Suka Duka Kehidupan Bunga
Puisi Sapardi Djoko Damono
Oleh
Angga Wahyu Ajeng - 100211406098
Sesuai judul esai ini, suka duka kehidupan bunga saya
maksudkan sebagai penggambaran dari tiga puisi berjudul bunga perwakilan dari
karya Sapardi, penyair besar yang telah dikenal khalayak. Puisi bunga, 1, 2 dan
3 merupakan puisi yang saya ambil dari kumpulan sajak Perahu Kertas. Tidak ada
alasan khusus memilih membahas puisi ini, hanya karena rasa ingin tahu yang
besar terhadap kedudukan setangkai bunga untuk Sapardi. Banyak puisi-puisi sapardi
yang memunculkan berbagai kata tentang bunga tetapi tidak seistimewa ketiga
puisi ini, yang bahkan beridiri sendiri sebagai sebuah judul puisi dan
keseluruhan kisahnya yang berbeda dari yang sebelumnya. Puisi ini berjudul
bunga, 1, bunga, 2 dan bunga, 3, seolah mengisyaratkan puisi trilogi, kisah di
dalamnya berurutan, tetapi setelah saya baca berulang-ulang ternyata hal
tersebut tidak benar.
Pemilihan
Sapardi Djoko Damono sebagai wakil penyair besar Indonesia yang saya angkat di
sini bukan sebagai penunjuk tingkatan atau pengkelasan sebagaimana yang
dilakukan oleh H.B. Jassin. Hal itu lebih dikarenakan kekaguman saya terhadap
karyanya secara pribadi. Sapardi Djoko Damono adalah salah satu penyair
angkatan 66 menurut H.B Jassin. Sejak remaja telah dikenal kepiawaiannya dalam
berpuisi. Kebanyakan puisinya menampakkan diksi-diksi sederhana namun tidak
mudah menggali maknanya. Puisi yang dibentuk oleh salah satu penyair besar
Indonesia ini cenderung menyimpan maksud di balik pilihan kata yang mungkin
terlihat sederhana. Seringkali yang muncul dalam puisinya adalah sebentuk
ironi. Sebuah teguran mengenai sesuatu yang disampaikan dengan cara tidak
langsung. Baik dari segi gaya maupun maksudnya. Selain puisi, Sapardi juga
menulis esai dan karya terjemahan. Puisi-puisi yang saya baca ini hanya
sebagian kecil saja dan tidak dimaksudkan untuk mencari pola-pola tertentu
dalam kepenyairannya. Tidak juga diulas dengan gamblang dengan mendasarkan pada
teori pembedahan karya sastra.
Puisi merupakan salah satu jenis sastra yang memiiki
bentuk yang khas, unik, dan lazim menggunakan bahasa yang relatif lebih padat
dibandingkan jenis sastra yang lainnya. Esai ini dibuat menggunakan pendekatan
pragmatik karena terasa menarik jika kita melihat kedudukan sastrawan dan
pembaca karya sastra. Menurut Siswanto (2008:93) pembaca sangat berperan dalam
menentukan sebuah karya disebut karya sastra atau bukan sebab sadar atau tidak,
sengaja atau tidak, pada akhirnya karya sastra akan sampai juga kepada pembaca,
ditujukan kepada pembaca. Sebagai pembaca, melalui kegiatan membaca puisi
berulang-ulang kita juga dapat merenungkan dan menafsirkan gambaran makna yang
terdapat didalamnya. Aminuddin (2010:197) berpendapat bahwa puisi adalah
keindahan dan kehikmaan. Puisi mampu memberikan kesenangan atau hiburan kepada
pembaca. Puisi juga mampu memberikan manfaat bagi pembaca dalam rangka
membentuk pandangan hidupnya.
Berikut
ini puisi bunga pertama karya Sapardi. Kisah hidup bunga yang berdusta terhadap
dirinya.
BUNGA, 1
(i)
Bahkan
bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah
di tepi padang waktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca
berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang
itu;
malam hari
ia mendengar seru serigala.
Tapi
katanya, "Takut? Kata itu milik
kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
(ii)
Bahkan
bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang
di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari
bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan
tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan
hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya,
"Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan
dewata!"
Saya
mengolongkan puisi ini sebagai puisi naratif, karena puisi menceritakan pihak
ketiga yaitu bunga rumput. Secara sekilas, penulis mendapatkan bayangan tentang
kehidupan sebuah bunga rumput. Puisi ini menggambarkan dusta si bunga rumput.
