Mistisme Islam (Sufisme) Sebagai Tradisi dan Budaya Pesantren
Jawa
Dalam Cerpen Gus Jakfar
Karya KH. Musthofa Bisri
(Gus Mus)
Oleh
Indra Nurdianto - 100211404902
Cerpen “Gus Jakfar” karya KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus
Mus) merupakan cerpen yang bernafaskan Islam dengan latar budaya pesantren
Jawa. Kehidupan masyarakat pesantren tersebut dapat dilihat melalui tokoh-tokoh
dan latar yang mewakili dunia pesantren. Melalui
tokoh Gus Jakfar yang menjadi judul cerpen dalam kumpulan cerpen “Lukisan
Kaligrafi” dan tema religiusitas masyarakat pesantren Jawa yang diangkat Gus
Mus dalam cerpennya, telah menghadirkan karakteristik atau warna yang berbeda
dalam kesusastraan Indonesia modern. Selain itu, masalah sosial umat Islam yang
dihadirkan Gus Mus melalui cerpen “Gus Jakfar” ternyata menjadi kritik sosial yang
ditujukan kepada masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di Indonesia.
Dalam cerpen
“Gus Jakfar” dikisahkan bahwa tokoh Gus Jakfar adalah kyai yang pandai membaca
tanda-tanda seseorang. Kepandaian yang dimaksud di sini bukanlah kepandaian
yang diidentifikasikan sebagai peramal atau dukun. Gus Jakfar yang mempunyai
kelebihan tertentu. Dikisahkan pula bahwa pada suatu hari Gus Jakfar pergi
selama beberapa minggu, setelah dia kembali, orang-orang disekelilingnya merasa
heran karena dia bersikap berubah, seolah tidak mempunyai keistimewaan lagi. Dia
tidak lagi membaca tanda-tanda seseorang meski disuruh sekalipun. Hal ini, menimbulkan
rasa penasaran dan akhirnya datanglah beberapa orang kerumahnya untuk menanyakan
apa penyebab dari perubahan sikapnya itu. Gus Jakfar itu pun kemudian bercerita:
Bermula dari mimpi berjumpa dengan ayahnya. Sang ayah, Kyai Saleh, menyuruhnya
untuk mencari Kyai Tawakkal. Ia lalu berkelana. Hingga, akhirnya bertemulah Gus
Jakfar dengan Kyai Tawakkal atau Mbah Jogo.
Cerpen Gus
Jakfar, masih bisa disebut sebagai realitas atau lebih tepatnya relitas lain
yang terjadi dalam kehidupan para kyai. Di sini, Gus Mus, bermaksud mengungkap
“potret” komunitas persekitaran, yakni kehidupan pesantren. Cerpen ini memang
menampakkan karya sastra yang cenderung menganut pendekatan tradisi budaya yang
berupa bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa
tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa
agama besar, seperti Hindu, Budha, dan Islam.
Dalam cerpen ini diceritakan pula peristiwa tentang tanda
pada kening kyai Tawakkal yang bertuliskan “ahli neraka”; sang kyai yang datang
ke warung remang-remang; berjalan di atas permukaan air sungai; dan bisa
menghilang secara tiba-tiba entah kemana. Sosok Kyai Tawakkal yang diceritakan
dalam cerpen ini terkesan misterius dan menyimpan misteri. Peristiwa-peristiwa
itu sepintas terlihat irasional dan sulit diterima dalam logika. Namun bagi kyai,
santri atau kalangan pesantren, kisah sejenis itu kerap diyakini sebagai
kebenaran yang hanya dapat dialami oleh orang-orang tertentu yang dianggap
pantas mengalaminya. Kisah seperti itu berada dalam garis tipis peristiwa
faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan peristiwa irasional bagi mereka
yang tidak mempercayainya. Akan tetapi, ia tetap hidup dan diyakini sebagai
fakta sosiologis dalam komunitas pesantren.
Terlepas dari kemistisan tema cerpen “Gus Jakfar” tersebut, terdapat
salah satu bentuk kritik terhadap posisi kyai yang belum tentu masuk ke dalam
surga. Hal ini, tergambar melalui pernyataan Kyai Tawakkal kepada Gus Jakfar.
Sebagai kyai, apakah kau
berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke surga kelak? Atau kau berani
mengatakan bahwa orang-orang yang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata
itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik
oleh-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa?
Karenakebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukan begitu?
