KEMENARIKAN
DI BALIK DRAMATISASI
“BIDADARI-BIDADARI
SURGA” KARYA TERE LIYE
Oleh:
Fany
Chusnia - 100211404897
Tere Liye merupakan salah satu
penulis novel yang beberapa tahun belakangan ini novelnya sangat digemari oleh
pembaca. Tere Liye yang bernama asli Darwis ini sangat produktif menghasilkan
karya berupa novel- novel. Sebut saja novelnya yang berjudul Hafalan Sholat Delisa, Moga Bunda Disayang
Allah, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Berlian, Pukat, Eliana, Daun yang Jatuh
Tak Pernah Membenci Angin, Sejuta Rasanya dan Sepotong Hati yang Baru. Namun ada satu karya Tere Liye yang
dianggap masterpiece oleh sebagian
besar pembacanya yaitu novelnya yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga. Novel ini tidak hanya best seller, tetapi
sempat pula diangkat ke dalam film dengan judul yang sama pada tahun 2012 yang
lalu. Namun film ini kurang sebooming novelnya. Novel Bidadari-Bidadari Surga yang terbit tahun 2008 lalu ini memang
menarik untuk dibahas karena tidak hanya meng-entertain, tetapi juga sarat akan makna.
Novel Bidadari-Bidadari Surga menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga
yang terdiri dari ibu dan lima orang anaknya. Laisa adalah sulung dari lima
bersaudara. Dia berjanji akan memberikan kesempatan pada adik-adiknya untuk
menjadi orang-orang hebat. Laisa merelakan kesempatannya untuk bersekolah dan
menikah demi adik-adiknya. Laisa menyimpan seluruh pengorbanannya seorang diri
hingga detik terakhir hidupnya. Saat keempat adik-adiknya pulang secepat
mungkin ke Lembah Lahambay yang indah untuk menemui Kakaknya, Laisa malah
terbaring sakit tak berdaya. Itulah pertemuan terakhir mereka dengan Laisa.
Watak dan karakter tokoh dalam
novel ini beragam. Semua tokoh dalam cerita memiliki watak dan karakter
masing-masing yang kuat. Mulai dari watak yang kalem sampai keras kepala. Laisa
adalah wujud dari penokohan yang dibuat Tere Liye. Laisa digambarkan sebagai
tokoh yang kuat secara karakter maupun watak. Sehingga apapun kejadian yang
berhubungan dengannya selalu menarik dan tak jarang begitu menggugah.
“Kau
tahu, jika suami merasa tersiksa melihat wajah dan fisik istrinya, dan juga
sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Bukankah kau
juga tahu kisah tentang sahabat Nabi yang meminta bercerai karena fisik dan
wajah pasangannya tidak menentramkan hatinya”. Kak Laisa tetap berkata ringan.
...
“Kakak
tidak sakit hati?” Dalimunte berusaha melepas senyap dihatinya
“Kenapa
harus sakit hati, Dali?” Kak Laisa melambaikan tangan.
Dalimunte
menunduk. Mengusir rasa sesalnya atas kejadian ini.
Karakter Laisa yang tidak cantik namun
memiliki hati yang sangat lapang inilah salah satu yang menjadi daya tarik dari
novel ini. Tokoh yang bagus tidak akan kuat apabila tidak diiringi dengan alur
yang menarik. Alur novel ini terbilang unik, sebab setiap bab pada novel
terdapat alur gabungan yaitu alur maju (masa sekarang) dan alur mundur (masa
lalu). Tere Liye tidak menceritakan secara terpisah dua masa tersebut, tetapi
digabung menjadi satu dengan pemisah yang lumayan jelas sehingga tidak membuat
rancu pembacanya.
Kemenarikan
sebuah novel tidak lengkap jika hanya dilihat dari tokoh dan alur saja. Sebab
setiap penulis pasti akan menciptakan tokoh dan alur yang menarik sesuai dengan
gaya penulis itu masing-masing. Tema dan amanat yang terkandung juga patut
diperhitungkan dalam menilai baik tidaknya sebuah karya sastra. Tema yang
terlalu umum di pasaran, pastinya jarang memberikan nilai yang diharapkan.
Karya-karya seperti ini hanya bersifat entertain saja. Dewasa ini, Indonesia
butuh karakter moral yang baik bagi generasi penerusnya. Salah satu cara
menanamkan moral yang baik bisa melalui karya sastra semisal novel yang akrab
dengan kehidupan kita. Tema yang diangkat Tere Liye ke dalam novel Bidadari-Bidadari Surga ini berbeda dari
kebanyakan tema novel-novel yang ada. Tere Liye mengangkat tema keluarga yang
sederhana namun penuh dengan cinta. Tema ini ternyata sangat menarik karena
mempunyai amanat tersendiri. Kita sebagai manusia harus saling menyayangi antar
anggota keluarga, nampaknya itu amanat yang memang diusung Tere Liye dalam
novelnya ini.
Saat membaca novel ini, memang
serasa melihat film. Alur yang rapi dan cerita yang bagus namun terkadang
terlalu didramatisir, tak dapat dipungkiri menarik untuk dibaca. Alur cerita
yang dibuat Tere Liye memang menakjubkan, namun terkadang detail cerita yang
terdapat di dalamnya terkesan dibuat dramatis.
Mungkin Tere Liye memang penggemar cerita-cerita dramatis sehingga itu muncul
dalam novelnya. Berikut kutipan dramatis saat Laisa akan meninggal.
Saat
itulah cahaya indah memesona itu turun membungkus lembah. Sekali lagi. Seperti
sejuta pelangi jika kalian bisa melihatnya...
Bagai
parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca.
Menerobos
atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas mengambang di atas ranjang.
Lembut menjemput. Kak Laisa tersenyum untuk selamanya. Kembali.
Bukan hanya peristiwa saat-saat
meninggalnya Laisa saja yang terkesan dramatis, tetapi masih ada sejumlah
peristiwa lainnya. Sebut saja kejadian saat Laisa hendak menikah namun batal
karena istri pertama calon suami tiba-tiba hamil, Dalimunte yang menyusul
pacarnya saat hendak take off di bandara, Yashinta yang pulang dengan diantar
helikopter atau Laisa yang tengah kritis meminta adik perempuannya untuk
menikah saat itu juga. Kejadian-kejadian ini sering kali kita jumpai di
serial-serial drama di TV.
Terlepas
dari drama yang diciptakan Tere Liye dalam novelnya tersebut, novel tetaplah
novel. Novel tetaplah karangan non fiksi yang penuh imajinasi penulisnya. Novel
bukanlah karangan ilmiah yang harus reliable sesuai kenyataan. Tidak ada yang
bisa disalahkan dari sebuah karya sastra yang lahir dari imajinasi seseorang.
Namun karya yang lahir dari sebuah imajinasi bukan tidak bisa dimaknai, justru
sangat bisa dimaknai. Pemaknaan itu tentu tergantung pada pribadi pembaca
masing-masing. Penulis hanya menuliskan imajinya, selebihnya kita yang akan
memaknainya.
No comments:
Post a Comment