KETULUSAN DALAM
KESEDERHANAAN CINTA
SAPARDI DJOKO DAMONO
PADA PUISI “AKU INGIN”
Oleh
Nia Puspita Sari - 100211400463
Wahyuningtyas
dan Santosa (2011: 1) mengemukakan teori Abrams bahwa ada empat pendekatan
terhadap karya sastra, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik,
pendekatan ekspresif, dan pendekatan objektif. Esai ini menggunakan pendekatan
pragmatik. Karya sastra merupakan sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu
kepada pembaca. Pembaca bisa menafsirkan suatu karya sastra secara subjektif,
namun tetap bertolak pada konteks karya sastra yang dikaji.
Suatu
karya sastra dianggap berhasil jika tujuan yang ingin disampaikan kepada
pembaca telah berhasil dicapai. Berdasarkan teori Icer bahwa dalam suatu karya
sastra terdapat ruang kosong. Ruang kosong ini nantinya akan diisi oleh
penafsiran para pembaca. Karya sastra dipahami dan dinilai berdasarkan
tanggapan pembaca terhadap karya sastra tertentu. Pembaca satu dengan pembaca
lainnya tentu memiliki pemahaman dan penilaian yang berbeda terhadap suatu
karya sastra.
Bambang (2010)
mengatakan bahwa dalam praktiknya, pendekatan prakmatik mengkaji dan memahami
karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral,
agama, maupun fungsi sosial lainnya. Puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono bisa diartikan
bermacam-macam, yakni cinta kepada Tuhan, manusia, atau alam. Kata “mu”
ditulis kecil, jika memang diartikan ‘cinta pada Tuhan’, ‘cinta yang
melebur menjadi satu’ karena ada anggapan bahwa Tuhan sudah menyatu dalam
diri manusia.
Sapardi Djoko Damono adalah seorang
penyair yang romantis. Banyak penyair menggunakan bahasa yang sulit dipahami
oleh pembaca, namun beliau menggunakan bahasa yang sederhana, yang sudah sering
kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut bisa kita lihat dalam puisi “Aku Ingin”.
Aku ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Puisi ini disukai banyak orang,
terutama para remaja. Sering dilampirkan di surat undangan pernikahan. Puisi
ini terlihat sederhana, tapi maknanya dalam. “Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”. Tiada? Isyarat apa? Peristiwa sederhana, namun mengingatkan kita
pada peristiwa besar. Tampak visual sederhaa, tapi begitu dalam maknanya, tidak
mudah menafsirkannya. Gaya prosaik.
“Sederhana” bukan berarti
mudah. Puisi “Aku Ingin” tidak mudah
untuk ditafsirkan. Ada ruang kosong di dalamnya yang disadari atau tidak,
mengajak pembaca untuk mengisi ruang kosong tersebut. Puisi itu berbicara
tentang kata dan isyarat yang tidak sempat tersampaikan. Pembaca tidak pernah
tahu kata dan isyarat sebenarnya dalam puisi tersebut. Berdasarkan hal
tersebut, pembaca bebas mengisi kekosongan tersebut dengan penafsiran
masing-masing. Akan tetapi, penafsiran yang diberikan harus tetap bertumpu pada
konteks yang diberikan oleh Sapardi Djoko Damono.
Puisi
“Aku Ingin” karya Sapardi Djoko
Damono ini sungguh menggetarkan jiwa pembaca. Kisah cinta yang dramatis dengan
kesederhanaan yang menghiasinya. Puisi ini terdiri atas dua bait yang masing-masing
ada tiga larik. Pada bait pertama larik pertama terdapat sajak berbunyi “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:” bisa
diartikan dengan seorang anak manusia yang mencintai seseorang dengan ketulusan
dan apa adanya. Dia memberikan cintanya tanpa mengharapkan balasan.
Pada
larik kedua terdapat sajak yang berbunyi “Dengan kata
yang tak sempat diucapkan”
bisa diartikan bahwa kata masih dipendam. Cinta sejati tidak
perlu diungkapkan lewat kata-kata atau sajak atau janji manis yang masih
fatamorgana. Cinta sejati bisa dirasakan dengan tindakan nyata yang lebih bisa
mempersembahkan bunga-bunga kasih yang sesungguhnya.
Pada larik ketiga terdapat
sajak yang berbunyi “Kayu kepada
api yang menjadikannya debu”.
“Kayu” bisa diartikan sebagai “seorang laki-laki”, sedangkan “api”
bisa diartikan sebagai “seorang
perempuan” atau bisa jadi sebaliknya.
Manusia diciptakan berpasangan. Api membutuhkan kayu agar bisa bertahan.