Kutipan tersebut memberitahukan bahwa posisi kyai sebagai
orang yang alim dan dekat dengan Allah belum menjamin untuk selamat masuk
surga. Begitupun sebaliknya, orang-orang yang berada di warung mesum juga belum
tentu pasti masuk neraka. Gus Mus sengaja menampilkan sisi lain dalam kehidupan para kiai. Di sana,
berbagai peristiwa rasional dan irasional, berkelindan dan hidup sebagai fakta
sosial. Apa yang melatarbelakangi penempatan peristiwa irasional menjadi fakta
sosial? Segalanya bersumber pada satu hal: keyakinan pada kuasa Tuhan. Dengan
keyakinan itu, dengan kehendak Tuhan, apa pun bisa terjadi. Batas yang mungkin
dan yang tidak mungkin berada dalam garis yang sangat tipis. Bukankah kekuasaan
Tuhan tidak mengenal yang mungkin dan yang tidak mungkin. Bukankah yang mungkin
dan yang tidak mungkin hanya ada dalam paradigma logika manusia yang terbatas
dan terikat pada dimensi ruang dan waktu?
Dalam kehidupan
masyarakat biasa atau masyarakat yang belum paham dengan masyarakat pesantren
tentu kisah “Gus Jakfar” terkesan mustahil atau irasional, namun dalam
kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan pula
kisah supernatural, tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan
kehendak Tuhan. Inilah yang disebut dengan ajaran-ajaran mistisme Islam
(sufisme). Selain itu, jama’ah yang dipimpin Kyai Tawakkal dalam cerpen “Gus
Jakfar” juga mencerminkan sebuah kelompok tarekat. Mitisme Islam (sufisme)
merupakan hal yang menjadi ciri khas dari cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri, salah
satunya yaitu cerpen “Gus Jakfar”. Perilaku mitisme Islam (tasawuf) dalam
cerpen A. Mustofa Bisri memang menghadirkan kisah-kisah yang irasional atau hal
yang gaib. Hal ini sesuai dengan kutipan sebagai berikut.
Tiba-tiba
Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya
ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening
beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca
tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi ‘Ahli neraka’. Astaghfirullah!
Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin
tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang
dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat
sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin- yakinkan diri saya
bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening
beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau
habis berwudhu. Gila.”
“Kami
melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampaidi sebuah sungai.
Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal
berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja.
Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung.
Beliau melambai, ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian
berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar.
Salah satu bentuk kritik terhadap perilaku mistisme Islam
(sufisme) dapat ditemukan dalam cerepen “Gus Jakfar”. Kyai Tawakkal memberikan
petunjuknya kepada Gus Jakfar tentang hakikat ilmu kasyaf. Hakikat tentang ilmu
kasyaf yang diberikan Kyai Tawakkal telah membuat Gus Jakfar mencapai atau
menemukan kebenaran.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau
melihat tanda ‘Ahli neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah
mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena
pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu
yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah
milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke
sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani
menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan
bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk
neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin
berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan
kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
Petunjuk yang diberian Kyai Tawakkal merupakan bentuk kritik ilmu kasyaf yang
merupakan bagian dari perilaku mitisme Islam (sufisme). Kritikan tersebut
menyampaikan bahwa kebenaran tentang surga dan nerakan merupakan milik Tuhan,
bukan milik manusia.
Gus Jakafar yang memiliki ilmu kasyaf telah membuat jamaah pengajiannya resah.
Para jamaah yang mengaji takut kalau tanda pada tubuh mereka akan dibaca oleh
Gus Jakfar pada saat pengajian. Kritikan lain terhadap ilmu kasyaf yang
dimiliki Gus Jakfar dapat dilihat melalui percakapan Ustadz Kamil dan Pak Carik
setelah Gus Jakfar kembali dari pengembaraannya.
“Tapi
bagaimana pun, ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil, “paling tidak kini, kita
bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa
mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin
mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau
ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Kutipan di atas merupakan reaksi atas ilmu kasyaf yang
dimiliki Gus Jakfar. Para jamaahnya bisa dengan tenang mengikuti pegajian setelah
Gus Jakfar tidak memakai ilmu kasyafnya lagi. Kritik terhadap ilmu kasyaf ini
dapat dikatakan sebagai bentuk kesalehan spiritual yang tidak boleh dipamerkan
kepada orang lain. Apabila dipamerkan, maka akan ada rasa takabur dan sombong
di hati orang yang memiliki ilmu tersebut seperti pesan Kyai Tawakkal kepada
Gus Jakfar. Setidaknya, itulah yang ingin disampaikan Gus Mus dalam cerpen “Gus
Jakfar” ini.
No comments:
Post a Comment