POTRET KEHIDUPAN
JEMBEL DALAM CERPEN LAMPOR
Oleh
Wuri Setya
Wardhani - 100211404898
Tahun 1994, Kompas kembali
melakukan tradisinya memilih cerpen-cerpen terbaik yang pernah dimuat. Tradisi
rutin ini sudah dilakukan Kompas
untuk ketiga kalinya. Tujuan diadakannya tradisi ini adalah untuk memberikan
penghargaan terhadap cerpen terbaik pilihan Kompas.
Pemilihan cerpen terbaik Kompas ini,
mengahdirkan beberapa juri. Diantara juri yang ditunjuk adalah cerpenis
sekaligus novelis Budi Darma. Melalui perdebatan yang panjang, akhirnya cerpen
“LAMPOR” karya Joni Ariadinata ini berhasil merebut gelar juara terbaik.
Dengan kesederhanaanya, Joni membuat saya terkesan atas
karyanya. Sebuah karya yang mengangkat peristiwa yang ‘sepele’, namun mampu
merebut hati para juri dan mengalahkan beberapa cerpen seperti Salvador,
Klandestin, Misteri Kota Ningi karya Seno Gumira Ajidarma dan beberapa
pengarang lain seperti Satyagraha Hoerip dengan cerpennya Parang Garudo serta
mengalahkan cerpen Peang karya Agus Noor.
Perjuangan seorang Joni Ariadinata untuk menjadi seorang
penulis akhirnya terwujud juga. Dengan berbekal tekad yang kuat dan kerja
keras, akhirnya cerpennya berhasil menembus media cetak. Joni Ariadinata adalah
seorang penulis yang sudah melahirkan beberapa karya. Beberapa karyanya juga
telah memeproleh penghargaan, diantaranya adalah cerpen Lampor ini dan pada tahun
1997 meraih penghargaan Cerpenis Terbaik
Nasional BSMI atas karyanya Keluarga Mudrika. Selain
itu, ia juga menerima Anugrah Pena 2005 atas kumpulan cerpennya “Malaikat
tak Datang Malam Hari”. Tahun 2007 kumpulan cerpen “Malaikat Tak
Datang Malam Hari kembali” meraih Hadiah Sastra Pusat Bahasa. Begitulah
perjuangan seorang Joni Ariadinata.
Kembali kepada cerpen Lampor, Joni berusaha mengulik
kehidupan yang ada di masyarakat. Tetapi kali ini ia seperti sedang mengulik
sebuah maket. Maket kecil sebagai potret kehidupan keluarga jembel. Ini
merupakan potret kehidupan nyata sebuah keluarga. Keluarga yang sama sekali
tidak mengindahkan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Bahkan nilai agama yang
menjadi kebutuhan dan pondasi seseorang dalam hidup tidak ada sama sekali. Semuanya
mengalir begitu saja tanpa melibatkan unsur manipulasi.
Memang pada masa orde baru, kehidupan masyarakat Indonesia
benar-benar mengalami kemunduran. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan
seperti repelita, swasembada beras dan lain-lain. Meskipun cara tersebut
agaknya sedikit berhasil, tetapi masih belum bisa mengentaskan kemiskinan
masyarakat Indonesia. Barangkali kalau boleh saya simpulkan, kemiskinan di
Indonesia ini sudah membudaya. Dari beberapa sumber yang saya baca, kemiskinan
di Indonesia ini berkaitan erat dengan konsep dan permasalahan ketidakadilan
dan disintegrasi kelompok. Pola kekuasaan yang ada memungkinkan sebagian kecil
atau sekelompok individu merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dan
kesempatan yang sama. Kelompok seperti ini akan menjadi akar di masyarakat yang
berperilaku menyimpang.
Berawal dari sebuah budaya kemiskinan, tak hanya Joni saja
yang mengangkat tema tersebut, tetapi juga banyak sastrawan lainnya seperti
Moh. Anwar dalam kumpulan puisinya Sebelum Senja Selesai. Dalam kumpulan
puisinya tersebut, ada sebuah puisi yang berjudul Membangun Kota Sunyi yang
ditulisnya tahun 1993. Puisi tersebut juga mengungkapkan sebuah potret
kehidupan kelam yang tak bisa dilupakan. Saya tidak akan membahas lebih jauh
tentang puisi ini. hanya sebagai bandingan saja.
Dalam bukunya, Dorodjatun juga mengungkapkan bagaimana
kemiskinan di masa orde baru. Kebanyakan kemiskinan ini diakibatkan oleh
migrasi penduduk. Penduduk desa berbondong-bondong datang ke kota. Mereka lebih
memilih tinggal di kota meskipun tinggal di perkampungan. Hal ini kemudian ia
ungkapkan sebagai kebudayaan kemiskinan. Pada masa itu memang banyak ditemui
rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, dan bergerombol. Kebanyakan
anak-anak yang tumbuh di sana lebih cepat dewasa sehingga banyak terjadi
pernikahan dini. Adanya kehidupan tersebut menambah beban kesengsaraan. Seorang
Ibu adalah yang paling menderita diantara keluarganya. Karena kesengsaraan
tersebut, akhirnya mereka akan kehilangan kendali diri dan dorongan nafsu.
