Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Angga Wahyu Ajeng

Suka Duka Kehidupan Bunga
Puisi Sapardi Djoko Damono

Oleh
Angga Wahyu Ajeng - 100211406098




            Sesuai judul esai ini, suka duka kehidupan bunga saya maksudkan sebagai penggambaran dari tiga puisi berjudul bunga perwakilan dari karya Sapardi, penyair besar yang telah dikenal khalayak. Puisi bunga, 1, 2 dan 3 merupakan puisi yang saya ambil dari kumpulan sajak Perahu Kertas. Tidak ada alasan khusus memilih membahas puisi ini, hanya karena rasa ingin tahu yang besar terhadap kedudukan setangkai bunga untuk Sapardi. Banyak puisi-puisi sapardi yang memunculkan berbagai kata tentang bunga tetapi tidak seistimewa ketiga puisi ini, yang bahkan beridiri sendiri sebagai sebuah judul puisi dan keseluruhan kisahnya yang berbeda dari yang sebelumnya. Puisi ini berjudul bunga, 1, bunga, 2 dan bunga, 3, seolah mengisyaratkan puisi trilogi, kisah di dalamnya berurutan, tetapi setelah saya baca berulang-ulang ternyata hal tersebut tidak benar.       

Pemilihan Sapardi Djoko Damono sebagai wakil penyair besar Indonesia yang saya angkat di sini bukan sebagai penunjuk tingkatan atau pengkelasan sebagaimana yang dilakukan oleh H.B. Jassin. Hal itu lebih dikarenakan kekaguman saya terhadap karyanya secara pribadi. Sapardi Djoko Damono adalah salah satu penyair angkatan 66 menurut H.B Jassin. Sejak remaja telah dikenal kepiawaiannya dalam berpuisi. Kebanyakan puisinya menampakkan diksi-diksi sederhana namun tidak mudah menggali maknanya. Puisi yang dibentuk oleh salah satu penyair besar Indonesia ini cenderung menyimpan maksud di balik pilihan kata yang mungkin terlihat sederhana. Seringkali yang muncul dalam puisinya adalah sebentuk ironi. Sebuah teguran mengenai sesuatu yang disampaikan dengan cara tidak langsung. Baik dari segi gaya maupun maksudnya. Selain puisi, Sapardi juga menulis esai dan karya terjemahan. Puisi-puisi yang saya baca ini hanya sebagian kecil saja dan tidak dimaksudkan untuk mencari pola-pola tertentu dalam kepenyairannya. Tidak juga diulas dengan gamblang dengan mendasarkan pada teori pembedahan karya sastra.
            Puisi merupakan salah satu jenis sastra yang memiiki bentuk yang khas, unik, dan lazim menggunakan bahasa yang relatif lebih padat dibandingkan jenis sastra yang lainnya. Esai ini dibuat menggunakan pendekatan pragmatik karena terasa menarik jika kita melihat kedudukan sastrawan dan pembaca karya sastra. Menurut Siswanto (2008:93) pembaca sangat berperan dalam menentukan sebuah karya disebut karya sastra atau bukan sebab sadar atau tidak, sengaja atau tidak, pada akhirnya karya sastra akan sampai juga kepada pembaca, ditujukan kepada pembaca. Sebagai pembaca, melalui kegiatan membaca puisi berulang-ulang kita juga dapat merenungkan dan menafsirkan gambaran makna yang terdapat didalamnya. Aminuddin (2010:197) berpendapat bahwa puisi adalah keindahan dan kehikmaan. Puisi mampu memberikan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka membentuk pandangan hidupnya.
Berikut ini puisi bunga pertama karya Sapardi. Kisah hidup bunga yang berdusta terhadap dirinya.

