Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Angga Wahyu Ajeng

MEMUNCULKAN JATI DIRI
SEBUAH CERPEN NH. DINI

Oleh
Angga Wahyu Ajeng - 100211406098



            Cerpen (Cerita Pendek) adalah salah satu bentuk karya fiksi yang memiliki manfaat bagi pembacanya yaitu sebagai media dalam menyibak gejala-gejala sosial didalamnya. Hal inilah yang dilakukan oleh seorang penulis Nh. Dini yang memang karya-karyanya dilatar belakangi oleh tema dan ide yang cemerlang dengan teknik yang konvensional, dan bisa dibilang inilah keistimewaannya. Salah satu karyanya yaitu cerpen Jati Diri yang saya temukan dari kumpulan cerpen sastrawan di sebuah blog.



Terpilihnya cerpen Jati Diri bukan tanpa alasan, karena cerpen ini menyiratkan jati diri kehidupan keluarga disekitar kita saat ini. Nh. Dini sendiri tidak dapat diragukan dalam dunia kesusastraan Indonesia, hal ini terlihat dari banyak karya-karyanya yang telah dikenal dan bergelar pengarang sastra feminis. Kali ini ada yang sedikit berbeda dari tulisannya, tidak melulu bercerita tentang sosok perempuan melainkan tentang kehidupan sebuah keluarga.
Cerpen karya Nh. Dini berjudul Jati Diri berawal dari kisah seorang ketua RT beserta istri dan empat anaknya yang hidup berkecukupan tetapi lambat laun berubah menjadi keluarga yang cukup berada diantara warga kampungnya. Keberadaannya itu didapatnya dari jerih payahnya menjadi makelar tanah dan membuka usaha toko bahan bangunan. Istrinya membuka usaha toko yang menjual kebutuhan rumah tangga di depan rumah. Ditengah kesibukan orang tuanya, Iwan, anak sulung keluarga ini mulai beranjak dewasa, dengan segala tingkah laku nakal remaja ia bebas berulah tanpa sepengetahuan orang tuanya.
  Bahasa yang digunakan dalam cerpen Jati Diri membangunkan imajinasi namun tidak membangkitkan emosi pembaca. Hal ini terlihat dari kata-kata yang dipilih oleh pengarang sehingga dengan mudah pembaca memahami gambaran cerita tersebut.
Sudah tiga tahun bapaknya Iwan menjadi RT. Karena dekat dengan Pak Lurah, dia sering mendapat persenan keuntungan menjual tanah atau rumah di kawasan sana. Dia memang mahir mempengaruhi calon pembeli. Lalu bapaknya Iwan menjadi terkenal sebagai makelar tanah dan rumah.
Pada suatu ketika, uang yang dia terima cukup untuk membeli sebuah rumah reyot di pinggir jalan, tidak jauh dari pasar Jatingaleh. Bapaknya Iwan berpatungan dengan Pak Lurah, mendirikan usaha penjualan kayu, paving, ubin, semua keperluan MCK. Dan bila orang memerlukan barang yang tidak nampak di situ, Pak RT sanggup mencarikan. Semua tergantung pada komisi yang disepakati.

Dan saya tidak mempersoalkan apakah disebut baku atau tidak tetapi saya hanya ingin mengatakan bahwa sedikit terganggu dengan penggunaan kata tunjuk –nya pada kata bapaknya Iwan yang digunakan Nh. Dini untuk menunjuk pak RT. Dalam cerpen ini cukup banyak penggunaan kata tunjuk ini. Baru kali ini saya menemukan cerpen dengan gaya penulisan seperti ini, atau mungkin ini juga merupakan ciri khas lain dari Nh. Dini.   
Lain halnya dengan munculnya beberapa kata yang “berat” dan cenderung kasar menurut saya hal itu dimaksudkan untuk menyindir dan menggugah kepedulian pembaca.

