Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Wuri Setya Wardhani

POTRET KEHIDUPAN JEMBEL DALAM CERPEN LAMPOR
Oleh
Wuri Setya Wardhani - 100211404898


Tahun 1994, Kompas kembali melakukan tradisinya memilih cerpen-cerpen terbaik yang pernah dimuat. Tradisi rutin ini sudah dilakukan Kompas untuk ketiga kalinya. Tujuan diadakannya tradisi ini adalah untuk memberikan penghargaan terhadap cerpen terbaik pilihan Kompas. Pemilihan cerpen terbaik Kompas ini, mengahdirkan beberapa juri. Diantara juri yang ditunjuk adalah cerpenis sekaligus novelis Budi Darma. Melalui perdebatan yang panjang, akhirnya cerpen “LAMPOR” karya Joni Ariadinata ini berhasil merebut gelar juara terbaik.

Dengan kesederhanaanya, Joni membuat saya terkesan atas karyanya. Sebuah karya yang mengangkat peristiwa yang ‘sepele’, namun mampu merebut hati para juri dan mengalahkan beberapa cerpen seperti Salvador, Klandestin, Misteri Kota Ningi karya Seno Gumira Ajidarma dan beberapa pengarang lain seperti Satyagraha Hoerip dengan cerpennya Parang Garudo serta mengalahkan cerpen Peang karya Agus Noor.
Perjuangan seorang Joni Ariadinata untuk menjadi seorang penulis akhirnya terwujud juga. Dengan berbekal tekad yang kuat dan kerja keras, akhirnya cerpennya berhasil menembus media cetak. Joni Ariadinata adalah seorang penulis yang sudah melahirkan beberapa karya. Beberapa karyanya juga telah memeproleh penghargaan, diantaranya adalah cerpen Lampor ini dan pada tahun 1997  meraih penghargaan   Cerpenis  Terbaik  Nasional  BSMI  atas karyanya Keluarga  Mudrika. Selain itu, ia juga menerima Anugrah Pena 2005 atas kumpulan cerpennya “Malaikat tak Datang Malam Hari”. Tahun 2007 kumpulan cerpen “Malaikat Tak Datang Malam Hari kembali” meraih Hadiah Sastra Pusat Bahasa. Begitulah perjuangan seorang Joni Ariadinata.
Kembali kepada cerpen Lampor, Joni berusaha mengulik kehidupan yang ada di masyarakat. Tetapi kali ini ia seperti sedang mengulik sebuah maket. Maket kecil sebagai potret kehidupan keluarga jembel. Ini merupakan potret kehidupan nyata sebuah keluarga. Keluarga yang sama sekali tidak mengindahkan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Bahkan nilai agama yang menjadi kebutuhan dan pondasi seseorang dalam hidup tidak ada sama sekali. Semuanya mengalir begitu saja tanpa melibatkan unsur manipulasi.
Memang pada masa orde baru, kehidupan masyarakat Indonesia benar-benar mengalami kemunduran. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan seperti repelita, swasembada beras dan lain-lain. Meskipun cara tersebut agaknya sedikit berhasil, tetapi masih belum bisa mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia. Barangkali kalau boleh saya simpulkan, kemiskinan di Indonesia ini sudah membudaya. Dari beberapa sumber yang saya baca, kemiskinan di Indonesia ini berkaitan erat dengan konsep dan permasalahan ketidakadilan dan disintegrasi kelompok. Pola kekuasaan yang ada memungkinkan sebagian kecil atau sekelompok individu merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dan kesempatan yang sama. Kelompok seperti ini akan menjadi akar di masyarakat yang berperilaku menyimpang.
Berawal dari sebuah budaya kemiskinan, tak hanya Joni saja yang mengangkat tema tersebut, tetapi juga banyak sastrawan lainnya seperti Moh. Anwar dalam kumpulan puisinya Sebelum Senja Selesai. Dalam kumpulan puisinya tersebut, ada sebuah puisi yang berjudul Membangun Kota Sunyi yang ditulisnya tahun 1993. Puisi tersebut juga mengungkapkan sebuah potret kehidupan kelam yang tak bisa dilupakan. Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang puisi ini. hanya sebagai bandingan saja.
Dalam bukunya, Dorodjatun juga mengungkapkan bagaimana kemiskinan di masa orde baru. Kebanyakan kemiskinan ini diakibatkan oleh migrasi penduduk. Penduduk desa berbondong-bondong datang ke kota. Mereka lebih memilih tinggal di kota meskipun tinggal di perkampungan. Hal ini kemudian ia ungkapkan sebagai kebudayaan kemiskinan. Pada masa itu memang banyak ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, dan bergerombol. Kebanyakan anak-anak yang tumbuh di sana lebih cepat dewasa sehingga banyak terjadi pernikahan dini. Adanya kehidupan tersebut menambah beban kesengsaraan. Seorang Ibu adalah yang paling menderita diantara keluarganya. Karena kesengsaraan tersebut, akhirnya mereka akan kehilangan kendali diri dan dorongan nafsu. Sehingga mereka bersikap brutal dan berperilaku menyimpang.
Kondisi ini digambarkan Joni lebih halus dalam cerpennya yang berjudul Lampor. Kalau Dorodjatun lebih menggambarkan kehidupan mereka secara umum, Joni lebih ingin menggambarkan kondisi mereka secara detail. Bagaimana kondisi rumah, lingkungan, sungai yang kotor, kehidupan, dan bahasa mereka yang sangat kasar yang tidak ada unsur hormat-menghormati diantara anggota keluarga.
Gambaran tentang setting dipilih Joni sebagai permulaan cerpennya. Sebuah gambaran yang benar-benar nyata tentang sebuah lingkungan yang dihuni oleh sebuah keluarga, lingkungan yang lebih mirip seperti kandang babi. Sebuah deskripsi halus yang diberikan oleh Joni ini barangkali langsung akan menarik pikiran pembaca seolah-olah berada di tempat tersebut.
Plastik-plastik terapung, lumpur coklat kecoklatan, perkakas penyok, bangkai anjing dengan perut gembung, lalat hijau, sampah busuk. Amat bisa bahkan bagus untuk dinikmati. Manakala air Kali Comberan membentuk harmoni alam yang kelewat simetris dengan ilustrasi deretan gubuk primitif mirip kandang babi. Karya fotografi modern gemilang jika bisa membidiknya secara tepat-pasti: ketika anak-anak dekil mulai mandi, perempuan-perempuan mencuci piring dan daki, pantat-pantat separuh telanjang mengeluarkan kotoran. Secara serempak dan tetap: pagi pukul delapan,  sore pukul lima. Kotoran dengan larutan bakteri kental lewat campuran air mengalir, adalah hal yang teramat sederhana buat jadi pikiran. Teramat sepele buat jadi pertimbangan.

