KEJELASAN UNSUR FIKSIONAL CERPEN TELINGA
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
Oleh
Firda Rizky Kadidya
Seno Gumira Ajidarma adalah seorang penulis cerpen yang cukup tersohor.
Ia sangat dikenal saat era orde baru, rezim Soeharto. Ia mengkritisi secara
tegas dan berani tentang pemerintahan saat itu. Tak ada satupun yang berani
menentang bahkan melawan rezimnya. Jika ada yang berani menentang, maka nyawa
taruhannya. Pembunuhan sadis yang akan didapatkan. Suasana peperangan
dituliskan secara apik dalam cerpen
“Telinga”.
A. Identifikasi
Setting
Setting diterjemahkan sebagai latar
cerita. Aminuddin (1984:62) memberi batasan setting sebagai latar peristiwa
dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki
fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Dalam cerpen “Telinga” karya
Seno Gumira terdapat unsur setting berupa waktu, tempat, dan suasana. Waktu
dalam cerpen tersebut bisa ditemukan saat Dewi menerima amplop cokelat dari
pacarnya, saat malam-malam Dewi merindukan pacarnya, dan setiap pagi setelah
Dewi bangun tidur.
“Pada suatu hari yang indah, Dewi mendapat kiriman dari pacarnya yang sedang bertugas di medan
perang.”
“Kadang-kadang, bila Dewi merindukan pacarnya, ia memandangi telinga itu
sendirian malam-malam.”
“Setiap pagi, setelah bangun
tidur, Dewi mengepel lantai ruang
tamu yang menjadi merah karena darah yang menetes-netes dari telinga itu.”
Begitu pula dengan setting tempat
juga dapat ditemukan yaitu di medan perang, dan dari sebuah kubu perlindungan.
“Nun di medan perang pacar
Dewi sibuk membantai orang. Segenap prajurit yang dikirim ke medan perang itu
telah menjadi sangat sibuk karena setiap orang mengadakan perlawanan.”
“Dari sebuah kubu
perlindungan, pacar Dewi menulis surat.”
Setting suasana terlihat saat Dewi menerima kiriman telinga sebagai
kenang-kenangan dari pacarnya beserta catatan, saat Dewi iba dan khawatir
terhadap pacarnya, saat perang, dan saat pacar Dewi memenggal kepala dan
memotong telinga.
“Kadang-kadang, bila Dewi merindukan
pacarnya, ia memandangi telinga itu sendirian malam-malam.”
“Engkau pasti sangat lelah bertempur setiap hari dan menembaki musuh sampai mati. Untung engkau
masih punya hiburan memotong telinga orang-orang yang dicurigai. Aku tidak bisa membayangkan seandainya
tidak ada orang-orang yang dicurigai yang bisa dipotong telinganya. Engkau
pasti akan sangat kesepian.”
“Kalau musuh datang menyerbu,
kami tinggal menembaknya. Tapi suara-suara itu bertebaran di udara tanpa bunyi,
sehingga kami tidak akan pernah tahu siapa yang kira-kira sudah mendengarnya.
Semua orang seolah-olah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi pemberontak. Kami
tidak akan pernah tahu siapa lawan siapa kawan, kami terpaksa membantai
semuanya.”
“Jadi, kami bersepakat untuk memenggal
saja kepala orang-orang yang dicurigai …. Dari
kepala-kepala itulah kupotong telinga-telinga
yang kukirimkan kepadamu.”
Dari beberapa kutipan tentang setting suasana. Maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat suasana senang, khawatir, ngeri, tegang, takut, iba, dan haru.
Selain itu juga, setting dalam cerpen tersebut bersifat fisik dan
psikis. Sifat fisik dapat diketahui dari kapan cerita itu berlangsung dan juga
di mana. Cerita ini berlangsung saat terjadi peperangan di medan perang.
Sementara itu sifat psikis dapat diketahui salah satunya dari banyaknya kepala
dan telinga yang dipotong oleh pacar Dewi, hal itu merupakan gambaran dari
orang yang tega, kejam, sadis, dan tidak berperikemanusiaan.
“Kami tidak hanya memotong telinga,
kami harus memenggal kepala.”
Dalam cerpen “Telinga” terdapat hubungan setting
dengan penokohan dan perwatakkan tokoh. Hubungan tersebut dapat dilihat pada
saat pacar Dewi yang ditugaskan untuk memotong telinga bahkan memenggal kepala
seseorang yang dianggap mata-mata di medan perang. Perbuatan yang dilakukan
pacar Dewi tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan yang kejam, sadis, dan
tidak berperikemanusiaan.
“Kami tidak hanya memotong telinga,
kami harus memenggal kepala.”
Secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa setting dalam cerpen ini adalah pada saat pemerintahan orde
baru, yang kala itu sedang memerintah Indonesia. Dalam cerpen ini terdapat
tokoh pacar Dewi yang berdiri di kaki Soeharto. Ia menjadi salah satu orang
suruhan untuk memenggal dan memotong telinga orang yang dianggap membahayakan pemerintahan.
B.
Identifikasi
Gaya Bahasa
Pengarang menceritakan cerita
“Telinga” menggunakan bahasa yang
mudah dipahami. Selain itu juga terdapat majas personifikasi, paradoks, dan asosiasi.
“Seutas senar itu bergoyang perlahan.”
“Dewi kadang-kadang juga merasa telinga itu seperti masih hidup, dan bergerak-gerak, bagaikan masih mampu mendengar suara-suara di sekitarnya.”
“Telinga itu bagaikan antena yang mampu menangkap pesan apa pun yang bertebaran
di udara.”
“Di ruang tamu telinga itu bergelantungan di bawah lampu kristal, bergelantungan di pintu, dan
jendela, ….”
“Tapi suara-suara
itu bertebaran di udara tanpa bunyi.”
Seno Gumira A. sengaja
menggunakan gaya bahasa tersebut karena setiap karya sastra pasti akan
menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan
bersifat konotatif, sehingga mampu menuansakan keindahan. Penataan kalimat yang
tepat mengakibatkan pembaca berimajinasi pada situasi yang diciptakan oleh
pengarang lewat cerita. Suasana yang dimaksudkan oleh pengarang dapat
tertangkap jelas atau tergambar jelas oleh pembaca. Hal ini dimaksudkan agar
pembaca mudah memahami cerita serta ikut merasakan suatu hal yang digambarkan
oleh pengarang lewat ceritanya.
“Kadang-kadang, bila Dewi merindukan pacarnya,
ia memandangi telinga itu sendirian malam-malam.”
Dalam cerpen telinga ini,
penggunaan majas cenderung lebih sedikit atau tidak terlalu dominan
dibandingkan dengan cerpennya yang lain, yang berjudul “MWWWHH!” yang hampir
disetiap kalimat terdapat majas.
No comments:
Post a Comment