GOENAWAN MUHAMAD PENYAIR SUASANA HATI
Oleh
Putri Bayu Pungkasari
Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang sering kita kenal dengan
nama Goenawan Mohamad. Goenawan Mohamad yang lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941 adalah seorang pujangga
Indonesia yang terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Goenawan
Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai
dari pemain sepakbola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman dan
musik, dan lain-lain. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata
Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad
adalah pemikiran monodimensional.
Lebih dulu saya akan membicarakan Goenawan Mohamad sebagai penyair, karena
yang saya lihat ia banyak menulis terutama dalam bentuk puisi seperti kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude
(1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis..
Akan tetapi dalam diri Goenawan Mohamad tidak hanya puisi yang ia tulis tetapi
juga artikel, artikel yang paling terkenal dan
populer adalah Catatan Pinggir, sebuah artikel pendek yang dimuat secara
mingguan di halaman paling belakang dari Majalah Tempo. Konsep dari Catatan
Pinggir adalah sekedar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap batang
tubuh yang utama. Artinya, Catatan Pinggir mengambil posisi di tepi, bukan
posisi sentral. Sejak kemunculannya di akhir tahun 1970-an, Catatan Pinggir
telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan
kolot.
Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan
Mohamad menghasilkan
berbagai karya yang sudah diterbitkan. Goenawan Mohamad memosisikan kepenyairannya sendiri sebagai
penulis lirik yang taat dan ketat, hal ini terbukti pada “kredo” Nyanyi Sunyi
Kedua, yang ditulisnya pada tahun 1968. Banyak puisi yang ditulisnya, sebagian
besar juga muncul di majalah Horison dalam salah satu edisinya tahun 197,
harian Kompas, dan msih banyak lagi.
Sebagai penyair, Goenawan Mohamad baru kan terdorong untuk menulis puisi,
apabila ia bersentuhan dengan hal-hal yang sangat beragam. Goenawan Mohamad
terkenal dengan tipikal penyair suasana hati. Puisi-puisi terbaiknya sudah
meyakinkan kita dengan bahasanya yang indah, jernih, dan ketajaman dalam
suasana Jawa atau hati.
Kerumitan sekaligus keindahan puisi Goenawan (ruh puisi), justru terdapat
di dalam bait-bait puisi itu sendiri. Puisi Goenawan Mohamad kaya akan bunyi,
demikian kayanya hingga kita seakan-akan ikut mengalir dalam puisi tersebut dan
terlena di dalamnya. Akan tetapi banyak juga puisi Goenawan Mohamad yang tidak
bisa cepat ditangkap oleh masyarakat awam, bahkan juga bagi para penyair pada
umumnya.
Untuk bisa menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad kita harus mempunyai
kesabaran karena maksud dan keindahan tersebut tidak tertangkap dalam sekali
baca. Kita harus membaca terus, sekali lagi, dan sekali lagi untuk bisa
menangkap maksud dan keindahan suasana hati yang ada dalam puisi Goenawan
Mohamad. Karena terpesona dengan keindahan dan arti puisi Goenawan Mohamad
banyak konsumen sastra, bahkan juga para pengulas yang terlena di dalamnya.
Dengan pengetahuan yang luas, terutama dalam konteks Jawa, ketajaman
pancaindra, barulah akan jelas isi yang penuh dengan banyak variasi dan gradasi
dalam arti banyak makna dan warna.
Goenawan Muhammadadalah penyair yang menyatakan perasaannya dengan
menggunakan hal-hal ang sulit, terutama dalam konteks Jawa. Analisis puisi Goenawan
Muhammaddengan otak semata tak dapat merangkum arti, jiwa, dan suasanyanya.
Pergeseran gambaran yang meloncat-loncat seolah tidak ada hubungannya kecuali
dalam keseluruhan isi dan suasana yang diungkapkan.
Observasi pada Goenawan Muhammadsenantiasa merangsang pemikiran-pemikiran
yang bergejolak dan menghasilkan sebuah pandangan pribadi. Pengalaman dan
perjalanan tidak sekadar perilaku semata, tapi pengolaan dan penghayatan
terutama. Demikianlah apabila kita melihat pembuat asmaradhana, sampai dengan
nasib dan maut yang harus tetap berjalan dengan kakuatan sebagai orang
yang kehilangan (“Asmaradana”)
Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari
daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati
ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara
mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila
esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Asmaradana adalah sebuah tembang macapat dari Jawa, biasanya
ditujukan untuk pemuda-pemuda yang sedang mengalami masa pertumbuhan.
