Puisi
Religius Taufik Ismail
(Pendekatan
Pragmatik)
Oleh
Indra
Nurdianto
1.
Hubungan
Pengarang dengan Karyanya
Hubungan antara Taufik Ismail dengan puisi
religiusnya tergambar pada puisi Sajadah Panjang. Salah satu pernyataan Taufiq
Ismail mengenai proses kreatif dalam menciptakan puisi adalah sebagai berikut.
Substansi puisi saya adalah angan-angan,
kenyataan, kepekaan dan kepekaan, kekenyangan, kelaparan, nyeri, seri, cinta,
keasyikan, penindasan, penyesalan, kecongkakan, kekebalan, tekad,
ketidakpastian, kelahiran, maut, kefanaan, ke Yang
Gaiban – semua terbaur di balik lensa luar biasa lebar tempat kita bersama
membaca panorama kehidupan masa kini dan sejarah masa lalu lewat sudut pandang
berbeda.
Pernyataan Taufiq Ismail tersebut
mengisyaratkan bahwa puisi-puisi yang diciptakan selain indah harus komunikatif
agar bermakna bagi pembaca. Selain itu, puisi yang diciptakan harus sedap
didengar dan dapat memberi kabar kepada pembaca. Kabar yang diberikan melalui
puisi tidak terbatas pada peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kepekaan dan
kepekakan, seperti kelaparan, kekebalan, kekenyangan, nyeri, seri, cinta, dan
sebagainya.
Dalam puisi Taufiq Ismail,
sepertinya ketuhanan bersumbu pada kemanusiaan yang senantiasa memberikan
seruan atau ajakan kepada ketauhidan, keimanan, keislaman, keihsanan,
ketakwaan, keikhlasan, ketawakalan, kesyukuran, kesabaran, dan sejenisnya.
Sementara itu, kemanusiaan yang bersumbu pada ketuhanan senantiasa mengajak
kepada silaturrahmi, rasa persaudaraan, persamaan, keadilan, kebaiksangkaan,
kerendahatian, ketepatjanjian, kelapangdadaan, kedermawanan, dan sejenisnya.
Tugas utama puisi dalam pandangan Taufiq Ismail, mengingatkan akan
keagungan-kemuliaan Tuhan atau kemuliaan martabat manusia, memberikan kesaksian
atas kondisi-kondisi penyikapan perilaku manusia atas keagungan-kemuliaan
Tuhan, dan memberi perlawanan atas perendahan-pelecehan-penyepelean atas
kemuliaan martabat manusia yang secara tidak langsung juga perendahan-pelecehan
kemuliaan Tuhan.
Hal itu semua menyiratkan bahwa
puitika atau estetika yang dianut Tufiq Ismail dapat disebut sebagai puitika
atau estetika zikir. Memang, dalam estetika zikir atau estetika tauhid, puncak
keindahan puisi terletak pada persaksian atau perjumpaan dengan keagungan
Allah; estetika zikir atau estetika tauhid menghendaki perpaduan keagungan dan
keindahan yang sesempurna-sempurnanya atau menuntut tercapainya keadaan jalal
(keagungan), jamal (keindahan), kamal (kesempurnaan), dan pada tingkat yang
terakhir kamil (kemulyaan). Inilah paradigma puitika atau estetika puisi Taufiq
Ismail. Bagi Taufiq Ismail ini adalah kaidah utama bagi estetika zikir.
Seperti pernyataan Taufik Ismail
dalam sebuah wawancara: "Bagi saya dan kesenian saya dalam hal ini tentunya
kesusastraan standar estetika terpokok ialah mengingat orang kepada Pencipta
Alam Semesta". Karya itu hendaknya senantiasa membuat orang jadi ingat,
tiada putus-putusnya, kepada Allah. Dia itu Esa. Dia tidak berbilang. Dia esa
sebenar-benar esa. Dia, yang ada sebelum kata "ada" itu ada. Estetika
yang mengingat orang kepada-Nya itulah yang terpokok bagi saya. Karya-karya
yang membuat orang hanya ingat pada dunia, terlena, atau mabuk kepayang,
tidaklah memenuhi persyaratan utama itu.
2.
Puisi
Taufik Ismail yang Berlatar Belakang Religius
Puisi “Sajadah Panjang” adalah pernyataan Taufiq
Ismail yang mengharukan tentang pengabdiannya pada Tuhan: Ada sajadah panjang
terbentang/ Dari kaki buaian/ Sampai ke tepi kuburan hamba/ Kuburan hamba bila
mati// Ada sajadah panjang terbentang/ Hamba tunduk dan sujud/ Di atas sajadah
panjang ini/ Diselingi sekedar interupsi/ Mencari rezeki, mencari ilmu/
Mengukur jalanan seharian/ Begitu terdengar suara azan/ Kembali tersungkur
hamba// Ada sajadah panjang terbentang/ Hamba tunduk dan rukuk/ Hamba sujud dan
tak lepas kening hamba/ Mengingat Dikau/ Sepenuhnya.//
Metafora “sajadah panjang” adalah metafora yang
jelas mendekatkan kita pada simbol Islam. Akan tetapi, yang terpenting
sebenarnya adalah kenyataan bahwa metafora itu merupakan simbol pengabdian
total. Melalui metafora tersebut, Taufiq Ismail hendak melukiskan dirinya
sendiri sebagai seorang yang selalu “tunduk dan sujud” dihadapan Tuhan. Kesibukan
duniawi memang tidak ditinggalkan sama sekali tetapi, kesibukan itu hanyalah
semacam “interupsi” yang sejenak saja. Begitu selesai urusan tersebut,
pengabdian melalui “sajadah panjang” itu akan kembali dilanjutkan. Di sini,
agama lagi-lagi tidak berperan sebagai sekadar “latar belakang”. Agama setidak-tidaknya
mewujud dalam nilai-nilainya dalam puisi tersebut adalah pokok soal terpenting.
