Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Indra Nurdianto

Mistisme Islam (Sufisme) Sebagai Tradisi dan Budaya Pesantren Jawa
Dalam Cerpen Gus Jakfar
Karya KH. Musthofa Bisri (Gus Mus)
Oleh
Indra Nurdianto - 100211404902


Cerpen “Gus Jakfar” karya KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) merupakan cerpen yang bernafaskan Islam dengan latar budaya pesantren Jawa. Kehidupan masyarakat pesantren tersebut dapat dilihat melalui tokoh-tokoh dan latar yang mewakili dunia pesantren. Melalui tokoh Gus Jakfar yang menjadi judul cerpen dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” dan tema religiusitas masyarakat pesantren Jawa yang diangkat Gus Mus dalam cerpennya, telah menghadirkan karakteristik atau warna yang berbeda dalam kesusastraan Indonesia modern. Selain itu, masalah sosial umat Islam yang dihadirkan Gus Mus melalui cerpen “Gus Jakfar” ternyata menjadi kritik sosial yang ditujukan kepada masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di Indonesia.

               Dalam cerpen “Gus Jakfar” dikisahkan bahwa tokoh Gus Jakfar adalah kyai yang pandai membaca tanda-tanda seseorang. Kepandaian yang dimaksud di sini bukanlah kepandaian yang diidentifikasikan sebagai peramal atau dukun. Gus Jakfar yang mempunyai kelebihan tertentu. Dikisahkan pula bahwa pada suatu hari Gus Jakfar pergi selama beberapa minggu, setelah dia kembali, orang-orang disekelilingnya merasa heran karena dia bersikap berubah, seolah tidak mempunyai keistimewaan lagi. Dia tidak lagi membaca tanda-tanda seseorang meski disuruh sekalipun. Hal ini, menimbulkan rasa penasaran dan akhirnya datanglah beberapa orang kerumahnya untuk menanyakan apa penyebab dari perubahan sikapnya itu. Gus Jakfar itu pun kemudian bercerita: Bermula dari mimpi berjumpa dengan ayahnya. Sang ayah, Kyai Saleh, menyuruhnya untuk mencari Kyai Tawakkal. Ia lalu berkelana. Hingga, akhirnya bertemulah Gus Jakfar dengan Kyai Tawakkal atau Mbah Jogo.
         Cerpen Gus Jakfar, masih bisa disebut sebagai realitas atau lebih tepatnya relitas lain yang terjadi dalam kehidupan para kyai. Di sini, Gus Mus, bermaksud mengungkap “potret” komunitas persekitaran, yakni kehidupan pesantren. Cerpen ini memang menampakkan karya sastra yang cenderung menganut pendekatan tradisi budaya yang berupa bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Budha, dan Islam.
Dalam cerpen ini diceritakan pula peristiwa tentang tanda pada kening kyai Tawakkal yang bertuliskan “ahli neraka”; sang kyai yang datang ke warung remang-remang; berjalan di atas permukaan air sungai; dan bisa menghilang secara tiba-tiba entah kemana. Sosok Kyai Tawakkal yang diceritakan dalam cerpen ini terkesan misterius dan menyimpan misteri. Peristiwa-peristiwa itu sepintas terlihat irasional dan sulit diterima dalam logika. Namun bagi kyai, santri atau kalangan pesantren, kisah sejenis itu kerap diyakini sebagai kebenaran yang hanya dapat dialami oleh orang-orang tertentu yang dianggap pantas mengalaminya. Kisah seperti itu berada dalam garis tipis peristiwa faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan peristiwa irasional bagi mereka yang tidak mempercayainya. Akan tetapi, ia tetap hidup dan diyakini sebagai fakta sosiologis dalam komunitas pesantren.
Terlepas dari kemistisan tema cerpen “Gus Jakfar” tersebut, terdapat salah satu bentuk kritik terhadap posisi kyai yang belum tentu masuk ke dalam surga. Hal ini, tergambar melalui pernyataan Kyai Tawakkal kepada Gus Jakfar.
               Sebagai kyai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke surga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang yang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karenakebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukan begitu?
