REALITA KEHIDUPAN DALAM SELAMAT
PAGI INDONESIA KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
Oleh:
Miftakhul Jannah - 100211406110
Tentang Sapardi Djoko
Damono
Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, sebagai anak
pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah, pada tanggal 20 Maret 1940. Ia
bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Kraton “Kasatriyan”
tempat ia bergaul dengan para putra pangeran, sementara di rumah ia menikmati
kehidupan sebagai anak kampung dengan menghabiskan masa kecilnya bermain
benthik, gobaksodor, dhelikan, jamuran, cari belut, main jailangkung, adu
jangkrik, main kelereng, main layang-layang, dan bal-balan di gang sempit atau
di Alun-alun Selatan. Selain itu ia juga suka mengunjungi beberapa persewaan
buku yang waktu itu banyak terdapat di kotanya. Di sana ia mengenal dunia
rekaan yang diciptakan Karl May, Sutomo Djauhar Arifin, William Saroyan.
Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-lain—di samping berbagai jenis
komik seperti yang diciptakan oleh R.A. Kosasih. Ia, bersama adik satu-satunya,
bahkan pernah “mengusahakan” persewaan komik bagi anak-anak di kampungnya.
Waktu duduk kelas dua SMA, ia mulai menulis puisi, tidak pernah berhenti sampai
sekarang.
Selepas SMA ia belajar di Yogya. Di masa mahasiswa ia
suka main drama, main musik, siaran sastra di radio, menerjemahkan, dan terus
nulis puisi. Lulus dari UGM ia cepat-cepat berumah tangga, bekerja sebagai guru
di Madiun, Solo, dan Semarang. Belajar sebentar di Amerika, lalu pindah ke
Jakarta pada tahun 1973. Pada tahun itu juga ia diminta membantu Australian
Film Commission membuat dua film semi dokumenter mengenai dampak modernisasi
bagi kehidupan keluarga di Bali dan Solo, masing-masing selama dua bulan. Ia
pernah mondar-mandir Jakarta-Semarang selama hampir dua tahun, mengajar di
Universitas Dipenogoro dan menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Sambil
bekerja di majalah Horison ia kemudian menjadi pengajar tetap di Fakultas
Sastra UI dan terus menulis sambil mencari tambahan nafkah sebagai penerjemah
dan juri pelbagai sayembara penulisan, lomba baca puisi, dan festival teater.
Meskipun sudah menerbitkan sajak-sajaknya di majalah
sejak tahun 1957, Sapardi baru menerbitkan kumpulan sajak pada tahun 1969,
berjudul Duka-Mu abadi. Penerbitan itu sepenuhnya ditanggung oleh pelukis
Jeihan, temannya keluyuran sejak SMA. Pada tahun 1974 terbit Mata Pisau dan
Akuarium, tahun 1983 terbit Perahu Kertas, tahun 1984 Sihir Hujan, tahun 1994
Hujan Bulan Juni, dan tahun 1998 Arloji. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa Arab, Hindi, Cina, Jepang, Belanda, Prancis, Inggris,
Jerman, Bali, dan Jawa. Sejumlah sajaknya diterbitkan dalam bahasa Inggris,
berjudul Suddenly the Night.
Sapardi juga suka menulis berbagai jenis esai dan karangan
ilmiah, terutama untuk disampaikan di seminar-seminar. Karangan-karangannya
jenis itu yang dibukukan antara lain Sosiologi Sastra. Sebuah Pengantar Ringkas
(1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern:
Beberapa Catatan (1983), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990), Politik,
Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), dan Sihir Rendra: Permainan Makna (1999)
di samping dalam sejumlah antologi karangan bersama. Kesukaannya menerjemahkan
telah menghasilkan beberapa buku antara lain Puisi Klasik Cina, Puisi Parsi
Klasik, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak Geroge Seferis, Mendorong Jack
Kunti-kunti; Sepilihan Sajak Australia, Afrika yang Resah (terjemahan dari
:Song of Lawino” dan “Song of Ocol” oleh Okot p’Bitek), Lelaki tua dan Laut
(The Old Man and the Sea, Hemingway) Daisy Manis (Daisy Miller, Henry James),
Codot di Pohon Kemerdekaan (kumpulan cerpen Albert Wendt dari Samoa), Tiga
Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra (Mourning becomes Electra, drama
trilogi Eugene O’Neill), Shakuntala, dan Amarah (The Grapes of Wrath, John
Steinbeck). Bersama rekan-rekannya di FSUI ia menerjemahkan karya Annemarie
Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Sejumlah terjemahannya yang sudah
diterbitkan di majalah dan koran atau dipentaskan, tetapi belum dibukukan,
antara lain Pembunuhan di Katedral (Murder in the Chatedral, T.S. Elliot) Singa
dan Permata (The Lion and The Jewel, Wole Soyinka), Brown sang Dewa Agung (The
Great God Brown, O’Nell), Asap Musim Panas (Summer and Smoke, Tenessee
Williams), Di Bawah Langit Afrika (kumpulan cerpen Afrika), dan sejumlah besar
sajak, drama pendek, dan cerpen.
