KEHIDUPAN
SOSIAL PADA CERPEN “ DAUN-DAUN WARU DI SAMIRONO”
NH. DINI
OLEH
Retno
Galuh Diyanti - 100211404905
Analisis
Ekspresif Cerpen “Daun-daun Waru di Samirono”
2.1 Apresiasi
2.1.1 Biografi
Nurhayati
Sri Hardini Siti Nukatin, lahir
di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936 (umur 74 tahun) atau
lebih dikenal dengan nama Nh. Dini adalah sastrawan,
novelis,
dan feminis Indonesia.
NH Dini dilahirkan dari
pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang
tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia
masih berdarah Bugis,
sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya
muncul".
NH Dini mengaku mulai
tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan
tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri
mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik
yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari
bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa
dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk
watak dan pemahamannya akan lingkungan.
Sekalipun sejak kecil
kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya
kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita
jadi supir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya
itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi
penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin
tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir
jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang
mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat
ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan
tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin
terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding
sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama
dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia
rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam
acara Tunas Mekar.
Peraih penghargaan SEA
Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap
sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang
pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan
terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra
feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan
puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati
Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal,
diantaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975)
atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998),
belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau
cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang
terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat
orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan
khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam
karyanya yang terbaru berjudul Dari
Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang
bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang
menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya;
'kebawelan yang panjang.'
Hingga kini, ia telah
menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita
tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini
terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya
sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran
hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari
karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini
adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan
jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
Bukti keseriusannya dalam
bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika
menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya
ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok
sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri.
Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah
remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi
nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan
naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun
menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI)
Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.
Pada 1956, sambil bekerja
di Garuda
Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan
kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah
bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit
dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah
Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara
cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan
sakit sekalipun, ia terus berkarya.
Dini dikenal memiliki
teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan
sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik
penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang.
Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik
konvensional.
Ia mengakui bahwa
produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya
yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu
terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan
adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan
lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia
tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.
Pengarang yang senang
tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan
menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan
berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian
ditulisnya bila sudah terangkai cerita.
Dini dipersunting Yves
Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak,
Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36 tahun).
Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai konsekuensi
menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya
ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja.
Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya
pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis
dela Natura (Green Peace). Dia turut
serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal
tanker di pantai utara Perancis.
Setahun kemudian ia mengikuti
suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit,
AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini berpisah
dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan
RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Mantan suaminya masih
sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika
akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa
ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang
menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak.
Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya
memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok
baca anak-anak di Sekayu, Semarang.
Dini yang pencinta lingkungan dan
pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam,
tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman
panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala
terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala
itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya
amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang
ada sel asing. Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis
dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia
sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA,
mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak
terbantahkan lagi.
Mengisi kesendiriannya, ia
bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu,
ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai
pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar
Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi.
Menjadi pengarang selama
hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima
royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun
sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh
teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.
Tahun 1996-2000, ia
sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis,
ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan.
Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah
menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup
sampai tahun 2000.
Dini kemudian sakit
keras, hepatitis-B, selama 14
hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto.
Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di
empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain
memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa
Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh
ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25
ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar
bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian
menetap di Sleman, Yogyakarta.
Ia yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha
Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas,
istri Sultan
Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan
Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu
buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap
menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan.
Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam
bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya
membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional,
geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita
tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi
dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang
pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa
berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran.
Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya
jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun
mempunyai pekerjaan lain.
Dalam kondisinya
sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. Ia merasa beruntung
karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang
senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah
menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan
harga diri.
Ia juga pernah ditawari
bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih
menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. Bagi
Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya
terbuka lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau
kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara
yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.
Menyinggung soal seks,
khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya
wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut
kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah
perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya. Nh. Dini sekarang
tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran.
2.1.2
Analisis
Dalam karyanya, Nh. Dini menciptakan tokoh Mbah Jum,
seorang wanita tua pencari daun waru. Dalam menceritakan tokoh Mbah Jum,
pengarang tidak lupa menyisipkan nilai sosial, yakni karakter individual tokoh
dan hubungannya diantara karakter-karakter yang diciptakan pengarang. Pemahaman
suatu karakter sendiri tidak semata-mata paham saja namun dapat mempelajari
hubungan tokoh dengan lingkungannya, interaksi tokoh dan prinsip tingkah laku manusia (tokoh)
secara umum. Dengan demikian, analisis dalam cerpen ”Daun-daun Waru di Samirono”
dapat diuraikan sebagai berikut:
Ø
Karakter tokoh
Pengarang
menciptakan tokoh Mbah Jum dengan semua karakter yang melekat pada tokoh itu.
