Translate

Wednesday, May 15, 2013

ESAI KRITIK PUISI Firdausya Lana

GEMI MOHAWK SANG PENGKHIANAT
(Dalam Kumpulan Puisi Indonesianus)


Oleh
Firdausya Lana - 100211406092




Awal tahun 2011, ketika saya menjelajah salah satu waralaba toko buku yang tersebar di seantero nusantara, sekadar untuk bertandang dan melihat kabar karya terbaru penulis-penulis pop sekelas Ahmad Fuadi, Fahd Djibran atau Asma Nadia, saya berhenti di lorong kumpulan buku sastra sekelas Nh. Dini dan Ahmad Tohari, karena terpikat dengan sampul sebuah buku berwarna hitam polos tanpa aksen neko-neko. Nama baru di dunia sastra menurutku, di kalangan sastrawan kelas kakap mestinya, Gemi Mohawk dengan buku bersampul simpel berjudul Indonesianus. Sebuah kumpulan puisi dengan prolog yang ditulis Putu Wijaya dan epilog yang ditulis Damhuri Muhammad, istimewa tampaknya sekelas Putu Wijaya dan Damhuri Muhammad mampu meluangkan waktu untuk memberi pembuka dan penutup sebuah kumpulan puisi yang diterbitkan di tengah maraknya karya-karya prosa.

Awalnya nonsense memang kemungkinan puisi ini mampu menarik perhatian saya, tapi ketidaktertarikan ini memicu penasaran juga karena lawan subjektifitas ini adalah subjektifitas Putu Wijaya dan Damhuri Muhammad.
Bagaimana tidak? Sekelas Putu Wijaya dan Damhuri Muhammad seakan berani menjamin kualifikasi ‘kumpulan puisi’ ini di tengah gembar-gembornya novel populer yang crispy untuk dimakan pembaca kapan saja. Sifat puisi yang penuh multitafsir dan terdiri dari rangkaian kata bernas ini sering jadi hidangan alot bagi pembaca yang menikmati sastra semata sebagai hidangan penutup kegiatan membacanya.
Saya tersenyum singkat karena kagum ketika menyadari bahwa buku ini halaman pertamanya dibuka dari kanan, serupa kitab suci. Menurut saya, buku ini tanpa membaca isinya sudah menyajikan ideologi. Perawakan buku yang dibuka dari sisi kanan dan mengkorelasikan dengan judul kumpulan puisi ini, saya menduga kumpulan puisi di dalamnya memiliki amanat untuk men-‘suci’-kan Indonesia. Dalam artian Indonesia disini diumpamakan sebagai makhluk hidup yang bernama Indonesianus. Penambahan suku kata “-nus” dibelakang ini memakhlukkan Indonesia dengan penggabungan ide spesies hewan.
Ide memakhlukkan Indonesia atau menghewankan Indonesia ini seakan memadukan antara sisi negatif dan positif sekaligus, positifnya mewujudkan gagasan ‘Indonesia’ menjadi suatu wujud riil dan negatifnya menyetarakan gagasan ‘Indonesia’ dengan hewan. Entah dari mana gagasan ajaib itu hadir hingga akhirnya buku kumpulan puisi ini memaksa saya mengkaji tidak hanya dari sisi sastra tapi keindahan ideologi layout dan perawakannya.
Selain itu ide memakhlukkan Indonesia atau menghewankan Indonesia ini, menggiring pemikiran saya meranggeh aspek pembangun bangsa ini, yang menurut saya memang terdiri dari pilar-pilar yang bisa diibaratkan pada organ suatu makhluk yang saling menunjang. Istimewa, secara tidak langsung judul kumpulan puisi ini sudah mengajarkan tentang persatuan kepada makhluk lain yang bernama Indonesia.
Setelah melewati beberapa halaman pembuka seperti testimoni pembaca dan halaman judul, saya menemui rentetan judul-judul puisi eksentrik di daftar isi.  Keseluruhan isi kumpulan puisi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab yang berjudul antara lain: Menenggak Sajak, 8 Mei 1993, Amtenar, Gedung Agung dan Indonesianus.
Random membuka halaman kumpulan puisi Indonesianus ini saya menemukan puisi berjudul BAHASA PERSATUAN BAHASA INDONESIA.