--Sekarang se­te­lah rezeki semakin deras datang, dia bahkan se­ma­kin mengkhianati program pemerintah: dia ingin me­nambah dua atau tiga anak lagi.--,
-- Bapak dan ibu mabok dengan keberhasilan mencari uang.--,
-- Kini teman-teman itu menyulut api pemberontakan terhadap Pak RT:--,
--Di sana mereka juga menghambakan diri pada kemaksiatan berjudi.--
--Iwan termakan oleh gosokan itu.--

Kata mabok dan gosokan diatas misalnya, terdengar kasar karena masih ada kata lain yang lebih halus yang bisa mewakili kata tersebut. Tapi saya dapat mengerti dengan keputusannya memilih kata tersebut, kata “mabok” digunakan Nh. Dini sebagai sindiran karena yang dimaksudkan adalah Pak RT dan istrinya yang terlena, lupa diri dan terlalu asyik dengan materi. Selain itu kata “gosokan” yang menimbulkan makna baru, selain makna kegiatan menggesek atau menggeser secara berulang-ulang dua buah atau lebih benda melainkan kita dapat mengartikan sebagai kegiatan mempersuasif sesuatu.
Tokoh-tokoh dalam kisah ini merupakan tokoh yang sederhana dan cenderung ringan tetapi dapat mewakili pesan yang ingin disampaikan. Nh. Dini merasa tidak perlu menggambarkan individualisme dalam keluarga harus dengan menceritakan kisah konglomerat atau pejabat dengan anaknya yang hobi menghamburkan uang seperti kisah-kisah dalam sinetron televisi. Hal itu cukup dengan memunculkan tokoh ringan dikeseharian sehingga saya diawal proses membaca masih dipenuhi dengan teka-teki akhir cerita dan sama sekali tidak berpikir tentang kisah individualisme dalam sebuah keluarga.
Ketika ayahnya menjadi RT, usia Iwan 16 tahun. Dia baru lulus SLTP. Adiknya yang terkecil delapan tahun. Dan sejak ayahnya mempunyai kedudukan tersebut, sekaligus mengurusi mudamudi kampung, sekaligus selalu repot di toko material bangunan, semuanya berubah bagi Iwan.
Dia merasa hidup lebih leluasa. Dia bebas, karena bisa berbuat apa pun sesuai kemauannya. Karena bapak itu jarang berada di rumah di saat Iwan pulang untuk makan siang. Sore ketika kebanyakan keluarga berkumpul, Pak RT masih mengurusi usahanya. Atau bila tiba-tiba pulang sebelum pukul tujuh, dia bergegas mandi lalu pergi lagi memimpin pertemuan ini atau itu di salah satu ruangan kantor kelurahan.
Kemenarikan lain tentang tokoh yang muncul dalam cerpen ini adalah keberpihakan Nh. Dini pada tokoh wanita. Ibu RT dalam cerpen ini digambarkan orang yang baik, murah hati kepada orang lain, membela kepantingan anaknya, sabar dan selalu berpikiran positif. Berbeda dengan watak Pak RT yang gila kerja, kurang peduli terhadap anaknya, hingga pembenaran atas sifatnya yang gila kerja saat diketahui bahwa anaknya menjadi buronan polisi. Dan tokoh Iwan yang masih dalam masa pencarian jati diri berbuat kenakalan tanpa pengarahan dari orang tua terlebih ayahnya. Keberpihakan ini menunjukkan bahwa meski yang diangkat bukan kisah tentang perempuan, yang menjadi ciri khas karya Nh. Dini, tetapi tetap terselip kecintaannya terhadap kedudukan perempuan.  
Ibunya Iwan baik hati.
Sama seperti suaminya, dia terkenal sebagai orang yang tidak tega. Pasangan itu banyak menolong dan membantu penduduk sekitar. Itulah salah satu sebab mengapa bapaknya Iwan menjadi RT, dilanjutkan dipasrahi membina kaum muda di sana. 

