ESAI PROSA
TRILOGI NEGERI 5 MENARA
Oleh:
Mira Diah Fajarwati - 100211404895
Trilogi Inspiratif
Apa yang akan kamu lakukan jika keinginan kamu untuk
meraih cita-cita ditentang orang tua ??
Apa yang kamu rasakan ketika menjalani kehidupan yang tidak sesuai dengan keinginanmu ??
Dan mana yang akan kamu pilih antara keinginan diri sendiri atau pilihan orang tua ??
Apa yang kamu rasakan ketika menjalani kehidupan yang tidak sesuai dengan keinginanmu ??
Dan mana yang akan kamu pilih antara keinginan diri sendiri atau pilihan orang tua ??
Beberapa pertanyaan
di atas mungkin akan sulit dijawab oleh sebagian orang. Namun, kita dapat
memiliki pertimbangan yang pasti usai membaca novel dari trilogi Negeri 5
Menara karya Ahmad Fuadi. Novel pertama dari trilogi tersebut berjudul Negeri 5
Menara. Dalam novel ini akan dijabarkan apabila menjalani pilihan atau perintah
dari orang tua dengan ikhlas dan sepenuh hati maka semua akan berakhir indah
dan kebahagian untuk kita. Novel ini bercerita tentang perjalanan seorang anak
bernama Alif. Alif adalah anak desa yang ditinggal di Bayur , kampung kecil di
dekat Danau Maninjau Padang, Sumatera Barat. Alif dari kecil sudah bercita-cita
ingin menjadi B.J Habibie, maka dari itu selepas tamat SMP Alif sudah berencana
melanjutkan sekolah Ke SMU negeri di Padang yang akan memuluskan langkahnya
untuk kuliah di jurusan ia inginkan. Namun amaknya (ibunya Alif) tidak setuju
dengan keinginan Alif untuk masuk SMU, ibunya ingin Alif menjadi Buya Hamka dan
melanjutkan sekolah ke pondok pesantren.
Karena Alif tidak
ingin mengecewakan harapan orang tua khususnya ibu, Alif pun menjalankan keinginan
ibunya dan masuk pondok yang ada di Jawa Timur, yaitu Pondok Madani Gontor,
Ponorogo. Walaupun awalnya amak berat dengan keputusan Alif yang memilih pondok
di Jawa bukan yang ada di dekat rumah mereka dengan pertimbangan Alif belum
pernah menginjak tanah di luar ranah Minang , namun akhirnya ibunya merestui
keinginan Alif itu.
Awalnya Alif
setengah hati menjalani pendidikan di pondok karena dia harus merelakan
cita-citanya yang ingin kuliah di ITB dan menjadi seperti Habibie. Namun pepatah
dalam bahasa Arab yang didengar Alif di hari pertama di PM (pondok madani) mampu
mengubah pandangan Alif tentang melanjutkan pendidikan di Pesantren sama
baiknya dengan sekolah umum. " mantera" sakti yang diberikan kiai
Rais (pimpinan pondok ) man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti
berhasil. Dan Alif pun mulai menjalani hari-hari dipondok dengan ikhlas dan
bersungguh-sungguh.
Dari beberapa kisah
yang diungkapkan Fuadi, nampak bahwa Fuadi ingin menyampaikan motivasi
inspiratif yang ia ungkapkan secara fiksi bahwa segala hal atau sesuatu perkara
jika kita lakukan atas dasar ikhlas akan menghasilkan hal yang positif bagi
kita. Apalagi jika atas perintah orang tua dan dilakukan dengan ikhlas hasilnya
akan baik untuk kita. Ia juga menyisipkan pepatah islami dalam novel Negeri 5
Menara yaitu “Man Jadda Wajada” yang berarti bahwa siapa yang
bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Dari pepatah itu berarti penulis memang
benar-benar memotivasi pembaca, dengan menanamkan motivasi-motivasi yang
diiringi dengan rangkaian fakta-fakta yang dilalui oleh tokoh dalam novel
tersebut banyak menyuguhkan pengalaman-pengalaman yang menarik bagi pembaca.
Selanjutnya, di PM Alif
berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep,
Atang dari Bandung dan si jenius Baso dari Gowa, Sulawesi. Ternyata kehidupan
di PM tidak semudah dan sesantai menjalani sekolah biasa. Hari-hari Alif
dipenuhi kegiatan hapalan Al-Qur'an, belajar siang-malam, harus belajar
berbicara bahasa Arab dan Inggris di 6 Bulan pertama. Karena PM melarang keras
murid-muridnya berbahasa Indonesia, PM mewajibkan semua murid berbahasa Arab
dan Inggris. Belum lagi peraturan ketat yang diterapkan PM pada murid yang
apabila melakukan sedikit saja kesalahan dan tidak taat peraturan yang berakhir
pada hukuman yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Tahun-tahun pertama Alif
dan ke 5 temannya begitu berat karena harus menyesuaikan diri dengan peraturan
di PM.
