“Langit
Makin Mendung”: Kontroversi Wajah Indonesia
Oleh
Faiziya Zulfa - 100211406100
Siapa
yang tak kenal Kipanjikusmin, orang yang telah membuat geger dunia sastra
Indonesia. Dia adalah seorang sastrawan yang menciptakan sebuah cerpen yang
berjudul “Langit Makin Mendung”. Sudahkah anda membacanya? Apa yang anda
rasakan setelah membacanya? Benci, geram, kesal, atau malah diam-diam
mengaguminya? Tanggapan ada di tangan
anda, namun itulah karya Kipanjikusmin, cerpenya dianggap tidak pantas karena
dinilai melanggar batas kepantasan sebuah cerpen, yang ingin mengungkap
persoalan-persoalan religi. Namun saya tidak akan membahas persoalan religi di
dalamnya, saya akan membahas apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh
kipanjikusmin. Idenya sangat bernas hanya saja idenya terlalu liar dengan
mengangkat persoalan religi yang rentan konflik.
LMM
menceritakan Nabi Muhammad yang mulai bosan dengan kehidupan di surga, ia ingin
pelesir ke dunia dan melihat penyebab mengapa umatnya akhir-akhir ini banyak
yang dijebloskan ke dalam neraka. Tanpa sengaja sang Nabi dan malaikat Jibril jatuh di kota Jakarta.
Malaikat Jibril mengatakan bahwa negeri yang mereka injak adalah negeri yang penduduknya
paling banyak memegang agama islam di dunia, tapi itu hanya perhitungan
statistik. Beda jauh dengan kenyataan yang ada. Nabi dan malaikat Jibril
berkeliling kota Jakarta dengan menyamar sebagai seekor elang. Mereka mengawasi
kehidupan kehidupan Jakarta dan membandingkan dengan kehidupan Nabi zaman dulu.
Jauh berbeda dan sama sekali tidak mencerminkan kehidupan islam. Membuat Nabi
Muhammad gusar. Cerita berlanjut dengan pembeberan kehidupan politik dan
pemerintahan di zaman orde lama.
Kipanjikusmin
seperti sangat tidak menyukai sistem pemerintahan dan politik yang terjadi pada
masa orde lama. Beliau membeberkan cuilan sejarah yang terjadi pada saat itu.
Benar-benar akan membuat geleng kepala pembaca. Para pejabat teras digambarkan
mempunyai tindakan yang sangat konyol dan hanya sibuk memperebutkan kekuasaan. Berikut
adalah sebagian penggalan cerpen LMM.
“Paduka salah duga. Di bawah kita
bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota
sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya
sudah bebas B.H.”
“Tak pernah kudengar nama itu.
Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodomah dan Gomorah?”
“Hampir sama.”
Penggalan
di atas adalah percakapan antara Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril. Pendapat
malaikat Jibril yang menyatakan bahwa Jakarta adalah ‘bagian bumi yang paling
durhaka’ memang ada benarnya, karena sering muncul dalam media massa bahwa
Jakarta adalah kota dengan tingkat kriminal paling tinggi di negeri Indonesia.
Bahkan Malaikat Jibril menyamakan dengan kota Sodomah dan Gomorah yaitu kota
yang memiliki masyarakat yang paling durhaka dalam catatan sejarah.
Beralih
pada wajah politik zaman orde lama yang diperintah oleh Presiden Soekarno.
Diceritakan bahwa Bapak Presiden sedang sakit keras dan meminta pertolongan
pada sahabatnya yang ada di negeri Cina. Negeri Cina pada saat itu dan hingga
sekarang adalah negeri yang menganut Komunisme. Penggalan cerpen di bawah ini
sedikit mencerminkan kerjasama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan
negara Cina. Serta ada kalimat ‘Tidak lupa, pada
tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit’. Aidit adalah salah
satu orang yang berperan penting bagi pihak komunis, dan dikenal sebagai dalang
dalam G 30 S/PKI.