Kegiatannya di bidang karang-mengarang telah
memberinya beberapa penghargaan, yakni Cultural Award (1978) dari Australia,
Anugrah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986) dari Thailand,
Anugrah Seni (1990) dari Pemerintah RI. Kegiatannya sebagai guru menghasilkan
gelar doktor dan guru besar, di samping beberapa jabatan struktural antara lain
Dekan Fakultas Sastra UI (1995-1999). Ia juga mengetuai bidang humaniora di Majelis
Penelitian Pendidikan Tinggi dan menjadi anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra
dan Filsafat, Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Puisi Sapardi cukup menarik untuk dikritik. Kali ini
akan dibahas mengenai realita kehidupan dalam ‘Selamat Pagi Indonesia’. Untuk
menemukan relaita hidup yang seperti apa dalam puisi tersebut, maka penulis memulai
membahasnya dari segi tema, diksi, dan pesan yang terkandung di dalamnya.
Tema dalam
‘Selamat Pagi Indonesia’
Tema
adalah ide yang mendasari suatu cerita. Hal ini sejalan dengan
pendapat Siswanto (2008:161) yang
mengemukakan bahwa tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Puisi ‘Selamat Pagi Indonesia’
bertemakan Pekerjaan Sederhana Untuk Masa depan Bangsa. Hal ini terlihat dari
aku lirik yang telah siap bekerja dan mengabdi kepada negeri Indonesia. Dalam
kerjanya, aku lirik melihat sesosok generasi muda yang mengenakan seragam penuh
semangat. Pekerjaan sederhana yang ditekuni aku lirik adalah seorang penjaga
sekolah (tukang kebun) di suatu sekolah. Meskipun dalam kerja yang sederhana,
ia tetap tabah dan senantiasa bersyukur. Hal tersebut terdapat pada bait
berikut.
dan kemudian
pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
kerja yang sederhana;
Mu dalam puisi tersebut ditujukan untuk
tanah air Indonesia. Selanjutnya, di dalam puisi tersebut menyampaikan bahwa ia
setia untuk negeri tercinta dalam kerja yang sederhana.
Puisi Sapardi menarik dan
memberikan warna baru. Sebab, ia menyimpang dari tema-tema perjuangan dan juga
pernyataan-pernyataan konklusif tentang suatu hal, yang biasanya terkait dengan
persoalan sosial-politik. Apalagi jika dikaitkan dengan keadaan zaman saat
Sapardi memulai berkaya. Saat itu rezim Orde Lama masih berkuasa.
Sejumlah kritikus sastra yang
tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berpayung di bawah
Partai Komunis Indonesia sering menilai bahwa jika karya sastra yang ditulis
oleh para pengarang tidak menyuarakan persoalan-persoalan sosial-politik,
semangat perjuangan melawan kapitalisme Amerika, dengan serat-merta dicap
sebagai pengarang antirevolusi.
Diksi dalam
‘Selamat Pagi Indonesia’
Berbicara tentang diksi berarti
tidak akan terlepas dari gaya bahasa. Puisi memang cenderung dipenuhi oleh gaya
bahasa yang menyiratkan makna di dalamnya. Gaya bahasa tersebut menambah
keindahan puisi ketika dibaca. Gaya bahasa adalah
cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa
yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca (Aminuddin dalam Siswanto, 2008: 158—159). Gaya bahasa memang telah
menjadi ciri khas dalam karya sastra, terutama dalam puisi.