Hal yang paling
berat dijalani di PM adalah pada saat ujian, semua murid belajar 24 jam nonstop
dan hanya beberapa menit tidur. Mereka benar-benar harus mempersiapkan mental
dan fisik yang prima demi menjalani ujian lisan dan tulisan yang biasanya berjalan
selama 15 hari. Namun disela rutinitas di PM yang super padat dan ketat. Alif
dan ke 5 selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dibawah menara mesjid ,
sambil menatap awan dan memikirkan cita-cita mereka kedepan. Di sinilah Fuadi
menuliskan betapa berartinya sebuah persahabatan. Bersahabatan tak hanya ada di
saat membutuhkan namun juga memotivasi dan saling membantu di saat teman kita
sedang membutuhkan bantuan. Di novel ini juga dituliskan kisah-kisah kekompakan
Alif bersama kawan-kawannya yang begitu ulet.
Ditahun kedua dan
seterusnya kehidupan Alif dan rekan-rekannya lebih berwarna dan penuh
pengalaman menarik. Dari kebiasaan berkumpul di bawah menara itulah mereka
menamai kelompok mereka dengan nama “Sahibul Menara”. Di PM semua teman, guru,
satpam, bahkan kakak kelas adalah keluarga yang harus saling tolong menolong
dan membantu. Semua terasa begitu kompak dan bersahabat, sampai pada suatu hari
yang tak terduga, Baso , teman Alif yang paling pintar dan paling rajin
memutuskan keluar dari PM karena permasalahan ekonomi dan keluarga.
Kepergian Baso,
membangkitkan semangat Alif, Atang, Dulmajid, Raja dan Said untuk menamatkan PM
dan menjadi orang sukses yang mampu mewujudkan cita-cita mereka menginjakkan
kaki di benua Eropa dan Amerika.
Novel ini benar-benar memberikan inspirasi bagi siapa saja yang ingin sukses dan berhasil, bahwa dimana ada usaha disitu pasti ada jalan. Dan ikhlaslah dalam menjalani apapun yang ada di kehidupan kita, niscaya usaha dan keikhlasan hati akan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Dalam novel ini, Fuadi juga mengingatkan untuk tidak pernah meremehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Novel ini benar-benar memberikan inspirasi bagi siapa saja yang ingin sukses dan berhasil, bahwa dimana ada usaha disitu pasti ada jalan. Dan ikhlaslah dalam menjalani apapun yang ada di kehidupan kita, niscaya usaha dan keikhlasan hati akan diridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Dalam novel ini, Fuadi juga mengingatkan untuk tidak pernah meremehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Fuad menulis novel
tersebut berdasarkan dengan pengalamannya dengan dibumbui cerita fiktif yang inspiratif.
Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil
di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka.
Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah. Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi
permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia
bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup
dan ilmu akhirat.
Nampak
bahwa si Alif sebagai tokoh Aku dalam novel tersebut sebenarnya adalah si
penulis sendiri. Karena sebenarnya dari Gontor pulalah yang membukakan hati
Fuadi kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang
bersungguh sungguh akan berhasil. Juga sebuah hukum baru, bahwa ilmu dan bahasa
asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan man jadda
wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia
diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD.
Pengalaman
Fuadi semasa ia di pondok tersebut begitu jelas ia tuliskan dalam novel Negara
5 Menara. Kemudian, seusai ia mondok dan kuliah ia tuliskan dalam novel Ranah 3
Warna. Dalam novel tersebut ia juga menyisipkan pepatah islami yaitu “man
shabara zhafiraµ” yang artinya siapa yang bersabar akan beruntung. Dalam novel
tersebut juga dituliskan kisah-kisah inspiratif perjuangan Alif semasa kuliah,
perjuangannya dalam kekurangan hingga semangatnya yang tak pernah pupus sampai
ia bisa mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar ke Amerika.
Jika
dalam novel Negeri 5 Menara ia hanya menyuguhkan kisah inspiratif pelajar,
dalam novel Ranah 3 Warna ini ia mulai menyuguhkan kisah-kisah inspiratif dalam
kehidupan yang sesungguhnya. Kisah begitu terpukulnya Alif ketika kehilangan
sosok Ayah yang selalu mendukungnya, saat ia terpuruk dan tak percaya akan
Tuhan hingga ia bisa bangkit lagi melawan kerasnya kehidupan. Fuadi juga mulai
menyuguhkan romansa percintaan Antara Alif dengan Raisa dengan kisah cinta yang
tak sampai karena Raisa akhirnya bertunangan dengan temannya sendiri.
Novel
karya Fuadi nampak minus dengan kekurangan. Pilihan bahasa yang ia gunakan
tidak begitu sulit dipahami. Ia juga menyisipkan arti yang mudah dipahami jika
terdapat bahasa asingnya. Alur yang ia gunakan juga membuat pembaca semakin
tertarik, bahkan tidak membuat pembaca semakin bosan malah semakin menjadi-jadi
imajinasinya. Layak diacungi jepol, san tak salah jika novel ini menjadi salah
satu novel best seller di generasinya.
No comments:
Post a Comment