Translate

Monday, May 6, 2013

ESAI KRITIK PUISI Miftakhul Jannah

REALITA KEHIDUPAN DALAM SELAMAT PAGI INDONESIA KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO
Oleh: 
Miftakhul Jannah - 100211406110

Tentang Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, sebagai anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah, pada tanggal 20 Maret 1940. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Kraton “Kasatriyan” tempat ia bergaul dengan para putra pangeran, sementara di rumah ia menikmati kehidupan sebagai anak kampung dengan menghabiskan masa kecilnya bermain benthik, gobaksodor, dhelikan, jamuran, cari belut, main jailangkung, adu jangkrik, main kelereng, main layang-layang, dan bal-balan di gang sempit atau di Alun-alun Selatan. Selain itu ia juga suka mengunjungi beberapa persewaan buku yang waktu itu banyak terdapat di kotanya. Di sana ia mengenal dunia rekaan yang diciptakan Karl May, Sutomo Djauhar Arifin, William Saroyan. Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-lain—di samping berbagai jenis komik seperti yang diciptakan oleh R.A. Kosasih. Ia, bersama adik satu-satunya, bahkan pernah “mengusahakan” persewaan komik bagi anak-anak di kampungnya. Waktu duduk kelas dua SMA, ia mulai menulis puisi, tidak pernah berhenti sampai sekarang.

Selepas SMA ia belajar di Yogya. Di masa mahasiswa ia suka main drama, main musik, siaran sastra di radio, menerjemahkan, dan terus nulis puisi. Lulus dari UGM ia cepat-cepat berumah tangga, bekerja sebagai guru di Madiun, Solo, dan Semarang. Belajar sebentar di Amerika, lalu pindah ke Jakarta pada tahun 1973. Pada tahun itu juga ia diminta membantu Australian Film Commission membuat dua film semi dokumenter mengenai dampak modernisasi bagi kehidupan keluarga di Bali dan Solo, masing-masing selama dua bulan. Ia pernah mondar-mandir Jakarta-Semarang selama hampir dua tahun, mengajar di Universitas Dipenogoro dan menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia. Sambil bekerja di majalah Horison ia kemudian menjadi pengajar tetap di Fakultas Sastra UI dan terus menulis sambil mencari tambahan nafkah sebagai penerjemah dan juri pelbagai sayembara penulisan, lomba baca puisi, dan festival teater.
Meskipun sudah menerbitkan sajak-sajaknya di majalah sejak tahun 1957, Sapardi baru menerbitkan kumpulan sajak pada tahun 1969, berjudul Duka-Mu abadi. Penerbitan itu sepenuhnya ditanggung oleh pelukis Jeihan, temannya keluyuran sejak SMA. Pada tahun 1974 terbit Mata Pisau dan Akuarium, tahun 1983 terbit Perahu Kertas, tahun 1984 Sihir Hujan, tahun 1994 Hujan Bulan Juni, dan tahun 1998 Arloji. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Arab, Hindi, Cina, Jepang, Belanda, Prancis, Inggris, Jerman, Bali, dan Jawa. Sejumlah sajaknya diterbitkan dalam bahasa Inggris, berjudul Suddenly the Night.
Sapardi juga suka menulis berbagai jenis esai dan karangan ilmiah, terutama untuk disampaikan di seminar-seminar. Karangan-karangannya jenis itu yang dibukukan antara lain Sosiologi Sastra. Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1983), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), dan Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) di samping dalam sejumlah antologi karangan bersama. Kesukaannya menerjemahkan telah menghasilkan beberapa buku antara lain Puisi Klasik Cina, Puisi Parsi Klasik, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak Geroge Seferis, Mendorong Jack Kunti-kunti; Sepilihan Sajak Australia, Afrika yang Resah (terjemahan dari :Song of Lawino” dan “Song of Ocol” oleh Okot p’Bitek), Lelaki tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway) Daisy Manis (Daisy Miller, Henry James), Codot di Pohon Kemerdekaan (kumpulan cerpen Albert Wendt dari Samoa), Tiga Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra (Mourning becomes Electra, drama trilogi Eugene O’Neill), Shakuntala, dan Amarah (The Grapes of Wrath, John Steinbeck). Bersama rekan-rekannya di FSUI ia menerjemahkan karya Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam. Sejumlah terjemahannya yang sudah diterbitkan di majalah dan koran atau dipentaskan, tetapi belum dibukukan, antara lain Pembunuhan di Katedral (Murder in the Chatedral, T.S. Elliot) Singa dan Permata (The Lion and The Jewel, Wole Soyinka), Brown sang Dewa Agung (The Great God Brown, O’Nell), Asap Musim Panas (Summer and Smoke, Tenessee Williams), Di Bawah Langit Afrika (kumpulan cerpen Afrika), dan sejumlah besar sajak, drama pendek, dan cerpen.
Kegiatannya di bidang karang-mengarang telah memberinya beberapa penghargaan, yakni Cultural Award (1978) dari Australia, Anugrah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986) dari Thailand, Anugrah Seni (1990) dari Pemerintah RI. Kegiatannya sebagai guru menghasilkan gelar doktor dan guru besar, di samping beberapa jabatan struktural antara lain Dekan Fakultas Sastra UI (1995-1999). Ia juga mengetuai bidang humaniora di Majelis Penelitian Pendidikan Tinggi dan menjadi anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Ditjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Puisi Sapardi cukup menarik untuk dikritik. Kali ini akan dibahas mengenai realita kehidupan dalam ‘Selamat Pagi Indonesia’. Untuk menemukan relaita hidup yang seperti apa dalam puisi tersebut, maka penulis memulai membahasnya dari segi tema, diksi, dan pesan yang terkandung di dalamnya.

