Strategi Keabnormalan Pada
Cerpen “Malaikat Juga Tahu”
Karya Dewi Lestari
Oleh
Ricky
Setya Prayoga - 100211406112
Abnormal.
Sesuatu yang dihindari dari hidup. Tiap orang ingin memiliki hidup yang normal.
Tapi yang harus mereka tahu bahwa tidak semua kehidupan bisa berjalan normal.
Terkadang untuk hidup normal kita harus
menjadi abnormal terlebih dahulu.
Di
atas adalah sebagian pesan yang ingin disampaikan dalam cerpen “Malaikat Juga Tahu” karya Dewi
Lestari. Cerpen tersebut memang memiliki keabnormalan cerita yang benar-benar
membedakan dengan karya-karya yang lain. Bagi saya pribadi, cerpen ini seolah
menjadi image atau wajah dari Dewi
Lestari. Layaknya orang yang membicarakan puisi “Aku” milik Chairil Anwar.
Saat
kita membicarakan tentang malaikat, secara tidak langsung di otak kita terpatri
pada hal-hal yang serba baik. Seperti tidak mempunyai salah, memiliki ketaqwaan
yang tinggi, dll. Tapi gambaran tersebut rasanya harus kita ubah saat membaca
cerpen ini. Cerita yang dihadirkan hanya berupa keegoisan dalam masalah
percintaan, serta tokoh yang jauh dari figur “Malaikat”.
Kisah
dimulai dari Bunda yang memiliki rumah besar, dan rumah tersebut adalah rumah
indekos paling legedaris.
“Sudah
jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda,
sangat pandai memasak. Rumah bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah
rumah indekos paling legendaris. Bahkan, ada ikatan alumni tak resmi dengan
anggota ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda.”
Kutipan
di atas menggambarkan suasana rumah indekos milik Bunda yang legendaris.
Artinya rumah indekos tersebut sangat terkenal di daerahnya. Terkenalnya rumah
indekos tersebut tidak lain karena penghuni menyukai masakan dari Bunda. Hal
tersebut diketahui bahwa ada ikatan alumni tak resmi yang beranggota ratusan,
ikatan tersebut berakar pada kegilaan mereka pada masakan Bunda.
Namun,
selain rumah indekos paling legenda yang terkenal karena masakan Bunda, rumah
tersebut juga memiliki sisi yang paling dihindari oleh para penghuni kos.
Adalah Abang, orang yang paling dihindari oleh seisi penghuni kos.
“Laki-laki
itu, yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah
Bunda, nomor dua sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal, tapi
untungnya sekarang sudah ompong dan buta.”
Abang
adalah tokoh yang sedikit berbed. Tokoh inilah yang sepertinya membangun cerita
lebih mempunyai rasa yang berbeda. Tokoh bernama Abang berkarakter abnormal,
lebih tepatnya autis. Abang adalah anak ke-dua dari tokoh yang biasa dipanggil
Bunda. Ia dikisahkan mengindap autis saat dunia kedoteran masih awam soal
autisme, sehingga membuatnya tak pernah tertangani dengan baik.
Banyak dikisahkan kelakuan-kelakuan aneh Abang
yang sering dilakukan seperti; mencuci baju berwarna tertentu pada hari yang
tertentu pula, serta mengkoleksi seratus sabun bermerek sama yang berjumlah 100
buah. Ketidak normalan tersebut adalah syarat untuk mejalani hidup normal.
Konflik
bermula saat Bunda mendapati surat-surat yang ditulis Abang. Surat yang isinya
tidak karuan, bercampur dengan menu makanan Dobi. Tetapi Bunda sadar bahwa yang
ia temukan adalah surat cinta Abang untuk seorang penghuni kos. Dan menjadi
semakin rumit saat adiknya pulang dan memacari perempuan satu-satunya yang
dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda yang mengerti bahwa keadaan akan
menjadi kacau, langsung mengambil langkah tegas untuk berbicara empat mata
dengan gadis itu. Karakter Bunda yang tegas dan penuh kasih sayang begitu
menonjol pada bagian ini. Bunda menginginkan gadis itu untuk mengambil satu
keputusan di antara dua pilihan, memilih Abang untuk di cintai, atau memilih
untuk tetap datang setiap malam minggu melanjutkan kegiatan yang sudah menjadi
ritual Abang dengan gadi itu.
Sayangnya
gadis itu tidak menjatuhkan keputusan satupun. Ia lebih memilih pergi dengan
adik Abang, menikah dengannya. Gadis itu dan adik Abang sudah muak dengan
rutinitas yang menjadi kebiasaan aneh bagi mereka. Hidup dengan terbelenggu
keibaan dengan seseorang hanya menjadikan ketidaknormalan dalam kehidupan
mereka. Bagi mereka, untuk menjalani hidup normal adalah dengan meninggalkan
ketidaknormalan itu. Meskipun mereka sadar bahwa ketidaknormalan itu merupakan
syarat bagi seseorang (Abang) untuk menjalani kehidupan yang normal.
Cerpen
ini memang begitu kental dengan kesan yang abnormal. Bukan hal mudah untuk
menjadikan kisah yang sudah umum menjadi berbeda. Tema yang diangkat merupakan
tema yang sudah biasa, umum, dan banyak sekali di tulis, dan kebanyakan cerita
tersebut mudah untuk ditebak bagaimana alurnya. Namun, cerita ini memiliki ciri
khas menonjol. Dengan memvariasikan tokoh, sudah membuat cerpen ini memiliki
nilai tersendiri. Bagaimana tidak? Orang yang scara umum kurang diperhatikan,
malah menajdi tokoh utama dalam sebuah cerita.
Namun,
ada sedikit kejanggalan dalam cerita.
“Dia
(Abang) menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas piano, bahkan lebih
sempurna.”
Hal
tersebut sepertinya sangat sulit dilakukan bagi penderita autisme. Orang yang
memiliki kelainan autisme sangat sulit dalam merespon pesan berupa suara. Ia
lebih merepon sebuah bentuk nyata/visual.
Ending
cerita begitu terasa suasana menyedihkan. Bunda seorang diri setia menemani
Abang. Tidak perlu ia mengeluh. Karena tidak ada yang patut disalahkan. Setiap malam
minggu tiba merupakan pekerjaan yang melelahkan. Abang selalu menggila. Ia
hanya ucapkan satu nama yang terus diulang-ulangnya. Seluruh penghuni kos pergi
saat malam minggu tiba karena tidak tahan dengan ceracauan Abang. Hanya Bunda
yang selalu menemaninya, berusaha menenangkan anaknya yang telah kehilangan
sebagian kenormalannya.
Demikianlah
sedikit ulasan tentang cerpen “Malaikat Juga Tahu” karya Dewi Lestari. Sedikit pesan
yang dapat diambil. Kita biasa terlalu sibuk mencari seorang yang sempurna. Tanpa
kita sadari bahwa di dekat kita ada orang yang benar-benar tulus menyayangi
kita. Meski terkadang bentuk fisik kurang sempurna. Namun, tidak perlu di adu
soal kesetiaanya. Malaikatpun tahu siapa pemenangnya.
No comments:
Post a Comment