Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Fany Chusnia


RENYAH DAN MEMIKAT
TAUFIQ ISMAIL: BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN

Oleh:
Fany Chusnia - 100211404897


Taufiq Ismail merupakan tokoh pupuler dalam dunia sastra Indonesia, sastrawan ternama di Indonesia, budayawan papan atas Indonesia dengan sederet penghargaan yang tidak hanya lefel nasional bahkan level internasional. Taufiq Ismail juga seorang sastrawan produktif yang telah menghasilkan ratusan puisi, karya terjemahan, cerpen, essai sastra,dan karya tulis lain. Selain sederet prestasi, penghargaan dan karya sastra, Taufik Ismail juga populer sebagai sastrawan yang memiliki ideliasme tinggi walaupun harus mengorbankan karir dan pekerjaan. Ini dibuktikan tahun 1964 ketika ia dipecat sebagai pegawai negeri oleh pemerintah Soekarno karena menandatangani manifest kebudayaan bersama budayawan dan sastrawan yang menentang komunisme.

Puisi-puisi Taufiq Ismail kebanyakan sarat akan kritik sosial yang kental. Taufiq ismail tak segan-segan menuliskan protes kerasnya dalam puisi. Namun terdapat satu puisi karyanya yang lain dari puisi Taufiq Ismail kebanyakan. Puisi tersebut berjudul “Buku Tamu Musium Perjuangan” yang dibukukan tahun 1972. Puisi ini kiranya bisa dibilang tua bila dibandingkan karya populer Taufiq Ismail seperti puisi sarat kritiknya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia yang diterbitkan tahun 1998. Puisi “Buku Tamu Musium Perjuangan” menarik bagi pembaca awam yang kurang memahami atau mungkin kurang berminat pada puisi. Puisi ini cukup renyah untuk dipahami maknanya. Tidak hanya itu saja, puisi ini lebih bisa dikatakan sebagai puisi yang mempunyai jalan cerita, bukan hanya curahan hati maupun kritik semata.
Pada pembukaan puisi ini, diceritakan tentang seorang lelaki separuh baya yang datang mengunjungi musium. Lelaki separuh baya itu berjalan mengelilingi musium, melihat peninggalan-peninggalan sejarah perang sambil mengingat-ingat kenangannya saat perang dahulu. Menjelang bait akhir puisi ternyata diketahui identitas lelaki setengah baya tersebut adalah arwah pejuang yang namanya terukir pada tugu musium. Lelaki separuh baya itu membubuhkan tulisan pada buku tamu musium perjuangan tersebut dan kemudian menghilang di tengah hujan.


Kisah dalam puisi ini layaknya film yang menyajikan plot menarik serta suspense yang tak kalah apik. Pembukaan puisi ditulis begitu mengalir dengan gaya bernarasi, tujuannya jelas untuk mengantarkan cerita pada puisi. Bait pertama ini berhasil membuka rasa penasaran terhadap jalan cerita puisi.
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah Musium Perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan

Ekspektasi pembaca terhadap puisi ini nampaknya terbayar pada bait-bait selanjutnya yang ditulis sangat mengalir oleh Taufiq Ismail. Sebenarnya tidak sepenuhnya mengalir, terdapat kurva peningkatan klimaks pada cerita. Bagian klimaks terletak pada bait berikut ini
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku disana…..

GUGUR DALAM PENCEGATAN
TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN

Bait-bait setelah itu dapat dikategorikan sebagai selesaian atau leraian, karena pembaca sudah mengetahui tokoh lelaki setengah baya pada puisi ini sebelum bait terakhir.
            Puisi ini tidak hanya menarik pada alur ceritanya yang menghadirkan suspense, tetapi gaya dan bahasa penceritaannya yang renyah juga menarik. Taufiq Ismail secara detail menggambarkan tentang keadaan musium, benda-benda yang terdapat di dalam musium ke dalam bait puisi berikut ini.
Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya

Penceritaan yang mengalir seperti ini sangat memikat untuk diikuti. Pembaca yang suka sekali dengan prosa, drama, maupun film dan sejenisnya pasti akan menyukai gaya puisi yang seperti ini. Apalagi gaya bahasa yang digunakan tidak terlalu rumit untuk dipahami.
            Pemaknaan sebuah puisi mungkin tidak lengkap jika tidak menyinggung nilai yang terkandung di dalamnya. Kebanyakan  orang membaca sebuah karya sastra hanyalah untuk “bersenang-senang”, ini tidaklah salah sebab karya sastra bukan hasil riset yang perlu dipelajari. Sebuah karya sastra hanya perlu dinikmati, syukur-syukur bisa dimaknai bahkan diambil esensi nilainya. Setiap karya sastra pasti mempunyai nilai tersendiri, entah disadari ataupun tidak. Terlebih lagi puisi sekelas puisi Taufiq Ismail pasti mempunyai nilai tersendiri. Taufik Ismail ingin menyampaikan nilai yang sebenarnya sudah ditanamkan pada rakyat Indonesia, namun nilai ini nampaknya sedikit terabaikan di masyarakat. Membaca puisi ini pasti akan teringat dengan seruan Bung Karno yang berbunyi “JAS MERAH” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah. Nampaknya nilai itu yang terdapat dalam puisi ini.
            Puisi adalah salah satu karya sastra yang indah. Keindahan puisi dapat dinikmati oleh siapapun, tak terkecuali “orang yang buta sastra” atau orang yang tidak mengetahui bahkan kurang menyukai sastra, harusnya seperti itulah sastra diterima. Namun kenyataan tidak bisa dihindari, banyak orang takut membaca karya sastra puisi sebab mereka takut untuk mencerna atau memakanai puisi. Alamiah memang, orang tidak ingin berpikir keras hanya untuk sebuah karya sastra. Tapi sebenarnya ada banyak ruang istimewa dalam puisi yang bisa dimaknai, tidak sekedar hanya dinikmati. Puisi Buku Tamu Musium Perjuangan karya Taufiq Ismail ini hendaknya bisa dinikmati bahkan dimaknai.




No comments:

Post a Comment