Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Rizqa Era Fithrya

CHAIRIL ANWAR SI BINATANG JALANG
Oleh
Rizqa Era Fithrya - 100211404908



Saya sangat menyukai puisi-puisi karya Chairil Anwar, terutama pada puisi yang berjudul “Diponegoro”. Lewat puisi tersebut, Chairil Anwar Menghimbau pada generasi muda untuk menghayati lagi semangat perjuangan para pahlawan yaitu Diponegoro dan menerapkannya di era pembangunan dan teknologi sekarang ini.
Diponegoro

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api


Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang

“Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali”. Yah, setidaknya dua baris pada bait pertama puisi karya Chairil Anwar ini bisa menyimbolkan gambar-gambar kegagahan Diponegoro di dinding-dinding kelas sekolah.
Saya pikir cara Chairil Anwar mengenang dan memperkenalkan kepada kita terhadap seorang tokoh pahlawan seperti ini tergolong hebat, bagaimana tidak, seorang yang telah berakhir seabad yang lalu ini digambarkan seolah-olah masih hidup di masa sekarang.
Puisi Diponegoro menggambarkan perjuangan dimasa pembangunan, dimana jiwa Diponegoro hidup kembali dalam diri para pejuang, yaitu jiwa keberanian untuk melawan penjajah. Sehingga, biarpun “Lawan banyaknya seratus kali” dan meskipun hanya bersenjatakan “Pedang di kanan, keris di kiri”, tetapi dengan “Berselempang semangat yang tidak bisa mati” mereka tetap “maju”, meskipun “Ini barisan tak bergenderang berpalu”, tetapi “kepercayaan tanda menyerbu” untuk mengusir penjajah, yang meskipun mungkin mereka (pejuang) harus mati tetapi telah berhasil memberi arti pada hidup ini, bahwa hidup adalah perjuangan.
“Si Binatang Jalang”, julukan bagi Chairil Anwar dari karyanya yang berjudul Aku, adalah seorang penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis kurang lebih 240 karya. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan sebagai pelopor Angkatan ’45 sekaligus puisi modern Indonesia.
Banyak orang yang menganggap kehidupan Chairil Anwar ini berantakan. Saya sendiri pub beranggapan seperti itu. Bagaimana tidak, dilihat dari latar belakang kehidupannya, meskipun ia lahir dari keluarga yang berada, jabatan terakhir Ayahnya adalah seorang Bupati Inderagiri, Riau dan diperlakukan dengan manja karena merupakan anak tunggal, ia masih cenderung keras kepala dan tidak ingin kehilangan apapun. Dan kehidupan keluarganya tetap saja berantakan. Kedua orangtuanya berpisah, ia kemudian ikut kepada Ibunya ke Batavia(sekarang jakarta) dan mulai berkenalan dengan dunia sastra.
Ia mengenyam pendidikan di HIS dan MULO, setelah berusia 18 tahun, ia berhenti bersekolah. Meskipun begitu ia menguasai bahasa Inggris, Belanda dan Jerman.

Dari kurang lebih 240 karya Chairil Anwar, sekitar 20 karyanya adalah saduran dan penambahan kalimat. Maksudnya puisi yang diakui sebagai karangannya itu merupakan puisi asing yang ia terjemahkan dan kemudian ia tambahkan beberapa kalimat yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia saat itu, dengan kata lain karya sastra yang merupakan sandurannya itu merupakan salah satu bagian dari banyaknya bentuk partisipasi memperjuangkan kemerdekaan. Harapan saya, meskipun dengan latarbelakang kehidupan dan anggapan-anggapan miring terhadap Chairil Anwar, tidak mengurangi rasa bangga kita terhadap Penyair terkenal milik Negara ini dan tetap mengidolakan Si Binatang Jalang Chairil Anwar seperti saya mengidolakannya samapi sekarang.

No comments:

Post a Comment