“Mohon ssegera dikirim tabib-tabib Cina yang
kesohor, Pemimpin Besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”
Kawan Mao di singgasananya
tcrsenyum-senyum, dengan wajah penuh welas-asih ia menghibur kawan seporos yang
sedang sakratulmaut.
“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat
Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara.”
Terhampir obat kuat akar jinsom umur
seribu tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada
tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit). Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit
berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap syukur pada
Tuhan yang telah mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.
Beralih
lagi pada Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril, mereka menemukan kepingan-kepingan
kedurhakaan masyarakat Jakarta. Nabi Muhammad masih tidak habis pikir bagaimana
mungkin dengan masyarakat dengan 90% penganut islam berkelakuan seperti orang
yang tak beragama. Cermin bumi Jakarta yang sudah sangat menyimpang dari aturan
agama.
“Apa yang Paduka renungi.”
“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar,
mereka begitu bebas berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.
“Mungkin pengaruh adanya Nasakom!
Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.
“Ai, binatang hina yang melata. Mereka
harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan
perintahku pada kiai-kiai di sini? Berzina, langkah kotor bangsa ini. Batu,
mana batu!!”
“Batu-batu mahal di sini. Satu kubik 200
rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”
“Cari di sungai-sungai dan di
gunung-gunung!”
“Batu-batu seluruh dunia tak cukup
banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih
kekurangan, Paduka lihat?”
“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” Nabi
merentak.
Sedikit ada slentingan bagi
sastrawan W.S Rendra. Sebuah nukilan puisi W.S Rendra dianggap sebagai bentuk
kesetujuan W.R Rendra dengan adanya WTS di negeri ini.
“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini
ya, Rasul.”
“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu
Jibril?”
“Tidak Paduka, hamba tetap sadar.
Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
“Penyair gila! Cabul!”
“Kenyataan yang bicara. Kecabulan
terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.”
Muhammad membisu dengan wajah bermuram durja.
Sungguh sangat disayangkan
kepingan-kepingan persoalan dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam
negeri ini tidak akan mudah diubah. Masyarakat sudah tak percaya lagi pada
hukum yang ada di negeri ini. Mereka lebih suka main hakim sendiri daripada diserahkan
pada pihak berwajib. Masyarakat sudah tidak percaya dan menganggap bahwa
keadilan di negeri ini sudah tidak mungkin ditegakkan. Nukilan di bawah ini
adalah cermin bagaimana masyarakat lebih suka main hakim sendiri daripada
langsung diberikan pada pihak berwajib.
Di depan
toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah.
Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet
jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri:
hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong
milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan
sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi
Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai
kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet
diseret keluar dibawa entah kemana.
Ketidakpercayaan
masyarakat ketika itu diperkuat dengan nukilan cerpen yang berisi bahwa PBR
(Soekarno) menyuruh masyarakat untuk tidak mengkonsumsi nasi sebagai makanan
pokok mereka. Masyarakat dianjurkan untuk makan jagung, sagu, dan makanan
pengganti lainnya. Tentu masyarakat tidak akan mau dan percaya pada pemerintah.
Bagaimana mungkin orang-orang yang menyuruh mereka berhemat malah makan-makanan
mewah.
Sayang,
rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan
istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan
Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tak makan
daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu
pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin
dari Moskow.
***
Namun
rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong
dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik
hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.
Hati
mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin
menyentuh bumi.
Penutup dalam cerpen
ini berisi sentilan sekaligus pesan pengarang bagi kita sebagai masyarakat yang
oleh Kipanjikusmin dianggap terlalu menjadi seorang yang pemaaf. Sebagai
masyarakat yang hanya ‘menerima’ apapun yang disajikan pada kita. Yang saya
suka dalam cerpen ini adalah sebuah kalimat ‘Betapa pun langit makin mendung,
sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.’
No comments:
Post a Comment