Ia rekah sendiri disuatu padang rumput yang sepi di pagi hari. Kemudian di
siang hari, di cuaca yang sangat panas dan gerahnya ia ditemani sekawanan
gagak. Dan di malam harinya ia mendengar seru serigala.
Pada bait
pertama puisi ini yang saya rasakan adalah munculnya rasa iba terhadap si bunga
rumput. Ia merasa dirinya tidak takut dengan segala tantangan hidup yang
menghampirinya setiap waktu. Tantangan hidup itu dimulai dari pagi hari saat si
bunga mulai merekah, memulai kehidupannya, ia sendirian di sebuah padang.
Seperti kita tahu bahwa sebuah padang rumput adalah tempat yang identik dengan
kehidupan sepi, tandus, panas dan luas seolah-olah tanpa batas. Kemudian di
siang harinya muncul sekawanan gagak pelipur rasa sepi yang dihadapinya,
pemandangan burung yang muncul hanya saat ada bangkai disekitarnya. Ya, hanya
burung gagak, pemakan bangkai, berbulu hitam dan bersuara keras, tidak akan
muncul burung-burung lain yang lebih indah. Dan di malam hari, yang di
dengarnya adalah suara serigala. Suara yang menakutkan di tengah kesunyian
malam.
Rasa iba tersebut ditujukan pada
bunga rumput itu. Saya membayangkan bunga rumput itu seseorang yang sedang
membohongi dirinya sendiri, ia seolah tidak pernah takut akan kesendiriannya,
ia merasa bahwa dirinya makhluk pilihan yang istimewa dan tidak membutuhkan
orang lain seperti yang disebutkan dalam larik.
Tapi
katanya, "Takut? Kata itu milik
kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"
Sehingga berdasarkan kutipan itu
saya menilai Sapardi ingin menyampaikan bahwa kita tidak perlu bersikap sombong
dan membohongi diri sendiri, bersikap seolah kita istimewa dan mengingkari
takdir. Masih ada langit di atas langit, begitu orang menyebutnya. Masih ada
bunga-bunga lain yang jauh lebih indah dibandingkan dengan bunga rumput. Jika
kita merasa sendiri dan membutuhkan seseorang maka kita bisa mulai bergerak
untuk mencarinya karena pada hakikatnya manusia memang ditakdirkan untuk hidup
berdampingan.
Tidak jauh berbeda dengan bait
kedua, bunga rumput yang mengingkari nasibnya. Digambarkan sebuah bunga rumput
yang memaksa tumbuh di sela geraham batu, tempat yang kuat dan kokoh untuk
dipecahkan sebaris akar rumput. Kemudian di tengah kehidupannya ia menyadari
usahanya sia-sia. Tidak ada yang menarik dari kehidupan dalam gua, gelap dan
sempit serta hal-hal lain yang dapat mengancam hidupnya. Tetapi ia tetap
bersikukuh seolah ia hidup nyaman didalamnya.
Bahkan
bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang
di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari
bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan
tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia
membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya,
"Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan
dewata!"
Puisi
berikutnya adalah penggambaran kehidupan sekuntum bunga mawar oleh sapardi.
BUNGA, 2
mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika
pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin
berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak
ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta
itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan
menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
Kisah tragislah yang dapat saya tangkap dari sajak ini.
Puisi ini juga tergolong puisi naratif. Pengarang sebagai orang ketiga
menceritakan kisah hidup bunga mawar di sebuah taman. Sekuntum bunga mawar yang
tidak ingin pemiliknya memetiknya namun ia tidak bisa mengatakannya. Ia (bunga
mawar) masih merasa tidak percaya bahwa pemiliknya, yang selama ini disangka
menyayanginya, tega memetiknya.
Pada puisi
ini makna yang dapat saya tangkap adalah Sapardi ingin menegaskan salah satu
asas kehidupan, yaitu asas memberi dan menerima. Manakala kita sebagai manusia
menginginkan sesuatu maka kita harus mengorbankan hal lain terlebih dahulu.
