Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Faiziya Zulfa

Sutardji Calzoum Bachri: Sebuah Pendekatan Diri Pada-Nya
Oleh
Faiziya Zulfa -100211406100


            Siapa yang tak kenal dengan Sutardji Calzoum Bachri. Ia yang pernah menyatakan dirinya sendiri sebagai “Presiden Penyair  Indonesia”. Pelopor penulisan puisi konkret dan mantra ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah-sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi.

            Sutardji merintis suatu bentuk baru dalam puisi Indonesia, yakni puisi konkret dan mantra. Puisi dikembalikan pada kodratnya yang paling awal, yaitu sebagai mantra yang megandalkan kata sebagai kekuatan bunyi yang tidak “dijajah” oleh makna atau pengertian. Dalam kredo puisi yang merupakan perwujudan sikap Sutradji dalam berpuisi antara lain dinyatakan bahwa kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Kalau diumpamakan dengan kursi, maka kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat umtuk duduk. Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa “Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap sebagai kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
            Sutardji lahir 24 Juni 1941 di Rengat (Riau), ia pernah mendapat haiah seni dari pemerintah Republik Indonesia (1993) dan dari Dewan Ksenian Jakarta (1976-1977), juga dari South East Asia Write Award (Bangkok, 1981). Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk, Kapak (1981). Kritik sastra yang dilontarkan Sutardji dalam masalah penulisan puisi terkenal dengan nama Kredo puisi.
Solitude
yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
yang paling risau
yang paling nancap
yang paling dekap
samping yang paling
Kau!
                                                                                    (O, Amuk, Kpak, 1981)

            Puisi “Solitude” menunjukkan kesepian hati Sutardji (Solitude artinya kesepian). Ketika hening dan sunyi yang dirasakan penyair, ternyata tidak ada yang maha sgala-galanya kecuali Tuhan (Kau!) dengan huruf besar di sini berarti tuhan.
            Penyair menyebutkan beberapa hal yang paling, yaitu: mawar, duri, sayap, pisau, bumi, risau, nancap, dan dekap. Delapan hal yang paling itu dapat diklasifikasikan sebagai hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Hal yang menyenangkan adalah mawar, sayap, bumi, dan dekap, sedangkan yang tidak menyenangkan adalah duri, pisau, risau, dan nancap.
            Kata mawar  di sini melambangkan perasaan bahagia. Kata sayap melambangkan hal yang diimpikan oleh penyair, sedangkan kata bumi melambangkan hal yang nyata dalam kehidupan penyair, dan dekap melambangkan hal yang paling akrab dengan peyair. Jadi dari sifat-sifat baik itu, Tuhan dapat dinyatakan “yang paling membahagiakan, yang paling diimpikan, yang paling nyata, dan yang paling akrab dengan penyair”. Namun, ternyata Tuhan sulit dijangkau dengan pikiran manusia, karena muncul duri, pisau, risau, dan nancap.
            Penyair menyatakan rahasia Tuhana yang sulit diketahui, sebagi yang paling duri (paling menyakitkan hati karena tidak mampu memahami rahasia-Nya), yang paling risau (menggelisahkan karena tidak mampu memahami diri-Nya), yang paling nancap (membuat kecewa yang dalam kerena tidak mampu memahami-Nya. Semua itu direnungkan dalam Solitude.

SEPISAUPI

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi

(O, Amuk, Kpak, 1981)

            Dalam puisinya “Sepisaupi” penyair memain-maikan kata sep dan pisau. Di dalam puisi ini, permainan bunyi sangat diperhatikan sperti halnya dalam mantra. Karena ada kata “sepi” dan “pisau” maka timbul kata sepisaupi. Kata luka dihubungkan dengan duri, maka jadilah baris sepisau luka sepisau duri. Bait ini berkaitan dengan duka, sepi, dan luka hati. Kata sepisau dikaitkan juga dengan sepukau dan serisau yang semua berkaitan dengan sedih (luka dan duri). Namun kemudian, kesedihan itu menjelma menjadi nyanyi.

            Dalam baris berikutnya penyair mempermainkan kata “sepi” dan diakhiri dengan pernyataan sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi. Hal ini berarti bila seseorang berdendang dalam sepi, maka Tuhan akan membuat kita menyanyi.

No comments:

Post a Comment