Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Tri Famia

Tenggelam dalam Indahnya “Sepotong Senja untuk Pacarku”
Karya: Seno Gumira Ajidarma
Oleh
Tri Famia - 100211406109


Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu, dengan peranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya (dan kenyataan) sehingga menjalin suatu cerita (Aminudin, 2010:66). Bahasa  digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema tersebut. Oleh karena itu, dalam apresiasi dengan tujuan memberikan penghargaan terhadap karya prosa itu, kita haruslah bisa menguak dan menemukan hal-hal yang sesuai dengan ukuran keindahan dan kelebihan karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objektif.

            Karya sastra merupakan tanggapan sastrawan terhadap realitas kehidupan yang ada di sekitarnya. Kemudian, sastrawan mewujudkannya secara estetis dan memiliki nilai keindahan. Terciptanya suatu karya sastra akan selalu berguna bagi masyarakat. Kandungan nilai suatu karya sastra merupakan unsur yang mendasar dari karya itu secara keseluruhan. Selanjutnya, pembacamasyarakatlah yang diharapkan mampu menguak nilai-nilai dan memberikan penghargaan terhadap suatu karya. Untuk memberi penghargaan terhadap suatu karya, terutama karya sastra, pengapresiasi harus membaca terlebih dahulu karya sastra tersebut. Membaca karya sastra berarti melihat, mengenal, memahami, menikmati, juga memberikan penilaian/penghargaan. Pemahaman yang mendalam terhadap terhadap suatu karya sastra bukan hanya memberi pengertian tentang latar belakang budaya pengarangnya, melainkan juga mengungkapkan ide-ide dan gagasan sastrawannya dalam menanggapi situasi yang ada di sekitarnya.
            Nilai keindahan yang disampaikan Seno dalam beberapa karyanya sudah merepresentasikan ide-ide dan gagasan Seno terhadap realitas kehidupan yang ada di sekitarnya. Pada karya-karya tulisnya, banyak ditemui katasenja, baik sebagai judul maupun latar/setting. Seperti novelnya yang berjudul Negeri Senja dan cerpennya yang berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku. Pada novel Negeri Senja, Seno menggunakansenja  sebagai metafor atas kondisi negara Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru (Anonim, 2006). Sedangkan “senja” dalam cerpennya Sepotong Senja untuk Pacarku, adalah “senja” yang bersifat surealistik atau lebih mengarah pada aspek bawah sadar manusia dan nonrasional  atau di luar realitas kenyataan. Bukan hanya senja pada sore hari di sebuah pantai yang indah dengan langit kemerahan, dengan matahari yang hampir tenggelam, dengan siluet burung-burung beterbangan pada mega, lebih dari itu semua Seno menggambarkan “senja” pada cerpen  Sepotong Senja untuk Pacarku.
            Walaupun, “senja” dalam cerpen ini bersifat surealistik, namun ada hal lain yang bertentangan dengan “senja” yang ia gambarkan dalam cerpen. Seno ingin agar pembaca dapat menguak suatu nilai, bukan hanya nilai keindahan, namun nilai didaktis yang ia simpan rapi dalam cerpen ini dan pembaca dapat menemukannya dengan mudah apabila benar-benar tenggelam dalam keindahan “senja”.

Indahnya Senja

Sering kali Seno dalam karya-karyanya menampilkan sesuatu hal yang sangat menarik yaitu senja, baik sebagai latar atmosfir maupun sebagai latar simbolik. Sejumlah karyanya memakai unsur senja sebagai bagian dari judulnya seperti novelnya yang berjudul: Negeri Senja dan kumpulan  cerpennya berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku. Sejumlah cerpennya memanfaatkan pemandangan dan suasana senja yang berwarna kemerah-merahan itu sebagai latar waktunya. Senja merupakan pintu gerbang ke dunia malam, tetapi juga akhir dari siang hari di mana orang-orang telah letih setelah seharian bekerja. Penggambaran senja oleh Seno dapat benar-benar membuat pembaca berimajinasi tentang senja yang ia gambarkan seperti pada kutipan berikut ini:
                        Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja—dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti senja di setiap pantai, tentu saja       ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di kejauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu per satu.
            ...
            Begitulah Seno melukiskan senja dalam kata-kata dan gaya bahasanya yang indah. Dari gaya bahasa dan tatanan kata-kata itu, Seno berhasil membuat pembaca benar-benar merasakan indahnya senja. Ia seolah mengajak pembaca untuk ikut melihat senja yang ia lihat yang kemudian ia tuliskan dalam cerpennya. Dari gaya bahasanya pulalah, Seno menampilkan suasana indahnya senja disebuah pantai. Ia menganggap bahwa tidak ada yang lebih indah yang bisa mewakili rasa cintanya (tokoh aku) kepada Alina dari senja, kata-kata pun seakan tidak bisa menandingi keindahan senja. Seperti pada kutipan berikut:
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia.
 ...
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta.     Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
            ...
            Senja dalam cerpen ini bersifat surealistik, yaitu lebih mengarah pada aspek bawah sadar manusia dan nonrasional atau di luar realitas kenyataan. Lihat kutipan berikut:
            ...
Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
            ...        
            Dalam realitas kehidupan, senja tidak bisa dipotong dan dimasukkan dalam saku. Namun, Seno dalam cerpennya ini menganggap bahwa itu sebagai hal yang masuk akal.
            ...
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondongbondong. Ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
                        Alina sayang,
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
                        “Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
                        “Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja, Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku.
            ...
            Begitulah, Seno memanfaatkan senja dan mempermainkan logika. Senja telah hilang dan cakrawala berlubang sebesar kartu pos karena telah diambil tokoh aku guna dipersembahkan kepada pacarnya. Cerpen ini terkesan serius walau pembaca menganggapnya tak masuk akal. Pembaca seolah dibuat berdebar dan ikut merasakan keseriusan tokoh “aku” yang dikejar-kejar semua orang yang merasa kehilangan senja.

