GEMI MOHAWK SANG PENGKHIANAT
(Dalam Kumpulan Puisi Indonesianus)
Oleh
Firdausya
Lana - 100211406092
Awal tahun 2011, ketika saya menjelajah
salah satu waralaba toko buku yang tersebar di seantero nusantara, sekadar
untuk bertandang dan melihat kabar karya terbaru penulis-penulis pop sekelas
Ahmad Fuadi, Fahd Djibran atau Asma Nadia, saya berhenti di lorong kumpulan
buku sastra sekelas Nh. Dini dan Ahmad Tohari, karena terpikat dengan sampul
sebuah buku berwarna hitam polos tanpa aksen neko-neko. Nama baru di dunia
sastra menurutku, di kalangan sastrawan kelas kakap mestinya, Gemi Mohawk dengan
buku bersampul simpel berjudul Indonesianus. Sebuah kumpulan puisi dengan
prolog yang ditulis Putu Wijaya dan epilog yang ditulis Damhuri Muhammad,
istimewa tampaknya sekelas Putu Wijaya dan Damhuri Muhammad mampu meluangkan
waktu untuk memberi pembuka dan penutup sebuah kumpulan puisi yang diterbitkan
di tengah maraknya karya-karya prosa.
Awalnya nonsense memang kemungkinan puisi ini mampu menarik perhatian saya,
tapi ketidaktertarikan ini memicu penasaran juga karena lawan subjektifitas ini
adalah subjektifitas Putu Wijaya dan Damhuri Muhammad.
Bagaimana tidak? Sekelas Putu Wijaya dan
Damhuri Muhammad seakan berani menjamin kualifikasi ‘kumpulan puisi’ ini di
tengah gembar-gembornya novel populer yang crispy
untuk dimakan pembaca kapan saja. Sifat puisi yang penuh multitafsir dan
terdiri dari rangkaian kata bernas ini sering jadi hidangan alot bagi pembaca yang menikmati sastra
semata sebagai hidangan penutup kegiatan membacanya.
Saya tersenyum singkat karena kagum
ketika menyadari bahwa buku ini halaman pertamanya dibuka dari kanan, serupa
kitab suci. Menurut saya, buku ini tanpa membaca isinya sudah menyajikan
ideologi. Perawakan buku yang dibuka dari sisi kanan dan mengkorelasikan dengan
judul kumpulan puisi ini, saya menduga kumpulan puisi di dalamnya memiliki
amanat untuk men-‘suci’-kan
Indonesia. Dalam artian Indonesia disini diumpamakan sebagai makhluk hidup yang
bernama Indonesianus. Penambahan suku
kata “-nus” dibelakang ini
memakhlukkan Indonesia dengan penggabungan ide spesies hewan.
Ide memakhlukkan Indonesia atau
menghewankan Indonesia ini seakan memadukan antara sisi negatif dan positif
sekaligus, positifnya mewujudkan gagasan ‘Indonesia’ menjadi suatu wujud riil
dan negatifnya menyetarakan gagasan ‘Indonesia’ dengan hewan. Entah dari mana
gagasan ajaib itu hadir hingga akhirnya buku kumpulan puisi ini memaksa saya
mengkaji tidak hanya dari sisi sastra tapi keindahan ideologi layout dan
perawakannya.
Selain itu ide memakhlukkan Indonesia
atau menghewankan Indonesia ini, menggiring pemikiran saya meranggeh aspek
pembangun bangsa ini, yang menurut saya memang terdiri dari pilar-pilar yang
bisa diibaratkan pada organ suatu makhluk yang saling menunjang. Istimewa,
secara tidak langsung judul kumpulan puisi ini sudah mengajarkan tentang
persatuan kepada makhluk lain yang bernama Indonesia.
Setelah melewati beberapa halaman pembuka
seperti testimoni pembaca dan halaman judul, saya menemui rentetan judul-judul
puisi eksentrik di daftar isi.