Dalam ceritanya, Mbah Jum adalah wanita dengan semangat hidup tinggi dan tidak
mau menyusahkan orang lain, mungkin Nh. Dini mengibaratkan sikap seorang Mbah
Jum sebagai cerminan dirinya.
….
Semua orang mengenal dia. Hanya pendatang baru, misalnya anak-anak yang
mondok di kos-kosan, pengontrak rumah pengganti penghuni lama yang akan
bertanya: Siapa mak atau mbah Jum itu?
….
Dari
cuplikan di atas, pengarang menciptakan karakter tokoh Mbah Jum sebagai orang
yang dikenal semua orang di kampungnya. Dengan melekatkan karakter yang
demikian, tokoh Mbah Jum memiliki karakter yang baik sehingga dikenal oleh
banyak orang, hal ini menjadi cerminan seorang Nh.
Dini yang begitu terkenal karena karya-karya mutakhir yang diciptakannya. Selain itu, karakter tokoh juga
dijelaskan pengarang seperti dalam cuplikan berikut ini:
….
Untuk mendapatkan uang
paling sedikit Rp. 3000, timbunan ranting harus menggunung setinggi lututnya.
Selembar daun dihargai tiga puluh rupiah. Meskipun di bawah lipatan pakaian di
kardus dia masih menyimpan beberapa ribu rupiah sisa upah membantu kondangan
lalu, tetapi ia harus menambah lagi. Lebaran mendatang dia ingin membeli kain
bercorak parang yang sudah lama dia idamkan.
….
Dari cuplikan di atas, terbentuk
karakter tokoh yang berkemauan keras sebagai makhluk individu. Sebagai seorang
yang individu, tokoh Mbah Jum berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri,
walaupun di usia yang sudah renta. Hal tersebut mencerminkan pula sosok Nh.
Dini yang bekerja keras walau diusianya yang sudah lanjut. Dari sini, pengarang
berusaha mengajarkan kepada pembaca, bahwa sebagai makhluk individu manusia
harus dapat berusaha sendiri untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya.
Ø
Hubungan karakter tokoh dengan
lingkungannya
Hubungan karakter tokoh dengan
lingkungannya terkait dengan interaksi tokoh dengan serangakaian unsur yang ada
dalam lingkungan tempat tinggalnya. Dalam menciptakan tokoh Mbah Jum, pengarang
juga melibatkan unsur ini. Hal ini dapat dilihat dari cuplikan berikut:
…
Beberapa tukang becak
yang mangkal di kelokan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang
dari mereka menarik sebatang bambau yang diselipkan diantara dahan pohon waru.
“Daunya hari ini
bersih-bersih, Mbah,”katanya sambil menyerahkan galah kepada perempuan berambut
abu-abu itu.
“Nuwun, Masa, nuwun”,
kata Mbah Jum sambil melepas selendang pengikat gendongan, lalu meletakannya di
dalam tenggok di tanah.
Dari cuplikan di atas, terlihat adanya
hubungan karakter tokoh dengan lingkungannya. Dalam lingkungan, masyarakat
adalah salah satu unsur yang ada di dalamnya. Sebagai seorang yang tua, tokoh
Mbah Jum adalah orang yang berhubungan baik dengan lingkungannya. Memang dalam
kehidupan bermasyarakat, seseorang akan diterima lingkungannya dan dihormati
orang lain jika orang itu baik. Hal ini
diciptakan pengarang pada tokoh Mbah Jum untuk meberitahukan, bahwa orang baik
akan diterima dilingkungannya jika memiliki karakter yang baik. Hal tersebut
persis dengan kehidupan bermasyarakat Nh. Dini, ia begitu dikenal masyarakat
dan memiliki citra sebagai penulis yang hebat sampai-sampai penghargaan dari
luar negeri pun diraihnya (peraih penghargaan SEA Write Award di
bidang sastra dari Pemerintah Thailand).
Selain berhubungan dengan masyarakat,
pengarang menciptakan tokoh Mbah Jum yang memiliki keterikatan dengan alam.
Hubungan itu dijekaskan pada cuplikan berikut:
....
