MEMUNCULKAN JATI DIRI
SEBUAH CERPEN NH. DINI
Oleh
Angga Wahyu Ajeng - 100211406098
Cerpen (Cerita Pendek) adalah salah
satu bentuk karya fiksi yang memiliki manfaat bagi pembacanya yaitu sebagai media
dalam menyibak gejala-gejala sosial didalamnya. Hal inilah yang dilakukan oleh
seorang penulis Nh. Dini yang memang karya-karyanya dilatar belakangi oleh tema
dan ide yang cemerlang dengan teknik yang konvensional, dan bisa dibilang
inilah keistimewaannya. Salah satu karyanya yaitu cerpen Jati Diri yang saya
temukan dari kumpulan cerpen sastrawan di sebuah blog.
Terpilihnya
cerpen Jati Diri bukan tanpa alasan, karena cerpen ini menyiratkan jati diri
kehidupan keluarga disekitar kita saat ini. Nh. Dini sendiri tidak dapat
diragukan dalam dunia kesusastraan Indonesia, hal ini terlihat dari banyak
karya-karyanya yang telah dikenal dan bergelar pengarang sastra feminis. Kali
ini ada yang sedikit berbeda dari tulisannya, tidak melulu bercerita tentang
sosok perempuan melainkan tentang kehidupan sebuah keluarga.
Cerpen
karya Nh. Dini berjudul Jati Diri berawal dari kisah seorang ketua RT beserta
istri dan empat anaknya yang hidup berkecukupan tetapi lambat laun berubah
menjadi keluarga yang cukup berada diantara warga kampungnya. Keberadaannya itu
didapatnya dari jerih payahnya menjadi makelar tanah dan membuka usaha toko
bahan bangunan. Istrinya membuka usaha toko yang menjual kebutuhan rumah tangga
di depan rumah. Ditengah kesibukan orang tuanya, Iwan, anak sulung keluarga ini
mulai beranjak dewasa, dengan segala tingkah laku nakal remaja ia bebas berulah
tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Bahasa yang
digunakan dalam cerpen Jati Diri membangunkan imajinasi namun tidak
membangkitkan emosi pembaca. Hal ini terlihat dari kata-kata yang dipilih oleh
pengarang sehingga dengan mudah pembaca memahami gambaran cerita tersebut.
Sudah tiga tahun bapaknya Iwan menjadi RT. Karena dekat
dengan Pak Lurah, dia sering mendapat persenan keuntungan menjual tanah atau
rumah di kawasan sana. Dia memang mahir mempengaruhi calon pembeli. Lalu
bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai makelar tanah dan rumah.
Pada suatu ketika, uang yang dia terima cukup untuk
membeli sebuah rumah reyot di pinggir jalan, tidak jauh dari pasar Jatingaleh.
Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan usaha penjualan kayu,
paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang memerlukan barang yang tidak
nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Semua tergantung pada komisi yang disepakati.
Dan saya tidak
mempersoalkan apakah disebut baku atau tidak tetapi saya hanya ingin mengatakan
bahwa sedikit terganggu dengan penggunaan kata tunjuk –nya pada kata bapaknya
Iwan yang digunakan Nh. Dini untuk menunjuk pak RT. Dalam cerpen ini cukup
banyak penggunaan kata tunjuk ini. Baru kali ini saya menemukan cerpen dengan
gaya penulisan seperti ini, atau mungkin ini juga merupakan ciri khas lain dari
Nh. Dini.
Lain
halnya dengan munculnya beberapa kata yang “berat” dan cenderung kasar menurut
saya hal itu dimaksudkan untuk menyindir dan menggugah kepedulian pembaca.
--Sekarang setelah rezeki semakin deras datang, dia
bahkan semakin mengkhianati
program pemerintah: dia ingin menambah dua atau tiga anak lagi.--,
-- Bapak dan ibu mabok dengan keberhasilan mencari
uang.--,
-- Kini teman-teman itu menyulut api pemberontakan terhadap Pak
RT:--,
--Di sana mereka juga menghambakan diri pada kemaksiatan berjudi.--
--Iwan termakan oleh gosokan
itu.--
Kata mabok
dan gosokan diatas misalnya, terdengar kasar karena masih ada kata lain yang
lebih halus yang bisa mewakili kata tersebut. Tapi saya dapat mengerti dengan
keputusannya memilih kata tersebut, kata “mabok” digunakan Nh. Dini sebagai
sindiran karena yang dimaksudkan adalah Pak RT dan istrinya yang terlena, lupa
diri dan terlalu asyik dengan materi. Selain itu kata “gosokan” yang
menimbulkan makna baru, selain makna kegiatan menggesek atau menggeser secara
berulang-ulang dua buah atau lebih benda melainkan kita dapat mengartikan
sebagai kegiatan mempersuasif sesuatu.
Tokoh-tokoh dalam kisah ini merupakan tokoh yang
sederhana dan cenderung ringan tetapi dapat mewakili pesan yang ingin
disampaikan. Nh. Dini merasa tidak perlu menggambarkan individualisme dalam keluarga
harus dengan menceritakan kisah konglomerat atau pejabat dengan anaknya yang
hobi menghamburkan uang seperti kisah-kisah dalam sinetron televisi. Hal itu
cukup dengan memunculkan tokoh ringan dikeseharian sehingga saya diawal proses
membaca masih dipenuhi dengan teka-teki akhir cerita dan sama sekali tidak
berpikir tentang kisah individualisme dalam sebuah keluarga.
Ketika ayahnya menjadi RT, usia Iwan 16 tahun. Dia baru
lulus SLTP. Adiknya yang terkecil delapan tahun. Dan sejak ayahnya mempunyai
kedudukan tersebut, sekaligus mengurusi mudamudi kampung, sekaligus selalu
repot di toko material bangunan, semuanya berubah bagi Iwan.