Asmaradana dalam tembang macapat Jawa mengisahkan tentang cinta Damarwulan dan
Anjasmara. Goenawan Mohamad (Goenawan Muhammad) memang menulis puisi dalam tema
yang luas. Kadang ia membahas tentang politik, perjuangan, sosial, tapi juga
kadang membahas tentang hidup dan cinta. Puisi Asmaradana ini menangkap momen
ketika Anjasmara berpisah dengan Damarwulan, kekasihnya. Goenawan Muhammad melukiskan
perpisahan itu dengan menyayat hati dan kepasrahan total.
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari
daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati
ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara
mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Goenawan Muhammad melukiskan perpisahan ini dengan
menggambarkan latar alam yang suram sekaligus romantik. Suasana sehabis hujan
pada malam hari mempunyai misteri magis tersendiri untuk perasaan kita: dingin,
Mencekam, Suram. Goenawan Muhammad menggambarkan pada saat itu ia dengar kepak sayap kelelawar
dan guyur sisa hujan dari daun. Langit yang tadi gelap gulita karena hujan
deras kembali cerah menampakkan galaksi bimasakti yang jauh, tetapi tetap saja
suasana gelap karena sudah malam. Kuda-kuda meringkik resah. Mereka seolah bisa
merasakan kegelisahan hati tuannya. Hati Damarwulan dan Anjasmara bergejolak,
ingin menyampaikan banyak hal: kesedihan, tangis, kecemasan, dan
ketidakberdayaan. Namun, mereka tidak ada yang berkata-kata. Bungkam.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat
peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Damarwulan tahu, nasibnya bagaikan buah simalakama. Jika ia
menang melawan Minak Jingga, ia akan dianugerahi jabatan dan ia akan menjadi
kaum elit kerajaan Majapahit. Ia pun akan diminta menikah dengan perempuan lain
-yang lebih elit. Namun, pilihan itu terasa absurd karena Minak Jingga sangat
tangguh. Ia sangat sakti. Kemungkinan yang paling besar adalah Damarwulan dan
Minak Jinggo akan bertarung sampai mati. Maka, pertemuan ini adalah pertemuan
yang terakhir bagi dua kekasih itu.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila
esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
Namun, Damarwulan tahu Anjasmara adalah wanita yang tegar. Ia
takkan menangis walaupun nanti pagi ada tapak kaki dirinya yang menuju utara
-menuju medan perang. Ia buang semua masa lalu dalam kepalanya hingga ia tak
punya lagi alasan untuk bersedih.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Dalam remang-remang malam dikelilingi puluhan kunang-kunang,
Damarwulan pun meminta Anjasmara untuk melupakannya, karena ia pun akan
melupakan Anjasmara. Damarwulan meminta Anjasmara agar tunduk kepada takdir,
pasrah.
Puisi ini tidak hanya berbicara tentang asmara. Lebih dari
itu, ia berbicara tentang kehidupan. Puisi ini mendorong seorang lelaki untuk
gagah berani maju berperang untuk membela negara walaupun untuk itu ia harus
tewas dan meninggalkan keluarganya yang tenang tenteram. Puisi ini juga
mengajak agar para istri rela melepas suaminya untuk berjuang, walaupun untuk
itu ia harus siap mendengar kabar kematian atau suaminya menikah dengan
perempuan lain.
Selain itu, puisi Asmaradana juga bermain dengan takdir.
Hidup tidaklah selamanya mulus. Ada saat-saat di atas dan ada pula saat-saat di
bawah. Ketika kita menghadapi saat-saat yang buruk dan tanpa harapan, kita
harus tetap melangkah dengan tegar dan menghadapinya dengan hati yang lapang.
Kita harus memainkan peran kita sebaik mungkin dalam hidup ini sampai kita
mati. Secara tidak langsung, puisi ini membuat kita semakin menghargai arti
kehidupan, perpisahan, keluarga, dan cinta.
No comments:
Post a Comment