BUNGA, 1

(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut?  Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia!  Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

Saya mengolongkan puisi ini sebagai puisi naratif, karena puisi menceritakan pihak ketiga yaitu bunga rumput. Secara sekilas, penulis mendapatkan bayangan tentang kehidupan sebuah bunga rumput. Puisi ini menggambarkan dusta si bunga rumput. Ia rekah sendiri disuatu padang rumput yang sepi di pagi hari. Kemudian di siang hari, di cuaca yang sangat panas dan gerahnya ia ditemani sekawanan gagak. Dan di malam harinya ia mendengar seru serigala.
Pada bait pertama puisi ini yang saya rasakan adalah munculnya rasa iba terhadap si bunga rumput. Ia merasa dirinya tidak takut dengan segala tantangan hidup yang menghampirinya setiap waktu. Tantangan hidup itu dimulai dari pagi hari saat si bunga mulai merekah, memulai kehidupannya, ia sendirian di sebuah padang. Seperti kita tahu bahwa sebuah padang rumput adalah tempat yang identik dengan kehidupan sepi, tandus, panas dan luas seolah-olah tanpa batas. Kemudian di siang harinya muncul sekawanan gagak pelipur rasa sepi yang dihadapinya, pemandangan burung yang muncul hanya saat ada bangkai disekitarnya. Ya, hanya burung gagak, pemakan bangkai, berbulu hitam dan bersuara keras, tidak akan muncul burung-burung lain yang lebih indah. Dan di malam hari, yang di dengarnya adalah suara serigala. Suara yang menakutkan di tengah kesunyian malam.      
            Rasa iba tersebut ditujukan pada bunga rumput itu. Saya membayangkan bunga rumput itu seseorang yang sedang membohongi dirinya sendiri, ia seolah tidak pernah takut akan kesendiriannya, ia merasa bahwa dirinya makhluk pilihan yang istimewa dan tidak membutuhkan orang lain seperti yang disebutkan dalam larik.

Tapi katanya, "Takut?  Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

            Sehingga berdasarkan kutipan itu saya menilai Sapardi ingin menyampaikan bahwa kita tidak perlu bersikap sombong dan membohongi diri sendiri, bersikap seolah kita istimewa dan mengingkari takdir. Masih ada langit di atas langit, begitu orang menyebutnya. Masih ada bunga-bunga lain yang jauh lebih indah dibandingkan dengan bunga rumput. Jika kita merasa sendiri dan membutuhkan seseorang maka kita bisa mulai bergerak untuk mencarinya karena pada hakikatnya manusia memang ditakdirkan untuk hidup berdampingan.
            Tidak jauh berbeda dengan bait kedua, bunga rumput yang mengingkari nasibnya. Digambarkan sebuah bunga rumput yang memaksa tumbuh di sela geraham batu, tempat yang kuat dan kokoh untuk dipecahkan sebaris akar rumput. Kemudian di tengah kehidupannya ia menyadari usahanya sia-sia. Tidak ada yang menarik dari kehidupan dalam gua, gelap dan sempit serta hal-hal lain yang dapat mengancam hidupnya. Tetapi ia tetap bersikukuh seolah ia hidup nyaman didalamnya.

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia!  Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

            Puisi berikutnya adalah penggambaran kehidupan sekuntum bunga mawar oleh sapardi.

BUNGA, 2

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam

            Kisah tragislah yang dapat saya tangkap dari sajak ini. Puisi ini juga tergolong puisi naratif. Pengarang sebagai orang ketiga menceritakan kisah hidup bunga mawar di sebuah taman. Sekuntum bunga mawar yang tidak ingin pemiliknya memetiknya namun ia tidak bisa mengatakannya. Ia (bunga mawar) masih merasa tidak percaya bahwa pemiliknya, yang selama ini disangka menyayanginya, tega memetiknya.
Pada puisi ini makna yang dapat saya tangkap adalah Sapardi ingin menegaskan salah satu asas kehidupan, yaitu asas memberi dan menerima. Manakala kita sebagai manusia menginginkan sesuatu maka kita harus mengorbankan hal lain terlebih dahulu. Seorang wanita yang sangat mendambakan bunga mawar tentu hal pertama yang dilakukannya adalah menanam bunga mawar dan merawatnya hingga ia bisa mendapatkan hal yang didambakannya. Itu adalah bentuk pengorbanan yang dilakukannya, tapi di sisi lain si bunga mawar menganggapnya sebagai sebuah penghianatan. Bunga mawar itu merasa bahwa dia adalah makhluk yang dicintai oleh wanita itu sehingga tidak mungkin menyakitinya. Si mawar salah menafsirkan raut wajah wanita itu, ia mengartika itu sebuah cinta padahal yang sesungguhnya lebih kepada sebuah keinginan. Seperti tergambar pada larik berikut.