BAHASA PERSATUAN
BAHASA INDONESIA
 “english, please!”

 Ternyata inilah cara puisi yang di tulis Gemi Mohawk untuk menangkap gejala sosial bangsa yang sudah mulai mengutamakan bahasa internasional dari pada bahasa nasional dalam kumpulan puisinya. Setelah membaca puisi ini pasti mengingatkan kita pada masa kejayaan Sitor Situmorang dengan gebrakan baru menggunakan puisi pendek berjudul Malam Lebaran.

Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan

Puisi sebaris padat makna ini kemungkinan akan disamakan dengan karya Gemi Mohawk atau mengatakan Gemi terinspirasi dari karya Sitor Situmorang ini. Hal ini terjadi karena dianggap gaya penulisannya sama. Namun bagi saya sejak awal kedua penulis ini memiliki gaya penulisan yang berbeda. Kekontrasan ini bisa dilihat dari Sitor Situmorang yang menggunakan gaya bahasa metafor sedang Gemi Mohawk menggunakan gaya bahasa sindiran.
Ini terbukti dari proses pemaknaan kedua puisi ini, untuk memahami puisi Sitor Situmorang kita masih perlu melakukan pemahaman kias yang digunakan. Maksudnya untuk mengerti pesan penulis dalam puisi tersebut melalui proses tertentu seperti mengetahui tema puisi sebelum menyinambungkan diksi metafor yang digunakan Sitor Situmorang.
Sedangkan dalam penulisan puisi Gemi lebih menggunakan bahasa lugas tanpa kias yang berlawanan makna dari pesan yang ingin disampaikan. Puisi “BAHASA PERSATUAN BAHASA INDONESIA” membuktikan hal ini.
Judul puisi yang kontras dengan isinya inilah yang saya maksud ‘berlawanan dengan pesan yang ingin disampaikan’. Isi puisi berupa  “english, please!” yang menggambarkan sebuah perintah untuk menggunakan bahasa Inggris ditengah kalangan masyarakat yang mengakui diri sebagai Indonesian dan muda-mudinya telah melakukan sumpah untuk mengakui bahasanya hanya satu yaitu bahasa persatuan bahasa Indonesia. Melalui sindiran tajam inilah dia berdiri dalam eksistensi puisinya. Gemi tidak menyentuh lahan Sitor Situmorang jikapun ada yang sama hanya jumlah baris puisi yang minim.
Adapun dua puisi lain milik Gemi yang menarik untuk dibandingkan dengan Malam Lebaran. Karena sekali membaca saya sempat berpikir, “ini Sitor!”. Namun, dua kali membaca, “bukan! Sitor tidak seperti ini”. Judul kedua puisi ini adalah AZAN dan RUMAH IBADAH.

