dari sajak Rendra tentang ketidakberdayaan para lonthe dan oleh Rendra dimunculkan sesuatu yang lain, yakni sebuah perubahan dari mereka yang harus berani menyuarakan keluh hati mereka tanpa takut terhadap para petinggi negara.

Saudari-sadariku. Bersatulah.
Ambillah galah.
Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji-panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka:
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengawini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Masih berbicara masalah sajak yang dituli Rendra yang gemar menyuarakan isi hati kaum lemah, maka dalam sajak “ Orang-Orang Miskin” Rendra berusaha mengungkapkan yang tak mampu diungkapkan oleh suara-suara tak bernada nan jauh di ujung pelosok kekumuhan dan keterasingan peradaban. Berikut adalah nukilan yang menunjukkan bagaimana sosok-sosok manusia miskin di negeri ini yang selalu luput dari penglihatan para penguasa. Seolah kehadiran mereka abstrak dan teraling-alingi oleh sesuatu yang lain.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan

Rendra bersuara lantang untuk mengungkapkan fakta yang terlihat, namun berusaha ditutupi oleh yang berkuasa. Dan para penguasa itu hanyalah manusia tak berdaya karena mereka tak bisa bangun dari kursi empuk yang memanjakannya dan kaki-kakinya yang tak terbiasa menginjak becek di jalan yang biasa dilalui rakyat. Lalu apakah hal seperti itu yang diharapakan masyarakat untuk memajukan kesejahteraan mereka?

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Dari kutipan sajak tersebbut Rendra menampakkan bukti kecintaannya pada negeri ini. Bukti tersebut berupa gugatan-gugatan terhadap ketidakadilan yang terjadi dan melantunkan kobaran api semangat untuk melawan penindasan oleh penguasa yang korup dan sewenang-wenang kepada rakyat.
Secara tersurat jelas Rendra menyindir mereka para kaum kaya, jika hanya bisa bermewah-mewah dan tak peduli dengan tetangga mereka yang keadaan ekonominya jauh di bawah rata-rata maka jangan menyebut diri sebagai orang kaya. Mengapa mereka hanya berpikir tentang diri mereka sendiri? Mengapa tak ada sentuhan kecil dan lembut yang bercokol di hati mereka hanya untuk sekedar menganggap adanya mereka/para kaum tersisih.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Ketimpangan sosial yang terjadi dalam negeri ini tentu jelas terlihat dari nukilan sajak tersebut. Di mana kaum jelata harus hidup dalam keterpurukan, kemelaratan, sedangkan sang penguasa bercermin paradoks, dengan kesibukannya bermewah-mewah. Kemelaratan yang ada tidak dianggap sebagai kenyataan dengan cara memanipulasi kemiskinan. Dan mereka tidak mendapatkan hak untuk mendapatkan kemapanan, karena kemapanan hanyalah milik segelintir orang.
Orang miskin seakan tetap dijadikan miskin agar suatu saat kemiskinan ini bisa dijadikan senjata dalam kampanye. Para penguasa hanya mengobral janji-janji palsu yang bullshit/omong kosong untuk dipenuhi. Mereka lupa bahwa para kaum bawah juga merupakan anak cucu adam sama seperti mereka. Seharusnya mereka juga memikirkan nasib kaum orang-orang miskin.
Kenyataan yang didapat sekarang adalah orang-orang miskin seperti mereka hanya dimanfaatkan keberadaannya. Fungsi mereka bukan dijadikan sebagai “perisai” untuk kenakalan para pejabat yang hanya ingin mengeruk keuntungan tanpa memikirkan bagaimana nasib para manusia tersisih itu.
Dalam sajaknya Rendra menyiratkan suatu perubahan dan bukan suatu perdebatan. Perdebatan tak membuahkan bukti yang bisa dimakan oleh rakyat. Rakyat butuh pemimpin yang bertanggung jawab kepada warganya, bekerja siang malam. Mereka butuh pemimpin yang memikirkan nasib mereka bukan pemimpin yang sukanya plesir ke luar negeri dengan uang rakyat dengan aling-aling memperbaiki sistem birokrasi ataupun perekonian yang tengah melanda negeri ini. Sungguh memuakkan.
Sajak lain yang cukup keras oleh Rendra adalah sajak “Aku Tulis Pamplet Ini”. Sajak ini bercerita tentang sistem birokrasi negara yang tersumbat. Pada era itu di mana orde baru demikian dominan tak ada satu pun yang berhak menentang keinginan penguasa.

