Translate

Tuesday, May 7, 2013

ESAI KRITIK PROSA Miftakhul Jannah

POTRET PENDIDIKAN DI TENGAH KEMISKINAN
DALAM “LASKAR PELANGI”
OLEH:
Miftakhul Jannah – 100211406110

            Pendidikan telah menjadi hal yang penting untuk mencerdaskan generasi bangsa. Pendidikan tersebut bisa diperoleh di pendidikan formal maupun informal. Ironisnya, kualitas pendidikan di Indonesia belum begitu memuaskan. Beberapa hal seperti kurikulum masih sering mengalami perubahan, tentunya menuju perubahan yang lebih baik. Kendati demikian, pendidikan di Indonesia masih saja menemukan kekurangan. