Seno
Gumira Ajidarma: Absurditas Isi “Saksi Mata” Tumbuh Kembangkan Dampak pada
Imaji
Oleh
Ranggi
Ramadhani Ilminisa
Absurd.
Itulah kesan pertama ketika membaca cerita pendek yang berjudul “Saksi Mata.”
Keabsurdan cerita inilah yang membuatnya menarik. Mengapa absurd? Seno membuat
cerita yang di luar akal manusia walaupun dalam kenyataannya berisi sindiran.
Jalan cerita yang disusun dengan sederahana tapi memenuhi kriterian yang
mengagumkan. Bercerita mengenai seorang saksi mata yang tidak lagi mempunyai
mata karena kriminalitas yang terjadi dalam mimpi. Kriminalitas dalam mimpi
yang menggambarkan dia tak lagi mempunyai mata, karena matanya telah dicongkel
dengan menggunakan sendok oleh ninja. Menarik bukan?
Perhatikan
nukilan ceita pendek “Saksi Mata” berikut.
“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Di manakah mata saudara?”
“Diambil orang Pak.”
“Diambil?”
“Saya Pak.”
“Maksudnya dioperasi?”
“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”
“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”
“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.” (masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)
“Saya Pak.”
“Di manakah mata saudara?”
“Diambil orang Pak.”
“Diambil?”
“Saya Pak.”
“Maksudnya dioperasi?”
“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”
“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”
“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.” (masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)
...
Dari nukilan tersebut, tentu pembaca mana yang tidak bisa membayangkan bagaimana situasi dan kondisi ketika membaca nukilan kalimat cerita tersebut, pastinya imajinasi kita “meliar” ketika membacanya bukan?
Dari nukilan tersebut, tentu pembaca mana yang tidak bisa membayangkan bagaimana situasi dan kondisi ketika membaca nukilan kalimat cerita tersebut, pastinya imajinasi kita “meliar” ketika membacanya bukan?
Gaya
penceritaan yang mengedepankan imaji inilah menjadikan cerita ini berbeda
dengan cerita yang lain dan menimbulkan sebuah daya tarik tersendiri. Seno
lihai mempermainkan kata dalam cerita yang dibuatnya. Hingga melalui permainan
kata-kata dalam ceritanya mampu menarik daya khayal pembaca untuk ikut
merasakan apa yang sebenarnya terjadi dalam cerita.
Bagaimana
mungkin dua buah bola mata dapat diambil dengan menggunakan sendok? Tentu
pertanyaan semacam ini mencuat dalam benak pembaca. Mengapa tidak menggunakan
pisau,cutter, silet dan sebagainya? Tentu Seno sudah mempertimbangkan sebelum
ia menuliskan kata “sendok” untuk mencongkel tokoh saksi mata tersebut.
Alasan
pertama mengapa Seno menggambarkan sendok sebagai alat pencongkel mata yaitu
adanya kritik terhadap pemerintahan orde baru. Pada saat itu tentu terdapat
insiden/kejadian-kejadian penculikan dengan pencongkelan mata yang dilakukan
oleh sebuah rezim karena tidak adanya pematuhan terhadap pemerintahan orde
baru.
Alasan
berikutnya yakni dengan menggunakan “sendok” maka rasa sakit yang ditimbulkan
akan semakin terasa daripada menggunakan pisau, silet dan sebagainya. Mengapa
demikian? Sebab jika menggunakan pisau atau cutter maka rasa sakit yang
diderita korban akan sekilas pintas, dan bandingkan jika menggunakan sendok
untuk mencongkel matanya, bagaimana perjuangan sebuah sendok untuk dapat
mencongkel mata yang jelas-jelas sendok adalah alat untuk makan dan benda yang
tumpul. Tentu hal tersebut semakin menyiksa korban “saksi mata”, karena lebih
membutuhkan proses yang lama untuk dapat mencongkel mata.
Kemungkinan
alasan selanjutnya yaitu “kata para ninja yang mengambil mata saudara ‘saksi
mata’ untuk dibuat tengkleng, sedangkan tengkleng adalah nama masakan dari
daerah Surakarta”, dan tentu pemakaian kata “sendok” berhubungan dengan makanan
yang tersaji dalam cerita.
Sisi keabsurdan yang lain dari
cerita “Saksi Mata” sebagai berikut.
Darah masih mengalir perlahan-lahan
tapi terus menerus sepanjang jalan raya samapi kota itu banjir darah. Darah
membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai
tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada
seorang pun melihatnya.