Api bisa menyala ketika bersatu dengan kayu. Seorang perempuan bisa menikmati
kebahagiaan ketika bersama terlebih lagi bersatu dengan seorang laki-laki yang
dicintai, begitu pula sebaliknya. Kayu tulus berkorban demi cintanya kepada
api. Kayu rela mengorbankan dirinya tanpa mengungkapkan pengorbannya yang
begitu besar pada api. Sepasang kekasih itu bisa menikmati bunga-bunga cinta
saat bersatu seperti bersatunya kayu dan api yang menjadikannya debu.
Pada larik ketiga bisa juga
dimaknai melalui kata yang diucapkan oleh kayu kepada api yang menjadikannya
abu. Hubungan kayu dengan abu apabila dihubungkan dengan kepercayaan Cina bahwa
terdapat lima esensi hidup, yakni: (1) air, (2) kayu, (3) api, (4) tanah, dan
(5) logam. Kayu merupakan unsur hidup. Api bisa meleburkan suatu kehidupan,
esensinya yaitu kedalaman makna. Kayu bisa dimaknai sebagai hamba apabila dalam
konteks kehidupan manusia. Abu sama dengan mati, sedangkan tiada sama dengan
lebur sama dengan nol. Pada kepercayaan Hindu kosong adalah arupadatu. Ketika
kosong, yang ada hanyalah Yang Maha Kuasa. Orang yang ingin menyatu dengan
Tuhan harus bisa mengosongkan dirinya dengan duniawi.
Pada bait kedua larik pertama terdapat sajak yang
berbunyi “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:” yang merupakan perulangan dari larik
pertama yang bisa diartikan dengan seorang anak manusia
yang mencintai seseorang dengan ketulusan dan apa adanya. Dia memberikan
cintanya tanpa mengharapkan balasan. Perulangan ini mempertegas bahwa cinta
sejati adalah cinta yang tulus tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Pada larik kedua terdapat sajak
yang berbunyi “Dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan” yang bisa
diartikan bahwa cinta sejati tidak perlu disampaikan dengan isyarat. Cinta
sejati bisa dirasakan dengan tindakan nyata yang indahnya lebih merasuk ke
dalam sanubari. Benih-benih cinta pun bersemi menjadi bunga-bunga kebahagiaan
yang harum semerbak.
Pada larik ketiga terdapat
sajak yang berbunyi “Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada” bisa
diartikan seperti larik ketiga. “Awan” bisa diartikan sebagai seorang
laki-laki, sedangkan “hujan” bisa diartikan sebagai seorang perempuan,
atau bisa jadi sebaliknya. Awan tulus berkorban demi cintanya kepada hujan.
Awan rela berkorban tanpa mengungkapkan
betapa besar pengorbanannya. Awan hanya ingin hujan bisa terus berlangsung dan
tetap bertahan sampai waktu yang memisahkan mereka. Hujan bisa bertahan ketika
bersatu dengan awan. Setelah mereka bersatu, mereka siap menerima apapun yang
terjadi, termasuk sebuah perpisahan. Sudah menjadi hukum alam bahwa setiap
pertemuan pasti ada perpisahan.
Pada bait kedua bisa juga
dimaknai bahwa terdapat suatu kekontrasan menuju sebuah
keabadian. ‘Sederhana’ yang mengungkapkan cinta dengan kata dan
isyarat, tidak dengan perhiasan mewah. Akan tetapi, ‘kesederhanaan’ ini kontras dengan ‘tiada’ yang bisa diartikan dengan ‘nol’ atau ‘kosong’,
yakni keabadian yang berarti pertemuan dengan Tuhan.
Sekali lagi, puisi “Aku
Ingin” karya Sapardi Djoko Damono ini bisa diartikan cinta kepada Tuhan,
cinta kepada sesama manusia, atau cinta kepada alam. Cinta kepada Tuhan yang
dimaksud adalah pesan bahwa orang yang ingin menyatu dengan
Tuhan harus bisa mengosongkan dirinya dengan duniawi.
Adapun puisi ini diartikan
sebagai cinta kepada sesama manusia. Cinta itu sederhana. Cinta berasal dari
perasaan yang merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Tidak ada orang yang bisa menolak datangnya cinta. Cinta sejati
tidak perlu diungkapkan lewat kata-kata indah atau janji manis. Cinta sejati
juga tidak perlu disampaikan lewat isyarat. Cinta sejati butuh bukti nyata
melalui tindakan. Cinta sejati itu tulus. Ketika kita mencintai seseorang, kita
rela berkorban agar dia bahagia. Kita berkorban tanpa memedulikan kelanjutan
yang akan kita alami, walaupun harus berhadapan dengan kesulitan. Ketulusan ini
mencerminkan kesederhanaan cinta.
DAFTAR RUJUKAN
Wahyuningtyas,
S. & Santosa, W. H. 2011 Sastra:
Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.
Bambang.
2010. Pendekatan Pragmatik, (Online), (http://bambangdssmagasolo.blogspot.com/2010/05/pendekatan-pragmatik.html),
diakses April 2013.
No comments:
Post a Comment