AZAN
sekadar petunjuk waktu
sungguh negeri muslim terlucu

RUMAH IBADAH
jaga barang anda
tuhan bukan penjaga

Setelah saya baca dengan seksama yang sama hanyalah ide religiusnya saja yang sama dengan Sitor Situmorang, ditandai dengan diksi-diksi religi seperti AZAN dan RUMAH IBADAH. Tapi isinya masih saja tentang sindiran tajam yang menjurus pada perenungan tindak sosial. Pada puisi AZAN, sekadar pentunjuk waktu/ sungguh negeri muslim terlucu. Statement lugas ini merupakan sindiran pada kebiasaan orang saat ini yang sering menggunakan istilah ba’dha yang semata untuk menunjukkan waktu setelah azan, bukan untuk menunjukkan waktu setelah melakukan kegiatan ibadah (shalat). Ini memang budaya yang ironis bagi negara dengan jumlah umat muslim terbesar seperti Indonesia.
Sedang puisi RUMAH IBADAH, melakukan sindiran pada tulisan-tulisan peringatan untuk menjaga barang bawaan, yang sering ada di masjid. Menurut saya sindiran yang begitu menghunus ada pada larik kedua yaitu tuhan bukan penjaga. Pernyataan tuhan bukan penjaga disini menurut saya sama sekali tidak memiliki maksud untuk menyekutukan kebesaran Tuhan. Saya menjamin hal tersebut karena kata tuhan tidak menggunakan huruf kapital di awal. Penggunaan huruf kecil t pada tuhan ini bagi saya maknai menggambarkan kedangkalan kepercayaannya pada Sang Punya Kehendak, orang yang telah menulis peringatan-peringatan untuk menjaga barang ketika memasuki rumah ibadah. Karena menulis peringatan itu sama dengan meragukan Kuasa Tuhan sebagai Sang Maha Mengetahui dan sedang su’udzon saudara seumatnya.
Dari sisi yang berbeda pun saya masih bisa menangkap makna sindiran. Seperti puisi-puisi Gemi yang lain, saya mengkorelasikan judul dengan isinya. Judul RUMAH IBADAH yang merupakan simbol penyerahan diri pada Tuhan dan beraroma rohani yang menjurus pada beyond, ditabrakkan dengan sindiran klausa berbau duniawi yaitu jaga barang anda.
Adapun dari sekian puisi Gemi yang disominasi hanya satu-dua kata dan satu-dua larik, puisi yang berjudul INDONESIA “RIYA” ini sampai memakan dua halaman sendiri dan mengingatkan saya pada puisi-puisi lugas karya Adhie Massardi yang masih satu tema berjudul Republik Kebohongan. Pemikiran ini mendorong saya untuk me-review dan memaknai kembali karya Adhie Massardi tersebut.

Republik Kebohongan

Inilah Republik Kebohongan
Yang dibangun dari puing kepura-puraan
Menjadi surga bagi para penjarah
Karena penguasanya juga bedebah

Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?

Itulah mereka
Yang kalau berkata isinya dusta
Kalau berikar mereka ingkar
Kalau diberi amanat mereka khianat

Di Republik Kebohongan
Hukum hanyalah alat kekuasaan
Bagi mereka penjara hanya kata basi
Tak ada tembok apalagi terali besi

Maka bila bedebah rendah jatuh sial
Tak akan sungguh-sungguh masuk sel
Masih sanggup menjangkau semua pulau
Atau nebar daya pukau dan tetap disebut: beliau
Para bedebah akan tetap gagah dan menjarah
Karena orang baik hanya bisa berbisik-bisik
Sedangkan para imam hanya bisa menggumam
Sambil berharap Tuhan segera turun tangan

Padahal Tuhan sudah berfirman:
Tak akan mengubah nasib suatu bangsa
Kecuali rakyatnya bergerak berarak-arak
Meruntuhkan istana kebohongan..!!

Indonesia - Januari 2011

Saya maknai kembali puisi Adhie Massardi ini memang serupa tema dan kelugasannya. Saya temui kesamaan itu pada ikrar puisi ini di awal Inilah Republik Kebohongan. Adapun nada satire pada larik ke-5 yaitu Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?. Namun sindiran ini berbeda dengan cara Gemi melakukan sindiran dengan melakukan pertentangan dengan makna judul dan isinya, atau pertentangan makna dari satu larik ke larik lainnya. Berikut puisi INDONESIA “RIYA” karya Gemi Mohawk yang semula saya setarakan dengan puisi Adhie Massardi.

