Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Indra Nurdianto

Puisi Religius Taufik Ismail
(Pendekatan Pragmatik)
Oleh
Indra Nurdianto

1.      Hubungan Pengarang dengan Karyanya
Hubungan antara Taufik Ismail dengan puisi religiusnya tergambar pada puisi Sajadah Panjang. Salah satu pernyataan Taufiq Ismail mengenai proses kreatif dalam menciptakan puisi adalah sebagai berikut.

Substansi puisi saya adalah angan-angan, kenyataan, kepekaan dan kepekaan, kekenyangan, kelaparan, nyeri, seri, cinta, keasyikan, penindasan, penyesalan, kecongkakan, kekebalan, tekad, ketidakpastian, kelahiran, maut, kefanaan, ke Yang Gaiban – semua terbaur di balik lensa luar biasa lebar tempat kita bersama membaca panorama kehidupan masa kini dan sejarah masa lalu lewat sudut pandang berbeda.


Pernyataan Taufiq Ismail tersebut mengisyaratkan bahwa puisi-puisi yang diciptakan selain indah harus komunikatif agar bermakna bagi pembaca. Selain itu, puisi yang diciptakan harus sedap didengar dan dapat memberi kabar kepada pembaca. Kabar yang diberikan melalui puisi tidak terbatas pada peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kepekaan dan kepekakan, seperti kelaparan, kekebalan, kekenyangan, nyeri, seri, cinta, dan sebagainya.
Dalam puisi Taufiq Ismail, sepertinya ketuhanan bersumbu pada kemanusiaan yang senantiasa memberikan seruan atau ajakan kepada ketauhidan, keimanan, keislaman, keihsanan, ketakwaan, keikhlasan, ketawakalan, kesyukuran, kesabaran, dan sejenisnya. Sementara itu, kemanusiaan yang bersumbu pada ketuhanan senantiasa mengajak kepada silaturrahmi, rasa persaudaraan, persamaan, keadilan, kebaiksangkaan, kerendahatian, ketepatjanjian, kelapangdadaan, kedermawanan, dan sejenisnya. Tugas utama puisi dalam pandangan Taufiq Ismail, mengingatkan akan keagungan-kemuliaan Tuhan atau kemuliaan martabat manusia, memberikan kesaksian atas kondisi-kondisi penyikapan perilaku manusia atas keagungan-kemuliaan Tuhan, dan memberi perlawanan atas perendahan-pelecehan-penyepelean atas kemuliaan martabat manusia yang secara tidak langsung juga perendahan-pelecehan kemuliaan Tuhan.
Hal itu semua menyiratkan bahwa puitika atau estetika yang dianut Tufiq Ismail dapat disebut sebagai puitika atau estetika zikir. Memang, dalam estetika zikir atau estetika tauhid, puncak keindahan puisi terletak pada persaksian atau perjumpaan dengan keagungan Allah; estetika zikir atau estetika tauhid menghendaki perpaduan keagungan dan keindahan yang sesempurna-sempurnanya atau menuntut tercapainya keadaan jalal (keagungan), jamal (keindahan), kamal (kesempurnaan), dan pada tingkat yang terakhir kamil (kemulyaan). Inilah paradigma puitika atau estetika puisi Taufiq Ismail. Bagi Taufiq Ismail ini adalah kaidah utama bagi estetika zikir.
Seperti pernyataan Taufik Ismail dalam sebuah wawancara: "Bagi saya dan kesenian saya dalam hal ini tentunya kesusastraan standar estetika terpokok ialah mengingat orang kepada Pencipta Alam Semesta". Karya itu hendaknya senantiasa membuat orang jadi ingat, tiada putus-putusnya, kepada Allah. Dia itu Esa. Dia tidak berbilang. Dia esa sebenar-benar esa. Dia, yang ada sebelum kata "ada" itu ada. Estetika yang mengingat orang kepada-Nya itulah yang terpokok bagi saya. Karya-karya yang membuat orang hanya ingat pada dunia, terlena, atau mabuk kepayang, tidaklah memenuhi persyaratan utama itu.

