HATIKU SELEMBAR DAUN (Sapardi Djoko
Damono)
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Puisi ini tersusun
dalam bangunan diksi-diksi yang cukup sederhana dan cukup mudah pula untuk
dipahami orang awam sekalipun. Namun diksi-diksi sederhana tersebut justru
memiliki kelebihan dan segi makna. Dalamnya makna yang ingin disampaikan
penulis lewat diksi sederhana menunjukkan kepiawaiannya dalam berpuisi.
Bait
pertama, penyair menganalogikan dirinya (hati) seperti selembar daun. Daun
merupakan bagian terbanyak yang mengisi sebuah pohon, dalam konteks ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa pohon tersebut adalah dunia tempat ia hidup. Sebanyak
apapun manusia yang hidup di dunia, saat ia terjatuh pasti merasakan
kesendirian seperti yang diutarakan penyair lewat diksinya. “melayang jatuh di
rumput” merupakan simbol bahwa dirinya telah terbaring pada tempatnya berakhir
(akan berakhir). Sebuah daun suatu saat pasti jatuh ke tanah, tanah tersebut
merupakan tempat berakhirnya kehidupan si daun tersebut.
Pada bait
ke dua, seolah ada sebuah permintaan kepada orang lain agar dirinya diberikan
sejenak waktu untuk berdiam, merasakan akhir dari jatuhnya daun tersebut. Jika
di gabungkan dengan bait pertama, kedua bait tersebut seperti seseorang yang
bertemu akhir hidupnya dan meminta sedikit waktu untuk terbaring mengingat
semua yang pernah di alaminya. Dan benar, pada bait ke tiga, lewat diksi “ada
yang masih ingin ku padang, yang selama ini senantiasa luput” seolah daun itu
ingin merasakan sesuatu yang selama ia berada pada pohon selalu ia lupakan.
Manusia tidak akan pernah merasakan udara, tapi ia baru tahu pentingnya udara
saat udara itu tidak ada.
Dalam bait
ketiga menggambarkan sebuah perasaan penyesalan terhadap hal yang selama ini ia
lupakan di dalam pohon kehidupan. Pada bait terakhir “sesaat adalah abadi
sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi” tersirat perasaan menyesal pada diksi
“sesaat adalah abadi”.
Secara
umum, makna dari puisi ini adalah seorang yang bertemu dengan akhir hidupnya.
Ia terbaring menikmati akhir dari segalanya dengan segala sesal yang ia dapat.
Kehidupan telah bergerak mengeliminasinya. Daun telah meninggalkan pohonnya,
seperti nyawa yang telah meninggalkan raganya. Saat tersebut merupakan saat
penuh arti, sesaat adalah keabadian, namun keabadian sesaat hanya terindra
pilihan sudah habis tertelan waktu. Semua yang terluput hanya teringat saat
akhir datang, sebelum Tuhan menyapu nyawa kita menuju pembuangan akhir
(akhirat) ia mohon sejenak waktu untuk mengingat semua yang terluput. Namun,
ingin hanya ingin semata. Takdir kan terus bergulir meninggalkan permulaan
menuju ending.
No comments:
Post a Comment