Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Firda Rizky Kadidya

KEJELASAN UNSUR FIKSIONAL CERPEN TELINGA
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Oleh
Firda Rizky Kadidya


Seno Gumira Ajidarma adalah seorang penulis cerpen yang cukup tersohor. Ia sangat dikenal saat era orde baru, rezim Soeharto. Ia mengkritisi secara tegas dan berani tentang pemerintahan saat itu. Tak ada satupun yang berani menentang bahkan melawan rezimnya. Jika ada yang berani menentang, maka nyawa taruhannya. Pembunuhan sadis yang akan didapatkan. Suasana peperangan dituliskan secara apik dalam cerpen “Telinga”.




A.    Identifikasi Setting
            Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin (1984:62) memberi batasan setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Dalam cerpen “Telinga” karya Seno Gumira terdapat unsur setting berupa waktu, tempat, dan suasana. Waktu dalam cerpen tersebut bisa ditemukan saat Dewi menerima amplop cokelat dari pacarnya, saat malam-malam Dewi merindukan pacarnya, dan setiap pagi setelah Dewi bangun tidur.

“Pada suatu hari yang indah, Dewi mendapat kiriman dari pacarnya yang sedang bertugas di medan perang.”

“Kadang-kadang, bila Dewi merindukan pacarnya, ia memandangi telinga itu sendirian malam-malam.”

“Setiap pagi, setelah bangun tidur, Dewi mengepel lantai ruang tamu yang menjadi merah karena darah yang menetes-netes dari telinga itu.”

Begitu pula dengan setting tempat juga dapat ditemukan yaitu di medan perang, dan dari sebuah kubu perlindungan.

“Nun di medan perang pacar Dewi sibuk membantai orang. Segenap prajurit yang dikirim ke medan perang itu telah menjadi sangat sibuk karena setiap orang mengadakan perlawanan.”

“Dari sebuah kubu perlindungan, pacar Dewi menulis surat.”

Setting suasana terlihat saat Dewi menerima kiriman telinga sebagai kenang-kenangan dari pacarnya beserta catatan, saat Dewi iba dan khawatir terhadap pacarnya, saat perang, dan saat pacar Dewi memenggal kepala dan memotong telinga.

“Kadang-kadang, bila Dewi merindukan pacarnya, ia memandangi telinga itu sendirian malam-malam.”

“Engkau pasti sangat lelah bertempur setiap hari dan menembaki musuh sampai mati. Untung engkau masih punya hiburan memotong telinga orang-orang yang dicurigai. Aku tidak bisa membayangkan seandainya tidak ada orang-orang yang dicurigai yang bisa dipotong telinganya. Engkau pasti akan sangat kesepian.”


“Kalau musuh datang menyerbu, kami tinggal menembaknya. Tapi suara-suara itu bertebaran di udara tanpa bunyi, sehingga kami tidak akan pernah tahu siapa yang kira-kira sudah mendengarnya. Semua orang seolah-olah bisa tiba-tiba saja berubah menjadi pemberontak. Kami tidak akan pernah tahu siapa lawan siapa kawan, kami terpaksa membantai semuanya.”

“Jadi, kami bersepakat untuk memenggal saja kepala orang-orang yang dicurigai …. Dari kepala-kepala itulah kupotong telinga-telinga yang kukirimkan kepadamu.”


Dari beberapa kutipan tentang setting suasana. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat suasana senang, khawatir, ngeri, tegang, takut, iba, dan haru.
Selain itu juga, setting dalam cerpen tersebut bersifat fisik dan psikis. Sifat fisik dapat diketahui dari kapan cerita itu berlangsung dan juga di mana. Cerita ini berlangsung saat terjadi peperangan di medan perang. Sementara itu sifat psikis dapat diketahui salah satunya dari banyaknya kepala dan telinga yang dipotong oleh pacar Dewi, hal itu merupakan gambaran dari orang yang tega, kejam, sadis, dan tidak berperikemanusiaan.

“Kami tidak hanya memotong telinga, kami harus memenggal kepala.”

Dalam cerpen “Telinga” terdapat hubungan setting dengan penokohan dan perwatakkan tokoh. Hubungan tersebut dapat dilihat pada saat pacar Dewi yang ditugaskan untuk memotong telinga bahkan memenggal kepala seseorang yang dianggap mata-mata di medan perang. Perbuatan yang dilakukan pacar Dewi tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan yang kejam, sadis, dan tidak berperikemanusiaan.

“Kami tidak hanya memotong telinga, kami harus memenggal kepala.”

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa setting dalam cerpen ini adalah pada saat pemerintahan orde baru, yang kala itu sedang memerintah Indonesia. Dalam cerpen ini terdapat tokoh pacar Dewi yang berdiri di kaki Soeharto. Ia menjadi salah satu orang suruhan untuk memenggal dan memotong telinga orang yang dianggap membahayakan pemerintahan.



B.    Identifikasi Gaya Bahasa
Pengarang menceritakan cerita “Telinga” menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Selain itu juga terdapat majas personifikasi, paradoks, dan asosiasi.

“Seutas senar itu bergoyang perlahan.”
“Dewi kadang-kadang juga merasa telinga itu seperti masih hidup, dan bergerak-gerak, bagaikan masih mampu mendengar suara-suara di sekitarnya.”

“Telinga itu bagaikan antena yang mampu menangkap pesan apa pun yang bertebaran di udara.”

“Di ruang tamu telinga itu bergelantungan di bawah lampu kristal, bergelantungan di pintu, dan jendela, ….”

“Tapi suara-suara itu bertebaran di udara tanpa bunyi.”

Seno Gumira A. sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut karena setiap karya sastra pasti akan menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif, sehingga mampu menuansakan keindahan. Penataan kalimat yang tepat mengakibatkan pembaca berimajinasi pada situasi yang diciptakan oleh pengarang lewat cerita. Suasana yang dimaksudkan oleh pengarang dapat tertangkap jelas atau tergambar jelas oleh pembaca. Hal ini dimaksudkan agar pembaca mudah memahami cerita serta ikut merasakan suatu hal yang digambarkan oleh pengarang lewat ceritanya.

“Kadang-kadang, bila Dewi merindukan pacarnya, ia memandangi telinga itu sendirian malam-malam.”

Dalam cerpen telinga ini, penggunaan majas cenderung lebih sedikit atau tidak terlalu dominan dibandingkan dengan cerpennya yang lain, yang berjudul “MWWWHH!” yang hampir disetiap kalimat terdapat majas.


No comments:

Post a Comment