Dia merasa hidup lebih leluasa. Dia bebas, karena bisa
berbuat apa pun sesuai kemauannya. Karena bapak itu jarang berada di rumah di
saat Iwan pulang untuk makan siang. Sore ketika kebanyakan keluarga berkumpul,
Pak RT masih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba pulang sebelum pukul
tujuh, dia bergegas mandi lalu pergi lagi memimpin pertemuan ini atau itu di
salah satu ruangan kantor kelurahan.
Kemenarikan lain tentang tokoh yang muncul dalam cerpen
ini adalah keberpihakan Nh. Dini pada tokoh wanita. Ibu RT dalam cerpen ini
digambarkan orang yang baik, murah hati kepada orang lain, membela kepantingan
anaknya, sabar dan selalu berpikiran positif. Berbeda dengan watak Pak RT yang
gila kerja, kurang peduli terhadap anaknya, hingga pembenaran atas sifatnya
yang gila kerja saat diketahui bahwa anaknya menjadi buronan polisi. Dan tokoh
Iwan yang masih dalam masa pencarian jati diri berbuat kenakalan tanpa
pengarahan dari orang tua terlebih ayahnya. Keberpihakan ini menunjukkan bahwa
meski yang diangkat bukan kisah tentang perempuan, yang menjadi ciri khas karya
Nh. Dini, tetapi tetap terselip kecintaannya terhadap kedudukan perempuan.
Ibunya Iwan baik hati.
Sama seperti suaminya, dia terkenal sebagai orang yang
tidak tega. Pasangan itu banyak menolong dan membantu penduduk sekitar. Itulah
salah satu sebab mengapa bapaknya Iwan menjadi RT, dilanjutkan dipasrahi
membina kaum muda di sana.
Cerpen Jati Diri juga menyisipkan perbincangan antar
tokohnya begitu lugas tetapi tepat mengenai sasaran. Damlam cerpen Jati Diri
ini Nh. Dini banyak menyisipkan dialog atau ungkapan tokoh disela-sela cerita
bahkan diawal cerita. Sebagai penulis Nh. Dini membuat saya berdecak kagum
karena berhasil marasuki tokoh yang diciptakannya, dari dialog atau ungkapan
tokoh yang ada Nh. Dini berhasil menjadi Pak RT dengan sikap acuhnya, Bu RT
dengan kebaikan serta pengertiannya, dan bahkan memunculkan ungkapan kebohongan
Iwan.
---
Jika ada tetangga yang usil bertanya mengapa dia begitu
cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang paling sering adalah “Saya harus
ke pertemuan.”
Atau:
“Muda-mudi itu harus ada yang mengarahkan.”
---
---
Mak bertanya mengapa mengambil uang sebanyak itu.
Biasanya, pagi Iwan dan Yuni disuruh mengambil uang sendiri di kotak di
dalam laci. Tidak banyak. Paling-paling lima ribu. Kalau ada keperluan
sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut, bahkan nyaris
merayu si anak, untuk apa uang itu.
Tenang dan tanpa ragu Iwan menyahut, “Kuberikan kepada
Herman. Dia mau buka usaha, kasihan tidak punya modal,” lalu dari saku
celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan gumpalan uang lusuh.
Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”
Mak menghitung, dua ratus ribu lebih sedikit.
“Nanti kalau usahanya berjalan, Herman akan
mengembalikan. Malahan mungkin dengan bunga,” kata Iwan lagi.
Mak lega.
“Apa usaha temanmu?”
---
---
“Di kelas, tinggal aku yang belum punya kendaraan,” kata
Iwan lagi. Dan dia tidak khawatir ayahnya akan menyelidiki kebenarannya.
Kebohongan memang sudah mendasari hidup Iwan. Yang dia katakan tadi entah merupakan
kebohongan yang keberapa kali yang dia ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan
semakin sering mengatakan hal yang hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan
demikian. Kadang-kadang, kenyataan dan harapannya sudah begitu menyatu,
sehingga dia sendiri terjerat dalam khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau
mana yang dia harap ada, ruwet menjadi satu.
---
Untuk ide
cerita yang disajikan saya rasa cerpen ini telah mewakili kisah jati diri kehidupan
keluarga masa kini dengan segala permasalahan kompleks yang muncul. Dari
pemilihan judul misalnya, Jati Diri, pemilihan judul ini bisa dikatakan
mewakili isi cerita. Jati diri seorang Pak RT yang lebih memilih atau mungkin
lebih nyaman dengan jati dirinya sebagai seorang ketua RT dari pada
menghidupkan jati dirinya sebagai seorang ayah. Mendedikasikan hidupnya menjadi
ketua RT tauladan, bukan ayah tauladan. Jati diri Bu RT, seorang ibu yang
begitu sayang dan percaya terhadap anak-anaknya sehingga ia lupa bahwa menjadi
seorang ibu juga harus dapat memberikan perhatian dan pelajaran hidup kepada
anak-anaknya. Jati diri Iwan, remaja yang sedang tumbuh, yang banyak orang
menamai masa mencari jati diri, tetapi untuknya tidak ada yang memberikan
petunjuk sehingga ia dengan bebas memilih jati diri yang dikehendaki tanpa ada
rasa takut. Jati diri yang dipilih adalah jati diri sebayanya, yang masih
sama-sama mencari jati diri.
Saya acungkan jempol untuk cerpen ini. Kisah yang
disajikan memang terkesan umum, tapi dikemas dengan gaya baru sehingga cukup
mengejutan pembaca. Terlebih lagi mengangkat kisah sebuah keluarga yang saya
rasa tergolong jarang diangkat sebagai cerpen.
No comments:
Post a Comment