Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Faiziya Zulfa

 “Langit Makin Mendung”: Kontroversi Wajah Indonesia
Oleh
Faiziya Zulfa - 100211406100


            Siapa yang tak kenal Kipanjikusmin, orang yang telah membuat geger dunia sastra Indonesia. Dia adalah seorang sastrawan yang menciptakan sebuah cerpen yang berjudul “Langit Makin Mendung”. Sudahkah anda membacanya? Apa yang anda rasakan setelah membacanya? Benci, geram, kesal, atau malah diam-diam mengaguminya?  Tanggapan ada di tangan anda, namun itulah karya Kipanjikusmin, cerpenya dianggap tidak pantas karena dinilai melanggar batas kepantasan sebuah cerpen, yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi. Namun saya tidak akan membahas persoalan religi di dalamnya, saya akan membahas apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh kipanjikusmin. Idenya sangat bernas hanya saja idenya terlalu liar dengan mengangkat persoalan religi yang rentan konflik.

            LMM menceritakan Nabi Muhammad yang mulai bosan dengan kehidupan di surga, ia ingin pelesir ke dunia dan melihat penyebab mengapa umatnya akhir-akhir ini banyak yang dijebloskan ke dalam neraka. Tanpa sengaja sang Nabi dan  malaikat Jibril jatuh di kota Jakarta. Malaikat Jibril mengatakan bahwa negeri yang mereka injak adalah negeri yang penduduknya paling banyak memegang agama islam di dunia, tapi itu hanya perhitungan statistik. Beda jauh dengan kenyataan yang ada. Nabi dan malaikat Jibril berkeliling kota Jakarta dengan menyamar sebagai seekor elang. Mereka mengawasi kehidupan kehidupan Jakarta dan membandingkan dengan kehidupan Nabi zaman dulu. Jauh berbeda dan sama sekali tidak mencerminkan kehidupan islam. Membuat Nabi Muhammad gusar. Cerita berlanjut dengan pembeberan kehidupan politik dan pemerintahan di zaman orde lama.
            Kipanjikusmin seperti sangat tidak menyukai sistem pemerintahan dan politik yang terjadi pada masa orde lama. Beliau membeberkan cuilan sejarah yang terjadi pada saat itu. Benar-benar akan membuat geleng kepala pembaca. Para pejabat teras digambarkan mempunyai tindakan yang sangat konyol dan hanya sibuk memperebutkan kekuasaan. Berikut adalah sebagian penggalan cerpen LMM.
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B.H.”
“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodomah dan Gomorah?”
“Hampir sama.”


            Penggalan di atas adalah percakapan antara Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril. Pendapat malaikat Jibril yang menyatakan bahwa Jakarta adalah ‘bagian bumi yang paling durhaka’ memang ada benarnya, karena sering muncul dalam media massa bahwa Jakarta adalah kota dengan tingkat kriminal paling tinggi di negeri Indonesia. Bahkan Malaikat Jibril menyamakan dengan kota Sodomah dan Gomorah yaitu kota yang memiliki masyarakat yang paling durhaka dalam catatan sejarah.
            Beralih pada wajah politik zaman orde lama yang diperintah oleh Presiden Soekarno. Diceritakan bahwa Bapak Presiden sedang sakit keras dan meminta pertolongan pada sahabatnya yang ada di negeri Cina. Negeri Cina pada saat itu dan hingga sekarang adalah negeri yang menganut Komunisme. Penggalan cerpen di bawah ini sedikit mencerminkan kerjasama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan negara Cina. Serta ada kalimat ‘Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit’. Aidit adalah salah satu orang yang berperan penting bagi pihak komunis, dan dikenal sebagai dalang dalam G 30 S/PKI.
“Mohon ssegera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, Pemimpin Besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”
Kawan Mao di singgasananya tcrsenyum-senyum, dengan wajah penuh welas-asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratulmaut.
“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara.”
Terhampir obat kuat akar jinsom umur seribu tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit). Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap syukur pada Tuhan yang telah mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.
           
            Beralih lagi pada Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril, mereka menemukan kepingan-kepingan kedurhakaan masyarakat Jakarta. Nabi Muhammad masih tidak habis pikir bagaimana mungkin dengan masyarakat dengan 90% penganut islam berkelakuan seperti orang yang tak beragama. Cermin bumi Jakarta yang sudah sangat menyimpang dari aturan agama.
“Apa yang Paduka renungi.”
“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.
“Mungkin pengaruh adanya Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.
“Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai di sini? Berzina, langkah kotor bangsa ini. Batu, mana batu!!”
“Batu-batu mahal di sini. Satu kubik 200 rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”
“Cari di sungai-sungai dan di gunung-gunung!”
“Batu-batu seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih kekurangan, Paduka lihat?”
“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” Nabi merentak.


            Sedikit ada slentingan bagi sastrawan W.S Rendra. Sebuah nukilan puisi W.S Rendra dianggap sebagai bentuk kesetujuan W.R Rendra dengan adanya WTS di negeri ini.

“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”
“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu Jibril?”
“Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
“Penyair gila! Cabul!”
“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.” Muhammad membisu dengan wajah bermuram durja.
            Sungguh sangat disayangkan kepingan-kepingan persoalan dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam negeri ini tidak akan mudah diubah. Masyarakat sudah tak percaya lagi pada hukum yang ada di negeri ini. Mereka lebih suka main hakim sendiri daripada diserahkan pada pihak berwajib. Masyarakat sudah tidak percaya dan menganggap bahwa keadilan di negeri ini sudah tidak mungkin ditegakkan. Nukilan di bawah ini adalah cermin bagaimana masyarakat lebih suka main hakim sendiri daripada langsung diberikan pada pihak berwajib.

Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana.

            Ketidakpercayaan masyarakat ketika itu diperkuat dengan nukilan cerpen yang berisi bahwa PBR (Soekarno) menyuruh masyarakat untuk tidak mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok mereka. Masyarakat dianjurkan untuk makan jagung, sagu, dan makanan pengganti lainnya. Tentu masyarakat tidak akan mau dan percaya pada pemerintah. Bagaimana mungkin orang-orang yang menyuruh mereka berhemat malah makan-makanan mewah.
Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.

***
Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.

Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.


Penutup dalam cerpen ini berisi sentilan sekaligus pesan pengarang bagi kita sebagai masyarakat yang oleh Kipanjikusmin dianggap terlalu menjadi seorang yang pemaaf. Sebagai masyarakat yang hanya ‘menerima’ apapun yang disajikan pada kita. Yang saya suka dalam cerpen ini adalah sebuah kalimat ‘Betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.’

No comments:

Post a Comment