Tenggelam dalam Indahnya “Sepotong Senja untuk Pacarku”
Karya: Seno Gumira Ajidarma
Oleh
Tri
Famia - 100211406109
Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita
yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu, dengan peranan, latar serta tahapan
dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya
(dan kenyataan) sehingga menjalin suatu cerita (Aminudin, 2010:66). Bahasa digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok
persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema
tersebut. Oleh karena itu, dalam apresiasi dengan tujuan memberikan penghargaan
terhadap karya prosa itu, kita haruslah bisa menguak dan menemukan hal-hal yang
sesuai dengan ukuran keindahan dan kelebihan karya prosa itu. Dengan demikian,
penghargaan yang diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objektif.
Karya sastra
merupakan tanggapan sastrawan terhadap
realitas kehidupan yang ada
di sekitarnya. Kemudian, sastrawan
mewujudkannya secara estetis dan
memiliki nilai keindahan. Terciptanya
suatu karya sastra akan
selalu berguna bagi masyarakat.
Kandungan nilai suatu karya
sastra merupakan unsur yang
mendasar dari karya itu
secara keseluruhan. Selanjutnya, pembaca—masyarakat—lah yang
diharapkan mampu menguak nilai-nilai
dan memberikan penghargaan terhadap
suatu karya. Untuk memberi penghargaan terhadap
suatu karya, terutama karya sastra, pengapresiasi harus membaca terlebih dahulu
karya sastra tersebut. Membaca karya sastra berarti melihat, mengenal,
memahami, menikmati, juga memberikan penilaian/penghargaan. Pemahaman yang mendalam
terhadap terhadap suatu karya
sastra bukan hanya memberi
pengertian tentang latar belakang
budaya pengarangnya, melainkan juga
mengungkapkan ide-ide dan gagasan
sastrawannya dalam menanggapi situasi
yang ada di sekitarnya.
Nilai keindahan
yang disampaikan Seno dalam
beberapa karyanya sudah merepresentasikan
ide-ide dan gagasan Seno
terhadap realitas kehidupan yang
ada di sekitarnya. Pada
karya-karya tulisnya, banyak ditemui
kata “senja”, baik
sebagai judul maupun latar/setting.
Seperti novelnya yang berjudul
Negeri Senja dan cerpennya
yang berjudul Sepotong Senja
Untuk Pacarku. Pada novel Negeri
Senja, Seno menggunakan “senja” sebagai metafor atas kondisi negara Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Baru (Anonim, 2006). Sedangkan “senja” dalam
cerpennya Sepotong Senja untuk Pacarku, adalah “senja” yang bersifat
surealistik atau lebih mengarah pada aspek bawah sadar manusia dan nonrasional atau di luar realitas kenyataan. Bukan hanya
senja pada sore hari di sebuah pantai yang indah dengan langit kemerahan,
dengan matahari yang hampir tenggelam, dengan siluet burung-burung beterbangan
pada mega, lebih dari itu semua Seno menggambarkan “senja” pada cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku.
Walaupun, “senja” dalam cerpen ini bersifat surealistik,
namun ada hal lain yang bertentangan dengan “senja” yang ia gambarkan dalam
cerpen. Seno ingin agar pembaca dapat menguak suatu nilai, bukan hanya nilai
keindahan, namun nilai didaktis yang ia simpan rapi dalam cerpen ini dan
pembaca dapat menemukannya dengan mudah apabila benar-benar tenggelam dalam
keindahan “senja”.
Indahnya Senja
Sering kali Seno dalam karya-karyanya
menampilkan sesuatu hal yang sangat menarik yaitu senja, baik sebagai latar
atmosfir maupun sebagai latar simbolik. Sejumlah karyanya memakai unsur senja
sebagai bagian dari judulnya seperti novelnya yang berjudul: Negeri Senja dan
kumpulan cerpennya berjudul Sepotong
Senja untuk Pacarku. Sejumlah cerpennya memanfaatkan pemandangan dan
suasana senja yang berwarna kemerah-merahan itu sebagai latar waktunya. Senja
merupakan pintu gerbang ke dunia malam, tetapi juga akhir dari siang hari di
mana orang-orang telah letih setelah seharian bekerja. Penggambaran senja oleh
Seno dapat benar-benar membuat pembaca berimajinasi tentang senja yang ia
gambarkan seperti pada kutipan berikut ini:
Alina tercinta,
Bersama
surat ini kukirimkan padamu sepotong senja—dengan angin, debur ombak, matahari
terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti senja di setiap pantai, tentu saja ada
juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di kejauhan. Maaf,
aku tidak sempat menelitinya satu per satu.
...
Begitulah Seno melukiskan senja
dalam kata-kata dan gaya bahasanya yang indah. Dari gaya bahasa dan tatanan
kata-kata itu, Seno berhasil membuat pembaca benar-benar merasakan indahnya
senja. Ia seolah mengajak pembaca untuk ikut melihat senja yang ia lihat yang
kemudian ia tuliskan dalam cerpennya. Dari gaya bahasanya pulalah, Seno
menampilkan suasana indahnya senja disebuah pantai. Ia menganggap bahwa tidak
ada yang lebih indah yang bisa mewakili rasa cintanya (tokoh aku) kepada Alina
dari senja, kata-kata pun seakan tidak bisa menandingi keindahan senja. Seperti
pada kutipan berikut:
Kukirimkan
sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh,
karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. Sudah
terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah
apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya
dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya
dan selalu sia-sia.