Keseluruhan isi kumpulan puisi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab yang
berjudul antara lain: Menenggak Sajak, 8 Mei 1993, Amtenar, Gedung
Agung dan Indonesianus.
Random membuka halaman kumpulan puisi Indonesianus ini saya menemukan puisi berjudul BAHASA PERSATUAN BAHASA INDONESIA.
BAHASA PERSATUAN
BAHASA INDONESIA
“english, please!”
Ternyata inilah cara puisi yang di tulis Gemi
Mohawk untuk menangkap gejala sosial bangsa yang sudah mulai mengutamakan
bahasa internasional dari pada bahasa nasional dalam kumpulan puisinya. Setelah
membaca puisi ini pasti mengingatkan kita pada masa kejayaan Sitor Situmorang
dengan gebrakan baru menggunakan puisi pendek berjudul Malam Lebaran.
Malam Lebaran
Bulan di atas
kuburan
Puisi
sebaris padat makna ini kemungkinan akan disamakan dengan karya Gemi Mohawk atau
mengatakan Gemi terinspirasi dari karya Sitor Situmorang ini. Hal ini terjadi
karena dianggap gaya penulisannya sama. Namun bagi saya sejak awal kedua
penulis ini memiliki gaya penulisan yang berbeda. Kekontrasan ini bisa dilihat
dari Sitor Situmorang yang menggunakan gaya bahasa metafor sedang Gemi Mohawk
menggunakan gaya bahasa sindiran.
Ini
terbukti dari proses pemaknaan kedua puisi ini, untuk memahami puisi Sitor
Situmorang kita masih perlu melakukan pemahaman kias yang digunakan. Maksudnya
untuk mengerti pesan penulis dalam puisi tersebut melalui proses tertentu
seperti mengetahui tema puisi sebelum menyinambungkan diksi metafor yang
digunakan Sitor Situmorang.
Sedangkan
dalam penulisan puisi Gemi lebih menggunakan bahasa lugas tanpa kias yang
berlawanan makna dari pesan yang ingin disampaikan. Puisi “BAHASA PERSATUAN BAHASA INDONESIA” membuktikan hal ini.
Judul puisi yang kontras dengan isinya
inilah yang saya maksud ‘berlawanan dengan pesan yang ingin disampaikan’. Isi
puisi berupa “english, please!” yang menggambarkan
sebuah perintah untuk menggunakan bahasa Inggris ditengah kalangan masyarakat
yang mengakui diri sebagai Indonesian
dan muda-mudinya telah melakukan sumpah untuk mengakui bahasanya hanya satu
yaitu bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Melalui sindiran tajam inilah dia berdiri dalam eksistensi puisinya. Gemi tidak
menyentuh lahan Sitor Situmorang jikapun ada yang sama hanya jumlah baris puisi
yang minim.
Adapun dua puisi lain milik Gemi yang
menarik untuk dibandingkan dengan Malam Lebaran. Karena sekali membaca saya
sempat berpikir, “ini Sitor!”. Namun, dua kali membaca, “bukan! Sitor tidak
seperti ini”. Judul kedua puisi ini adalah AZAN
dan RUMAH IBADAH.
AZAN
sekadar
petunjuk waktu
sungguh
negeri muslim terlucu
RUMAH
IBADAH
jaga
barang anda
tuhan
bukan penjaga
Setelah saya baca dengan seksama yang
sama hanyalah ide religiusnya saja yang sama dengan Sitor Situmorang, ditandai
dengan diksi-diksi religi seperti AZAN
dan RUMAH IBADAH. Tapi isinya masih
saja tentang sindiran tajam yang menjurus pada perenungan tindak sosial. Pada
puisi AZAN, sekadar pentunjuk waktu/ sungguh negeri muslim terlucu. Statement lugas ini merupakan sindiran
pada kebiasaan orang saat ini yang sering menggunakan istilah ba’dha yang semata untuk menunjukkan
waktu setelah azan, bukan untuk menunjukkan waktu setelah melakukan kegiatan
ibadah (shalat). Ini memang budaya yang ironis bagi negara dengan jumlah umat
muslim terbesar seperti Indonesia.
