Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Rista Moviasari

Perjuangan Jiwa Mencapai Kebebasan dalam Puisi “ Bukan Beta Bijak Berperi ”
Oleh:
Rista Moviasari - 100211404903


Puisi Indonesia mengalami perkembangan dalam setiap periodenya, yang diawali dari puisi lama kemudian menjadi puisi baru. Puisi baru merupakan hasil pancaran masyarakat baru yang memiliki karakteristik tersendiri (Alisjahbana, 2008:3). Perkembangan puisi baru dimulai sejak tahun 20-an (angkatan balai pustaka) hingga tahun 30-an (pujangga baru). Pada masa ini, puisi mulai menggantikan kedudukan pantun, syair, gurindam. Dalam periode ini pengaruh kesusastraan barat sangat terasa dalam dunia puisi Indonesia. Bangunnya kesusastraan puisi Indonesia dalam periode ini karena adanya semangat untuk melepaskan ikatan-ikatan yang ada pada puisi sebelumnya. Para pencipta puisi baru berusaha untuk melepaskan ikatan tersebut, namun pada kenyataannya ikatan itu masih tampak. Hanya saja ikatan itu lebih bersifat longgar dibandingkan puisi sebelumnya.
Pembahasan tentang puisi baru dalam esai ini menggunakan pendekatan estetis. Pendekatan estetis adalah pendekatan karya sastra dipandang sebagai karya seni yang memiliki unsur-unsur keindahan baik dari segi bentuk maupun makna sebuah karya sastra (puisi).
Puisi yang akan dibahas  berikut adalah  salah satu dari puisi Rustam Effendi yang terdapat dalam kumpulan sajaknya yang berjudul “Percikan Permenungan” pada tahun 1920-an.

BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Rustam Effendi

Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan bela budak negeri,
musti menurut undangan mair.
                 
Syarat sarat saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.

Susah sungguh saya sampaikan,
degub-deguban di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasain waktu.

Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung kikisan mamang.
           
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alam.


Unsur batin yang terdapat dalam puisi Rustam Effendi akan diuraikan sebagai berikut. Makna Puisi Dalam puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” Rustam Effendi melukiskan perjuangan jiwa mencapai kebebasan itu sebagai perjuangan melepaskan diri  dari paksaan perhambaan dengan susah payah, tetapi tak dapat dielakkan. Sebab demikian datang desakan dari alam. Rustam Effendi ingin merombak ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam menciptakan suatu karya sastra, karena sebuah karya datang dari hati bukan dari perintah. Tetapi dalam mengutarakan apa yang dirasakan dalam sanubari penyair  yang tertuang dalam sebuah karya sastra seringkali mengalami kesulitan dan kesusahan, karena penyair  tidak pandai dalam melagukan puisi karena dapat melemahkan rangkaian puisi dan takut apabila karyanya tidak diterima dan akan mendapat cemooh karena tidak mengikuti aturan yang berlaku.
Tema dari puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” adalah kebebasan dalam berkarya sastra. Maksudnya disini adalah kebebasan yang tidak terikat oleh aturan – aturan dan ketentuan dalam menciptakan suatu karya sastra. Rasa dalam puisi ini adalah rasa penyair yang memiliki keinginan intuk bebas. Kebebasan di sini merupakan kebebasan untuk segala hal, terutama pada peraturan-peraturan yang mengikatnya. Penyair tidak mau lagi berada dalam kekangan dan aturan-aturan yang ada.
Nada dalam puisi ini adalah penyair mengajak pembaca untuk menciptakan sebuah karya sastra yang bersumber dari hati, bukan dari aturan-aturan yang mengekang kreatifitas kita. Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah suasana yang tenang dan bebas. Suasana diri penyair yang tengah menginginklan kebebasan dalam dirinya. Kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan lagi. Amanat yang terkandung dalam puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” adalah bahwa kita harus percaya pada diri sendiri dalam membuat suatu karya, jangan mudah putus asa dalam melakukan pekerjaan, orang lain pasti menghargainya. Selain itu amanat yang dapat diambil adalah bahwa kita hendaknya mencari inspirasi dalam hidup dimana saja dan jangan bimbang dan takut dalam melakukan hal yang dianggap benar.
Unsur fisik puisi Rustam Effendi ini akan dibahas berikut ini. Diksi yang digunakan pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” menggunakan bahasa melayu tinggi. Kata-kata melayu tersebut memperindah puisi. Akan tetapi, diksi yang diambil dari bahasa melayu tinggi tersebut kurang familiar sehingga membuat pembaca yang masih awam merasa kesulitan dalam menafsirkan makna dan amanat yang terkandung dalam puisi tersebut. Diksi-diksi yang digunakan seperti  beta, bijak, berperi, madahan, mair, seloka, singkiri, sukma, laun, kalbu, mat, digamat, nak, mamang, dan alun. Selain menggunakan kata yang bermakna konotatif (indah), dalam puisi ini penyair juga menggunakan kata nyata, seperti pada larik yang berbunyi Susah sungguh saya sampaikan; Sering saya susah sesaat; Sering saya sulit mendekat.
Imaji yang terdapat pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” adalah unsur dengaran. Unsur dengaran tersebut diterangkan pada beberapa baris puisi, yaitu pada larik yang berbunyi  Lemah laun lagu dengungan; Matnya digamat rasain waktu; Hanya mendengar bisikan alun. Majas yang termasuk dalam puisi “Bukan Beta Bijak Berperi”adalah majas personifikasi, yaitu terdapat pada larik  sebab laguku menurut sukma, dan dapat melemah bingkaian pantun. Sementara bahasa sebagai sarana retorika terletak pada perulangan (paralelisme) kata bukan beta bijak pada bait pertama, kemudian kedua, dan bait terakhir pun kembali diulang kata tersebut.  
Rima yang terdapat pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” merupakan puisi yang menggunakan rima akhir bersilang, seperti pada bait pertama yakni, Bukan beta bijak berperi, Pandai mengubah madahan syair, Bukan bela budak negeri, musti menurut undangan mair. Dalam persajakan tersebut terdapat pula Aliterasi dan Asonansi. Aliterasi yang terdapat pada puisi ini yaitu pada larik yang berbunyi Bukan beta bijak berperi; Bukan beta budak negeri (bait pertama). Selain itu pada larik Syarat sarat saya mungkiri; Beta buang beta singkiri (bait kedua). Sementara asonansi yang terdapat pada puisi ini adalah pada bait kedua yang berbunyi Syarat sarat saya mungkiri; Untai rangkaian seloka lama. Terdapat pula pada bait ketiga yang bunyinya Matnya digamat rasain waktu.
            Berdasarkan urian tersebut yang telah dilakukan pada puisi Bukan Beta Bijak Berperi ini, secara keseluruhan unsur-unsur di dalam puisi ini, baik unsur batin maupun unsur fisik puisi tergarap dengan baik dan selaras, seperti pada tema, rima, imaji yang digunakan, dan diksi yang digunakan. Unsur-unsur yang selaras ini membentuk suatu keindahan yang literer karena unsur yang satu dengan unsur yang lainnya saling melengkapi dan lebih memberikan segi setetis dalam puisi ini.

Rujukan:


Alisjahbana, S.T. 2008. Puisi Baru. Jakarta: Dian Rakyat.

No comments:

Post a Comment