Translate

Thursday, May 16, 2013

ESAI KRITIK PUISI Novi Indriani

ANALISIS PUISI ‘AKU’ CHAIRIL ANWAR
Oleh:
Novi Indriani

Diksi

Untuk ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya.

Seperti pada baris kedua: bait pertama
 “Ku mau tak seorang ’kan merayu”
Merupakan pengganti dari kata “ku tahu”.
 “kalau sampai waktuku”
dapat berarti “kalau aku mati”
 “tak perlu sedu sedan“


dapat bererti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
Kata Nyata
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil itu sendiri.
 Majas
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.

Hiperbola tersebut :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

………

Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Dengan demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tanpa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.
Pengimajian
Melalui diksi, kata nyata, dan majas yang digunakannya, penyair berupaya menumbuhkan pembayangan para penikmat sajak-sajaknya. Semakin kuat dan lengkap pembayangan yang dapat dibangun oleh penikmat sajak-sajaknya, maka semakin berhasil citraan yang dilakukan penyair. Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :

‘Ku mau tak seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran)
 ‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)
‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa)
 ‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
Versifikasi
Ritme dalam puisi yang berjudul ‘Aku’ ini terdengar menguat karena ada pengulangan bunyi (Rima) pada huruf vocal ‘U’ dan ‘I’
Vokal ‘U’pada larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u
Larik pertama ‘Kalau sampai waktuku.’
Larik kedua ‘Ku mau tak seorang-’kan merayu.
Larik kedua ‘Tidak juga kau’.

Pengulangan vokal ‘I’:
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Tipogafri
Tipografi atau disebut juga ukiran bentuk. Dalam Puisi didefinisikan atau diartikan sebagai tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa dan suasana. Namun dalam sajak ‘Aku’ karya Chairil Anwar tidak menggunakan tipografi.

Dari ulasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap seniman atau sastrawan dalam
membuat suatu karyanya dapat menggunakan berbagai macam caranya. Salah satu caranya
dengan mengekspresikan karyanya sebagai gundahan, gejolak, pengalaman, bayang-bayang
yang sebagai media penyaluran karyanya untuk dapat dinikmati oleh umum.


Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vetalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.

No comments:

Post a Comment