Seingat Mbah Jum, para
tetangganya sering menyebut September karena berarti sumbere kasep. Perempuan
tua itu hanya mengenal nama-nama bulan Jawa melalui hitungan cahaya malam di
langit: Jumadil akhir, ruwah.....Dia baru menyadari bahwa poso atau puasa sudah
tampak di ambang waktu
...
Mbah Jum begitu akrab dengan alam,
bahkan tanpa menggunakan kalender beliau mampu menghitung bulan hanya dengan
melihat cahaya malam di langit. Betapa bersahabatnya tokoh Mbah Jum dengan
langit. Hal tersebut sangat mencerminkan sikap seorang Nh. Dini yang mencintai
lingkungan, terbukti selama ikut suaminya di Paris, ia
tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh
tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.
Ø
Interaksi semua karakter
Dalam menciptakan tokoh utama dan
beberapa tokoh sampingan, ada hubungan karakter antar tokoh dalam cerita.
Penciptaan tokoh-tokoh ini menimbulkan interaksi, terutama dalam hubungannya
sebagai makhluk sosial atau sebagai bagian dari masyarakat. Interaksi antar
tokohnya dapat dilihat dari cuplikan berikut:
...
Sambil mengawasi dari
jauh siapa yang berseru, otak erempuan itu sempat berfikir. Panggilan kepadanya
dimulai dari Lek, Mak, kemudian berubah menjadi Mbah dari waktu ke waktu
menuruti perubahan penampilan tubuh dan lebih-lebih warna rambutnya. Kali itu,
sebutan Mak tentu diucapkan oleh seseorang yang sudah cukup lama mengenal dia.
Laki-laki yang duduk
di bangku warung seberang jalan menggerakkan tangan kanan di tentangan kepala
sebagai pemberitahuan bahwa dialah yang menegur.
Mak Jum berhenti,
berdiri tepat di pinggir trotoar menghadap ke seberang. Dia seru menjawab.
....
Dari cuplikan di atas, pengarang
menciptakan interaksi antar tokoh yakni tokoh Mbah Jum dengan seorang
laki-laki. Dalam kehidupan bermasyarakat, memang harus terjadi interaksi antar
sesama manusia. Dengan karakter Mbah Jum yang baik dan ramah, tentu juga
berpengaruh terhadap sikap terutama
dalam berhubungan dengan orang lain. Interaksi tokoh Mbah Jum dengan laki-laki
itu, ditunjukkan dengan lambaian tangan yang menunjukkan bahwa itu sebuah interaksi.
Meskipun tidak ada dialog, bahasa tubuh seoerti lambaian tangan itu, merupakan
tanda adanya interaksi dan hubungan baik. Demikian sikap Nh. Dini yang begitu
ramah terhadap lingkungan, ia mencintai alam, anak-anak, dan begitu pula
sebaliknya, masyarakat terbukti peduli terhadapnya. Sebagai contoh, ketika Nh.
Dini terjangkit hepatitis B, para siswa-siswi SD di lingkungannya menyumbangkan
sedikit uang saku mereka untuk kesembuhan penulis novel Dua Dunia tersebut. Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto beserta Dewan Kesenian Jawa Tengah pun turut turun tangan membantu biaya
pengobatan Nh. Dini. Dituangkan pula oleh Nh. Dini dalam cuplikan berikut.
....
Dia tidak tahu
usiannya yang pasti. Pak Dukuh memberinya tahun kelahiran yang dikira-kira
saja. Waktu itu penduduk harus ditata karena negara sudah teratur dan merdeka,
kata Pak Bayan.
....
Interaksi antar tokoh juga terlihat dari
cuplikan di atas. Interaksi yang digambarkan melalui tokoh Pak Dukuh terhadap
Mbah Jum, adalah hubungan seorang lurah atau kepala kawasan terhadap tokoh Mbah
Jum, seorang wanita tua yang tidak tahu akan tanggal lahirnya. Dengan demikian,
pengarang mengajarkan kepada pembaca bahwa seorang lurah harus memperhatikan
warganya, sampai hal terkecil sekalipun. Terutama terhadap orang yang baik.
Ø
Prinsip tingkah laku manusia (tokoh)
secara umum
Dalam menciptakan tokoh
dan membangun cerita, pengarang mewujudkan prinsip tingkah laku manusia secara
umum untuk menunjukkan kepada pembaca, bahwasanya orang yang baik akan mendapatkan
kebaikan pula. Hal ini terlihat pada cuplikan berikut:
....