INDONESIA "RIYA"

baru sehari agresi israel ke palestina
dua miliar bantuan langsung dari pundi-pundi ri
untuk palestina
kenapa bukan untuk korban tsunami sudah empat tahun
atau korban lumpur lapindo sudah dua tahun bertahan di
pengungsian papa?

dokter-dokter, obat-obat segera dikirim untuk palestina
tapi tak untuk pasien-pasien keluarga papa

aksi simpatik dari mahasiswa, ormas-ormas, partai
tiap daerah di indonesia kepada palestina
tapi tak peduli ibu-ibu dan anak-anak
berdesak antri raskin
nenek-nenek pingsan antri blt dan mati
terinjak-injak antri zakat

indonesia teriak
hapus israel dari peta dunia
bukan hapus kemiskinan dari indonesia

ya israel, jangan kau bombardir palestina
arahkan roket-roketmu pada orang miskin di indonesia
agar mereka langsung dapat simpati dari saudara
senegara, seagama, sumbangan, dokter-dokter, obat-obat,
makanan bergizi dan vitamin
tak terus-terusan diciduk
mereka adalah kaum muslimin
berhak hidup layak

semoga di tahun baru ini
tak ada lagi mati antri zakat
selamat tahun baru 1430 hijriah

Saya memang boleh mengatakan bahwa kelugasan kedua puisi ini sama namun cara menuju pemaknaannya bagi saya masih berbeda. Adhie Massardi menyajikan puisinya dalam kelugasan lewat perenungan seakan sedang berbicara dengan pembaca. Pembacapun digiring pada satu pertanyaan dan didikte dengan jawaban penulis sendiri. Seperti pada larik kelima puisi Republik Kebohongan, terdapat pertanyaan dan larik berikutnya merupakan jabaran jawaban (perspektif) si penulis sendiri.
Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?

Itulah mereka
Yang kalau berkata isinya dusta
Kalau berikar mereka ingkar
Kalau diberi amanat mereka khianat

 Sedang Gemi menyajikan puisinya dalam kelugasan perenungan lewat sindiran dengan cara melakukan pertentangan dari satu larik ke larik berikutnya, mempertentangkan satu tragedi dengan tragedi lain. Dengan strategi yang nyaris sama menggunakan jawaban dan pertanyaan. Istimewanya, Gemi menggunakan pertanyaan sebagai jawaban sekaligus sindiran dari gejala sosial masyarakat Indonesia. Ini tampak pada baik pertama.
baru sehari agresi israel ke palestina
dua miliar bantuan langsung dari pundi-pundi ri
untuk palestina
kenapa bukan untuk korban tsunami sudah empat tahun
atau korban lumpur lapindo sudah dua tahun bertahan di
pengungsian papa?

Larik pertama sampai ketiga menceritakan respon dunia termasuk Indonesia pada agresi israel ke palestina. Larik selanjutnnya mempertanyakan nasib korban tsunami dan korban lumpur lapindo yang berada di negeri sendiri, yang lebih tidak penting dari kehidupan bangsa yang jauh dari Indonesia.
Bait kedua sampai kelimapun bertingkah serupa, melakukan pertentangan yang menyindir.
dokter-dokter, obat-obat segera dikirim untuk palestina
tapi tak untuk pasien-pasien keluarga papa

aksi simpatik dari mahasiswa, ormas-ormas, partai
tiap daerah di indonesia kepada palestina
tapi tak peduli ibu-ibu dan anak-anak
berdesak antri raskin
nenek-nenek pingsan antri blt dan mati
terinjak-injak antri zakat

indonesia teriak
hapus israel dari peta dunia
bukan hapus kemiskinan dari indonesia

ya israel, jangan kau bombardir palestina
arahkan roket-roketmu pada orang miskin di indonesia
agar mereka langsung dapat simpati dari saudara
senegara, seagama, sumbangan, dokter-dokter, obat-obat,
makanan bergizi dan vitamin
tak terus-terusan diciduk
mereka adalah kaum muslimin
berhak hidup layak