tak ada alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam

Hal tersebut dikatakan tragis karena saya mendudukkan diri sebagai bunga mawar itu, bayangkan jika kita telah merasa yakin terhadap kebaikan seseorang hingga kita merasa disayangi olehnya namun ternyata di kemudian hari dia menyakiti hati kita dan pergi begitu saja tentu kita akan merasa seolah telah dihianati. Dan hal itu bertambah buruk dengan kenyataan bahwa orang tersebut tidak menyadari kesalahannya, seperti halnya tergambar dari raut wajah anggun dan dingin pada wanita pada puisi di atas.
  Sapardi sangat mahir dalam mengolah kata, meskipun kata yang digunakan sederhana namun kita sebagai pembaca dapat merasakan keistimawaan setiap kata yang digunakannya. Melalui puisi pendek di atas, dengan gaya narasi singkat, Sapardi cukup berhasil menyampaikan pesan sederhananya. Peristiwa yang seharusnya biasa itu telah diolah sedemikian rupa sehingga menimbulkan sisi tragis dan menyedihkan.
Pada puisi berikutnya, kisah hidup bunga yang dianggap menemui ajalnya.

BUNGA, 3
seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"         

            Puisi bunga 3 ini seolah menjadi penutup puisi-puisi bunga dalam kumpulan sajak Sapardi. Berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya yang membahas keegoisan dan kisah cinta sekuntum bunga maka pada puisi ini Sapardi menceritakan akhir hidup sekuntum bunga sekaligus menjadi penutup kisah-kisahnya. Sapardi terasa tidak berlebihan memilih menggunakan kata seuntai kuntum melati sebagai penggambaran tubuh seseorang yang telah berjasa bagi orang lain atau membahagiakan orang lain karena sifatnya yang berbudi. Melati dikenal dengan baunya yang harum dan warnanya yang putih bersih. Tetapi melati itu sudah berwarna coklat, artinya ia telah membusuk. Jasad yang telah membusuk dan baru diketahui keesokan pagi ketika ada orang mengetuk pintu tempat jasat itu tergolek.     
   
Seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
           
            Di larik berikutnya Sapardi seolah melakukan repetisi dan menunjukkan makna yang lebih dalam. Sosok tubuh yang sudah tak bernyawa telah lama tidak terurus sehingga bau busuknya menyebar di seluruh ruangan dan wanginya menjadi polusi di udara yang bersih dan tidak kunjung hilang.

seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu

            Dan di larik terakhir, larik dengan kata yang mengejutkan.

lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"    

Ia (bunga melati) seolah tidak terima dengan kematiannya, ia ingin kembali pada tubuhnya, masih ingin hidup, kembali berbuat baik kepada orang lain kembali berguna bagi orang lain. Tetapi seperti gema, keinginannya itu berulang tanpa jawaban.  
            Begitulah kisah-kisah kehidupan yang sering kali dimainkan oleh Sapardi. Banyak puisinya yang bahkan sangat sulit ditembus, karena begitu dalam makna yang dikehendakinya namun hal itu justru tersimpan dalam gaya bahasa yang sederhana dan nyaris tak terduga arahnya. Dalam puisi lain Sapardi senang bermain teka-teki. Seperti pada puisi Sapardi pada umumnya, diperlukan jalan memutar yang jauh untuk menemukan petunjuk dari maksud puisinya. Jalan lingkar itu menjadi sulit disaat pembaca terjebak kesederhanaan bahasa puisinya. Dalam sekali baca mungkin tidak tersirat apa pun di dalamnya, tetapi ketika dicermati akan terdapat kejelasan dari gambaran bahasa yang sederhana itu. Bahwasanya ada hal yang luar biasa dalam kesederhanaan tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.

No comments:

Post a Comment