Cerpen Jati Diri juga menyisipkan perbincangan antar tokohnya begitu lugas tetapi tepat mengenai sasaran. Damlam cerpen Jati Diri ini Nh. Dini banyak menyisipkan dialog atau ungkapan tokoh disela-sela cerita bahkan diawal cerita. Sebagai penulis Nh. Dini membuat saya berdecak kagum karena berhasil marasuki tokoh yang diciptakannya, dari dialog atau ungkapan tokoh yang ada Nh. Dini berhasil menjadi Pak RT dengan sikap acuhnya, Bu RT dengan kebaikan serta pengertiannya, dan bahkan memunculkan ungkapan kebohongan Iwan.   
---
Jika ada tetangga yang usil bertanya me­nga­pa dia begitu cepat pergi lagi keluar rumah, jawabnya yang paling sering ada­lah “Saya ha­rus ke per­temuan.”
Atau:
“Muda-mudi itu ha­rus ada yang meng­arah­kan.”
---
---
Mak bertanya mengapa meng­ambil uang sebanyak itu. Biasanya, pa­gi Iwan dan Yuni disuruh meng­ambil uang sendiri di kotak di da­lam laci. Tidak banyak. Paling-pa­ling lima ribu. Kalau ada ke­per­lu­an sekolah bisa sepuluh atau dua puluh ribu. Mak bertanya lembut, bahkan nyaris merayu si anak, un­tuk apa uang itu.
Tenang dan tanpa ragu Iwan menyahut, “Kuberikan kepada Her­man. Dia mau buka usaha, ka­sih­an ti­dak punya modal,” lalu dari saku celana seragam yang kembali dia pakai, dia keluarkan gumpalan uang lusuh. Diberikan kepada Mak, meneruskan bicaranya, “Ini sisanya.”
Mak menghitung, dua ratus ribu lebih sedikit.
“Nanti kalau usahanya ber­ja­lan, Herman akan mengem­ba­li­kan. Malahan mungkin dengan bu­nga,” kata Iwan lagi.
Mak lega.
“Apa usaha temanmu?”
---
---
“Di kelas, tinggal aku yang be­lum punya kendaraan,” kata Iwan lagi. Dan dia tidak khawatir ayahnya akan menyelidiki kebenarannya. Kebohongan memang sudah mendasari hidup Iwan. Yang dia katakan tadi entah merupakan kebohongan yang keberapa kali yang dia ucapkan sejak pagi hari itu. Karena Iwan semakin sering mengatakan hal yang hanya terjadi di kepalanya. Yang dia inginkan demikian. Kadang-kadang, kenyataan dan harapannya sudah begitu menyatu, sehingga dia sendiri terjerat dalam khayalannya. Mana yang sungguh ada, atau mana yang dia harap ada, ruwet menjadi satu.
---

Untuk ide cerita yang disajikan saya rasa cerpen ini telah mewakili kisah jati diri kehidupan keluarga masa kini dengan segala permasalahan kompleks yang muncul. Dari pemilihan judul misalnya, Jati Diri, pemilihan judul ini bisa dikatakan mewakili isi cerita. Jati diri seorang Pak RT yang lebih memilih atau mungkin lebih nyaman dengan jati dirinya sebagai seorang ketua RT dari pada menghidupkan jati dirinya sebagai seorang ayah. Mendedikasikan hidupnya menjadi ketua RT tauladan, bukan ayah tauladan. Jati diri Bu RT, seorang ibu yang begitu sayang dan percaya terhadap anak-anaknya sehingga ia lupa bahwa menjadi seorang ibu juga harus dapat memberikan perhatian dan pelajaran hidup kepada anak-anaknya. Jati diri Iwan, remaja yang sedang tumbuh, yang banyak orang menamai masa mencari jati diri, tetapi untuknya tidak ada yang memberikan petunjuk sehingga ia dengan bebas memilih jati diri yang dikehendaki tanpa ada rasa takut. Jati diri yang dipilih adalah jati diri sebayanya, yang masih sama-sama mencari jati diri.
Saya acungkan jempol untuk cerpen ini. Kisah yang disajikan memang terkesan umum, tapi dikemas dengan gaya baru sehingga cukup mengejutan pembaca. Terlebih lagi mengangkat kisah sebuah keluarga yang saya rasa tergolong jarang diangkat sebagai cerpen.

  

No comments:

Post a Comment