Tema dalam ‘Selamat Pagi Indonesia’
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Hal ini sejalan dengan pendapat Siswanto (2008:161)  yang mengemukakan bahwa tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Puisi ‘Selamat Pagi Indonesia’ bertemakan Pekerjaan Sederhana Untuk Masa depan Bangsa. Hal ini terlihat dari aku lirik yang telah siap bekerja dan mengabdi kepada negeri Indonesia. Dalam kerjanya, aku lirik melihat sesosok generasi muda yang mengenakan seragam penuh semangat. Pekerjaan sederhana yang ditekuni aku lirik adalah seorang penjaga sekolah (tukang kebun) di suatu sekolah. Meskipun dalam kerja yang sederhana, ia tetap tabah dan senantiasa bersyukur. Hal tersebut terdapat pada bait berikut.
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
Mu dalam puisi tersebut ditujukan untuk tanah air Indonesia. Selanjutnya, di dalam puisi tersebut menyampaikan bahwa ia setia untuk negeri tercinta dalam kerja yang sederhana.
Puisi Sapardi menarik dan memberikan warna baru. Sebab, ia menyimpang dari tema-tema perjuangan dan juga pernyataan-pernyataan konklusif tentang suatu hal, yang biasanya terkait dengan persoalan sosial-politik. Apalagi jika dikaitkan dengan keadaan zaman saat Sapardi memulai berkaya. Saat itu rezim Orde Lama masih berkuasa.
Sejumlah kritikus sastra yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berpayung di bawah Partai Komunis Indonesia sering menilai bahwa jika karya sastra yang ditulis oleh para pengarang tidak menyuarakan persoalan-persoalan sosial-politik, semangat perjuangan melawan kapitalisme Amerika, dengan serat-merta dicap sebagai pengarang antirevolusi.

Diksi dalam ‘Selamat Pagi Indonesia’
Berbicara tentang diksi berarti tidak akan terlepas dari gaya bahasa. Puisi memang cenderung dipenuhi oleh gaya bahasa yang menyiratkan makna di dalamnya. Gaya bahasa tersebut menambah keindahan puisi ketika dibaca. Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin dalam Siswanto, 2008: 158—159). Gaya bahasa memang telah menjadi ciri khas dalam karya sastra, terutama dalam puisi.
Puisi juga memiliki simbol-simbol di dalamnya. Selain gaya bahasa, pilihan kata dalam puisi bisa dilambangkan dengan simbol-simbol tertentu yang mampu meyiratkan makna yang disampaikan oleh penulis. Puisi ‘Selamat Pagi Indonesia’ mengandung pilihan kata yang sederhana dan terdapat simbol di dalamnya. Hal tersebut tampak pada bait berikut.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
Basis. Thn. XV – 4 Januari 1965.  Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air.

