Translate

Saturday, May 11, 2013

KRITIK ESAI PUISI Ricky Setya Prayoga

HATIKU SELEMBAR DAUN (Sapardi Djoko Damono)

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

            Puisi ini tersusun dalam bangunan diksi-diksi yang cukup sederhana dan cukup mudah pula untuk dipahami orang awam sekalipun. Namun diksi-diksi sederhana tersebut justru memiliki kelebihan dan segi makna. Dalamnya makna yang ingin disampaikan penulis lewat diksi sederhana menunjukkan kepiawaiannya dalam berpuisi.

            Bait pertama, penyair menganalogikan dirinya (hati) seperti selembar daun. Daun merupakan bagian terbanyak yang mengisi sebuah pohon, dalam konteks ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pohon tersebut adalah dunia tempat ia hidup. Sebanyak apapun manusia yang hidup di dunia, saat ia terjatuh pasti merasakan kesendirian seperti yang diutarakan penyair lewat diksinya. “melayang jatuh di rumput” merupakan simbol bahwa dirinya telah terbaring pada tempatnya berakhir (akan berakhir). Sebuah daun suatu saat pasti jatuh ke tanah, tanah tersebut merupakan tempat berakhirnya kehidupan si daun tersebut.
            Pada bait ke dua, seolah ada sebuah permintaan kepada orang lain agar dirinya diberikan sejenak waktu untuk berdiam, merasakan akhir dari jatuhnya daun tersebut. Jika di gabungkan dengan bait pertama, kedua bait tersebut seperti seseorang yang bertemu akhir hidupnya dan meminta sedikit waktu untuk terbaring mengingat semua yang pernah di alaminya. Dan benar, pada bait ke tiga, lewat diksi “ada yang masih ingin ku padang, yang selama ini senantiasa luput” seolah daun itu ingin merasakan sesuatu yang selama ia berada pada pohon selalu ia lupakan. Manusia tidak akan pernah merasakan udara, tapi ia baru tahu pentingnya udara saat udara itu tidak ada.
            Dalam bait ketiga menggambarkan sebuah perasaan penyesalan terhadap hal yang selama ini ia lupakan di dalam pohon kehidupan. Pada bait terakhir “sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi” tersirat perasaan menyesal pada diksi “sesaat adalah abadi”.

            Secara umum, makna dari puisi ini adalah seorang yang bertemu dengan akhir hidupnya. Ia terbaring menikmati akhir dari segalanya dengan segala sesal yang ia dapat. Kehidupan telah bergerak mengeliminasinya. Daun telah meninggalkan pohonnya, seperti nyawa yang telah meninggalkan raganya. Saat tersebut merupakan saat penuh arti, sesaat adalah keabadian, namun keabadian sesaat hanya terindra pilihan sudah habis tertelan waktu. Semua yang terluput hanya teringat saat akhir datang, sebelum Tuhan menyapu nyawa kita menuju pembuangan akhir (akhirat) ia mohon sejenak waktu untuk mengingat semua yang terluput. Namun, ingin hanya ingin semata. Takdir kan terus bergulir meninggalkan permulaan menuju ending.

No comments:

Post a Comment