Sehingga mereka bersikap brutal dan berperilaku menyimpang.
Kondisi ini digambarkan Joni lebih halus dalam cerpennya yang
berjudul Lampor. Kalau Dorodjatun lebih menggambarkan kehidupan mereka secara
umum, Joni lebih ingin menggambarkan kondisi mereka secara detail. Bagaimana
kondisi rumah, lingkungan, sungai yang kotor, kehidupan, dan bahasa mereka yang
sangat kasar yang tidak ada unsur hormat-menghormati diantara anggota keluarga.
Gambaran tentang setting dipilih Joni sebagai permulaan
cerpennya. Sebuah gambaran yang benar-benar nyata tentang sebuah lingkungan
yang dihuni oleh sebuah keluarga, lingkungan yang lebih mirip seperti kandang
babi. Sebuah deskripsi halus yang diberikan oleh Joni ini barangkali langsung
akan menarik pikiran pembaca seolah-olah berada di tempat tersebut.
Plastik-plastik terapung, lumpur coklat kecoklatan, perkakas
penyok, bangkai anjing dengan perut gembung, lalat hijau, sampah busuk. Amat
bisa bahkan bagus untuk dinikmati. Manakala air Kali Comberan membentuk harmoni
alam yang kelewat simetris dengan ilustrasi deretan gubuk primitif mirip
kandang babi. Karya fotografi modern gemilang jika bisa membidiknya secara
tepat-pasti: ketika anak-anak dekil mulai mandi, perempuan-perempuan mencuci
piring dan daki, pantat-pantat separuh telanjang mengeluarkan kotoran. Secara
serempak dan tetap: pagi pukul delapan,
sore pukul lima. Kotoran dengan larutan bakteri kental lewat campuran
air mengalir, adalah hal yang teramat sederhana buat jadi pikiran. Teramat
sepele buat jadi pertimbangan.
Sebuah
deskripsi yang benar-benar nyata. Perpaduan antara gamblangnya latar tempat dan
suasana yang diangkat dari sebuah pemukiman yang bisa saya katakan kumuh.
Joni
memilih lima orang tokoh dalam cerpennya, yaitu Tito, Rohanah, Rois, Abah
Marsum dan Sumiah. Joni memberikan karakter yang senada kepada masing-masing
tokoh, tetapi tidak sama persis. Karakter yang dinilai senada ini karena mereka
sama-sama beringas. Tidak ada cita-cita untuk lebih baik dengan usaha yang baik
pula. Bagaimana mungkin seorang Abah Marsum menginginkan kehidupan yang lebih
baik dan kaya jika ia hanya berpangku tangan, menunggu mimpi-mimpi dan
mencocokannya dengan nomor togel. Sementara Sumiah, setiap hari selalu
menggerutu karena ia harus bekerja keras sementara suaminya hanya duduk diam
tak menghasilkan uang. Berbagai umpatan dengan kata kasar selalu keluar dari
mulutnya setiap hari. Rohanah tumbuh menjadi gadis yang beringas, tidak punya
moral. Ia sering menggoda Jupri kemudian meminta uang kepadanya. Kehidupan yang
mereka jalani benar-benar seperti binatang. Tidak mengindahkan nilai moral sama
sekali. Mereka hanya memikirkan bagaimana mereka bisa punya uang untuk mengisi
perut mereka yang kosong. Kehidupan yang begitu susah membuat mereka dipenuhi
pikiran-pikiran yang negatif. Mencuri dan melacur. Berbagai umpatan dan kata
kasar seolah sudah menjadi pemandangan yang tidak mengherankan lagi.
“Hari ini tidak ada kopi!” Sumiah mnghempaskan badannya pada
bangku kecil dengan bunyi kreot. “Kau dengar Pak Tua? Hari ini tidak ada kopi!”
“Apa mulutmu tidak bisa berhenti perempuan buruk?”
“Keparat! Kali ini kowe yang harus dinas mengerti? Hey kowe
yang harus ngemis!” Sumiah berteriak-teriak. Lantas berjingkat pulang.
“Betul-betul keparat. Tak tahu diuntung.”
Tak hanya
berhenti melukiskan keadaan atau latar cerita tersebut. Joni juga memasukkan
gaya bahasa yang sering mereka pakai. Bahasa yang sangat kasar dan tak
mengindahkan nilai moral sama sekali. Barangkali bisa saya katakan bahwa bahasa
yang kasar seperti itu merupakan identitas mereka.
Joni
menggambarkan semua itu dengan gamblang dan nyata. Benar-benar mengangkat
sebuah fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Semuanya benar-benar sebuah
potret nyata dan memang terjadi adanya. Joni kali ini tidak memberikan petuah
atau nasihat, ia hanya menyuguhkan kepada pembaca deskripsi tentang sebuah
kehidupan yang hina seperti binatang. Oleh karena Joni Ariadinata hanya
menyuguhkan sebuah potret, ia memberikan ruang gerak kepada pembacanya untuk
menafsirkan karyanya. Ia membiarkan membaca menarik kesan cerita tersebut.
No comments:
Post a Comment