            Cuplikan puisi di atas terdapat diksi seekor burung mungil, burung tersebut adalah burung garuda yang merupakan lambang dari negara Indonesia. Burung tersebut sering dinyanyikan oleh anak-anak Indonesia yaitu dalam lagu Garuda Pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot Proklamasi/Sedia berkorban untukmu/Pancasila dasar negara/Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/Ayo maju maju/Ayo maju maju/Ayo maju maju. Lagu tersebut sering kita dengar pada masa dahulu. Akan tetapi, tampaknya lagu tersebut semakin lama semakin jarang terdengar. Anak-anak Indonesia lebih menggandrungi lagu barat, pop daripada lagu kebangsaan. Realita kehidupan seperti ini patut dijadikan sebagai renungan terutama bagi rakyat Indonesia.

selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
Basis. Thn. XV – 4 Januari 1965.  Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air.

 
           Cuplikan puisi di atas telah tampak bahwa diksi yang digunakan memang sederhana tetapi memiliki makna yang mendalam. Dari cuplikan tersebut memiliki makna bahwa aku (lirik) bisa menemukan semangat dalam wajah-wajah orang Indonesia. Semangat tersebut juga menyimpan rasa cinta yang mendalam pada tanah air tercinta. Selanjutnya, berikut ini lanjutan dari cuplikan puisi tersebut.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu..
Basis. Thn. XV – 4 Januari 1965.  Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air.
            Puisi ‘Selamat Pagi Indonesia’ memang terlihat menggunakan diksi yang sederhana. Kesederhanaan diksi yang ada sama sekali tidak melemahkan makna dalam puisi tersebut. Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai penyair yang mampu mengolah  kata-kata sederhana menjadi sebuah lirik puisi yang istimewa, indah, dan sarat makna. Soni Farid Maulana (2004) mengungkapkan bahwa puisi Sapardi lebih kepada pengucapan yang subjektif, ringkas karena mempertahankan keutuhan emosi. Dalam puisinya, Sapardi telah menyatukan diri dengan lirik. Ia telah membebaskan diri dari desakan pengaruh sajak-sajak perjuangan masa lalu.

Pesan dalam ‘Selamat Pagi Indonesia’
Amanat adalah nilai-nilai dari karya sastra yang dapat diambil sebagai pelajaran, sehingga bisa dijadikan acuan hidup untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam puisi ‘Selamat Pagi Indonesia’, banyak pesan yang bisa diambil. Puisi tersebut menggambarkan kehidupan yang sederhana dengan pekerjaan yang sederhana pula. Aku (lirik) sendiri juga selalu bangun pagi dan segera bersiap untuk mengabdi kepada pertiwi dalam kerjanya yang sederhana. Meskipun begitu, aku (lirik) tetap setia untuk tanah air Indonesia. Di dalam puisi tersebut, aku (lirik) melihat semangat Indonesia pada wajah anak-anak sekolah, ibu-ibu yang penyabar, dan para pembantu pekerja jalanan. Mereka semua telah akrab dengan kerasnya hidup dan diam-diam tetap mencintai negerinya.
Kerasnya hidup yang  mereka jalani tak memudarkan rasa cintanya dan tak menyurutkan semangatnya untuk tetap mengisi kemerdekaan Indonesia. Hal ini patut dijadikan perenungan bahwa seseorang harus selalu mencintai tanah airnya tercinta dan selalu bangga dengan Indonesia.

“Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri”.



Sumber:
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Ciri Khas Sajak Sapardi Djoko Damono - ANNEAHIRA.COM.htm (diakses tanggal 27 Maret 2013).
Riwayat hidup Sapardi Djoko Damono _ Algojoluka's Blog.htm (diakses tanggal 27 Maret 2013).

No comments:

Post a Comment