Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Ranggi Ramadhani Ilminisa

Seno Gumira Ajidarma: Absurditas Isi “Saksi Mata” Tumbuh Kembangkan Dampak pada Imaji
Oleh
Ranggi Ramadhani Ilminisa

Absurd. Itulah kesan pertama ketika membaca cerita pendek yang berjudul “Saksi Mata.” Keabsurdan cerita inilah yang membuatnya menarik. Mengapa absurd? Seno membuat cerita yang di luar akal manusia walaupun dalam kenyataannya berisi sindiran. Jalan cerita yang disusun dengan sederahana tapi memenuhi kriterian yang mengagumkan. Bercerita mengenai seorang saksi mata yang tidak lagi mempunyai mata karena kriminalitas yang terjadi dalam mimpi. Kriminalitas dalam mimpi yang menggambarkan dia tak lagi mempunyai mata, karena matanya telah dicongkel dengan menggunakan sendok oleh ninja. Menarik bukan?



Perhatikan nukilan ceita pendek “Saksi Mata” berikut.

“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Di manakah mata saudara?”
“Diambil orang Pak.”
“Diambil?”
“Saya Pak.”
“Maksudnya dioperasi?”
“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”
“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”
“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.” (masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)
...
Dari nukilan tersebut, tentu pembaca mana yang tidak bisa membayangkan bagaimana situasi dan kondisi ketika membaca nukilan kalimat cerita tersebut, pastinya imajinasi kita “meliar” ketika membacanya bukan?
Gaya penceritaan yang mengedepankan imaji inilah menjadikan cerita ini berbeda dengan cerita yang lain dan menimbulkan sebuah daya tarik tersendiri. Seno lihai mempermainkan kata dalam cerita yang dibuatnya. Hingga melalui permainan kata-kata dalam ceritanya mampu menarik daya khayal pembaca untuk ikut merasakan apa yang sebenarnya terjadi dalam cerita.
Bagaimana mungkin dua buah bola mata dapat diambil dengan menggunakan sendok? Tentu pertanyaan semacam ini mencuat dalam benak pembaca. Mengapa tidak menggunakan pisau,cutter, silet dan sebagainya? Tentu Seno sudah mempertimbangkan sebelum ia menuliskan kata “sendok” untuk mencongkel tokoh saksi mata tersebut.
Alasan pertama mengapa Seno menggambarkan sendok sebagai alat pencongkel mata yaitu adanya kritik terhadap pemerintahan orde baru. Pada saat itu tentu terdapat insiden/kejadian-kejadian penculikan dengan pencongkelan mata yang dilakukan oleh sebuah rezim karena tidak adanya pematuhan terhadap pemerintahan orde baru.
Alasan berikutnya yakni dengan menggunakan “sendok” maka rasa sakit yang ditimbulkan akan semakin terasa daripada menggunakan pisau, silet dan sebagainya. Mengapa demikian? Sebab jika menggunakan pisau atau cutter maka rasa sakit yang diderita korban akan sekilas pintas, dan bandingkan jika menggunakan sendok untuk mencongkel matanya, bagaimana perjuangan sebuah sendok untuk dapat mencongkel mata yang jelas-jelas sendok adalah alat untuk makan dan benda yang tumpul. Tentu hal tersebut semakin menyiksa korban “saksi mata”, karena lebih membutuhkan proses yang lama untuk dapat mencongkel mata.  
Kemungkinan alasan selanjutnya yaitu “kata para ninja yang mengambil mata saudara ‘saksi mata’ untuk dibuat tengkleng, sedangkan tengkleng adalah nama masakan dari daerah Surakarta”, dan tentu pemakaian kata “sendok” berhubungan dengan makanan yang tersaji dalam cerita.
Sisi keabsurdan yang lain dari cerita “Saksi Mata” sebagai berikut.
            Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus menerus sepanjang jalan raya samapi kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada seorang pun melihatnya.