Puisi juga memiliki
simbol-simbol di dalamnya. Selain gaya bahasa, pilihan kata dalam puisi bisa
dilambangkan dengan simbol-simbol tertentu yang mampu meyiratkan makna yang
disampaikan oleh penulis. Puisi ‘Selamat Pagi Indonesia’ mengandung pilihan
kata yang sederhana dan terdapat simbol di dalamnya. Hal tersebut tampak pada
bait berikut.
Selamat
pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
Basis. Thn.
XV – 4 Januari 1965. Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air.
Cuplikan
puisi di atas terdapat diksi seekor
burung mungil, burung tersebut adalah burung garuda yang merupakan lambang
dari negara Indonesia. Burung tersebut sering dinyanyikan oleh anak-anak
Indonesia yaitu dalam lagu Garuda
Pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot Proklamasi/Sedia berkorban
untukmu/Pancasila dasar negara/Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/Ayo
maju maju/Ayo maju maju/Ayo maju maju. Lagu tersebut sering kita dengar
pada masa dahulu. Akan tetapi, tampaknya lagu tersebut semakin lama semakin
jarang terdengar. Anak-anak Indonesia lebih menggandrungi lagu barat, pop
daripada lagu kebangsaan. Realita kehidupan seperti ini patut dijadikan sebagai
renungan terutama bagi rakyat Indonesia.
selalu
kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
Basis. Thn.
XV – 4 Januari 1965. Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air.
Cuplikan puisi di atas telah tampak bahwa diksi yang digunakan memang sederhana tetapi memiliki makna yang mendalam. Dari cuplikan tersebut memiliki makna bahwa aku (lirik) bisa menemukan semangat dalam wajah-wajah orang Indonesia. Semangat tersebut juga menyimpan rasa cinta yang mendalam pada tanah air tercinta. Selanjutnya, berikut ini lanjutan dari cuplikan puisi tersebut.
pada suatu
hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat
pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu..
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu..
Basis. Thn. XV – 4 Januari 1965. Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah
Air.
Puisi
‘Selamat Pagi Indonesia’ memang terlihat menggunakan diksi yang sederhana.
Kesederhanaan diksi yang ada sama sekali tidak melemahkan makna dalam puisi
tersebut. Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai penyair yang mampu mengolah kata-kata sederhana menjadi sebuah lirik
puisi yang istimewa, indah, dan sarat makna. Soni Farid Maulana (2004)
mengungkapkan bahwa puisi Sapardi lebih kepada pengucapan yang subjektif,
ringkas karena mempertahankan keutuhan emosi. Dalam puisinya, Sapardi telah
menyatukan diri dengan lirik. Ia telah membebaskan diri dari desakan pengaruh
sajak-sajak perjuangan masa lalu.
Pesan dalam ‘Selamat Pagi Indonesia’
Amanat adalah nilai-nilai dari karya sastra yang dapat
diambil sebagai pelajaran, sehingga bisa dijadikan acuan
hidup untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam puisi ‘Selamat Pagi
Indonesia’, banyak pesan yang bisa diambil. Puisi tersebut menggambarkan
kehidupan yang sederhana dengan pekerjaan yang sederhana pula. Aku (lirik)
sendiri juga selalu bangun pagi dan segera bersiap untuk mengabdi kepada
pertiwi dalam kerjanya yang sederhana. Meskipun begitu, aku (lirik) tetap setia
untuk tanah air Indonesia. Di dalam puisi tersebut, aku (lirik) melihat
semangat Indonesia pada wajah anak-anak sekolah, ibu-ibu yang penyabar, dan para
pembantu pekerja jalanan. Mereka semua telah akrab dengan kerasnya hidup dan
diam-diam tetap mencintai negerinya.
Kerasnya
hidup yang mereka jalani tak memudarkan
rasa cintanya dan tak menyurutkan semangatnya untuk tetap mengisi kemerdekaan
Indonesia. Hal ini patut dijadikan perenungan bahwa seseorang harus selalu
mencintai tanah airnya tercinta dan selalu bangga dengan Indonesia.
“Hujan emas di negeri orang,
hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri”.
Sumber:
Siswanto,
Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Grasindo.
Ciri Khas
Sajak Sapardi Djoko Damono - ANNEAHIRA.COM.htm (diakses tanggal 27 Maret 2013).
Riwayat
hidup Sapardi Djoko Damono _ Algojoluka's Blog.htm (diakses tanggal 27 Maret
2013).
No comments:
Post a Comment