Bait kedua, larik pertama menjelaskan detail tindak dunia termasuk bangsa Indonesia menyikapi agresi israel ke palestina ini. Larik kedua menggunakan konjungsi tapi dan keluarga papa adalah pukulan untuk papa (bapak negara). Bait ketiga, larik pertama dan kedua juga menggambarkan detail tindak dunia termasuk bangsa Indonesia khususnya mahasiswa yang harusnya berperan sebagai ujung tombak bangsa namun melupakan saudara sebangsa, sindiran ini dijabarkan pada pernyataan tapi tak peduli ibu-ibu dan anak-anak. Pada larik berikutnya sindiran dilakukan dengan penjabaran tragedi-tragedi naas akibat kemiskinan yang lebih pantas untuk diperhatikan dan bisa dicegah bila penanganannya fokus seperti membantu bangsa lain yaitu pada berdesak antri raskin/nenek-nenek pingsan antri blt dan mati/terinjak-injak antri zakat.
Bait keempat, Gemi menyajikan sindiran mewakili kehendak kaum kelas bawah indonesia teriak/ hapus israel dari peta dunia/ bukan hapus kemiskinan dari indonesia. Dan diasah lagi ketajaman sindiran ini pada bait selanjutnya lewat pernyataan  ya israel, jangan kau bombardir palestina/ arahkan roket-roketmu pada orang miskin di indonesia/ agar mereka langsung dapat simpati dari saudara. Penjabaran yang lugas namun dramatis sekaligus miris ini saya artikan kelas bawah di Indonesia rela di kisruh dengan Israel agar jauh dari kemiskinan demi mendapat perhatian dan menerima bantuan.
Akhirnya dapat saya simpulkan perbedaan Gemi Mohawk dan Adhie Massardi dalam menyampaikan gagasannya melalui kedua puisi satu tema ini. Adhie Massardi melihat dari sisi oposan atau pengkoreksi, sedang Gemi Mohawk kepada sisi pengamat dan bagian dari kaum tertindas. Kesamaannya tentu membela kaum lemah dan menuntut hak pada yang pantas menerima hak.
Sekedar intermezzo sebelum berlanjut pada pembahasan gaya sindiran Gemi Mohawk, saya akan menyampaikan subjektifitas saya pada puisi INDONESIA “RIYA” ini. menurut saya jatuh cinta pada penggunaan kata ‘papa’ pada puisi ini. Bagi saya penggunaan istilah ‘papa’ ini menikam ‘bapak negara’ kita dari dua sisi. Bapak negara yang tidak mendengar anak-anaknya yang merengek pada ‘papa’-nya dan penggunaan istilah umum ‘bapak’ negara yang tidak lebih intim dari ‘papa’ seakan menandakan betapa jauh kita dengan RI 1, yang harusnya berperan sebagai pendengar dan pemanja anak-anaknya (rakyat).
Masih dalam INDONESIA “RIYA”, menurut saya istilah RIYA yang merupakan plesetan dari RAYA ini bukan menjurus pada penggambaran kebahagiaan yaitu ‘suka ria’, seperti yang saya perdebatkan dengan beberapa teman forum Offering Gaul (Offering BB) angkatan 2010. Menurut saya istilah RIYA ini membidik istilah riya’ yang berarti sombong. Saya tangkap dari makna isinya yang menjelaskan tentang kepedulian bangsa Indonesia pada negara lain tanpa melihat batas kemampuannya sendiri dan kepincangannya untuk mengurus bangsanya sendiri. Sikap ‘sok bisa’-nya Indonesia ini memaksa saya untuk beranggapan bahwa Indonesia ingin dilihat kebisaannya oleh dunia alias pengen nyombong.
