ESAI KRITIK PUISI
KARYA CHAIRIL ANWAR
Oleh:
Mira Diah Fajarwati – 100211404895
Tentunya kini kita sudah tidak asing lagi dengan seorang
penyair fenomenal seperti Chairil Anwar. Chairil Anwar yang umum dijuluki
sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku),
adalah seorang penyair terkemuka di Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96
karya, termasuk diantaranya berupa 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin,
ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi
modern Indonesia.
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum ia pindah
ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti
dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil
terus menulis. Puisinya berisi dengan berbagai tema, mulai dari pemberontakan,
kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang tentang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dibesarkan dalam keluarga yang kurang
harmonis. Kedua orang tuanya bercerai saat ia masih anak-anak.. Ia merupakan
anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten
Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati
Inderagiri, Riau. Ia juga masih memiliki pertalian keluarga dengan Sutan
Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi
pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak
lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah
bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya,
Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dan dari sinilah ia
mulai menggeluti dunia sastra. Walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya
dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai
berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi
jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti:
Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J.
Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya
dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di
Medan, Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Dalam hidupnya yang amat
jarang berduka, hingga saat neneknya meninggal ia baru merasakan duka yang
begitu dalam. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang amat pedih.
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Bagi chairil, ibu
juga sebagai wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa
membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi
nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang
liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Wanita bagi
Chairil adalah dunianya sesudah buku. Tercatat bahwa ada beberaa nama wanita
dalam hidupnya, yaitu nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini
sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Bahkan nama gadis-gadis itu ada dalam
puisi-puisi karya Chairil. Namun, hanya kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil mampu
menikahinya. Sayangnya, pernikahan itu tak berumur panjang. Karena kesulitan
ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta pisah. Saat
anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah
itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa
versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis. Umur Chairil hanya
sejumlah 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi
perkembangan kesusasteraan di Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik,
untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian.
Dari pengalaman
hidupnya yang begitu singkat Chairil menuliskan banyak puisi yang begitu fenomenal
dan sarat akan banyak makna. Beberapa puisinya menuliskan tentang
keedihan-kepedihan dalam hidupnya. Seperti pada larik sajak puisi “Aku” ia
menggambarkan ungkapan hatinya jika ia meninggal ia menginginkan untuk jangan
ada seorang pun yang bersedih, bahkan juga kekasihnya/istrinya tersebut. Sebab
ia merasa sebagai binatang jalang yang telah terbuang dan bebas dari
kelompoknya. Sehingga, meskipun ia ditembak dan ada peluru yang menembus
kulitnya ia tetap meradang dan menerjang aturan-aturan yang mengikatnya. Bahkan
ia juga menunjukkan sikap ketidak peduliannya pada penderitaan dengan
menuliskan bahwa ia ingin hidup seribu tahun lagi.
Selain itu, jika
dengan melihat hubungan antar unsur secara keseluruhan serta makna
kiasan-kiasannya, maka dapat ditafsirkan jika si Aku/Chairil menginginkan agar
urusannya tidak dicampuri oleh orang lain, ia juga menegaskan bahwa semua
masalah pribadi itu masalah sendiri (kalau
sampai waktuku/ ku mau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau/ tak perlu sedu
sedan itu). Si aku juga mengakui bahwa dirinya adalah makhluk yang bebas
dan tidak mau terikat (aku ini binatang
jalang/ dari kumpulannya yang terbuang). Dengan penuh semangat ia tetap
menjalani segala rintangan yang ada di depannya (biar peluru menembus kulitku/ aku tetap meradang menerjang/ luka dan
bisa ku bawa berlari/ berlari/ hingga hilang pedih peri). Si aku tetap
optimis dengan segala rintangan, bahkan ia juga tidak memperdulikannya sehingga
ia masih terus tetap semangat dengan karya-karyanya (dan aku akan lebih tidak berduli/ aku mau hidup seribu tahun lagi).
Di sini si aku bukan bermaksud mengecamkan bahwa fisiknya yang terus kekal,
namun karya-karyanya yang terus hidup di sepanjang usia. Sehingga ia tetap dan
terus bersemangat dalam berkarya meski segala rintangan ada di hadapannya.
Dalam kumpulan puisi lain, puisi ini berjudul “semangat”, yang dari judulnya
bisa kita lihat bahwa si aku penulis ingin menunjukkan semangat-semangatnya dan
dalam buku Deru Campur Debu puisi ini berjudul “aku” yang condong menonjolkan egoismenya
terhadap penderitaan yang ia alami.
