MEMBACA
REALITAS “PELAJARAN MENGARANG”
OLEH:
Andini
Risa Pratiwi – 100211404906
Apa yang ada dibenak anda
setiap kali membaca karya Seno Gumira Ajidarma (SGA)? Jika pertanyaan itu
terlontar untuk saya maka saya akan menjawab bahwa saya memasuki suatu “dimensi
baru”. Setiap kali membaca karya Seno, saya serasa melihat sejarah, konflik
masyarakat, kekerasan, dan kehidupan urban. Misalnya saja cerpen “saksi mata” yang mengisahkan seseorang
dicongkel matanya oleh sekelompok ninja menggunakan sendok. Cerpen itu
mengingatkan saya atas peristiwa penculikan misterius yang sering terjadi pada
masa pemerintahan orde baru dulu.
Kemudian
lahirnya cerpen “pelajaran mengarang” yang saya rasa berangkat dari tema-tema kehidupan
urban. Dalam cerpen tersebut, Seno menggambarkan sosok tokoh “Sandra” yang
merasa gelisah ketika harus mengerjakan tugasnya untuk “mengarang” sebuah
cerita dari tiga judul yang telah ditentukan “bu Tati”. Konflik muncul ketika
ingatan dan cerita-cerita Sandra akan kehidupan sang ibu sebagai seorang
pelacur. Berikut ini terdapat petikan dari cerpen “pelajaran mengarang”.
Setiap kali
tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan yang
besar, karena ia harus betul - betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa
adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu
Guru Tuti, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka
alami. Tapi Sandra harus mengarang. Dan kini, Sandra mendapat pilihan yang
semuanya tidak menyenangkan.
Karya
Seno ini menarik sekali untuk dikaji lebih dalam. Pada cerpen “Pelajaran
Mengarang” saya dapat melihat cermin kehidupan urban seperti yang saya
ungkapkan di atas. Oleh sebab itu, saya mencoba mengaitkan kehidupan pengarang,
karya, dan masyarakat untuk memperoleh pemahaman yang saya inginkan tentang
“pelajaran mengarang” ini. Dengan kata lain, saya menggunakan pendekatan
mimetik, yaitu memahami karya sastra sebagai tiruan
atau sebagai pembayangan dunia kehidupan nyata.
Hal yang pertama adalah peran pengarang
dalam cerpen tersebut. Seno merupakan sosok pembangkang baik dalam lingkungan
keluarga maupun sekolah. Dari sekolah dasar
sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan
sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di
sekolahnya. Waktu sekolah dasar, ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas
wajib paduan suara, sampai ia dipanggil guru. Waktu SMP, ia memberontak: tidak
mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai
batik, yang lain berambut pendek ia gondrong.
Ketika
beranjak dewasa, kehidupan Seno yang bisa dibilang “bebas” dan posisi dia
sebagai seorang jurnalis tampaknya sangat mempengaruhi proses kepengarangannya.
Cerpen “Pelajaran Mengarang” merupakan salah satu contoh karya Seno yang cukup
menggambarkan kehidupan urban secara jelas seperti hadirnya pelacur dan
laki-laki hidung belang yang diceritakan dalam cerpen tersebut.
Sampai sekarang Sandra
tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah
lelaki yang menujuk-nunjuk mereka
...
DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00
KAMAR: 505, PKL 20.00
Sandra
tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam
pertemuan, ibunya akan pulang
terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari.
Penggambaran
Seno tentang cerpen tersebut saya rasa cukup detail, melihat cara Seno
menceritakan kehidupan seorang wanita pelacur dengan satu anak. Ketika membaca
cerpen tersebut saya serasa mengerti pemikiran dan perasaan dari ibu Sandra
yang notabene seorang pelacur. Seno menggambarkan sosok ibu Sandra yang
berperilaku kasar dan berwatak keras tapi begitu mengasihi Sandra, anaknya.
“Mama,
apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu
saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum
tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa
seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
...
Apakah
ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang
wanita yang selalu merokok, selalu
bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi
Apakah
wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu
menangis sendirian.
...
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya.
Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke
plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng,
dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan
penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra
yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan
sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna.
Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya
berjanji menjadi anak baik-baik.
Seno sukses dalam menciptakan
cerita kehidupan-kehidupan urban dengang bumbu realita yang terjadi di tengah
masyarakat kita. Dalam karya “Pelajaran Mengarang” Seno menceritakan seorang
anak yang memiliki beban batin dengan kehidupan ibunya yang berprofesi sebagai
pelacur, hingga ia hanya bisa menulis “Ibuku seorang pelacur” dalam kertas
mengarangnya. Melalui Sandra, saya dapat melihat seorang anak yang cenderung ingin
mencari suatu kebenaran, “Mama,
apakah Sandra punya Papa?”. Sandra
ingin menemukan jati dirinya ditengah kehidupan ibunya yang seorang pelacur
sehingga segala pemikiran muncul dalam kepalanya membuatnya selalu gelisah.
Sandra yang seharusnya mendapat kasih sayang kedua orang tua dan nenek malah
tidak mendapatkannya. Cerpen “Pelajaran Mengarang” menampakkan adanya semacam
kegelisahan yang terasa menjadi realitas di panggung kehidupan kita, tentang
kehidupan bebas masyarakat kita.
Kegelisahan lain yang muncul
bila dikaitkan dengan masyarakat kita adalah adanya dekadensi moral pada saat
ini. Materialisme tampaknya menjadi alasan orang-orang untuk menghalalkan
berbagai profesi. Kehidupan ekonomi sebagian besar masyarakat yang masih susah
akibat gagalnya pemerintah dalam menjalankan roda ekonomi negara. Oleh sebab
itu, masyarakat memerlukan penanganan pemerintah dalam menyelesaikan konflik
sosial negara.
Dari pemaparan-pemaparan
di atas dapat saya simpulkan bahwa sastra adalah klise bagi realitas. Pada
hakikatnya sastra mengajarkan kehidupan yang terkait dengan realitas yang dulu
atau tengah terjadi dalam sebuah kehidupan masyarakat.
Sekilas
Ada hal yang saya tangkap dari cerpen ini
tentang dunia pendidikan. Mengingat Seno waktu SD, selalu duduk di baris tengah
agak depan. Gurunya selalu mengatakan ”Yang pintar duduk di belakang, yang
kurang bisa menangkap pelajaran duduk di depan,”. Sehingga Seno kecil selalu
diposisikan sebagai mediocre, atau
“golongan tengah”. Itu membuatnya tidak pernah merasa hebat. Sebaliknya, selalu
merasa kurang. Saya tergelitik dengan pengakuan beliau yang pernah saya basa di
salah satu surat kabar tentang dunia SD-nya waktu itu. Dari situ, saya
beranggapan bahwa Seno mengkritik tindakan guru yang memetak-metakkan siswa
sesuai dengan kepintaran.
Dalam
pengakuannya, Seno Gumira Adjidarma, Cerpen Pelajaran mengarang adalah
sebuah studi tentang tehnik
menulis, tepatnya teknis mengarang, katanya dalam tulisannya Tentang
Empat Cerpen dalam buku Trilogi Insiden.
SUMBER:
No comments:
Post a Comment