Melalui “Sajadah Panjang”, Taufiq Ismail sebenarnya
sedang melakukan semacam pengingatan pada para pembaca puisinya tentang Tuhan.
Kecenderungan ini sebenarnya sama dengan pengakuan Taufiq Ismail sendiri. Tahun
1984, ia memang pernah membuat pengakuan bahwa karya sastra yang ditulisnya
adalah “sebuah zikir”. Artinya, melalui puisi-puisi yang ditulisnya, Taufiq Ismail
hendak membawa para pembacanya mengingat kepada Sang Pencipta. Menurutnya, prinsip
yang demikian dilandasi keinginan agar puisi yang ia buat masuk sebagai
kategori “kesenian yang mengekspresikan keislaman”. Akan tetapi, pengingatan
Taufiq Ismail tak berarti bahwa dia hanya membuat puisi tentang Tuhan saja.
Sebaliknya, Taufiq Ismail justru lebih banyak membuat puisi berdasar realitas
sosial yang ia hadapi. Justru dengan membahas persoalan-persoalan sosial dalam
puisinya, secara tidak langsung Taufiq Ismail ingin membawa pembacanya
menyadari kehadiran Tuhan.
Dalam sebuah kesempatan lain, Taufiq Ismail pernah
mengatakan bahwa tujuannya menciptakan puisi adalah untuk beramal saleh.
Baginya, hidup ini adalah sebuah sajadah yang terbentang dari kaki buaian
sampai tepi lahat. Kegiatan utama dalam sajadah itu adalah shalat. Kegiatan
lain hanya semacam penyela dari shalat. Akan tetapi, yang penting juga adalah
bagaimana mentransformasikan kegiatan sehari-hari agar menjelma menjadi
derivasi dari shalat.
Akherat, itulah tujuan kesenian Taufiq Ismail.
Hanya mencapai akherat bukan berarti meninggalkan dunia. Maka, berbeda dengan
kecenderungan puisi sufistik yang menekankan pada ekspresi religius saat
melakukan interaksi personal dengan Tuhan serta berusaha menghindari narasi
tentang dunia, puisi Taufiq Ismail justru menggunakan dunia sebagai kendaraan
menuju Tuhan. Hal ini, tergambar pada bait puisi sajadah panjang “Mencari
rezeki mencari ilmu/ mengukur jalanan seharian/ begitu terdengar suara adzan/ kembali
tersungkur hamba.”
Bagi Taufiq Ismail, tugas manusia sebagai
khalifah di dunia menunjukkan bahwa manusia sama sekali tidak boleh
meninggalkan dunia. Melalui kehidupan sosial, yaitu interaksi manusia dengan
sesamanya dan dengan makhluk Tuhan yang bukan manusia, seorang manusia bisa
berangkat melakukan pendekatan terhadap Tuhan. Di sini, kecenderungan puisi
Taufiq Ismail sebagai zikir sosial makin terasa.
Salah satu interaksi sosial yang juga bisa
dianggap sebagai jalan pendekatan kepada Tuhan adalah pembelaan terhadap
orang-orang yang lemah. Taufiq Ismail menyadari hal yang demikian. Ia menyadari
bahwa usaha membela kaum tertindas dari kedhaliman yang menimpa mereka bukan
hanya sebuah kerja demi kemanusiaan, tetapi sekaligus juga demi keimanan dan
pengabdiannya pada Tuhan.
SAJADAH
PANJANG
Ada
sajadah panjang terbentang
dari
kaki buaian
sampai
ke tepi kuburan hamba
kuburan
hamba bila mati
Ada
sajadah panjang terbentang
hamba
tunduk dan sujud
di
atas sajadah yang panjang ini
diselingi
sekedar interupsi
Mencari
rezeki mencari ilmu
mengukur
jalanan seharian
begitu
terdengar suara adzan
kembali
tersungkur hamba
ada
sajadah panjang terbentang
hamba
tunduk dan rukuk
hamba
sujud tak lepas kening hamba
mengingat
dikau sepenuhnya.
Dalam puisi “Sajadah Panjang”, Taufik Ismail
menggambarkan sebuah kehidupan, yang mana sajadah panjang itu diawali dari
buaian sang ibu, lalu pada sholat, dari Subuh hingga Isya, terus menerus hingga
akhir hayat dan kalau disatukan, sajadah tersebut akan sangat panjang. Pada
Bait “Sajadah itu terbentang dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan”. Kaki
buaian di sini menyimbolkan kelahiran, sementara kuburan menyimbolkan kematian.
Jadi sajadah, yang berarti adalah ibadah, ketundukan kita pada Tuhan, berlaku
dari kita lahir hingga kita mati.
Selanjutnya, pada bait “Mengukur jalanan
seharian” mengungkapakan keromantisan. Hal ini, gambaran yang sangat mengena
bagaimana kita bisa sangat capai dengan urusan duniawi. Saat itulah kita tunduk
dan sujud, yang disebut oleh Taufik sebagai sekadar interupsi. “Bukankah kita
semua memang butuh interupsi?”
No comments:
Post a Comment