Sutardji Calzoum Bachri: Sebuah Pendekatan Diri Pada-Nya
Oleh
Faiziya Zulfa -100211406100
Siapa
yang tak kenal dengan Sutardji Calzoum Bachri. Ia yang pernah menyatakan
dirinya sendiri sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Pelopor penulisan puisi konkret
dan mantra ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah-sekolah dalam
rangka pembinaan apresiasi puisi.
Sutardji
merintis suatu bentuk baru dalam puisi Indonesia, yakni puisi konkret dan
mantra. Puisi dikembalikan pada kodratnya yang paling awal, yaitu sebagai
mantra yang megandalkan kata sebagai kekuatan bunyi yang tidak “dijajah” oleh
makna atau pengertian. Dalam kredo puisi yang merupakan perwujudan sikap
Sutradji dalam berpuisi antara lain dinyatakan bahwa kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Kalau diumpamakan dengan
kursi, maka kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat umtuk duduk. Selanjutnya,
ia juga menyatakan bahwa “Dalam puisi
saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti
kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan
masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap sebagai kotor (obscene) serta
penjajahan gramatika.
Sutardji lahir 24 Juni
1941 di Rengat (Riau), ia pernah mendapat haiah seni dari pemerintah Republik
Indonesia (1993) dan dari Dewan Ksenian Jakarta (1976-1977), juga dari South
East Asia Write Award (Bangkok, 1981). Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk, Kapak (1981). Kritik sastra
yang dilontarkan Sutardji dalam masalah penulisan puisi terkenal dengan nama
Kredo puisi.
Solitude
yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekap
samping yang paling
Kau!
(O, Amuk, Kpak, 1981)
Puisi “Solitude” menunjukkan kesepian hati Sutardji (Solitude artinya kesepian). Ketika
hening dan sunyi yang dirasakan penyair, ternyata tidak ada yang maha
sgala-galanya kecuali Tuhan (Kau!)
dengan huruf besar di sini berarti tuhan.
Penyair menyebutkan beberapa hal yang paling, yaitu: mawar, duri, sayap, pisau, bumi, risau,
nancap, dan dekap. Delapan hal yang paling itu dapat diklasifikasikan
sebagai hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Hal yang
menyenangkan adalah mawar, sayap, bumi, dan dekap, sedangkan yang tidak
menyenangkan adalah duri, pisau, risau, dan nancap.
Kata mawar di sini melambangkan
perasaan bahagia. Kata sayap
melambangkan hal yang diimpikan oleh penyair, sedangkan kata bumi melambangkan hal yang nyata dalam
kehidupan penyair, dan dekap
melambangkan hal yang paling akrab dengan peyair. Jadi dari sifat-sifat baik
itu, Tuhan dapat dinyatakan “yang paling membahagiakan, yang paling diimpikan,
yang paling nyata, dan yang paling akrab dengan penyair”. Namun, ternyata Tuhan
sulit dijangkau dengan pikiran manusia, karena muncul duri, pisau, risau, dan
nancap.
Penyair menyatakan
rahasia Tuhana yang sulit diketahui, sebagi yang paling duri (paling menyakitkan hati karena tidak mampu memahami
rahasia-Nya), yang paling risau (menggelisahkan
karena tidak mampu memahami diri-Nya), yang paling nancap (membuat kecewa yang dalam kerena tidak mampu memahami-Nya.
Semua itu direnungkan dalam Solitude.
SEPISAUPI
sepisau luka
sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(O, Amuk, Kpak, 1981)
Dalam puisinya “Sepisaupi” penyair memain-maikan kata sep dan pisau. Di dalam puisi ini, permainan bunyi sangat diperhatikan
sperti halnya dalam mantra. Karena ada kata “sepi” dan “pisau” maka timbul kata
sepisaupi. Kata luka dihubungkan dengan duri,
maka jadilah baris sepisau luka sepisau
duri. Bait ini berkaitan dengan duka, sepi, dan luka hati. Kata sepisau
dikaitkan juga dengan sepukau dan serisau yang semua berkaitan dengan sedih
(luka dan duri). Namun kemudian, kesedihan itu menjelma menjadi nyanyi.
Dalam baris berikutnya penyair mempermainkan kata “sepi”
dan diakhiri dengan pernyataan sampai
pisau-Nya ke dalam nyanyi. Hal ini berarti bila seseorang berdendang dalam
sepi, maka Tuhan akan membuat kita menyanyi.
No comments:
Post a Comment