Seorang wanita yang sangat mendambakan bunga mawar tentu hal pertama yang
dilakukannya adalah menanam bunga mawar dan merawatnya hingga ia bisa
mendapatkan hal yang didambakannya. Itu adalah bentuk pengorbanan yang
dilakukannya, tapi di sisi lain si bunga mawar menganggapnya sebagai sebuah
penghianatan. Bunga mawar itu merasa bahwa dia adalah makhluk yang dicintai
oleh wanita itu sehingga tidak mungkin menyakitinya. Si mawar salah menafsirkan
raut wajah wanita itu, ia mengartika itu sebuah cinta padahal yang sesungguhnya
lebih kepada sebuah keinginan. Seperti tergambar pada larik berikut.
tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya
dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini
wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar
demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar
di permukaan kolam
Hal
tersebut dikatakan tragis karena saya mendudukkan diri sebagai bunga mawar itu,
bayangkan jika kita telah merasa yakin terhadap kebaikan seseorang hingga kita
merasa disayangi olehnya namun ternyata di kemudian hari dia menyakiti hati
kita dan pergi begitu saja tentu kita akan merasa seolah telah dihianati. Dan
hal itu bertambah buruk dengan kenyataan bahwa orang tersebut tidak menyadari
kesalahannya, seperti halnya tergambar dari raut wajah anggun dan dingin pada
wanita pada puisi di atas.
Sapardi sangat mahir dalam mengolah kata,
meskipun kata yang digunakan sederhana namun kita sebagai pembaca dapat
merasakan keistimawaan setiap kata yang digunakannya. Melalui puisi pendek di
atas, dengan gaya narasi singkat, Sapardi cukup berhasil menyampaikan pesan
sederhananya. Peristiwa yang seharusnya biasa itu telah diolah sedemikian rupa
sehingga menimbulkan sisi tragis dan menyedihkan.
Pada puisi berikutnya,
kisah hidup bunga yang dianggap menemui ajalnya.
BUNGA, 3
seuntai
kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara
subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada
sahutan
seuntai
kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma
kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu
terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"
Puisi bunga 3 ini seolah menjadi penutup puisi-puisi
bunga dalam kumpulan sajak Sapardi. Berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya yang
membahas keegoisan dan kisah cinta sekuntum bunga maka pada puisi ini Sapardi
menceritakan akhir hidup sekuntum bunga sekaligus menjadi penutup
kisah-kisahnya. Sapardi terasa tidak berlebihan memilih menggunakan kata seuntai
kuntum melati sebagai penggambaran tubuh seseorang yang telah berjasa bagi
orang lain atau membahagiakan orang lain karena sifatnya yang berbudi. Melati
dikenal dengan baunya yang harum dan warnanya yang putih bersih. Tetapi melati
itu sudah berwarna coklat, artinya ia telah membusuk. Jasad yang telah membusuk
dan baru diketahui keesokan pagi ketika ada orang mengetuk pintu tempat jasat
itu tergolek.
Seuntai
kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara
subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada
sahutan
Di larik berikutnya Sapardi seolah melakukan repetisi dan
menunjukkan makna yang lebih dalam. Sosok tubuh yang sudah tak bernyawa telah
lama tidak terurus sehingga bau busuknya menyebar di seluruh ruangan dan wanginya
menjadi polusi di udara yang bersih dan tidak kunjung hilang.
seuntai
kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma
kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
Dan di
larik terakhir, larik dengan kata yang mengejutkan.
lalu
terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi
jasadku?"
Ia (bunga melati)
seolah tidak terima dengan kematiannya, ia ingin kembali pada tubuhnya, masih
ingin hidup, kembali berbuat baik kepada orang lain kembali berguna bagi orang
lain. Tetapi seperti gema, keinginannya itu berulang tanpa jawaban.
Begitulah kisah-kisah kehidupan yang
sering kali dimainkan oleh Sapardi. Banyak puisinya yang bahkan sangat sulit
ditembus, karena begitu dalam makna yang dikehendakinya namun hal itu justru
tersimpan dalam gaya bahasa yang sederhana dan nyaris tak terduga arahnya. Dalam puisi lain Sapardi
senang bermain teka-teki. Seperti pada puisi Sapardi pada umumnya, diperlukan
jalan memutar yang jauh untuk menemukan petunjuk dari maksud puisinya. Jalan
lingkar itu menjadi sulit disaat pembaca terjebak kesederhanaan bahasa
puisinya. Dalam sekali baca mungkin tidak tersirat apa pun di dalamnya, tetapi
ketika dicermati akan terdapat kejelasan dari gambaran bahasa yang sederhana
itu. Bahwasanya ada hal yang luar biasa dalam kesederhanaan tersebut.
DAFTAR
RUJUKAN
Aminuddin. 2010. Pengantar
Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.
No comments:
Post a Comment