Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Mira Diah Fajarwati

ESAI KRITIK PUISI
KARYA CHAIRIL ANWAR

Oleh:
Mira Diah Fajarwati – 100211404895


Tentunya kini kita sudah tidak asing lagi dengan seorang penyair fenomenal seperti Chairil Anwar. Chairil Anwar yang umum dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah seorang penyair terkemuka di Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk diantaranya berupa 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.



Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Puisinya berisi dengan berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang tentang multi-interpretasi.

Chairil Anwar dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Kedua orang tuanya bercerai saat ia masih anak-anak.. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia juga masih memiliki pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.

Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dan dari sinilah ia mulai menggeluti dunia sastra. Walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, hingga saat neneknya meninggal ia baru merasakan duka yang begitu dalam. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang amat pedih.
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Bagi chairil, ibu juga sebagai wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Wanita bagi Chairil adalah dunianya sesudah buku. Tercatat bahwa ada beberaa nama wanita dalam hidupnya, yaitu nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Bahkan nama gadis-gadis itu ada dalam puisi-puisi karya Chairil. Namun, hanya kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil mampu menikahinya. Sayangnya, pernikahan itu tak berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis. Umur Chairil hanya sejumlah 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan di Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian.
Dari pengalaman hidupnya yang begitu singkat Chairil menuliskan banyak puisi yang begitu fenomenal dan sarat akan banyak makna. Beberapa puisinya menuliskan tentang keedihan-kepedihan dalam hidupnya. Seperti pada larik sajak puisi “Aku” ia menggambarkan ungkapan hatinya jika ia meninggal ia menginginkan untuk jangan ada seorang pun yang bersedih, bahkan juga kekasihnya/istrinya tersebut. Sebab ia merasa sebagai binatang jalang yang telah terbuang dan bebas dari kelompoknya. Sehingga, meskipun ia ditembak dan ada peluru yang menembus kulitnya ia tetap meradang dan menerjang aturan-aturan yang mengikatnya. Bahkan ia juga menunjukkan sikap ketidak peduliannya pada penderitaan dengan menuliskan bahwa ia ingin hidup seribu tahun lagi.
Selain itu, jika dengan melihat hubungan antar unsur secara keseluruhan serta makna kiasan-kiasannya, maka dapat ditafsirkan jika si Aku/Chairil menginginkan agar urusannya tidak dicampuri oleh orang lain, ia juga menegaskan bahwa semua masalah pribadi itu masalah sendiri (kalau sampai waktuku/ ku mau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau/ tak perlu sedu sedan itu). Si aku juga mengakui bahwa dirinya adalah makhluk yang bebas dan tidak mau terikat (aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya yang terbuang). Dengan penuh semangat ia tetap menjalani segala rintangan yang ada di depannya (biar peluru menembus kulitku/ aku tetap meradang menerjang/ luka dan bisa ku bawa berlari/ berlari/ hingga hilang pedih peri). Si aku tetap optimis dengan segala rintangan, bahkan ia juga tidak memperdulikannya sehingga ia masih terus tetap semangat dengan karya-karyanya (dan aku akan lebih tidak berduli/ aku mau hidup seribu tahun lagi). Di sini si aku bukan bermaksud mengecamkan bahwa fisiknya yang terus kekal, namun karya-karyanya yang terus hidup di sepanjang usia. Sehingga ia tetap dan terus bersemangat dalam berkarya meski segala rintangan ada di hadapannya. Dalam kumpulan puisi lain, puisi ini berjudul “semangat”, yang dari judulnya bisa kita lihat bahwa si aku penulis ingin menunjukkan semangat-semangatnya dan dalam buku Deru Campur Debu puisi ini berjudul “aku” yang condong menonjolkan egoismenya terhadap penderitaan yang ia alami.
Selain itu, bisa dilihat pula sikap Chairil yang memiliki rasa bersalah dan merasa dikejar-kejar oleh dosa. Puisi yang berjudul “kepada peminta-minta” ini merupakan salah satu wujud sosialnya kepada para peminta-minta.
Kepada peminta-minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas

