Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Fany Chusnia

KEMENARIKAN DI BALIK DRAMATISASI
“BIDADARI-BIDADARI SURGA” KARYA TERE LIYE

Oleh:
Fany Chusnia - 100211404897


Tere Liye merupakan salah satu penulis novel yang beberapa tahun belakangan ini novelnya sangat digemari oleh pembaca. Tere Liye yang bernama asli Darwis ini sangat produktif menghasilkan karya berupa novel- novel. Sebut saja novelnya yang berjudul Hafalan Sholat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Berlian, Pukat, Eliana, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Sejuta Rasanya dan Sepotong Hati yang Baru. Namun ada satu karya Tere Liye yang dianggap masterpiece oleh sebagian besar pembacanya yaitu novelnya yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga. Novel ini tidak hanya best seller, tetapi sempat pula diangkat ke dalam film dengan judul yang sama pada tahun 2012 yang lalu. Namun film ini kurang sebooming novelnya. Novel Bidadari-Bidadari Surga yang terbit tahun 2008 lalu ini memang menarik untuk dibahas karena tidak hanya meng-entertain, tetapi juga sarat akan makna.

Novel Bidadari-Bidadari Surga menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga yang terdiri dari ibu dan lima orang anaknya. Laisa adalah sulung dari lima bersaudara. Dia berjanji akan memberikan kesempatan pada adik-adiknya untuk menjadi orang-orang hebat. Laisa merelakan kesempatannya untuk bersekolah dan menikah demi adik-adiknya. Laisa menyimpan seluruh pengorbanannya seorang diri hingga detik terakhir hidupnya. Saat keempat adik-adiknya pulang secepat mungkin ke Lembah Lahambay yang indah untuk menemui Kakaknya, Laisa malah terbaring sakit tak berdaya. Itulah pertemuan terakhir mereka dengan Laisa.
Watak dan karakter tokoh dalam novel ini beragam. Semua tokoh dalam cerita memiliki watak dan karakter masing-masing yang kuat. Mulai dari watak yang kalem sampai keras kepala. Laisa adalah wujud dari penokohan yang dibuat Tere Liye. Laisa digambarkan sebagai tokoh yang kuat secara karakter maupun watak. Sehingga apapun kejadian yang berhubungan dengannya selalu menarik dan tak jarang begitu menggugah.

“Kau tahu, jika suami merasa tersiksa melihat wajah dan fisik istrinya, dan juga sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Bukankah kau juga tahu kisah tentang sahabat Nabi yang meminta bercerai karena fisik dan wajah pasangannya tidak menentramkan hatinya”. Kak Laisa tetap berkata ringan.
...
“Kakak tidak sakit hati?” Dalimunte berusaha melepas senyap dihatinya
“Kenapa harus sakit hati, Dali?” Kak Laisa melambaikan tangan.
Dalimunte menunduk. Mengusir rasa sesalnya atas kejadian ini.


 Karakter Laisa yang tidak cantik namun memiliki hati yang sangat lapang inilah salah satu yang menjadi daya tarik dari novel ini. Tokoh yang bagus tidak akan kuat apabila tidak diiringi dengan alur yang menarik. Alur novel ini terbilang unik, sebab setiap bab pada novel terdapat alur gabungan yaitu alur maju (masa sekarang) dan alur mundur (masa lalu). Tere Liye tidak menceritakan secara terpisah dua masa tersebut, tetapi digabung menjadi satu dengan pemisah yang lumayan jelas sehingga tidak membuat rancu pembacanya.
            Kemenarikan sebuah novel tidak lengkap jika hanya dilihat dari tokoh dan alur saja. Sebab setiap penulis pasti akan menciptakan tokoh dan alur yang menarik sesuai dengan gaya penulis itu masing-masing. Tema dan amanat yang terkandung juga patut diperhitungkan dalam menilai baik tidaknya sebuah karya sastra. Tema yang terlalu umum di pasaran, pastinya jarang memberikan nilai yang diharapkan. Karya-karya seperti ini hanya bersifat entertain saja. Dewasa ini, Indonesia butuh karakter moral yang baik bagi generasi penerusnya. Salah satu cara menanamkan moral yang baik bisa melalui karya sastra semisal novel yang akrab dengan kehidupan kita. Tema yang diangkat Tere Liye ke dalam novel Bidadari-Bidadari Surga ini berbeda dari kebanyakan tema novel-novel yang ada. Tere Liye mengangkat tema keluarga yang sederhana namun penuh dengan cinta. Tema ini ternyata sangat menarik karena mempunyai amanat tersendiri. Kita sebagai manusia harus saling menyayangi antar anggota keluarga, nampaknya itu amanat yang memang diusung Tere Liye dalam novelnya ini.
            Saat membaca novel ini, memang serasa melihat film. Alur yang rapi dan cerita yang bagus namun terkadang terlalu didramatisir, tak dapat dipungkiri menarik untuk dibaca. Alur cerita yang dibuat Tere Liye memang menakjubkan, namun terkadang detail cerita yang terdapat di dalamnya terkesan dibuat dramatis. Mungkin Tere Liye memang penggemar cerita-cerita dramatis sehingga itu muncul dalam novelnya. Berikut kutipan dramatis saat Laisa akan meninggal.
Saat itulah cahaya indah memesona itu turun membungkus lembah. Sekali lagi. Seperti sejuta pelangi jika kalian bisa melihatnya...
Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca.
Menerobos atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas mengambang di atas ranjang. Lembut menjemput. Kak Laisa tersenyum untuk selamanya. Kembali.

Bukan hanya peristiwa saat-saat meninggalnya Laisa saja yang terkesan dramatis, tetapi masih ada sejumlah peristiwa lainnya. Sebut saja kejadian saat Laisa hendak menikah namun batal karena istri pertama calon suami tiba-tiba hamil, Dalimunte yang menyusul pacarnya saat hendak take off di bandara, Yashinta yang pulang dengan diantar helikopter atau Laisa yang tengah kritis meminta adik perempuannya untuk menikah saat itu juga. Kejadian-kejadian ini sering kali kita jumpai di serial-serial drama di TV.

            Terlepas dari drama yang diciptakan Tere Liye dalam novelnya tersebut, novel tetaplah novel. Novel tetaplah karangan non fiksi yang penuh imajinasi penulisnya. Novel bukanlah karangan ilmiah yang harus reliable sesuai kenyataan. Tidak ada yang bisa disalahkan dari sebuah karya sastra yang lahir dari imajinasi seseorang. Namun karya yang lahir dari sebuah imajinasi bukan tidak bisa dimaknai, justru sangat bisa dimaknai. Pemaknaan itu tentu tergantung pada pribadi pembaca masing-masing. Penulis hanya menuliskan imajinya, selebihnya kita yang akan memaknainya.

No comments:

Post a Comment