2.      Puisi Taufik Ismail yang Berlatar Belakang Religius
Puisi “Sajadah Panjang” adalah pernyataan Taufiq Ismail yang mengharukan tentang pengabdiannya pada Tuhan: Ada sajadah panjang terbentang/ Dari kaki buaian/ Sampai ke tepi kuburan hamba/ Kuburan hamba bila mati// Ada sajadah panjang terbentang/ Hamba tunduk dan sujud/ Di atas sajadah panjang ini/ Diselingi sekedar interupsi/ Mencari rezeki, mencari ilmu/ Mengukur jalanan seharian/ Begitu terdengar suara azan/ Kembali tersungkur hamba// Ada sajadah panjang terbentang/ Hamba tunduk dan rukuk/ Hamba sujud dan tak lepas kening hamba/ Mengingat Dikau/ Sepenuhnya.//
Metafora “sajadah panjang” adalah metafora yang jelas mendekatkan kita pada simbol Islam. Akan tetapi, yang terpenting sebenarnya adalah kenyataan bahwa metafora itu merupakan simbol pengabdian total. Melalui metafora tersebut, Taufiq Ismail hendak melukiskan dirinya sendiri sebagai seorang yang selalu “tunduk dan sujud” dihadapan Tuhan. Kesibukan duniawi memang tidak ditinggalkan sama sekali tetapi, kesibukan itu hanyalah semacam “interupsi” yang sejenak saja. Begitu selesai urusan tersebut, pengabdian melalui “sajadah panjang” itu akan kembali dilanjutkan. Di sini, agama lagi-lagi tidak berperan sebagai sekadar “latar belakang”. Agama setidak-tidaknya mewujud dalam nilai-nilainya dalam puisi tersebut adalah pokok soal terpenting.
Melalui “Sajadah Panjang”, Taufiq Ismail sebenarnya sedang melakukan semacam pengingatan pada para pembaca puisinya tentang Tuhan. Kecenderungan ini sebenarnya sama dengan pengakuan Taufiq Ismail sendiri. Tahun 1984, ia memang pernah membuat pengakuan bahwa karya sastra yang ditulisnya adalah “sebuah zikir”. Artinya, melalui puisi-puisi yang ditulisnya, Taufiq Ismail hendak membawa para pembacanya mengingat kepada Sang Pencipta. Menurutnya, prinsip yang demikian dilandasi keinginan agar puisi yang ia buat masuk sebagai kategori “kesenian yang mengekspresikan keislaman”. Akan tetapi, pengingatan Taufiq Ismail tak berarti bahwa dia hanya membuat puisi tentang Tuhan saja. Sebaliknya, Taufiq Ismail justru lebih banyak membuat puisi berdasar realitas sosial yang ia hadapi. Justru dengan membahas persoalan-persoalan sosial dalam puisinya, secara tidak langsung Taufiq Ismail ingin membawa pembacanya menyadari kehadiran Tuhan.
Dalam sebuah kesempatan lain, Taufiq Ismail pernah mengatakan bahwa tujuannya menciptakan puisi adalah untuk beramal saleh. Baginya, hidup ini adalah sebuah sajadah yang terbentang dari kaki buaian sampai tepi lahat. Kegiatan utama dalam sajadah itu adalah shalat. Kegiatan lain hanya semacam penyela dari shalat. Akan tetapi, yang penting juga adalah bagaimana mentransformasikan kegiatan sehari-hari agar menjelma menjadi derivasi dari shalat.
Akherat, itulah tujuan kesenian Taufiq Ismail. Hanya mencapai akherat bukan berarti meninggalkan dunia. Maka, berbeda dengan kecenderungan puisi sufistik yang menekankan pada ekspresi religius saat melakukan interaksi personal dengan Tuhan serta berusaha menghindari narasi tentang dunia, puisi Taufiq Ismail justru menggunakan dunia sebagai kendaraan menuju Tuhan. Hal ini, tergambar pada bait puisi sajadah panjang “Mencari rezeki mencari ilmu/ mengukur jalanan seharian/ begitu terdengar suara adzan/ kembali tersungkur hamba.”
Bagi Taufiq Ismail, tugas manusia sebagai khalifah di dunia menunjukkan bahwa manusia sama sekali tidak boleh meninggalkan dunia. Melalui kehidupan sosial, yaitu interaksi manusia dengan sesamanya dan dengan makhluk Tuhan yang bukan manusia, seorang manusia bisa berangkat melakukan pendekatan terhadap Tuhan. Di sini, kecenderungan puisi Taufiq Ismail sebagai zikir sosial makin terasa.
Salah satu interaksi sosial yang juga bisa dianggap sebagai jalan pendekatan kepada Tuhan adalah pembelaan terhadap orang-orang yang lemah. Taufiq Ismail menyadari hal yang demikian. Ia menyadari bahwa usaha membela kaum tertindas dari kedhaliman yang menimpa mereka bukan hanya sebuah kerja demi kemanusiaan, tetapi sekaligus juga demi keimanan dan pengabdiannya pada Tuhan.


SAJADAH PANJANG

Ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara adzan
kembali tersungkur hamba
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat dikau sepenuhnya.

Dalam puisi “Sajadah Panjang”, Taufik Ismail menggambarkan sebuah kehidupan, yang mana sajadah panjang itu diawali dari buaian sang ibu, lalu pada sholat, dari Subuh hingga Isya, terus menerus hingga akhir hayat dan kalau disatukan, sajadah tersebut akan sangat panjang. Pada Bait “Sajadah itu terbentang dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan”. Kaki buaian di sini menyimbolkan kelahiran, sementara kuburan menyimbolkan kematian. Jadi sajadah, yang berarti adalah ibadah, ketundukan kita pada Tuhan, berlaku dari kita lahir hingga kita mati.

Selanjutnya, pada bait “Mengukur jalanan seharian” mengungkapakan keromantisan. Hal ini, gambaran yang sangat mengena bagaimana kita bisa sangat capai dengan urusan duniawi. Saat itulah kita tunduk dan sujud, yang disebut oleh Taufik sebagai sekadar interupsi. “Bukankah kita semua memang butuh interupsi?”

No comments:

Post a Comment