Sedang puisi RUMAH IBADAH, melakukan sindiran pada tulisan-tulisan peringatan
untuk menjaga barang bawaan, yang sering ada di masjid. Menurut saya sindiran
yang begitu menghunus ada pada larik kedua yaitu tuhan bukan penjaga. Pernyataan tuhan
bukan penjaga disini menurut saya sama sekali tidak memiliki maksud untuk
menyekutukan kebesaran Tuhan. Saya menjamin hal tersebut karena kata tuhan tidak menggunakan huruf kapital di
awal. Penggunaan huruf kecil t pada tuhan ini bagi saya maknai menggambarkan
kedangkalan kepercayaannya pada Sang Punya Kehendak, orang yang telah menulis
peringatan-peringatan untuk menjaga barang ketika memasuki rumah ibadah. Karena
menulis peringatan itu sama dengan meragukan Kuasa Tuhan sebagai Sang Maha
Mengetahui dan sedang su’udzon
saudara seumatnya.
Dari sisi yang berbeda pun saya masih
bisa menangkap makna sindiran. Seperti puisi-puisi Gemi yang lain, saya
mengkorelasikan judul dengan isinya. Judul RUMAH
IBADAH yang merupakan simbol penyerahan diri pada Tuhan dan beraroma rohani
yang menjurus pada beyond,
ditabrakkan dengan sindiran klausa berbau duniawi yaitu jaga barang anda.
Adapun dari sekian puisi Gemi yang
disominasi hanya satu-dua kata dan satu-dua larik, puisi yang berjudul INDONESIA “RIYA” ini sampai memakan dua
halaman sendiri dan mengingatkan saya pada puisi-puisi lugas karya Adhie
Massardi yang masih satu tema berjudul Republik
Kebohongan. Pemikiran ini mendorong saya untuk me-review dan memaknai kembali karya Adhie Massardi tersebut.
Republik Kebohongan
Inilah Republik Kebohongan
Yang dibangun dari puing kepura-puraan
Menjadi surga bagi para penjarah
Karena penguasanya juga bedebah
Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?
Itulah mereka
Yang kalau berkata isinya dusta
Kalau berikar mereka ingkar
Kalau diberi amanat mereka khianat
Di Republik Kebohongan
Hukum hanyalah alat kekuasaan
Bagi mereka penjara hanya kata basi
Tak ada tembok apalagi terali besi
Maka bila bedebah rendah jatuh sial
Tak akan sungguh-sungguh masuk sel
Masih sanggup menjangkau semua pulau
Atau nebar daya pukau dan tetap disebut: beliau
Para bedebah akan tetap gagah dan menjarah
Karena orang baik hanya bisa berbisik-bisik
Sedangkan para imam hanya bisa menggumam
Sambil berharap Tuhan segera turun tangan
Padahal Tuhan sudah berfirman:
Tak akan mengubah nasib suatu bangsa
Kecuali rakyatnya bergerak berarak-arak
Meruntuhkan istana kebohongan..!!
Indonesia
- Januari 2011
Saya
maknai kembali puisi Adhie Massardi ini memang serupa tema dan kelugasannya.
Saya temui kesamaan itu pada ikrar puisi ini di awal Inilah Republik Kebohongan. Adapun nada satire pada larik ke-5
yaitu Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?. Namun sindiran ini
berbeda dengan cara Gemi melakukan sindiran dengan melakukan pertentangan
dengan makna judul dan isinya, atau pertentangan makna dari satu larik ke larik
lainnya. Berikut puisi INDONESIA “RIYA” karya Gemi Mohawk yang semula saya
setarakan dengan puisi Adhie Massardi.