Juni 1943

Dalam puisi tersebut, Chairil mengajak untuk memaknai kemiskinan Bagi kalangan politikus, kemiskinan adalah selempang jalan yang mulus untuk menggerakkan dan meningkatkan popularitas mereka. Kemiskinan adalah lahan komoditas yang selalu menjadi acuan politis di mana mereka setelah menjabat, ia menjadi berkas-berkas paling bawah dan ditindih berkas soal lain ironisnya hanya dipegang oleh sekpri-nya saja.
Atau bagi pemuka agama, kemiskinan adalah kondisi yang harus disikapi dengan ketabahan dan keikhlasan. Merujuk pada ajaran-ajaran agama, kemiskinan adalah wujud kasih sayang Tuhan pada hambanya agar dilalui dengan penuh arif dan sabar. Sederhananya, kemiskinan adalah jalan menuju kekayaan di hari akhir kelak.
Di ujung kamera fotografer, kemiskinan pun sama halnya dengan politikus, menjadi komoditas dagang yang dapat diperjual-belikan dan dilombakan. Semakin menyedihkan foto tersebut, semakin nyata uang yang dapat diperoleh nantinya. Paling tidak sepintar-pintar seorang kameramen memoles kemiskinan menjadi cerita menarik dalam wujud gambar.
Namun bagi Chairil Anwar, kemiskinan adalah hantu yang selalu mengejarnya. Hal tersebut ia ungkapkan dalam puisi yang berjudul Kepada peminta-minta. Dalam sajak puisi tersebut, Chairil mengungkapkan rasa berdosanya kepada Dia (Tuhan) atas rasa berdosanya kepada para peminta-minta. Maka dari dosa-dosanya tersebut ia merasa tersiksa dan merasa darahnya menjadi beku bila ditatap oleh para peminta-minta (Tapi jangan tantang lagi aku/ nanti darahku jadi beku). Entah seperti apa dosa yang ia rasakan sehingga ia merasa begitu tersiksa jika melihat para peminta-minta, mungkin karena ia melihat kesengsaraan mereka dan ia tidak bisa berbuat apa-apa atau untuk sekedar membantu mereka.
Kata Dosa menjadi problem dilematis di sini. Sejauh mana peran Chairil di dalamnya sehingga dia merasa berdosa dengan kemiskinan yang dialami oleh para peminta-minta. Ia merasa seperti dosa itu sudah tercermin di mukanya seperti cacar yang memalukan sehingga ia meminta agar tidak diungkapkan dosa-dosanya itu (jangan lagi kau bercerita/ sudah tercacar semua di muka).
Rasa berdosanya nampak begitu dalam sehingga terbawa ke alam mimpinya dan ia merasa seperti dihempaskan ke bumi yang keras karena rasa berdosanya yang begitu menyiksa (mengganggu dalam mimpiku/ menghempas aku di bumi keras). Dia miris akan keadaan para peminta-minta tapi tidak tahu berbuat apa (di bibirku terasa pedas/ mengaum di telingaku). Si aku mengakui akan dosa-dosanya dan semua kesalahannya. Hal itu tercermin dalam pengulangan pada bait terakhir yang sebelumnya diungkapkan dalam bait pertama. Di situ si aku nampak begitu merasa bersalah dan mengakui dosanya pada Dia (Tuhan).
Secara keseluruhan puisi yang berjudul Para Peminta-minta ini menggambarkan kemiskinan yang ada di sekitar Chairil. Dengan pemilihan kata yang begitu mendalam seperti darahku jadi beku, nanah meleleh, dan sebagainya menunjukkan bahwa ia sangat menyesal dan mersa bersalah akan dosa-dosanya.

Nampaknya puisi Chairil tidak jauh dari hal yang berkaitan dengan kesedihan, kemiskinan, Tuhan, dan hal-hal yang menggugah nalurinya. Mungkin puisi-puisi tersebut bisa berisi protes sosial yang diungkapkan dengan gaya bahasa yang elegan sehingga tidak terkesan sebagai sebuah protes namun bisa berupa sebuah sindiran.

No comments:

Post a Comment