Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Putri Bayu Pungkasari

GOENAWAN MUHAMAD PENYAIR SUASANA HATI
Oleh
Putri Bayu Pungkasari

Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang sering kita kenal dengan nama Goenawan Mohamad. Goenawan Mohamad yang lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941 adalah seorang pujangga Indonesia yang terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai dari pemain sepakbola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman dan musik, dan lain-lain. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.

Lebih dulu saya akan membicarakan Goenawan Mohamad sebagai penyair, karena yang saya lihat ia banyak menulis terutama dalam bentuk puisi seperti kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis.. Akan tetapi dalam diri Goenawan Mohamad tidak hanya puisi yang ia tulis tetapi juga artikel, artikel yang paling terkenal dan populer adalah Catatan Pinggir, sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang dari Majalah Tempo. Konsep dari Catatan Pinggir adalah sekedar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Catatan Pinggir mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya di akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot.
Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan Mohamad menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan.  Goenawan Mohamad  memosisikan kepenyairannya sendiri sebagai penulis lirik yang taat dan ketat, hal ini terbukti pada “kredo” Nyanyi Sunyi Kedua, yang ditulisnya pada tahun 1968. Banyak puisi yang ditulisnya, sebagian besar juga muncul di majalah Horison dalam salah satu edisinya tahun 197, harian Kompas, dan msih banyak lagi.
Sebagai penyair, Goenawan Mohamad baru kan terdorong untuk menulis puisi, apabila ia bersentuhan dengan hal-hal yang sangat beragam. Goenawan Mohamad terkenal dengan tipikal penyair suasana hati. Puisi-puisi terbaiknya sudah meyakinkan kita dengan bahasanya yang indah, jernih, dan ketajaman dalam suasana Jawa atau hati.
Kerumitan sekaligus keindahan puisi Goenawan (ruh puisi), justru terdapat di dalam bait-bait puisi itu sendiri. Puisi Goenawan Mohamad kaya akan bunyi, demikian kayanya hingga kita seakan-akan ikut mengalir dalam puisi tersebut dan terlena di dalamnya. Akan tetapi banyak juga puisi Goenawan Mohamad yang tidak bisa cepat ditangkap oleh masyarakat awam, bahkan juga bagi para penyair pada umumnya.
Untuk bisa menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad kita harus mempunyai kesabaran karena maksud dan keindahan tersebut tidak tertangkap dalam sekali baca. Kita harus membaca terus, sekali lagi, dan sekali lagi untuk bisa menangkap maksud dan keindahan suasana hati yang ada dalam puisi Goenawan Mohamad. Karena terpesona dengan keindahan dan arti puisi Goenawan Mohamad banyak konsumen sastra, bahkan juga para pengulas yang terlena di dalamnya. Dengan pengetahuan yang luas, terutama dalam konteks Jawa, ketajaman pancaindra, barulah akan jelas isi yang penuh dengan banyak variasi dan gradasi dalam arti banyak makna dan warna.
Goenawan Muhammadadalah penyair yang menyatakan perasaannya dengan menggunakan hal-hal ang sulit, terutama dalam konteks Jawa. Analisis puisi Goenawan Muhammaddengan otak semata tak dapat merangkum arti, jiwa, dan suasanyanya. Pergeseran gambaran yang meloncat-loncat seolah tidak ada hubungannya kecuali dalam keseluruhan isi dan suasana yang diungkapkan.
Observasi pada Goenawan Muhammadsenantiasa merangsang pemikiran-pemikiran yang bergejolak dan menghasilkan sebuah pandangan pribadi. Pengalaman dan perjalanan tidak sekadar perilaku semata, tapi pengolaan dan penghayatan terutama. Demikianlah apabila kita melihat pembuat asmaradhana, sampai dengan nasib dan maut yang harus tetap berjalan dengan kakuatan sebagai orang yang  kehilangan (“Asmaradana”)
Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Asmaradana adalah sebuah tembang macapat dari Jawa, biasanya ditujukan untuk pemuda-pemuda yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Asmaradana dalam tembang macapat Jawa mengisahkan tentang cinta Damarwulan dan Anjasmara. Goenawan Mohamad (Goenawan Muhammad) memang menulis puisi dalam tema yang luas. Kadang ia membahas tentang politik, perjuangan, sosial, tapi juga kadang membahas tentang hidup dan cinta. Puisi Asmaradana ini menangkap momen ketika Anjasmara berpisah dengan Damarwulan, kekasihnya. Goenawan Muhammad melukiskan perpisahan itu dengan menyayat hati dan kepasrahan total.
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Goenawan Muhammad melukiskan perpisahan ini dengan menggambarkan latar alam yang suram sekaligus romantik. Suasana sehabis hujan pada malam hari mempunyai misteri magis tersendiri untuk perasaan kita: dingin, Mencekam, Suram. Goenawan Muhammad menggambarkan pada saat itu ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun. Langit yang tadi gelap gulita karena hujan deras kembali cerah menampakkan galaksi bimasakti yang jauh, tetapi tetap saja suasana gelap karena sudah malam. Kuda-kuda meringkik resah. Mereka seolah bisa merasakan kegelisahan hati tuannya. Hati Damarwulan dan Anjasmara bergejolak, ingin menyampaikan banyak hal: kesedihan, tangis, kecemasan, dan ketidakberdayaan. Namun, mereka tidak ada yang berkata-kata. Bungkam.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Damarwulan tahu, nasibnya bagaikan buah simalakama. Jika ia menang melawan Minak Jingga, ia akan dianugerahi jabatan dan ia akan menjadi kaum elit kerajaan Majapahit. Ia pun akan diminta menikah dengan perempuan lain -yang lebih elit. Namun, pilihan itu terasa absurd karena Minak Jingga sangat tangguh. Ia sangat sakti. Kemungkinan yang paling besar adalah Damarwulan dan Minak Jinggo akan bertarung sampai mati. Maka, pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir bagi dua kekasih itu.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
Namun, Damarwulan tahu Anjasmara adalah wanita yang tegar. Ia takkan menangis walaupun nanti pagi ada tapak kaki dirinya yang menuju utara -menuju medan perang. Ia buang semua masa lalu dalam kepalanya hingga ia tak punya lagi alasan untuk bersedih.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Dalam remang-remang malam dikelilingi puluhan kunang-kunang, Damarwulan pun meminta Anjasmara untuk melupakannya, karena ia pun akan melupakan Anjasmara. Damarwulan meminta Anjasmara agar tunduk kepada takdir, pasrah.
Puisi ini tidak hanya berbicara tentang asmara. Lebih dari itu, ia berbicara tentang kehidupan. Puisi ini mendorong seorang lelaki untuk gagah berani maju berperang untuk membela negara walaupun untuk itu ia harus tewas dan meninggalkan keluarganya yang tenang tenteram. Puisi ini juga mengajak agar para istri rela melepas suaminya untuk berjuang, walaupun untuk itu ia harus siap mendengar kabar kematian atau suaminya menikah dengan perempuan lain.
Selain itu, puisi Asmaradana juga bermain dengan takdir. Hidup tidaklah selamanya mulus. Ada saat-saat di atas dan ada pula saat-saat di bawah. Ketika kita menghadapi saat-saat yang buruk dan tanpa harapan, kita harus tetap melangkah dengan tegar dan menghadapinya dengan hati yang lapang. Kita harus memainkan peran kita sebaik mungkin dalam hidup ini sampai kita mati. Secara tidak langsung, puisi ini membuat kita semakin menghargai arti kehidupan, perpisahan, keluarga, dan cinta.
             


No comments:

Post a Comment