INDONESIA "RIYA"
baru sehari agresi israel ke palestina
dua miliar bantuan langsung dari pundi-pundi
ri
untuk palestina
kenapa bukan untuk korban tsunami sudah empat
tahun
atau korban lumpur lapindo sudah dua tahun
bertahan di
pengungsian papa?
dokter-dokter, obat-obat segera dikirim untuk
palestina
tapi tak untuk pasien-pasien keluarga papa
aksi simpatik dari mahasiswa, ormas-ormas,
partai
tiap daerah di indonesia kepada palestina
tapi tak peduli ibu-ibu dan anak-anak
berdesak antri raskin
nenek-nenek pingsan antri blt dan mati
terinjak-injak antri zakat
indonesia teriak
hapus israel dari peta dunia
bukan hapus kemiskinan dari indonesia
ya israel, jangan kau bombardir palestina
arahkan roket-roketmu pada orang miskin di
indonesia
agar mereka langsung dapat simpati dari
saudara
senegara, seagama, sumbangan, dokter-dokter,
obat-obat,
makanan bergizi dan vitamin
tak terus-terusan diciduk
mereka adalah kaum muslimin
berhak hidup layak
semoga di tahun baru ini
tak ada lagi mati antri zakat
selamat tahun baru 1430 hijriah
Saya memang boleh mengatakan bahwa
kelugasan kedua puisi ini sama namun cara menuju pemaknaannya bagi saya masih
berbeda. Adhie Massardi menyajikan puisinya dalam kelugasan lewat perenungan
seakan sedang berbicara dengan pembaca. Pembacapun digiring pada satu
pertanyaan dan didikte dengan jawaban penulis sendiri. Seperti pada larik
kelima puisi Republik Kebohongan, terdapat pertanyaan dan larik berikutnya
merupakan jabaran jawaban (perspektif) si penulis sendiri.
Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?
Itulah mereka
Yang kalau berkata isinya dusta
Kalau berikar mereka ingkar
Kalau diberi amanat mereka khianat
Sedang Gemi menyajikan puisinya dalam
kelugasan perenungan lewat sindiran dengan cara melakukan pertentangan dari
satu larik ke larik berikutnya, mempertentangkan satu tragedi dengan tragedi
lain. Dengan strategi yang nyaris sama menggunakan jawaban dan pertanyaan.
Istimewanya, Gemi menggunakan pertanyaan sebagai jawaban sekaligus sindiran
dari gejala sosial masyarakat Indonesia. Ini tampak pada baik pertama.
baru sehari agresi israel ke palestina
dua miliar bantuan langsung dari pundi-pundi
ri
untuk palestina
kenapa bukan untuk korban tsunami sudah empat
tahun
atau korban lumpur lapindo sudah dua tahun
bertahan di
pengungsian papa?
Larik pertama sampai ketiga menceritakan
respon dunia termasuk Indonesia pada agresi israel ke palestina. Larik
selanjutnnya mempertanyakan nasib korban tsunami dan korban lumpur lapindo yang
berada di negeri sendiri, yang lebih tidak penting dari kehidupan bangsa yang
jauh dari Indonesia.
Bait kedua sampai kelimapun bertingkah
serupa, melakukan pertentangan yang menyindir.
dokter-dokter, obat-obat segera dikirim untuk
palestina
tapi tak untuk pasien-pasien keluarga papa
aksi simpatik dari mahasiswa, ormas-ormas,
partai
tiap daerah di indonesia kepada palestina
tapi tak peduli ibu-ibu dan anak-anak
berdesak antri raskin
nenek-nenek pingsan antri blt dan mati
terinjak-injak antri zakat
indonesia teriak
hapus israel dari peta dunia
bukan hapus kemiskinan dari indonesia
ya israel, jangan kau bombardir palestina
arahkan roket-roketmu pada orang miskin di
indonesia
agar mereka langsung dapat simpati dari
saudara
senegara, seagama, sumbangan, dokter-dokter,
obat-obat,
makanan bergizi dan vitamin
tak terus-terusan diciduk
mereka adalah kaum muslimin
berhak hidup layak
Bait
kedua, larik pertama menjelaskan detail tindak dunia termasuk bangsa Indonesia
menyikapi agresi israel ke palestina
ini. Larik kedua menggunakan konjungsi tapi
dan keluarga papa adalah pukulan
untuk papa (bapak negara). Bait
ketiga, larik pertama dan kedua juga menggambarkan detail tindak dunia termasuk
bangsa Indonesia khususnya mahasiswa yang harusnya berperan sebagai ujung
tombak bangsa namun melupakan saudara sebangsa, sindiran ini dijabarkan pada
pernyataan tapi tak
peduli ibu-ibu dan anak-anak. Pada larik berikutnya sindiran dilakukan
dengan penjabaran tragedi-tragedi naas akibat kemiskinan yang lebih pantas
untuk diperhatikan dan bisa dicegah bila penanganannya fokus seperti membantu
bangsa lain yaitu pada berdesak antri
raskin/nenek-nenek pingsan antri blt dan mati/terinjak-injak antri zakat.