Selain itu, bisa
dilihat pula sikap Chairil yang memiliki rasa bersalah dan merasa dikejar-kejar
oleh dosa. Puisi yang berjudul “kepada peminta-minta” ini merupakan salah satu
wujud sosialnya kepada para peminta-minta.
Kepada peminta-minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Juni 1943
Dalam puisi tersebut, Chairil mengajak untuk memaknai
kemiskinan Bagi kalangan politikus, kemiskinan adalah selempang jalan
yang mulus untuk menggerakkan dan meningkatkan popularitas mereka. Kemiskinan
adalah lahan komoditas yang selalu menjadi acuan politis di mana mereka setelah
menjabat, ia menjadi berkas-berkas paling bawah dan ditindih berkas soal lain
ironisnya hanya dipegang oleh sekpri-nya saja.
Atau bagi pemuka agama, kemiskinan adalah kondisi yang harus
disikapi dengan ketabahan dan keikhlasan. Merujuk pada ajaran-ajaran agama,
kemiskinan adalah wujud kasih sayang Tuhan pada hambanya agar dilalui dengan
penuh arif dan sabar. Sederhananya, kemiskinan adalah jalan menuju kekayaan di
hari akhir kelak.
Di ujung kamera fotografer, kemiskinan pun sama halnya dengan
politikus, menjadi komoditas dagang yang dapat diperjual-belikan dan
dilombakan. Semakin menyedihkan foto tersebut, semakin nyata uang yang dapat
diperoleh nantinya. Paling tidak sepintar-pintar seorang kameramen memoles
kemiskinan menjadi cerita menarik dalam wujud gambar.
Namun bagi Chairil Anwar, kemiskinan adalah hantu yang selalu
mengejarnya. Hal tersebut ia ungkapkan dalam puisi yang berjudul Kepada
peminta-minta. Dalam sajak puisi tersebut, Chairil mengungkapkan rasa
berdosanya kepada Dia (Tuhan) atas rasa berdosanya kepada para peminta-minta.
Maka dari dosa-dosanya tersebut ia merasa tersiksa dan merasa darahnya menjadi
beku bila ditatap oleh para peminta-minta (Tapi
jangan tantang lagi aku/ nanti darahku jadi beku). Entah seperti apa dosa
yang ia rasakan sehingga ia merasa begitu tersiksa jika melihat para
peminta-minta, mungkin karena ia melihat kesengsaraan mereka dan ia tidak bisa
berbuat apa-apa atau untuk sekedar membantu mereka.
Kata Dosa menjadi problem dilematis di sini. Sejauh mana
peran Chairil di dalamnya sehingga dia merasa berdosa dengan kemiskinan yang
dialami oleh para peminta-minta. Ia merasa seperti dosa itu sudah tercermin di
mukanya seperti cacar yang memalukan sehingga ia meminta agar tidak diungkapkan
dosa-dosanya itu (jangan lagi kau
bercerita/ sudah tercacar semua di muka).
Rasa berdosanya nampak begitu dalam sehingga terbawa ke alam
mimpinya dan ia merasa seperti dihempaskan ke bumi yang keras karena rasa
berdosanya yang begitu menyiksa (mengganggu dalam mimpiku/ menghempas aku di
bumi keras). Dia miris akan keadaan para peminta-minta tapi tidak tahu berbuat
apa (di bibirku terasa pedas/ mengaum di telingaku). Si aku mengakui akan
dosa-dosanya dan semua kesalahannya. Hal itu tercermin dalam pengulangan pada
bait terakhir yang sebelumnya diungkapkan dalam bait pertama. Di situ si aku
nampak begitu merasa bersalah dan mengakui dosanya pada Dia (Tuhan).
Secara keseluruhan puisi yang berjudul Para Peminta-minta ini
menggambarkan kemiskinan yang ada di sekitar Chairil. Dengan pemilihan kata
yang begitu mendalam seperti darahku jadi beku, nanah meleleh, dan sebagainya
menunjukkan bahwa ia sangat menyesal dan mersa bersalah akan dosa-dosanya.
Nampaknya puisi Chairil tidak jauh dari hal yang berkaitan
dengan kesedihan, kemiskinan, Tuhan, dan hal-hal yang menggugah nalurinya.
Mungkin puisi-puisi tersebut bisa berisi protes sosial yang diungkapkan dengan
gaya bahasa yang elegan sehingga tidak terkesan sebagai sebuah protes namun
bisa berupa sebuah sindiran.
No comments:
Post a Comment