...
Kukirimkan
sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit
kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika
aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
...
Senja dalam
cerpen ini bersifat surealistik, yaitu lebih mengarah pada aspek bawah sadar
manusia dan nonrasional atau di luar realitas kenyataan. Lihat kutipan berikut:
...
Maka
kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan
ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa
memberikannya padamu.
...
Dalam realitas kehidupan, senja tidak bisa dipotong dan dimasukkan dalam saku. Namun, Seno dalam cerpennya ini menganggap bahwa itu sebagai hal yang masuk akal.
...
Ketika aku meninggalkan pantai itu,
kulihat orang-orang datang berbondongbondong.
Ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu
berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti
itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang
menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil
senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku.
Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat
nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku
tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya
untukmu saja, Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku.
...
Begitulah, Seno memanfaatkan senja dan
mempermainkan logika. Senja telah hilang dan cakrawala berlubang sebesar kartu
pos karena telah diambil tokoh aku guna dipersembahkan kepada pacarnya. Cerpen
ini terkesan serius walau pembaca menganggapnya tak masuk akal. Pembaca seolah
dibuat berdebar dan ikut merasakan keseriusan tokoh “aku” yang dikejar-kejar
semua orang yang merasa kehilangan senja.
Dibalik Senja
Selanjutnya, ada hal lain yang bertentangan dengan “senja” yang digambarkan Seno secara romantis dalam cerpen ini. Di sini Seno ingin mengungkapkan sisi lain dari penggambaran “senja” yang apabila dilihat secara sekilas atau hanya sekedar membaca saja, hanya kesan cinta yang didapat. Namun apabila pembaca benar-benar tenggelam dalam keindahan senja, ada sisi lain yang bertentangan dengan suasana keindahan, tema cinta, dan bahasa romantis yang ada pada cerpen ini. Senja dalam cerpen ini mewakili ide-ide dan gagasan Seno dalam mengkritik pemerintahan pada era itu.
Pada tahun 1992 di mana pemerintahan dipimpin oleh Soeharto dirasa kurang sesuai karena sudah mulai ada penyimpangan-penyimpangan diberbagai bidang. Pada era itu, para kaum intelektual yang mulai berani memprotes kekuasaan Soeharto dibungkam dan yang sudah berani mengambil langkah untuk memprotes kekuasaan pemerintahan pada masa itu diasingkan, dipenjara, bahkan disiksa dalam penjara. Seno ingin menyampaikan bentuk protesnya lewat penggambaran dua senja, yaitu senja yang asli dan senja yang ada di bawah gorong-gorong.
Senja yang asli merupakan metafor dari sistem kekuasaan pemerintah yang dipimpin oleh Soeharto. Sedangkan senja yang ada di bawah gorong-gorong diibaratkan sebagai buah pemikiran para kaum intelektual yang membela kaum bawah. Yang unik untuk diamati adalah terdapat senja di bawah gorong-gorong. Gorong-gorong di sini mempunyai makna lain, yaitu rakyat kalangan bawah yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah cenderung memusatkan perhatian pada diri sendiri, mereka hanya sibuk memperkaya diri sendiri dibanding mengentaskan kemiskinan yang menggerogoti rakyat.
Di dalam cerita ini, tokoh “aku” memotong senja di bawah gorong-gorong dan mengganti senja yang asli dengan senja yang ada di bawah gorong-gorong. Hal itu mengibaratkan para kaum intelektual yang ingin mengganti sistem pemikiran pemerintah dengan pemikirannya agar rakyat pun dapat merasakan kemakmuran dan tidak lagi merasakan penderitaan yang mereka alami.
Namun, perthatikan
kutipan berikut ini:
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tiada lagi karena seseorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain diatas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh sesorang kepada pacarnya.
...
Kutipan di atas merupakan
penyimpulan dari keseluruhan amanat yang ingin disampaikan oleh Seno. Amanat tersebut menggambarkan pada era itu rakyat dan kaum intelektual yang ingin memperjuangkan kesejahteraan rakyat benar-benar tidak mampu berjuang lagi. Walaupun demikian, terselip suatu semangat kepercayaan bahwa suatu saat nanti cita-cita itu akan terwujud.
Benar-benar
sulit menebak “senja” dalam cerpen karya Seno ini. Romansa cinta, indahnya
senja, dan kata-kata romantis benar-benar dapat membalut suatu amarah dan
luapan emosi Seno terhadap rayap-rayap pemerintahan yang sudah rapuh pada masa
itu. Serasa tepat memang jika Seno menggunakan senja sebagai suatu simbol yang
sarat akan makna. Senja memang indah, namun keindahan yang hanya sementara. Ia
adalah batas dari terang menuju gelap. Tak seindah nama dan pemandangannya,
senja selalu membawa kegelapan. Akan lucu jadinya bila seno menggunakan kata
“fajar” atau “subuh”, tak akan seindah senja dan tak akan tergurat makna yang
mendalam seperti senja.
Daftar Rujukan
Anonim, 2006. Senja
dalam Dunia Seno Gumira
Ajidarma. (online), (Artikel no 43
dimuat di Jurnal Penelitian Agama STAIN Purwokerto edisi Januari—Juni
2006;kode: senja dalam), (senja_dalam@stain.ac.id/Download/File/SENJA DALAM DUNIA SENO GUMRA AJIARMA.Pdf, 08 Desember 2011)
Aminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
No comments:
Post a Comment