Bait keempat, Gemi menyajikan sindiran
mewakili kehendak kaum kelas bawah indonesia
teriak/ hapus israel dari peta dunia/ bukan hapus kemiskinan dari indonesia.
Dan diasah lagi ketajaman sindiran ini pada bait selanjutnya lewat pernyataan ya
israel, jangan kau bombardir palestina/ arahkan roket-roketmu pada orang miskin
di indonesia/ agar mereka langsung dapat simpati dari saudara. Penjabaran
yang lugas namun dramatis sekaligus miris ini saya artikan kelas bawah di
Indonesia rela di kisruh dengan Israel agar jauh dari kemiskinan demi mendapat
perhatian dan menerima bantuan.
Akhirnya dapat saya simpulkan perbedaan Gemi
Mohawk dan Adhie Massardi dalam menyampaikan gagasannya melalui kedua puisi
satu tema ini. Adhie Massardi melihat dari sisi oposan atau pengkoreksi, sedang
Gemi Mohawk kepada sisi pengamat dan bagian dari kaum tertindas. Kesamaannya
tentu membela kaum lemah dan menuntut hak pada yang pantas menerima hak.
Sekedar intermezzo sebelum berlanjut pada pembahasan gaya sindiran Gemi
Mohawk, saya akan menyampaikan subjektifitas saya pada puisi INDONESIA “RIYA” ini. menurut saya jatuh
cinta pada penggunaan kata ‘papa’
pada puisi ini. Bagi saya penggunaan istilah ‘papa’ ini menikam ‘bapak negara’ kita dari dua sisi. Bapak negara
yang tidak mendengar anak-anaknya yang merengek pada ‘papa’-nya dan penggunaan
istilah umum ‘bapak’ negara yang tidak lebih intim dari ‘papa’ seakan
menandakan betapa jauh kita dengan RI 1, yang harusnya berperan sebagai
pendengar dan pemanja anak-anaknya (rakyat).
Masih dalam INDONESIA “RIYA”, menurut saya istilah RIYA yang merupakan plesetan dari RAYA ini bukan menjurus pada penggambaran kebahagiaan yaitu ‘suka
ria’, seperti yang saya perdebatkan dengan beberapa teman forum Offering Gaul
(Offering BB) angkatan 2010. Menurut saya istilah RIYA ini membidik istilah riya’
yang berarti sombong. Saya tangkap dari makna isinya yang menjelaskan tentang
kepedulian bangsa Indonesia pada negara lain tanpa melihat batas kemampuannya
sendiri dan kepincangannya untuk mengurus bangsanya sendiri. Sikap ‘sok bisa’-nya Indonesia ini memaksa saya
untuk beranggapan bahwa Indonesia ingin dilihat kebisaannya oleh dunia alias pengen nyombong.