Pertanyaan
yang segera muncul dari nukilan tersebut adalah “ Bagaimana bisa darah yang
mengalir dan terus-menerus memenuhi jalan hingga banjir darah memenuhi segenap
pelosok kota dan bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat, tidak seorang pun
yang melihatnya. Tentu hal tersebut mustahil bukan? Tapi jawaban dari semua itu
adalah “mimpi.”
Selain
nukilan tersebut yang menyatakan adanya keabsurdan dalam cerita, maka berikut
adalah potongan dialog lain yang menyiratkan unsur ketidakwajaran ide/gagasan
Seno dalam bercerita.
“Jadi terjadinya pasti di dalam
mimpi ya?”
“Saya Pak.”
“Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?”
“Betul Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu bangun kok ternyata betul-betul ya?”
“Saya Pak.”
“Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?”
“Betul Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu bangun kok ternyata betul-betul ya?”
Hakim
menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa mengerti.
“Absurd,”
gumamnya.
Darah
yang mengalir telah sampai ke jalan raya.
Dari
nukilan tersebut menunjukkan bahwa kejadian pencongkelan mata terjadi di alam
mimpi tapi mengapa kejadian di alam mimpi itu bisa terjadi dalam kenyataannya?
Tentu hal tersebut menjadi sebuah permasalahan yang sulit ketika dihadapkan
terhadap sebuah pengadilan dan hakim. Jelas hal ini sangat absurd dan tentu
menimbulkan imaji yang kokoh dalam membentuk bagaimana nuansa dalam cerita
“saksi mata”.
Berbicara
mengenai absurditas isi cerita, maka salah satu penandanya adalah adanya
ketidaksinambungan dialog antar tokoh, misalnya dalam nukilan berikut.
“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Apakah saudara masih bisa bersaksi?”
“Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.”
“Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah tidak bermata lagi?”
“Saya Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?”
“Saya Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?”
“Saya Pak.”
“Ingatlah semua itu baik-baik, karena meskipun banyak saksi mata, tidak ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali saudara.”
“Saya Pak.”
“Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?”
“Saya Pak.”
“Kenapa?”
“Demi keadilan dan kebenaran Pak.”
“Saya Pak.”
“Apakah saudara masih bisa bersaksi?”
“Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.”
“Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah tidak bermata lagi?”
“Saya Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?”
“Saya Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?”
“Saya Pak.”
“Ingatlah semua itu baik-baik, karena meskipun banyak saksi mata, tidak ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali saudara.”
“Saya Pak.”
“Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?”
“Saya Pak.”
“Kenapa?”
“Demi keadilan dan kebenaran Pak.”
Dari
nukilan tersebut tampak bahwa antara pertanyaan sang hakim dengan jawaban
seorang saksi mata tidaka ada unsur kesinambungan. ““Apakah saudara
masih bisa bersaksi?” “Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan
ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.” Percakapan tersebut tentu merupakan
hal yang ganjil, apa hubungan antara siap bersaksi dengan sebelumnya datang ke
dokter mata. Sungguh hal ini adalah penggambaran dialog yang sangat apik.
Nukilan lain yang lebih
mencengangkan adalah sebagai berikut.
Ketika
hari sudah menjadi malam, saksi mata yang sudah tidak bermata itu berdoa
sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan yang fana ini baik-baik saja adanya,
agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.
Pada
waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam Ninja mencabut
lidahnya–kali ini menggunakan catut.
Tentu
nukilan tersebut semakin membuat otak kita sebagai pembaca berpikir dan dapat
mengandaikan jika hal yang hanya terjadi di alam mimpi berbuah menjadi
kenyataan dalam dunia nyata. Hal tersebut benar-benar pemikiran yang “meliar.”
Dan Seno mengakhiri ceritanya lagi-lagi dengan keabsurdan yang tentunya sangat
dahsyat “Pada waktu tidur lagi-lagi ia
bermimpi, lima orang berseragam Ninja mencabut lidahnya–kali ini menggunakan
catut.”
Pada
dasarnya keabsurdan isi cerita yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma ini
adalah salah tindakan untuk mengkritik pemerintahan orde baru. Seno mengemasnya
menjadi cerita yang benar-benar berdampak pada imaji pembaca. Berikut adalah
nukilan yang menunjukkan bahwa sebenarnya “keadilan
itu tidak buta.”
Dalam
perjalanan pulang, Bapak Hakin Yang Mulia berkata pada sopirnya,“Bayangkanlah
betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran.
Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?”
Sopir
itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam
kalimat, “Keadilan tidak buta.”* Namun Bapak Hakim Yang Mulia telah tertidur
dalam kemacetan jalan yang menjengkelkan.
Sebagai
seorang hakim yang mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam memutuskan
perkara seadil-adilnya, maka ia tak pernah membayangkan bagaimana seorang harus
rela kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran.
Keadilan tidak buta.
No comments:
Post a Comment