RENYAH DAN MEMIKAT
TAUFIQ ISMAIL: BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN
Oleh:
Fany Chusnia - 100211404897
Taufiq Ismail merupakan tokoh pupuler dalam dunia sastra
Indonesia, sastrawan ternama di Indonesia, budayawan papan atas Indonesia dengan
sederet penghargaan yang tidak hanya lefel nasional bahkan level internasional.
Taufiq Ismail juga seorang sastrawan produktif yang telah menghasilkan ratusan
puisi, karya terjemahan, cerpen, essai sastra,dan karya tulis lain. Selain
sederet prestasi, penghargaan dan karya sastra, Taufik Ismail juga populer
sebagai sastrawan yang memiliki ideliasme tinggi walaupun harus mengorbankan
karir dan pekerjaan. Ini dibuktikan tahun 1964 ketika ia dipecat sebagai pegawai
negeri oleh pemerintah Soekarno karena menandatangani manifest kebudayaan
bersama budayawan dan sastrawan yang menentang komunisme.
Puisi-puisi Taufiq Ismail
kebanyakan sarat akan kritik sosial yang kental. Taufiq ismail tak segan-segan
menuliskan protes kerasnya dalam puisi. Namun terdapat satu puisi karyanya yang
lain dari puisi Taufiq Ismail kebanyakan. Puisi tersebut berjudul “Buku Tamu
Musium Perjuangan” yang dibukukan tahun 1972. Puisi ini kiranya bisa dibilang
tua bila dibandingkan karya populer Taufiq Ismail seperti puisi sarat kritiknya
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia yang diterbitkan tahun
1998. Puisi “Buku Tamu Musium Perjuangan” menarik bagi
pembaca awam yang kurang memahami atau mungkin kurang berminat pada puisi.
Puisi ini cukup renyah untuk dipahami maknanya. Tidak hanya itu saja, puisi ini
lebih bisa dikatakan sebagai puisi yang mempunyai jalan cerita, bukan hanya
curahan hati maupun kritik semata.
Pada pembukaan puisi ini,
diceritakan tentang seorang lelaki separuh baya yang datang mengunjungi musium.
Lelaki separuh baya itu berjalan mengelilingi musium, melihat
peninggalan-peninggalan sejarah perang sambil mengingat-ingat kenangannya saat
perang dahulu. Menjelang bait akhir puisi ternyata diketahui identitas lelaki
setengah baya tersebut adalah arwah pejuang yang namanya terukir pada tugu
musium. Lelaki separuh baya itu membubuhkan tulisan pada buku tamu musium
perjuangan tersebut dan kemudian menghilang di tengah hujan.
Kisah dalam puisi ini layaknya
film yang menyajikan plot menarik serta suspense yang tak kalah apik. Pembukaan
puisi ditulis begitu mengalir dengan gaya bernarasi, tujuannya jelas untuk mengantarkan
cerita pada puisi. Bait pertama ini berhasil membuka rasa penasaran terhadap
jalan cerita puisi.
Pada tahun
keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah Musium Perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah Musium Perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan
Ekspektasi pembaca terhadap puisi ini
nampaknya terbayar pada bait-bait selanjutnya yang ditulis sangat mengalir oleh
Taufiq Ismail. Sebenarnya tidak sepenuhnya mengalir, terdapat kurva peningkatan
klimaks pada cerita. Bagian klimaks terletak pada bait berikut ini
Di depan
tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku disana…..
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku disana…..
GUGUR DALAM
PENCEGATAN
TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN
TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN
Bait-bait
setelah itu dapat dikategorikan sebagai selesaian atau leraian, karena pembaca
sudah mengetahui tokoh lelaki setengah baya pada puisi ini sebelum bait
terakhir.
Puisi
ini tidak hanya menarik pada alur ceritanya yang menghadirkan suspense, tetapi
gaya dan bahasa penceritaannya yang renyah juga menarik. Taufiq Ismail secara
detail menggambarkan tentang keadaan musium, benda-benda yang terdapat di dalam
musium ke dalam bait puisi berikut ini.
Bertahun-tahun
aku rindu
Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Penceritaan yang mengalir seperti ini sangat memikat
untuk diikuti. Pembaca yang suka sekali dengan prosa, drama, maupun film dan
sejenisnya pasti akan menyukai gaya puisi yang seperti ini. Apalagi gaya bahasa
yang digunakan tidak terlalu rumit untuk dipahami.
Pemaknaan
sebuah puisi mungkin tidak lengkap jika tidak menyinggung nilai yang terkandung
di dalamnya. Kebanyakan orang membaca
sebuah karya sastra hanyalah untuk “bersenang-senang”, ini tidaklah salah sebab
karya sastra bukan hasil riset yang perlu dipelajari. Sebuah karya sastra hanya
perlu dinikmati, syukur-syukur bisa dimaknai bahkan diambil esensi nilainya.
Setiap karya sastra pasti mempunyai nilai tersendiri, entah disadari ataupun
tidak. Terlebih lagi puisi sekelas puisi Taufiq Ismail pasti mempunyai nilai
tersendiri. Taufik Ismail ingin menyampaikan nilai yang sebenarnya sudah
ditanamkan pada rakyat Indonesia, namun nilai ini nampaknya sedikit terabaikan
di masyarakat. Membaca puisi ini pasti akan teringat dengan seruan Bung Karno
yang berbunyi “JAS MERAH” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Nampaknya
nilai itu yang terdapat dalam puisi ini.
Puisi
adalah salah satu karya sastra yang indah. Keindahan puisi dapat dinikmati oleh
siapapun, tak terkecuali “orang yang buta sastra” atau orang yang tidak
mengetahui bahkan kurang menyukai sastra, harusnya seperti itulah sastra
diterima. Namun kenyataan tidak bisa dihindari, banyak orang takut membaca
karya sastra puisi sebab mereka takut untuk mencerna atau memakanai puisi.
Alamiah memang, orang tidak ingin berpikir keras hanya untuk sebuah karya
sastra. Tapi sebenarnya ada banyak ruang istimewa dalam puisi yang bisa
dimaknai, tidak sekedar hanya dinikmati. Puisi Buku Tamu Musium Perjuangan
karya Taufiq Ismail ini hendaknya bisa dinikmati bahkan dimaknai.
No comments:
Post a Comment