Awalnya saya juga hendak mengkaji karya
Wiji Thukul sebagai bandingan. Namun, setelah saya melakukan kajian pada
karya-karya Wiji Thukul, sepengetahuan saya belum ada yang satu tema dan satu
garis pembahasan dengan karya Gemi Mohawk di Indonesianus. Dan secara tidak
adil dan penuh dengan ego yang semena-mena saya menyatakan bahwa kedua pujangga
ini jalan di jalur yang berbeda. Kesamaan keduanya hanyalah jumlah larik yang
minim dalam penulisannya. Bahkan menurut saya, Gemi lebih irit dari Wiji Thukul
karena ada beberapa puisi seperti MENENGGAK
SAJAK, CITA, OLEH-OLEH BUAT BINHAD, PENGKHIANATAN G 3K/LPG, BELANJA KORUPTOR,
AKU CINTA INDONESIA, dan PANSUS
ANGKET, yang terdiri dari satu larik dan terbangun dari satu—dua kata.
Adapun kekhasan Gemi Mohawk menurut saya
yang belum dipunya sastrawan lain yaitu pertimbangan memberikan judul, bahkan
judulnya pun sudah menjadi puisi bagi saya. Seperti yang sudah saya jelaskan di
awal tentang INDONESIANUS dan INDONESIA “RIYA”, keduanya sudah
memiliki makna dan amanat bagi saya. Selain dua judul itu, ada satu judul lain
yang menurut saya memiliki muatan magis yaitu PENGKHIANATAN G 3K/LPG. Penggunaan istilah pada judul PENGKHIANATAN G 3K/LPG ini menggabungkan
tragedi G 30 S/PKI dengan tragedi ledakan-ledakan akibat konversi gas LPG.
Setelahnya dari judul puisi menuju isinya terdapat muatan komedi menurut saya. Isi
puisi garuda berganti gagak, saya
maknai bahwa garuda jadi gosong seperti gagak akibat ledakan tabung gas 3 KG.
Berbeda dengan kajiannya saya, Damhuri
Muhammad (Mohawk, 2011:108) dalam epilognya melakukan penentangan akan
diakuinya karya Gemi sebagai karya yang diragukan sebagai puisi karena
kegamblangan dan kelugasannya dalam menyampaikan pesan. Dimana konvensi dan
diksi yang harusnya dipenuhi nilai-nilai estetik diragukan dalam karya ini.
bagi Damhuri karya Gemi beberapa ada yang tidak evergreen dan cenderung seperti tagline pamflet jalanan semata. Secara halus Damhuri tidak mengakui
puisi-puisi Gemi sebagai karya sastra dengan menyatakan bahwa puisi yang
sesungguhnya adalah segala lelaku Gemi Mohawk sendiri dalam kehidupan nyata.
Namun dengan bermodal nyali—bondo nekat,
saya yang sangat awam ini memberanikan diri menentang pernyataan Damhuri
Muhammad. Saya menyimpulkan bahwa gaya bahasa sindiran lugas seperti tagline pamflet, tanpa tedeng aling-aling dan tanpa
memperhatikan diksi positif bernuansa estetis seperti puisi pada umumnya untuk
menyampaikan amanat, yang digunakan Gemi Mohawk bisa jadi memang melanggar
konvensi penulisan puisi. Namun bukankah konvensi semata hanya kesepakatan yang
diyakini bersama oleh masyarakat? Jadi kehadiran puisi bergenre ‘Mohawkisme’ ini bisa jadi nantinya malah
membawa aliran baru puisi modern di Indonesia ketika masyarakat sepakat
mengakui bahwa karya tulis yang dimaksudkan Gemi Mohawk ‘sebagai puisi’ diakui
pula oleh masyarakat ‘sebagai puisi’. Gemi
Mohawk memanglah Sang Pengkhianat yang
membawa revolusi sastra, menunjukkan keindahan sastra bukan hanya untuk
keindahan diksi positif yang penuh kias tetapi dengan diksi negatif bahkan sarkas yang lugas demi
indahnya sebuah kemurnian hati.
DAFTAR RUJUKAN
Mohawk,
Gemi. 2011. Indonesianus. Jakarta
Timur: Penerbit tridi
No comments:
Post a Comment