Sebuah deskripsi yang benar-benar nyata. Perpaduan antara gamblangnya latar tempat dan suasana yang diangkat dari sebuah pemukiman yang bisa saya katakan kumuh.
Joni memilih lima orang tokoh dalam cerpennya, yaitu Tito, Rohanah, Rois, Abah Marsum dan Sumiah. Joni memberikan karakter yang senada kepada masing-masing tokoh, tetapi tidak sama persis. Karakter yang dinilai senada ini karena mereka sama-sama beringas. Tidak ada cita-cita untuk lebih baik dengan usaha yang baik pula. Bagaimana mungkin seorang Abah Marsum menginginkan kehidupan yang lebih baik dan kaya jika ia hanya berpangku tangan, menunggu mimpi-mimpi dan mencocokannya dengan nomor togel. Sementara Sumiah, setiap hari selalu menggerutu karena ia harus bekerja keras sementara suaminya hanya duduk diam tak menghasilkan uang. Berbagai umpatan dengan kata kasar selalu keluar dari mulutnya setiap hari. Rohanah tumbuh menjadi gadis yang beringas, tidak punya moral. Ia sering menggoda Jupri kemudian meminta uang kepadanya. Kehidupan yang mereka jalani benar-benar seperti binatang. Tidak mengindahkan nilai moral sama sekali. Mereka hanya memikirkan bagaimana mereka bisa punya uang untuk mengisi perut mereka yang kosong. Kehidupan yang begitu susah membuat mereka dipenuhi pikiran-pikiran yang negatif. Mencuri dan melacur. Berbagai umpatan dan kata kasar seolah sudah menjadi pemandangan yang tidak mengherankan lagi.

“Hari ini tidak ada kopi!” Sumiah mnghempaskan badannya pada bangku kecil dengan bunyi kreot. “Kau dengar Pak Tua? Hari ini tidak ada kopi!”
“Apa mulutmu tidak bisa berhenti perempuan buruk?”

“Keparat! Kali ini kowe yang harus dinas mengerti? Hey kowe yang harus ngemis!” Sumiah berteriak-teriak. Lantas berjingkat pulang. “Betul-betul keparat. Tak tahu diuntung.”

Tak hanya berhenti melukiskan keadaan atau latar cerita tersebut. Joni juga memasukkan gaya bahasa yang sering mereka pakai. Bahasa yang sangat kasar dan tak mengindahkan nilai moral sama sekali. Barangkali bisa saya katakan bahwa bahasa yang kasar seperti itu merupakan identitas mereka.

Joni menggambarkan semua itu dengan gamblang dan nyata. Benar-benar mengangkat sebuah fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Semuanya benar-benar sebuah potret nyata dan memang terjadi adanya. Joni kali ini tidak memberikan petuah atau nasihat, ia hanya menyuguhkan kepada pembaca deskripsi tentang sebuah kehidupan yang hina seperti binatang. Oleh karena Joni Ariadinata hanya menyuguhkan sebuah potret, ia memberikan ruang gerak kepada pembacanya untuk menafsirkan karyanya. Ia membiarkan membaca menarik kesan cerita tersebut.

No comments:

Post a Comment