Awalnya saya juga hendak mengkaji karya Wiji Thukul sebagai bandingan. Namun, setelah saya melakukan kajian pada karya-karya Wiji Thukul, sepengetahuan saya belum ada yang satu tema dan satu garis pembahasan dengan karya Gemi Mohawk di Indonesianus. Dan secara tidak adil dan penuh dengan ego yang semena-mena saya menyatakan bahwa kedua pujangga ini jalan di jalur yang berbeda. Kesamaan keduanya hanyalah jumlah larik yang minim dalam penulisannya. Bahkan menurut saya, Gemi lebih irit dari Wiji Thukul karena ada beberapa puisi seperti MENENGGAK SAJAK, CITA, OLEH-OLEH BUAT BINHAD, PENGKHIANATAN G 3K/LPG, BELANJA KORUPTOR, AKU CINTA INDONESIA, dan PANSUS ANGKET, yang terdiri dari satu larik dan terbangun dari satu—dua kata.
Adapun kekhasan Gemi Mohawk menurut saya yang belum dipunya sastrawan lain yaitu pertimbangan memberikan judul, bahkan judulnya pun sudah menjadi puisi bagi saya. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tentang INDONESIANUS dan INDONESIA “RIYA”, keduanya sudah memiliki makna dan amanat bagi saya. Selain dua judul itu, ada satu judul lain yang menurut saya memiliki muatan magis yaitu PENGKHIANATAN G 3K/LPG. Penggunaan istilah pada judul PENGKHIANATAN G 3K/LPG ini menggabungkan tragedi G 30 S/PKI dengan tragedi ledakan-ledakan akibat konversi gas LPG. Setelahnya dari judul puisi menuju isinya terdapat muatan komedi menurut saya. Isi puisi garuda berganti gagak, saya maknai bahwa garuda jadi gosong seperti gagak akibat ledakan tabung gas 3 KG.
Berbeda dengan kajiannya saya, Damhuri Muhammad (Mohawk, 2011:108) dalam epilognya melakukan penentangan akan diakuinya karya Gemi sebagai karya yang diragukan sebagai puisi karena kegamblangan dan kelugasannya dalam menyampaikan pesan. Dimana konvensi dan diksi yang harusnya dipenuhi nilai-nilai estetik diragukan dalam karya ini. bagi Damhuri karya Gemi beberapa ada yang tidak evergreen dan cenderung seperti tagline pamflet jalanan semata. Secara halus Damhuri tidak mengakui puisi-puisi Gemi sebagai karya sastra dengan menyatakan bahwa puisi yang sesungguhnya adalah segala lelaku Gemi Mohawk sendiri dalam kehidupan  nyata.
Namun dengan bermodal nyali—bondo nekat, saya yang sangat awam ini memberanikan diri menentang pernyataan Damhuri Muhammad. Saya menyimpulkan bahwa gaya bahasa sindiran lugas seperti tagline pamflet, tanpa tedeng aling-aling dan tanpa memperhatikan diksi positif bernuansa estetis seperti puisi pada umumnya untuk menyampaikan amanat, yang digunakan Gemi Mohawk bisa jadi memang melanggar konvensi penulisan puisi. Namun bukankah konvensi semata hanya kesepakatan yang diyakini bersama oleh masyarakat? Jadi kehadiran puisi bergenre ‘Mohawkisme’ ini bisa jadi nantinya malah membawa aliran baru puisi modern di Indonesia ketika masyarakat sepakat mengakui bahwa karya tulis yang dimaksudkan Gemi Mohawk ‘sebagai puisi’ diakui pula oleh masyarakat ‘sebagai puisi’. Gemi Mohawk memanglah Sang Pengkhianat yang membawa revolusi sastra, menunjukkan keindahan sastra bukan hanya untuk keindahan diksi positif yang penuh kias tetapi dengan  diksi negatif bahkan sarkas yang lugas demi indahnya sebuah kemurnian hati.

DAFTAR RUJUKAN
Mohawk, Gemi. 2011. Indonesianus. Jakarta Timur: Penerbit tridi


No comments:

Post a Comment