Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Wuri Setya Wardhani

Gaya Satire Sajak Agus R. Sarjono
Oleh
Wuri Setya Wardhani - 100211404898


Agus R. Sarjono dikenal sebagai seorang penyair, cerpenis, dan esais. Pria yang lahir di Bandung, 27 Juli 1962 ini aktif mengikuti banyak organisasi. Ia dulu juga pernah menjabat sebagai ketua Unit Pers Mahasiswa di IKIP Bandung pada tahun 1987-1989. Mungkin karena pengalaman berorganisasi inilah, yang membuat karakter tersendiri terhadap puisi yang yang diciptakannya.



Puisi-puisi Agus R. Sarjono ini banyak menggunakan gaya satire. Satire adalah gaya yang digunakan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Sindiran yang diungkapkan oleh Agus ini banyak yang mengarah pada tindakan protes sosial. Tak hanya itu, dengan gayanya yang sederhana, ia juga memasukkan unsur kesedihan, kekecewaan, dan harapan. Ia memberikan roh kepada benda-benda mati, kemudian melontarkan protes-protesnya lewat benda yang dihidupkannya tersebut. Mereka semua memiliki jiwa yang bisa merasa dan mempunyai harapan layaknya manusia. Ini membuktikan bahwa ia menggunakan pengalamannya menggeluti dunia pers. Ia menggunakan teknik wawancara yang melahirkan harmonisasi yang sederhana tapi bermakna.
Sebuah perhatian tentang kehidupan bangsa selalu tercermin dalam guratan puisinya. Gugatan terhadap para politisi dan penguasa yang memberi tempat untuk kesedihan dan keterlukaan bangsa ini. Jeritan rakyat Indonesia dalam ketidak layakan hidup membuatnya tersentuh dan menuangkannya dalam puisi-puisinya. Hujatan terhadap bobroknya moralitas juga turut menghiasi deretan karyanya.

Air Mata Hujan

Jangan bidikkan aku, ronta Bedil sambil menggigil. Diam!
Bentak tangan. Aku harus meledakkan anak-anak itu.
Tapi mereka masih belia ! Lihatlah senyumnya yang muda
dan mereka tidak meminta lain selain kesejahteraanmu juga.
Bukankah engkau sering mengumpati gaji yang tak cukup
nafas hidup yang sempit, hingga harus berderap kian kemari
mengutip sesuap nasi

Jangan bidikkan aku, raung Bedil. Diam ! Ini bukan persoalan
bukan persoalan pribadi, hardik Tangan. Ini masalah politik.
Satu dua nyawa
sebagai taktik. Tapi ini bukan soal angka,
bukan soal satu dua
tapi soal ibu meratap kehilangan, soal dimusnahkannya
satu kehidupan
soal masa depan manusia yang dibekam. Soal hal……
Tutup mulutmu barang dinas ! Kamu hanya alat
dan jangan berpendapat. Itu urusan politisi di majelis sana
Tapi mereka hanya bahagia ! Sergah Bedil.
Mereka
tak pernah peduli padamu, pada mereka, pada yang miskin
dan teraniaya. Mereka tak mengurusi siapa-siapa selain
dirinya. Dor !
Bedil itu tersentak. Jangan …… Dor….dor…..dor….
dor……. Selesai sudah

gumam tangan. Bukankah ini sudah berlebihan, isak Bedil.
Entahlah, gumam Tangan, aku tak tahu. Aku penat.
Aku hanya ingin istirahat. Semoga istri dan anak-anakku
di rumah sana semuanya selamat.

Bedil itu menjelma hujan. Tak putus-putusnya
mencurahkan airmata.

1998

            Dalam puisi Air Mata Hujan tersebut, Agus memberikan nyawa kepada Bedil dan Tangan. Bedil dan Tangan menjadi hidup. Mereka sama-sama memiliki rasa dan harapan.
gumam tangan. Bukankah ini sudah berlebihan, isak Bedil.
Entahlah, gumam Tangan, aku tak tahu. Aku penat.
Aku hanya ingin istirahat. Semoga istri dan anak-anakku
di rumah sana semuanya selamat.