Pertanyaan yang segera muncul dari nukilan tersebut adalah “ Bagaimana bisa darah yang mengalir dan terus-menerus memenuhi jalan hingga banjir darah memenuhi segenap pelosok kota dan bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat, tidak seorang pun yang melihatnya. Tentu hal tersebut mustahil bukan? Tapi jawaban dari semua itu adalah “mimpi.”
Selain nukilan tersebut yang menyatakan adanya keabsurdan dalam cerita, maka berikut adalah potongan dialog lain yang menyiratkan unsur ketidakwajaran ide/gagasan Seno dalam bercerita.

“Jadi terjadinya pasti di dalam mimpi ya?”
“Saya Pak.”
“Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?”
“Betul Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu bangun kok ternyata betul-betul ya?”
Hakim menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa mengerti.
“Absurd,” gumamnya.
Darah yang mengalir telah sampai ke jalan raya.

            Dari nukilan tersebut menunjukkan bahwa kejadian pencongkelan mata terjadi di alam mimpi tapi mengapa kejadian di alam mimpi itu bisa terjadi dalam kenyataannya? Tentu hal tersebut menjadi sebuah permasalahan yang sulit ketika dihadapkan terhadap sebuah pengadilan dan hakim. Jelas hal ini sangat absurd dan tentu menimbulkan imaji yang kokoh dalam membentuk bagaimana nuansa dalam cerita “saksi mata”.
            Berbicara mengenai absurditas isi cerita, maka salah satu penandanya adalah adanya ketidaksinambungan dialog antar tokoh, misalnya dalam nukilan berikut.
 “Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Apakah saudara masih bisa bersaksi?”
“Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.”
“Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah tidak bermata lagi?”
“Saya Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?”
“Saya Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?”
“Saya Pak.”
“Ingatlah semua itu baik-baik, karena meskipun banyak saksi mata, tidak ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali saudara.”
“Saya Pak.”
“Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?”
“Saya Pak.”
“Kenapa?”
“Demi keadilan dan kebenaran Pak.”

            Dari nukilan tersebut tampak bahwa antara pertanyaan sang hakim dengan jawaban seorang saksi mata tidaka ada unsur kesinambungan. ““Apakah saudara masih bisa bersaksi?” “Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.” Percakapan tersebut tentu merupakan hal yang ganjil, apa hubungan antara siap bersaksi dengan sebelumnya datang ke dokter mata. Sungguh hal ini adalah penggambaran dialog yang sangat apik.
            Nukilan lain yang lebih mencengangkan adalah sebagai berikut.
Ketika hari sudah menjadi malam, saksi mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.
Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam Ninja mencabut lidahnya–kali ini menggunakan catut.
Tentu nukilan tersebut semakin membuat otak kita sebagai pembaca berpikir dan dapat mengandaikan jika hal yang hanya terjadi di alam mimpi berbuah menjadi kenyataan dalam dunia nyata. Hal tersebut benar-benar pemikiran yang “meliar.” Dan Seno mengakhiri ceritanya lagi-lagi dengan keabsurdan yang tentunya sangat dahsyat “Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam Ninja mencabut lidahnya–kali ini menggunakan catut.”
            Pada dasarnya keabsurdan isi cerita yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma ini adalah salah tindakan untuk mengkritik pemerintahan orde baru. Seno mengemasnya menjadi cerita yang benar-benar berdampak pada imaji pembaca. Berikut adalah nukilan yang menunjukkan bahwa sebenarnya “keadilan itu tidak buta.”
Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakin Yang Mulia berkata pada sopirnya,“Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?”
Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat, “Keadilan tidak buta.”* Namun Bapak Hakim Yang Mulia telah tertidur dalam kemacetan jalan yang menjengkelkan.

            Sebagai seorang hakim yang mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam memutuskan perkara seadil-adilnya, maka ia tak pernah membayangkan bagaimana seorang harus rela kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran.

Keadilan tidak buta.





No comments:

Post a Comment