Dibalik Senja

            Selanjutnya, ada hal lain yang bertentangan dengansenjayang digambarkan Seno secara romantis dalam cerpen ini. Di sini Seno ingin mengungkapkan sisi lain dari penggambaransenjayang apabila dilihat secara sekilas atau hanya sekedar membaca saja, hanya kesan cinta yang didapat. Namun apabila pembaca benar-benar tenggelam dalam keindahan senja, ada sisi lain yang bertentangan dengan suasana keindahan, tema cinta, dan bahasa romantis yang ada pada cerpen ini. Senja dalam cerpen ini mewakili ide-ide dan gagasan Seno dalam mengkritik pemerintahan pada era itu.
            Pada tahun 1992 di mana pemerintahan dipimpin oleh Soeharto dirasa kurang sesuai karena sudah mulai ada penyimpangan-penyimpangan diberbagai bidang. Pada era itu, para kaum intelektual yang mulai berani memprotes kekuasaan Soeharto dibungkam dan yang sudah berani mengambil langkah untuk memprotes kekuasaan pemerintahan pada masa itu diasingkan, dipenjara, bahkan disiksa dalam penjara. Seno ingin menyampaikan bentuk protesnya lewat penggambaran dua senja, yaitu senja yang asli dan senja yang ada di bawah gorong-gorong.
            Senja yang asli merupakan metafor dari sistem kekuasaan pemerintah yang dipimpin oleh Soeharto. Sedangkan senja yang ada di bawah gorong-gorong diibaratkan sebagai buah pemikiran para kaum intelektual yang membela kaum bawah. Yang unik untuk diamati adalah terdapat senja di bawah gorong-gorong. Gorong-gorong di sini mempunyai makna lain, yaitu rakyat kalangan bawah yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah cenderung memusatkan perhatian pada diri sendiri, mereka hanya sibuk memperkaya diri sendiri dibanding mengentaskan kemiskinan yang menggerogoti rakyat.
            Di dalam cerita ini, tokohakumemotong senja di bawah gorong-gorong dan mengganti senja yang asli dengan senja yang ada di bawah gorong-gorong. Hal itu mengibaratkan para kaum intelektual yang ingin mengganti sistem pemikiran pemerintah dengan pemikirannya agar rakyat pun dapat merasakan kemakmuran dan tidak lagi merasakan penderitaan yang mereka alami.

Namun, perthatikan kutipan berikut ini:
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tiada lagi karena seseorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain diatas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh sesorang kepada pacarnya.
            ...
            Kutipan di atas merupakan penyimpulan dari keseluruhan amanat yang ingin disampaikan oleh Seno. Amanat tersebut menggambarkan pada era itu rakyat dan kaum intelektual yang ingin memperjuangkan kesejahteraan rakyat benar-benar tidak mampu berjuang lagi. Walaupun demikian, terselip suatu semangat kepercayaan bahwa suatu saat nanti cita-cita itu akan terwujud.
            Benar-benar sulit menebak “senja” dalam cerpen karya Seno ini. Romansa cinta, indahnya senja, dan kata-kata romantis benar-benar dapat membalut suatu amarah dan luapan emosi Seno terhadap rayap-rayap pemerintahan yang sudah rapuh pada masa itu. Serasa tepat memang jika Seno menggunakan senja sebagai suatu simbol yang sarat akan makna. Senja memang indah, namun keindahan yang hanya sementara. Ia adalah batas dari terang menuju gelap. Tak seindah nama dan pemandangannya, senja selalu membawa kegelapan. Akan lucu jadinya bila seno menggunakan kata “fajar” atau “subuh”, tak akan seindah senja dan tak akan tergurat makna yang mendalam seperti senja.


Daftar Rujukan

Anonim, 2006. Senja dalam Dunia Seno Gumira Ajidarma. (online), (Artikel no    43 dimuat di Jurnal Penelitian Agama STAIN Purwokerto edisi Januari—Juni 2006;kode: senja dalam), (senja_dalam@stain.ac.id/Download/File/SENJA DALAM DUNIA SENO GUMRA AJIARMA.Pdf,  08 Desember 2011)
Aminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.


No comments:

Post a Comment