RINI INTAMA DALAM PUISI RELIGI-LIMA NOVEMBER
Oleh:
Firda Rizky Kadidya
Puisi bisa juga menjadi salah satu cara seseorang
penyair untuk mengabadikan seluruh perasaannya agar senantiasa abadi. Perasaan
ini bisa berupa perasaan bahagia maupun sedih. Hal semacam ini menunjukkan
bahwa puisi sangat dekat dengan kehidupan kita. Puisi bisa menghadirkan segala
pujian maupun gugatan.
Rini Intama hadir dengan puisi yang bertema religi. Puisi yang melukiskan bahwa kematian itu sangat rahasia dan tak ada seorang
pun yang bisa mengetahui hari kematiaannya.
Puisi kematian yang diusung kali ini adalah puisi
kematian yang tak terkesan menggurui. Puisi kematian yang hanya mencoba menggetarkan jiwa dalam memaknainya.
LIMA NOVEMBER
Lupa pada warna senja yang
sebentar lagi turun
Suara ibu memanggilku hingga
suara serak berdahak
Lamat menghilang dalam pekat awan
yang berserak
Secangkir air mata panas tumpah
menyiram hatiku
Malam, kutanya di mana ibu?
Ayah berbisik, sudah di surga
sore tadi nak.
November 2010
(diambil dari buku Gemulai Tarian
Naz karya Rini Intama halaman 62)
Ketika membaca judul puisi di atas awalnya saya
hanya menerka-nerka apa keistimewaan November di mata seorang Rini Intama
sehingga harus diabadikan dalam puisi.
Perlahan saya mencoba mengamati kata demi kata yang disusun dan dijadikan puisi dengan dua bait yang utuh, dua bait yang
mampu menjawab bahwa segala sesuatu
akan menjadi fana tanpa pernah menduganya.
Rini Intama membuka baitnya dengan sebuah sapaan yang membuat kita tersadar
dari lena hidup yang kita jalani. ‘Lupa pada warna senja yang
sebentar lagi turun’, berarti lupa pada waktu kalau suatu
saat kita pasti akan kembali.
Bait pertama secara utuh hanya menggambarkan
suasana jiwa yang mendebarkan
dalam menghadapi kematian, saat-saat yang penuh dengan kegetiran. Saat-saat
yang membuat ruh merenung kembali tentang keberadaan yang dijalani. Semua itu disampaikan secara jujur dan tidak klise dengan menambahkan sedikit metafora.
Bait kedua lebih memfokuskan pembahasannya pada
kebimbangan seorang penyair dalam mencari tentang kabar keberadaan ibunya, orang yang sangat dicintai dan sangat dirindui.
Pertanyaan seperti ini wajar terjadi dan sering kita saksikan dalam hidup ini,
utamanya saat kita sangat merindukan sosok ibu yang sering kita lihat,
tiba-tiba hilang tanpa sebab.
Kegelisahan penyair dalam mencari sosok ibunya,
yang tak kunjung mendapatkan jawaban terlihat dalam baris Lamat
menghilang dalam pekat awan yang berserak . Malam yang menjadi tempat kesunyiaan untuk
menanyakan keberadaan sosok orang
yang dicintai, akhirnya mulai sedikit terasa lega dengan adanya jawaban dari
sosok yang bernama ayah.
Ayah yang sangat memahami psikologi keadaan anak yang kehilangan ibunya sebisa
mungkin akan mencari bahasa yang lebih menghibur buah hatinya, Ayah berbisik,
sudah di surga nak sore tadi. Begitu indah penyair menutup baitnya.
Dari segala uraian yang telah saya paparkan, paling
tidak Rini Intama dalam puisinya berjudul “Lima November” telah berhasil
menyampaikan tentang risalah kematian. Rini berbicara kematian namun tak
terkesan menggurui. Kematangan penyair dalam menyampaikan imajinasi telah
teruji dengan baik.
No comments:
Post a Comment