Perjuangan Jiwa Mencapai Kebebasan dalam Puisi “ Bukan Beta Bijak
Berperi ”
Oleh:
Rista Moviasari - 100211404903
Puisi Indonesia mengalami perkembangan dalam setiap
periodenya, yang diawali dari puisi lama kemudian menjadi puisi baru. Puisi
baru merupakan hasil pancaran masyarakat baru yang memiliki karakteristik
tersendiri (Alisjahbana, 2008:3). Perkembangan puisi baru dimulai sejak tahun
20-an (angkatan balai pustaka) hingga tahun 30-an (pujangga baru). Pada masa
ini, puisi mulai menggantikan kedudukan pantun, syair, gurindam. Dalam periode
ini pengaruh kesusastraan barat sangat terasa dalam dunia puisi Indonesia.
Bangunnya kesusastraan puisi Indonesia dalam periode ini karena adanya semangat
untuk melepaskan ikatan-ikatan yang ada pada puisi sebelumnya. Para pencipta
puisi baru berusaha untuk melepaskan ikatan tersebut, namun pada kenyataannya
ikatan itu masih tampak. Hanya saja ikatan itu lebih bersifat longgar
dibandingkan puisi sebelumnya.
Pembahasan tentang puisi baru dalam esai ini menggunakan
pendekatan estetis. Pendekatan estetis adalah pendekatan karya sastra dipandang
sebagai karya seni yang memiliki unsur-unsur keindahan baik dari segi bentuk
maupun makna sebuah karya sastra (puisi).
Puisi yang akan dibahas berikut
adalah salah satu dari puisi Rustam Effendi yang terdapat dalam kumpulan sajaknya yang berjudul “Percikan Permenungan” pada tahun
1920-an.
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Rustam Effendi
Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan bela budak negeri,
musti menurut undangan mair.
Syarat sarat saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degub-deguban di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasain waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung kikisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alam.
Unsur batin yang terdapat
dalam puisi Rustam Effendi akan diuraikan sebagai berikut. Makna Puisi Dalam puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” Rustam Effendi
melukiskan perjuangan jiwa mencapai kebebasan itu sebagai perjuangan melepaskan
diri dari paksaan perhambaan dengan
susah payah, tetapi tak dapat dielakkan. Sebab demikian datang desakan dari
alam. Rustam Effendi ingin merombak ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
dalam menciptakan suatu karya sastra, karena sebuah karya datang dari hati
bukan dari perintah. Tetapi dalam mengutarakan apa yang dirasakan dalam
sanubari penyair yang tertuang dalam
sebuah karya sastra seringkali mengalami kesulitan dan kesusahan, karena
penyair tidak pandai dalam melagukan
puisi karena dapat melemahkan rangkaian puisi dan takut apabila karyanya tidak
diterima dan akan mendapat cemooh karena tidak mengikuti aturan yang berlaku.
Tema dari puisi “Bukan Beta
Bijak Berperi” adalah kebebasan dalam berkarya sastra. Maksudnya disini adalah
kebebasan yang tidak terikat oleh aturan – aturan dan ketentuan dalam
menciptakan suatu karya sastra. Rasa dalam puisi ini adalah rasa penyair yang
memiliki keinginan intuk bebas. Kebebasan di sini merupakan kebebasan untuk
segala hal, terutama pada peraturan-peraturan yang mengikatnya. Penyair tidak
mau lagi berada dalam kekangan dan aturan-aturan yang ada.
Nada dalam puisi ini adalah
penyair mengajak pembaca untuk menciptakan sebuah karya sastra yang bersumber
dari hati, bukan dari aturan-aturan yang mengekang kreatifitas kita. Suasana
yang tergambar dalam puisi ini adalah suasana yang tenang dan bebas. Suasana
diri penyair yang tengah menginginklan kebebasan dalam dirinya. Kebebasan yang
sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan lagi. Amanat yang terkandung dalam puisi “Bukan
Beta Bijak Berperi” adalah bahwa kita harus percaya pada diri sendiri
dalam membuat suatu karya, jangan mudah putus asa dalam melakukan pekerjaan, orang lain pasti
menghargainya. Selain itu amanat yang dapat diambil adalah bahwa
kita hendaknya mencari inspirasi dalam hidup dimana saja dan jangan bimbang dan takut
dalam melakukan hal yang dianggap benar.
Unsur fisik puisi Rustam
Effendi ini akan dibahas berikut ini. Diksi yang digunakan pada puisi “Bukan
Beta Bijak Berperi” menggunakan bahasa melayu tinggi. Kata-kata melayu tersebut
memperindah puisi. Akan tetapi, diksi yang diambil dari bahasa melayu tinggi
tersebut kurang familiar sehingga membuat pembaca yang masih awam merasa
kesulitan dalam menafsirkan makna dan amanat yang terkandung dalam puisi
tersebut. Diksi-diksi yang digunakan seperti
beta, bijak, berperi, madahan,
mair, seloka, singkiri, sukma, laun, kalbu, mat, digamat, nak, mamang, dan alun. Selain menggunakan kata yang
bermakna konotatif (indah), dalam puisi ini penyair
juga
menggunakan kata nyata, seperti pada larik yang berbunyi Susah sungguh saya sampaikan; Sering saya susah sesaat; Sering saya
sulit mendekat.
Imaji yang terdapat
pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” adalah unsur dengaran. Unsur dengaran
tersebut diterangkan pada beberapa baris puisi, yaitu pada larik yang
berbunyi Lemah laun lagu dengungan; Matnya
digamat rasain waktu; Hanya mendengar bisikan alun. Majas yang termasuk dalam
puisi “Bukan Beta Bijak Berperi”adalah majas personifikasi, yaitu terdapat pada
larik sebab laguku menurut sukma, dan dapat
melemah bingkaian pantun. Sementara bahasa sebagai sarana retorika terletak
pada perulangan (paralelisme) kata bukan beta bijak pada bait pertama, kemudian kedua, dan bait
terakhir pun kembali diulang kata tersebut.
Rima yang terdapat
pada puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” merupakan puisi yang menggunakan
rima akhir bersilang, seperti pada bait pertama yakni, Bukan beta bijak berperi, Pandai mengubah madahan syair, Bukan bela budak negeri,
musti menurut undangan mair. Dalam
persajakan tersebut terdapat pula Aliterasi dan Asonansi. Aliterasi yang terdapat pada puisi ini yaitu pada larik yang berbunyi Bukan beta bijak berperi; Bukan beta
budak negeri (bait pertama). Selain itu pada larik Syarat sarat saya
mungkiri; Beta buang beta singkiri (bait kedua).
Sementara asonansi yang terdapat pada puisi ini adalah pada bait kedua yang
berbunyi Syarat sarat saya
mungkiri; Untai rangkaian seloka lama. Terdapat pula pada
bait ketiga yang bunyinya Matnya
digamat rasain waktu.
Berdasarkan urian tersebut yang
telah dilakukan pada puisi Bukan Beta
Bijak Berperi ini, secara keseluruhan unsur-unsur di dalam puisi ini, baik unsur batin maupun unsur
fisik puisi tergarap dengan baik dan selaras, seperti pada tema, rima, imaji yang digunakan, dan diksi
yang digunakan. Unsur-unsur yang selaras ini membentuk suatu keindahan yang
literer karena unsur yang
satu dengan unsur yang lainnya saling melengkapi dan lebih memberikan segi
setetis dalam puisi ini.
Rujukan:
Alisjahbana, S.T. 2008. Puisi Baru. Jakarta: Dian Rakyat.
No comments:
Post a Comment