Sebuah kritik sosial politik yang diciptakan oleh percakapan Bedil dan tangan. Mereka semua menuntut adanya keadilan dan kesejahteraan yang selama ini tidak dapat mereka rasakan. Di sini Agus tidak hanya mengusung sebuah gugatan, tapi ia juga membumbuhinya dengan mengusung elemen kesedihan. Hal ini dibuktikan pada larik berikut.

Bedil itu menjelma hujan. Tak putus-putusnya
mencurahkan airmata.

SAJAK PALSU

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hokum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan dan seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu

Kepawaian Agus R. Sarjono mengangkat masalah sosial yang mungkin dianggap sepele ini membuktikan bahwa Agus adalah seorang ‘penyair penggugat’. Mungkin banyak diantara kita yang tidak peka dengan palsunya kehidupan ini. Semuanya bagi Agus hanyalah sekedar omong kosong. Melalui Sajak Palsu inilah, Agus mencoba menelisik sumber kepalsuan tersebut. Baginya kepalsuan ini akan terus mengakar kepada generasi berikutnya, karena bobroknya dunia pendidikan. Sajak ini menggambarkan sebuah sindiran untuk para pendidik. Karena dianggapnya, sumber dari kepalsuan ini adalah bobroknya moral pendidik. Mereka tidak memadamkan kepalsuan hidup ini, tetapi mereka menambah bara kepalsuan ini. Sehingga kehidupan yang palsu ini semakin menjadi. Menciptakan generasi yang tidak memiliki moralitas sama sekali.

Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru.

            Kutipan di atas menggambarkan bahwa siswa dan guru sama-sama berperilaku negatif. Seharusnya saat amplop itu diberikan, sebagai guru yang seharusnya menjadi panutan bagi peserta didiknya, tidak mengambil dan memolak amplop itu. Tapi saying, Sang Guru menerimanya. Inilah realita yang selama ini ditangkap oleh Agus R. Sarjono. Bagaimana Negara ini akan maju kalau generasi muda dibiarkan berperilaku bobrok. Mereka bingung harus meneladani siapa. Sedangkan yang memberikan teladan juga tidak baik.

Di Sebuah Restoran Indonesia, Juni 1998

Berilah kami sepiring makanan, dengan menu bergizi.
Maafkan kami.
Sudah lama restoran kami tidak menyediakan lagi nasi, apalagi lauk pauk.
Lalu apa yang bisa kami pesan?
Oh, Anda bisa memesan semangkuk isu politik, misalnya.
Persediaan kami lengkap:
isu-isu dingin maupun isu panas.

Berilah kami sepiring nasi dengan lauk pauk seadanya.
Maafkan kami, jangan memesan yang aneh-aneh.
Semua itu barang mewah.
Ingat ini jaman krisis dan reformasi.
Cobalah memesan yang lebih murah:
anarkhisme atau partai politik.
Di sini tersedia berbagai jenis partai
dari yang lunak hingga yang keras.
Kami juga sedia partai atau politisi instan.
Murah dan meriah.
Bisa dibungkus dan dibuka beramai-ramai di dalam rumah.

Sebagai pembuka kami sajikan segelas
anggur reformasi: segar dan penuh semangat.
Kalian bisa berbicara dan mengutuk keadaan sekeras-kerasnya.
Nah, selamat jalan.
Semoga Anda jadi pahlawan.

1998

            Berbagai sindiran terus dilontarkan Agus R. Sarjono dalam puisi-puisinya. Seperti puisi yang berjudul Di Sebuah Restoran Indonesia, Agus membuat kritik sosial politik. Dengan kesederhanaanya, ia menciptakan sindirannya dengan gaya humor yang sangat ringan. Sebuah percakapan yang terjadi di sebuah restoran. Tetapi restoran ini lain daripada yang lain. Mereka menjual menu-menu politik. Dalam puisi ini, Agus menunjukkan kondisi perpolitikan bangsa yang murah. Para politisi yang sibuk dengan dirinya sendiri, inikah yang dikatakan reformasi.

            Demikianlah satire yang terkandung dalam beberapa puisi Agus R. Sarjono. Masih banyak lagi sindiran yang dilontarkan Agus dalam puisi-puisinya yang lain. Tapi yang terpenting, beberapa puisi yang telah ditelaah di atas membuktikan bahwa Agus R. Sarjono adalah seorang ‘penyair penggugat’.

No comments:

Post a Comment