POTRET PENDIDIKAN DI TENGAH KEMISKINAN
DALAM “LASKAR PELANGI”
OLEH:
Miftakhul Jannah – 100211406110
Pendidikan
telah menjadi hal yang penting untuk mencerdaskan generasi bangsa. Pendidikan
tersebut bisa diperoleh di pendidikan formal maupun informal. Ironisnya, kualitas
pendidikan di Indonesia belum begitu memuaskan. Beberapa hal seperti kurikulum
masih sering mengalami perubahan, tentunya menuju perubahan yang lebih baik.
Kendati demikian, pendidikan di Indonesia masih saja menemukan kekurangan.
Kekurangan tersebut terlihat dari biaya pendidikan yang sulit dijangkau oleh
masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini membuat generasi muda yang
seharusnya memperoleh pendidikan yang baik tetapi justru terlantar.
Berbicara
soal pendidikan, maka perlu dipahami terlebih dahulu arti pendidikan. Dalam
KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Di dalam pendidikan tentunya
terdapat nilai, baik nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan agama, maupun
nilai pendidikan moral. Tulisan ini akan membahas potret pendidikan di tengah
kemiskinan dalam “Laskar Pelangi” yang di dalamnya tentu terdapat beberapa
nilai pendidikan yang bisa dijadikan sebagai perenungan dan teladan.
Perlu diketahui terlebih
dahulu bahwa nilai adalah sesuatu berharga yang terkandung dalam sesuatu hal
yang bisa digunakan sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kupperman dalam
Mulyana (2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi
manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif. Ia
memberi penekanan pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku manusia. Oleh karena itu, salah satu bagian terpenting dalam proses
pertimbangan nilai adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di
masyarakat.
‘Laskar Pelangi’ merupakan sebuah novel yang
banyak memuat nilai pendidikan. Nilai pendidikan tersebut mampu memotret
pendidikan di tengah kemiskinan rakyat Belitong. Belitong adalah daerah yang
kaya tetapi kekayaannya telah dirampas oleh tangan-tangan tak bertanggung
jawab. Hal ini membuat kehidupan rakyatnya harus bergelut dalam kemiskinan.
Sehingga pendidikan di daerah ini menjadi terbengkelai dan berbenturan dengan
masalah ekonomi. Masyarakat Belitong enggan menyekolahkan anak-anak mereka. Hal
ini karena mereka memang tidak memiliki biaya dan lebih suka anaknya bekerja
guna membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Lalu, apakah pantas anak di bawah
umur dipaksa untuk bekerja? Jawabannya tentu tidak.
Melihat
situasi dan kondisi seperti itu, datanglah sosok guru teladan yaitu Pak Harfan
dan Bu Muslimah. Mereka berdua berjuang untuk mempertahankan pendidikan yang
ada di Belitong. Dengan sepenuh hati tanpa pamrih, mereka menyumbangkan ilmu
kepada murid-muridnya.
Murid-murid tersebut adalah sepuluh anak yang
oleh gurunya diberi julukan Laskar Pelangi. Mereka sama-sama berasal dari keluarga
miskin, tetapi mereka berasal dari kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Ada
anak buruh pabrik, ada anak nelayan, ada anak Tionghoa kebun, ada yang sangat
pandai di bidang ilmu matematika, ada yang sangat pandai di bidang ilmu seni,
ada yang hanya bisa tersenyum sepanjang hari. Semuanya menjadi satu kelompok
dalam Laskar Pelangi. Mereka saling mendukung, saling menguatkan demi
pengembangan diri. Tidak ada yang merasa lebih baik atau berusaha untuk menjadi
berkuasa. Berikut kutipan ceritanya.
“Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan
ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar
siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu Belitong dari
sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu” (halaman 3—4).
“Agaknya selama keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat
dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau
menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak
akan menjadi seperti dirinya” (halaman 11).
“Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia
berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca
pikirang ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu sebutkan namamu! Paling tidak
sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian! Bapak
Tionghoa berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata
ekonomi terendah dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong” (halaman
26).