Dia tetap
menjadi bagian keluarga Bu Guru. Makanan tidak sulit, karena dimana-mana orang
mengulurkan sepincuk nasi bersama lauk, segelas teh atau air. Sedangkan di
dapur keluarga Bu Guru, dia mendapat sajian di atas papan rak nasi lengkap
dengan masakan hari itu
....
Dari cuplikan di atas,
digambarkan tokoh Mbah Jum adalah seorang yang tidak sulit untuk mendapatkan
makan. Walaupun usianya sudah renta, dia tidak perlu sampai mengemis hanya
untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal ini karena karakter baik yang melekat dalam
diri Mbah Jum, pastilah akan dibalas dengan kebaikan pula.
…
Hingga saat kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung, dia
selalu menyapu dan membersihkan pekarangan. Bila ledeng tidak mengalir, dia
mengangsu dari sumur di tengah kampung.
....
Cuplikan di atas juga
merupakan sebuah gambaran bahwa seseorang yang bersikap baik kepada orang
lain, akan mendapat perlakuan yang sama
pula. Karena pada dasarnya, manusia
harus menyadari bahwa dirinya diciptakan sebagai makhluk individu
sekaligus makhluk sosial. Kebaikan pengarang yakni Nh. Dini pun telah mendapat
seribu balasan. Mulai dari anak-anak sampai pemangku jabatan peduli akan
keadaan yang menimpa pengarang besar tersebut.
SINOPSIS CERPEN:
Diceritakan, seorang wanita tua yang kira-kira berumur 78 tahun. Dia tidak
tahu tanggal dan tahun kelahirannya, sehingga Pak Lurah pun mengira-ngira saja
tahun kelahiran wanita tua itu. Semua orang biasa memanggilnya Mbah Jum.
Panggilan kepadanya dimulai dari Lik, Mak, kemudian berubah menjadi Mbah, dari
waktu ke waktu menuruti perubahan penampilan tubuh dan warna rambut.
Mbah Jum adalah seorang pencari daun waru untuk pembungkus tempe gembus.
Dia merupakan satu-satunya pemasok daun waru untuk pembungkus tempe di
daerahnya. Tidak ada orang yang tidak kenal dengan Mbah Jum. Dia menjadi nenek
bagi seisi kampung. Setiap ada kondangan, tenaga Mbah Jum sangat berguna untuk
mengupas, membersihkan dan mengiris sayur. Namun, pekerjaan tetapnya adalah
sebagai pencari daun waru.
Mbah Jum tinggal seorang diri. Dia sudah tidak ingat dari mana dia
berasal. Yang diingatnya adalah mengungsi, setelah bencana letusan gunung
Merapi yang menyapu habis seluruh kampung dan isinya. Setelah itu, dia dibawa
orang yang biasa dia sebut sebagai Bu Guru, ke kota Raja. Mulai saat itu Mbah
Jum tinggal di belakang rumah Bu Guru. Bu Guru selalu menyuruh pembantunya
untuk memanggil Mbah Jum, sekadar untuk makan di rumahnya.
Tenaga Mbah Jum berkurang setelah terjadi kecelakaan bis dan memusnahkan
separuh isi kampung. Pekerjaan yang membutuhkan kekuatan pundak, punggung, dan
pinggul sudah tidak dapat ia lakukan. Setelah kecelakaan itu, Bu Guru meninggal
tetapi masih ada anak dan cucu Bu Guru yang mau memperhatikan Mbah Jum.
Suatu ketika, Mbah Jum hendak mencari daun waru. Sebelumnya dia merasakan
sakit di dada kirinya dan menyangkanya hanya masuk angin. Sakit di dadanya itu
tidak lagi dia pikirkan. Dalam perjalanannya, ada beberapa kuli bangunan yang
sedang istirahat di sebuah warung dan menyapanya, tentu saja Mbah Jum
membalasnya walaupun dengan suara yang tertelan oleh bising kendaraan dan angin
yang berhembus kencang. Akhirnya, sampailah Mbah Jum di sebuah belokan tempat
dia mencari daun waru.
Pohon waru yang tinggi memang berdiri kokoh di sana, dan Mbah
Jum langsung menengadah, mengaitkan pisau di ujung galah ke ranting-ranting
yang bisa digapai. Beberapa kuli bangunan juga membantunya saat itu. Mbah Jum
terus menengadah dan mencari daun waru sebanyak-banyaknya demi untuk
mendapatkan uang Rp 3000,00. Seketika, Mbah Jum merasakan sakit di dada kirinya
dan di situlah ajal menjemputnya. Mbah Jum sudah tidak merasakan apa-apa lagi.
No comments:
Post a Comment