Apa kata penguasa seolah telah menjadi hukum. Yang berkuasa seakan menjadi tak bisa ditembus oleh hukum. Sedangkan rakyat yang tak berdaya, merekalah yang menjadi bagian yang harus taat hukum karena hukum itu seolah dibuat hanya untuk rakyat dan bukan penguasa.

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Akibatnya, demokrasi Indonesia berjalan hanya sebagai kiasan. Karena semua orang memiliki perbedan prinsip dengan penguasa, akan berhadapan dengan kekuatan militer. Inilah yang diprotes keras oleh Rendra saat itu. Banyak orang yang lurus hatinya terpaksa masuk penjara.


Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai  sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Jelas dalam nukilan sajak “Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju”
Rendra berusaha secara blak-blakan untuk menyuarakan pikiran para individu dan menyejajarkan kedudukan baik kaya, miskin, tua, muda, beradab, tak beradab. Tanpa harus diam, tertekan dan termangu, mereka bisa menyuarakan gagasannya setuju ataupun tidak. Bukan ketegangan yang harus tercermin, namun harus ada sesuatu untuk membuka keluh kesah di antara mereka.
Bukan hanya menelantarkan orang-orang tersisih itu sebagai onggokan sampah. Mereka juga punya hak untuk menyuarakan aspirasinya. Mereka juga berhak berekspresi, tanpa adanya kegamangan, ketakutan yang selalu menghantui pada tiap kedip mata mereka.
Rendra menulis “Aku tulis Pamplet ini” dia sadar bahwa kita toh hanya manusia biasa. Kawan dan lawan adalah saudara, jadi bagaimanapun keadaannya jika penguasa dapat memberikan kesejahteraan untuk rakyatnya maka sejatinya ia adalah penguasa yang ideal yang selama ini diinginkan oleh masyarakat.
 “Sajak Burung-Burung Kondor” karya Rendra adalah salah satu replika dari ketidakadilan di negeri ini. Para kaum kecil harus banting tulang di tanah yang subur ini dengan hasil yang cumpon, dan hanya bisa digunakan untuk makan pun sudah hasil yang sangat baik. Dengan bermandikan peluh, tak peduli dengan sengat matahari dan kerasnya hantaman titik-titik hujan mereka tetap memiliki satu pandangan. Menakjubkan.

Para tani - buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara
 Bahkan pengabdian mereka justru tertuju pada 

Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Sayangnya, satu yang menjadi ketidakadilan di sini adalah keringat mereka disulap menjadi emas untuk menguntungkan tuan tanah, para cukong pabrik cerutu di Eropa. Lalu jika demikian bagaimana keadilan di negeri ini akan terbentuk, jika secara terus menerus para kaum tersisih itu hanya menjadi bulan-bulanan untuk menguntungkan pihak tertentu?
Rendra melukiskan keadaan seperti itu dengan simbol burung kondor. Kondor merupakan burung buas besar di pegunungan Andes dengan leher dan kepala tidak berbulu. Dalam pelukisan masyarakat yang mewujud simbol burung-burung kondor, Rendra mengungkap kebengisan para penguasa yang hanya memanfaatkan kaum bawah. Mereka para kaum bawah tak mampu bersuara untuk menyampaikan bagaimana keadaan hatinya yang carut marut. Mereka hanya bisa menjerit dalam sepi, yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
 
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang  bersiap menembaknya.
 
Berjuta orang yang tak mampu hanya mampu membius dirinya dengan segelintir upah yang bahkan tak cukup untuk makan tiga kali sehari. Sungguh pemandangan yang memilukan tentunya. Mereka berkerja siang malam, sekuat tenaga mereka kerahkan, namun mereka tidak sadar bahwa ada pihak-pihak tertentu yang bersiap membidik mereka. Penyuaraan ketidakadilan dalam sajak ini sangat kental, sehingga bagaimanapun juga Rendra berusaha untuk menyuarakannya, ia mewakili mereka, para burng kondor yang tak berdaya.
Dari sajak-sajak semacam inilah yang menjadi warna “kenakalan” Rendra dalam bermain kata. Keberaniannya dalam menegakkan keadilan, dilakukan melalui coretan pena. Bukan dengan turun ke jalan atau adu fisik, namun melalui gubahan sajak dan syair untuk menyuarakan kebenaran. 


***

No comments:

Post a Comment