         Kutipan tersebut memberitahukan bahwa posisi kyai sebagai orang yang alim dan dekat dengan Allah belum menjamin untuk selamat masuk surga. Begitupun sebaliknya, orang-orang yang berada di warung mesum juga belum tentu pasti masuk neraka. Gus Mus sengaja menampilkan sisi lain dalam kehidupan para kiai. Di sana, berbagai peristiwa rasional dan irasional, berkelindan dan hidup sebagai fakta sosial. Apa yang melatarbelakangi penempatan peristiwa irasional menjadi fakta sosial? Segalanya bersumber pada satu hal: keyakinan pada kuasa Tuhan. Dengan keyakinan itu, dengan kehendak Tuhan, apa pun bisa terjadi. Batas yang mungkin dan yang tidak mungkin berada dalam garis yang sangat tipis. Bukankah kekuasaan Tuhan tidak mengenal yang mungkin dan yang tidak mungkin. Bukankah yang mungkin dan yang tidak mungkin hanya ada dalam paradigma logika manusia yang terbatas dan terikat pada dimensi ruang dan waktu?
         Dalam kehidupan masyarakat biasa atau masyarakat yang belum paham dengan masyarakat pesantren tentu kisah “Gus Jakfar” terkesan mustahil atau irasional, namun dalam kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan pula kisah supernatural, tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Inilah yang disebut dengan ajaran-ajaran mistisme Islam (sufisme). Selain itu, jama’ah yang dipimpin Kyai Tawakkal dalam cerpen “Gus Jakfar” juga mencerminkan sebuah kelompok tarekat. Mitisme Islam (sufisme) merupakan hal yang menjadi ciri khas dari cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri, salah satunya yaitu cerpen “Gus Jakfar”. Perilaku mitisme Islam (tasawuf) dalam cerpen A. Mustofa Bisri memang menghadirkan kisah-kisah yang irasional atau hal yang gaib. Hal ini sesuai dengan kutipan sebagai berikut.
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi ‘Ahli neraka’. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin- yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila.”
“Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampaidi sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai, ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar.
Salah satu bentuk kritik terhadap perilaku mistisme Islam (sufisme) dapat ditemukan dalam cerepen “Gus Jakfar”. Kyai Tawakkal memberikan petunjuknya kepada Gus Jakfar tentang hakikat ilmu kasyaf. Hakikat tentang ilmu kasyaf yang diberikan Kyai Tawakkal telah membuat Gus Jakfar mencapai atau menemukan kebenaran.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda ‘Ahli neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
               Petunjuk yang diberian Kyai Tawakkal merupakan bentuk kritik ilmu kasyaf yang merupakan bagian dari perilaku mitisme Islam (sufisme). Kritikan tersebut menyampaikan bahwa kebenaran tentang surga dan nerakan merupakan milik Tuhan, bukan milik manusia.
               Gus Jakafar yang memiliki ilmu kasyaf telah membuat jamaah pengajiannya resah. Para jamaah yang mengaji takut kalau tanda pada tubuh mereka akan dibaca oleh Gus Jakfar pada saat pengajian. Kritikan lain terhadap ilmu kasyaf yang dimiliki Gus Jakfar dapat dilihat melalui percakapan Ustadz Kamil dan Pak Carik setelah Gus Jakfar kembali dari pengembaraannya.
“Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil, “paling tidak kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”

Kutipan di atas merupakan reaksi atas ilmu kasyaf  yang dimiliki Gus Jakfar. Para jamaahnya bisa dengan tenang mengikuti pegajian setelah Gus Jakfar tidak memakai ilmu kasyafnya lagi. Kritik terhadap ilmu kasyaf ini dapat dikatakan sebagai bentuk kesalehan spiritual yang tidak boleh dipamerkan kepada orang lain. Apabila dipamerkan, maka akan ada rasa takabur dan sombong di hati orang yang memiliki ilmu tersebut seperti pesan Kyai Tawakkal kepada Gus Jakfar. Setidaknya, itulah yang ingin disampaikan Gus Mus dalam cerpen “Gus Jakfar” ini.

No comments:

Post a Comment