Anggota Laskar Pelangi memang berasal dari keluarga miskin. Akan tetapi, di
tengah kemiskinan tersebut mereka memiliki daya juang yang tinggi dan memiliki
loyalitas yang baik dalam hal pendidikan. Daya juang tersebut tidak dapat
dilepaskan dari sosok Lintang. Sosok pribadi seperti Lintang itulah yang
menggambarkan sosok pribadi yang penuh dengan daya juang tinggi, penuh
semangat, dan pantang menyerah untuk mewujudkan cita-citanya. Jarak tempuh
puluhan kilometer ia lalui tiap hari dengan setia dan tanpa mengeluh
sedikitpun. Tak sekalipun ia membolos. Sepeda Onthel warisan keluarga adalah
alat transportasi darat sekaligus sungai, karena jalanan kerap berubah menjadi
sungai jika hujan telah turun. Tak jarang jalanan menjadi tempat berjemur bagi
buaya. Tantangan itu tidak menyurutkan langkah Lintang untuk berangkat ke
sekolah. Sepeda onthel yang telah tua, rantai yang terkadang putus dan tidak
bisa disambung lagi, ban bocor, itu semua belum cukup untuk mencegah langkah
Lintang berangkat ke sekolah. Rumah Lintang paling jauh dari pada 9 temannya
yang lain. Meski demikian dialah siswa yang paling rajin di sekolah itu.
Semakin besar tantangan yang ada, semakin
besar pula semangat Lintang untuk belajar. Siapa tahu ini adalah saat terakhir
untuk belajar. Mungkin itulah yang dipikirkan oleh Lintang. Jangan pernah
menunda untuk belajar, karena bisa jadi kita tak sempat lagi mengetahuinya.
Berikut ini nukilan ceritanya.
“Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai,
menggenangi daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh dan halilintar
membabat pohon kelapa hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim
panas yang begitu terik hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang
membuat hasil laut nihil hingga berbulan-bulan semua orang tak mempunyai uang
sepeserpun, pada musim buaya berkembang biak sehingga mereka menjadi semakin
ganas, pada musim angin barat puting beliung, pada musim demam, pada musim
sampar—sehari pun Lintang tak pernah bolos” (halaman 94).
Nukilan tersebut menggambarkan bahwa Lintang adalah pribadi yang gigih
dalam mencari ilmu. Segala upaya ia tempuh untuk bisa sampai di sekolahnya
tercinta, SD-SMP Muhammadiyah.
Belajar dari SD-SMP Muhamamdiyah, tempat Lintang,
Ikal dan kawan-kawannya belajar, di sana setiap anak dikembangkan sesuai dengan
bakatnya. Memang ini adalah bagian tersulit dalam pendidikan, yaitu membantu
menemukan identitas diri peserta didik. Misalnya Lintang. Ia langsung dikenal
sebagai anak yang super jenius karena mampu menjawab seluruh pertanyaan matematis
dengan cepat tanpa menggunakan alat bantu. Namun, bakat-bakat yang lain akan
sulit ditemukan. Misalnya saja, ada anak yang memiliki bakat luar biasa dalam
musik, tetapi jika ia tidak pernah menyentuh alat musik, ia tidak akan pernah
diketahui sebagai pemusik handal. Berikut ini cuplikan ceritanya.
“Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena nalarnya
demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi ruang berbagai
dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai dekomposisi tetrahedral yang rumit
luar biasa, aksioma arah, dan teorema phytagorean. Semua materi ini melampaui
tingkat usia dan pendidikannya” (halaman 101—102).
“Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara
acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang
sedang bertindak selaku pemadu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai
menggelinding dalam velositas yang bereskalasi” (halaman 138).
Pendidikan
harus membantu setiap pribadi untuk mengembangkan dirinya. Lintang dan Mahar
dalam novel ini adalah gambaran yang sempurna untuk mendefinisikan kecerdasan.
Keduanya sama-sama cerdas dalam bidangnya masing-masing. Lintang tidak mungkin
diubah atau sekedar diarahkan untuk menjadi seperti Mahar, Demikian pula
sebaliknya. Keduanya bisa disatukan dan akan menghasilkan karya yang luar
biasa. Maka tugas guru bukanlah sekedar tukang transfer ilmu. Ia mesti juga
menjadi seorang pemandu bakat, yang membantu seseorang menemukan jati dirinya.
