KAMPUNG HALAMAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL
Oleh
Moh. Fikri Zulfikar
Kearifan lokal adalah dasar untuk
pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian,
pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan.
Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya
lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan
mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Kearifan lokal ini
mencakup seluruh pola pemikiran dan apa saja yang ada dari beberapa daerah.
Dari beberapa daerah tersebut tidak akan sama mengenai kearifan lokal, sehingga
di Indonesia ini juga berbeda daerah berarti berbeda kearifan lokal pula. Bisa
di katakana Indonesia adalah negara yang kaya akan kearifan lokalannya.
Kearifan lokal ini perlu
dilestarikan dari ancaman budaya-budaya asing yang merusak budaya asli bangsa
kita. Sehingga dalam berbagai kegiatan dalam bermasyarakat haruslah
mencerminkan budaya lokal agar budaya kita akan tetap lestari hingga anak cucu
kita nanti bisa menikmatinya juga.
Salah satu pelestarian kearifan lokal
ini ditanamkan lewat karya sastra. Dengan karya sastra seseorang mampu
memahaminya dengan tanpa terjun langsung agar bisa mengetahui kearifan lokal
tersebut. Karya sastra juga mampu menjadi artefak penting agar kearifan lokal
bisa terjaga keasliannya. Bermacam-macam cara untuk mempertahankan kearifan
lokal ini telah dilakukan oleh beberapa budayawan serta sastrawan di Indonesia.
Sastrawan terkenal karena karya-karya berupa novel dan cerpennya yang dengan mempertahankan
unsur kearifan lokal sebagai objek kajian utama dalam penentuan ceritanya,
salah satunya yaitu Ahmad Tohari.
Ahmad Tohari dalam penulisan
karya-karyanya kebanyakan mengangkat kisah-kisah kearifan lokal yang ada di tanah kelahirannya, yaitu
Banyumas. Dengan bahasa ngapak khas
banyumas ini Ahmad Tohari tanpa ragu dan tidak mengikuti tren penulisan yang
menganut budaya luar negeri. Tetapi menulis dengan mengangkat kisah-kisah yang
patut untuk digali untuk memberi tahukan pada kalayak umum betapa kayanya
budaya di banyumas sekaligus dengan tulisannya yang berangkat dari kampung
halamannya, Ahmad Tohari juga telah melestarikan kearifan lokal budaya
Banyumas.
Kearifan lokal dalam karya-karya
Ahmad Tohari ini banyak terinspirasi dari sesuatu yang ada di Banyumas, seperti
kesenian, mata pecaharian, bahasa dan sebagainya. Kesenian tradisional Banyumas acapkali
dianggap kuno, ketingggalan jaman, klenik, atau hal-hal yang berhubungan dengan
mistik, sehingga dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Selain itu, untuk
dapat menjadi pelaku kesenian tradisional seseorang kadang harus memiliki indang
( arwah atau roh halus yang dipanggil untuk dimasukkan ke dalam tubuh
seseorang agar dapat mendem atau kesurupan ), yang biasanya diperoleh
dengan cara laku tirakat, berupa puasa, mutih, dan bertapa di
tempat-tempat keramat atau makam. Musik yang dilantunkan pada saat pentas
kesenian adalah musik tradisional yang tidak lagi favorit bagi anak-anak dan
remaja, yaitu gending-gending Banyumasan dengan lagu Ricik-Ricik, Gudril,
Blendrong, Lung Gadung, dan sebagainya. ( Chusmeru, 2010 ).
Karya Ahmad Tohari yang sangat
kental dengan budaya lokal banyumas yaitu novel yang berjudul “Ronggeng Dukuh
Paruk” dan “Bekisar Merah”.
Ronggeng
Dukuh Paruk
Ahmad
Tohari pada karyanya ini menggambarkan sebuah kesenian yang ada di daerah
Banyumas yaitu kesenian Ronggeng. Ronggeng yang terkenal dengan penari yang
kesurupan karena memiliki indang ini adalah khas dari daerah banyumas. Dalam
novel ini juga menggambarkan kepercayaan oleh leluhur yang menjaga Dukuh Paruk
ini yaitu Eyang Secamenggala. Serta menampilkan konflik-konflik yang ada pada
tahun 1965 tentang PKI yang memberangus kesenian ini karena dianggap rombongan
kesenian Ronggeng dari Dukuh Paruk ini tergolong dari kaum Komunis. Sehingga
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini Sarat akan kearifan lokal yang sangat
kental di Banyumas kala itu.
Bekisar
Merah
Dalam
Karyanya ini Ahmad Tohari menceritakan tentang kehidupan warga desa pelosok
banyumas yang rata-rata penduduknya bermata pencaharian sebagai penyadap nira.
Serta memberikan bumbu-bumbu konflik yang dramatis karena tokoh utama yang
seorang wanita desa yang merasa dihianati
suaminya kemudian kabur ke Jakarta yang notabene adalah kota besar. Sehingga
dalam beradaptasi, wanita itu menemui beberapa masalah yang belum pernah
ditemuinya di desa. Ahmad Tohari menggambarkan ceritanya dengan penuh detail
kehidupan warga desa serta kehidupan warga kota besar yang sangat kontras.
Dari kedua novel tersebut telah
dapat di simpulkan bahwa Ahmad Tohari dalam proses kreatifnya dalam menulis
mampu menggambarkan kearifan lokal yang mungkin kini telah dilupakan oleh
masyarakat. Sehingga Ahmad Tohari membantu untuk melestarikan kearifan lokal
Banyumas agar kearifan lokal Banyumas bisa di ketahui oleh generasi
selanjutnya.
DAFTAR RUJUKAN
Chusmeru dan Nuryanti. 2010. Studi
Tentang Fenomena Ebeg Anak-Anak Di Kelompok Trenggini Kento Sukmo Bobosan
Purwokerto Utara. Purwokerto: Fisip Unsoed
No comments:
Post a Comment