Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Moh. Fikri Zulfikar

KAMPUNG HALAMAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL
Oleh
Moh. Fikri Zulfikar

            Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Kearifan lokal ini mencakup seluruh pola pemikiran dan apa saja yang ada dari beberapa daerah. Dari beberapa daerah tersebut tidak akan sama mengenai kearifan lokal, sehingga di Indonesia ini juga berbeda daerah berarti berbeda kearifan lokal pula. Bisa di katakana Indonesia adalah negara yang kaya akan kearifan lokalannya.



            Kearifan lokal ini perlu dilestarikan dari ancaman budaya-budaya asing yang merusak budaya asli bangsa kita. Sehingga dalam berbagai kegiatan dalam bermasyarakat haruslah mencerminkan budaya lokal agar budaya kita akan tetap lestari hingga anak cucu kita nanti bisa menikmatinya juga.
            Salah satu pelestarian kearifan lokal ini ditanamkan lewat karya sastra. Dengan karya sastra seseorang mampu memahaminya dengan tanpa terjun langsung agar bisa mengetahui kearifan lokal tersebut. Karya sastra juga mampu menjadi artefak penting agar kearifan lokal bisa terjaga keasliannya. Bermacam-macam cara untuk mempertahankan kearifan lokal ini telah dilakukan oleh beberapa budayawan serta sastrawan di Indonesia. Sastrawan terkenal karena karya-karya berupa novel dan cerpennya yang dengan mempertahankan unsur kearifan lokal sebagai objek kajian utama dalam penentuan ceritanya, salah satunya yaitu Ahmad Tohari.
            Ahmad Tohari dalam penulisan karya-karyanya kebanyakan mengangkat kisah-kisah kearifan lokal  yang ada di tanah kelahirannya, yaitu Banyumas. Dengan bahasa ngapak khas banyumas ini Ahmad Tohari tanpa ragu dan tidak mengikuti tren penulisan yang menganut budaya luar negeri. Tetapi menulis dengan mengangkat kisah-kisah yang patut untuk digali untuk memberi tahukan pada kalayak umum betapa kayanya budaya di banyumas sekaligus dengan tulisannya yang berangkat dari kampung halamannya, Ahmad Tohari juga telah melestarikan kearifan lokal budaya Banyumas. 
            Kearifan lokal dalam karya-karya Ahmad Tohari ini banyak terinspirasi dari sesuatu yang ada di Banyumas, seperti kesenian, mata pecaharian, bahasa dan sebagainya.  Kesenian tradisional Banyumas acapkali dianggap kuno, ketingggalan jaman, klenik, atau hal-hal yang berhubungan dengan mistik, sehingga dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Selain itu, untuk dapat menjadi pelaku kesenian tradisional seseorang kadang harus memiliki indang ( arwah atau roh halus yang dipanggil untuk dimasukkan ke dalam tubuh seseorang agar dapat mendem atau kesurupan ), yang biasanya diperoleh dengan cara laku tirakat, berupa puasa, mutih, dan bertapa di tempat-tempat keramat atau makam. Musik yang dilantunkan pada saat pentas kesenian adalah musik tradisional yang tidak lagi favorit bagi anak-anak dan remaja, yaitu gending-gending Banyumasan dengan lagu Ricik-Ricik, Gudril, Blendrong, Lung Gadung, dan sebagainya. ( Chusmeru, 2010 ).
            Karya Ahmad Tohari yang sangat kental dengan budaya lokal banyumas yaitu novel yang berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk” dan “Bekisar Merah”.
Ronggeng Dukuh Paruk
Ahmad Tohari pada karyanya ini menggambarkan sebuah kesenian yang ada di daerah Banyumas yaitu kesenian Ronggeng. Ronggeng yang terkenal dengan penari yang kesurupan karena memiliki indang ini adalah khas dari daerah banyumas. Dalam novel ini juga menggambarkan kepercayaan oleh leluhur yang menjaga Dukuh Paruk ini yaitu Eyang Secamenggala. Serta menampilkan konflik-konflik yang ada pada tahun 1965 tentang PKI yang memberangus kesenian ini karena dianggap rombongan kesenian Ronggeng dari Dukuh Paruk ini tergolong dari kaum Komunis. Sehingga dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini Sarat akan kearifan lokal yang sangat kental di Banyumas kala itu.
Bekisar Merah
Dalam Karyanya ini Ahmad Tohari menceritakan tentang kehidupan warga desa pelosok banyumas yang rata-rata penduduknya bermata pencaharian sebagai penyadap nira. Serta memberikan bumbu-bumbu konflik yang dramatis karena tokoh utama yang seorang wanita desa  yang merasa dihianati suaminya kemudian kabur ke Jakarta yang notabene adalah kota besar. Sehingga dalam beradaptasi, wanita itu menemui beberapa masalah yang belum pernah ditemuinya di desa. Ahmad Tohari menggambarkan ceritanya dengan penuh detail kehidupan warga desa serta kehidupan warga kota besar yang sangat kontras.
            Dari kedua novel tersebut telah dapat di simpulkan bahwa Ahmad Tohari dalam proses kreatifnya dalam menulis mampu menggambarkan kearifan lokal yang mungkin kini telah dilupakan oleh masyarakat. Sehingga Ahmad Tohari membantu untuk melestarikan kearifan lokal Banyumas agar kearifan lokal Banyumas bisa di ketahui oleh generasi selanjutnya.

DAFTAR RUJUKAN

Chusmeru dan Nuryanti. 2010. Studi Tentang Fenomena Ebeg Anak-Anak Di Kelompok Trenggini Kento Sukmo Bobosan Purwokerto Utara. Purwokerto: Fisip Unsoed

No comments:

Post a Comment