Apabila dilihat dari sampulnya,
novel “Laskar Pelangi” ini memiliki arti bahwa warna hitam pada sampul
menggambarkan kesedihan melihat kehidupan rakyat Belitong yang serba kekurangan
di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Rakyat Belitong ibarat budak yang
bekerja di tempat kelahirannya sendiri dan orang Gedong ibarat majikan yang
tidak peduli dengan kesejahteraan pekerjanya. Sedangkan warna pelangi pada
sampul tersebut menggambarkan keberagaman suku/ras, bakat/minat yang dimiliki
oleh tokoh-tokoh dalam novel “Laskar Pelangi”. Warna-warni pelangi tersebut
menggambarkan bahwa keberagaman itu indah layaknya pelangi yang beragam warna dan
tetap indah dipandang mata. Dengan keberagaman kita bisa saling melengkapi satu
sama lain tanpa adanya rasa paling pintar atau paling berkuasa. Sementara itu,
gambar orang yang terdapat dalam sampul tersebut mengambarkan anggota Laskar
Pelangi itu sendiri, yakni Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan,
Kucai, Borek, Trapani, dan Harun.
Isi dalam cerpen ini patut dijadikan
sebagai renungan agar kita senantiasa tidak mudah berputus asa dalam meraih
suatu impian. Karena dimana ada kemauan pasti akan ada jalan untuk mewujudkan
mimpi itu. Sesulit apapun jalan yang akan dilalui harus senantiasa berusaha dan
berdoa.
Demikianlah
potret pendidikan di tengah kemiskinan dalam “Laskar Pelangi”. Pendidikan yang
ada terlihat sangat sulit dikembangkan dan memerlukan kerja keras untuk bisa
mengembangkannya di tengah-tengah kemelut kemiskinan yang senantiasa menjadi
bayang-bayang suram.
Sumber
Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan
Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo.
2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sinopsis
LASKAR PELANGI
Cerita
dalam novel “Laskar Pelangi” diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh
penulisnya sendiri, yakni Andrea Hirata. Novel ini menceritakan kisah masa
kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin di
kampung Belitong. Anak orang-orang ‘kecil’ yang mencoba memperbaiki masa depan
mereka melalui pendidikan yang ala kadarnya.
Perjalanan
pendidikan tokoh-tokoh yang ada dalam novel “Laskar Pelangi” dimulai dari SD
Muhammadiyah. SD Muhammadiyah tampak begitu rapuh dan menyedihkan dibandingkan
dengan sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka tersudut dalam ironi
yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah
ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah kelahiran mereka.
Kesulitan
terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa
ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua,
Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga
sangat miskin. Mereka berdua berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan
dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah
Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak
idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor.
Sekolah
yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu
miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap
bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak,
bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu
menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan 15 kilo beras per bulan, sehingga
para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala
sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati
demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak
seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama
kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP
(Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak
kecil miskin itu.
Dari
waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak
tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan
pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari
kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani
dalam menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru
yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka
mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga
mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua
guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai Laskar Pelangi.
Keajaiban
terjadi ketika sekolah Muhammadiyah mengikuti festival karnaval yang diketuai
oleh laskar pelangi dan mereka mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN
Timah. Beberapa waktu kemudian, keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang
anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai
lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah PN Timah dan sekolah-sekolah negeri
lainnya. Prestasi tersebut merupakan suatu prestasi yang puluhan tahun selalu
diboyong sekolah PN Timah.
Setelah
beberapa keajaiban hadir di SD Muhammadiyah, kejadian yang paling menyedihkan
melanda sekolah Muhamaddiyah, yakni ketika Lintang, siswa paling
jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal hanya
butuh waktu satu triwulan untuk menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia
anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga, sebab ketika itu ayahnya
meninggal dunia.
Belitong
kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar
sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga. Sementara itu, disekelilingnya
PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
Akhirnya
pada awal tahun 90-an sekolah Muhammadiyah ditutup karena sama sekali sudah
tidak bisa membiayai diri sendiri. Akan
tetapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang
diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar
pelangi.
No comments:
Post a Comment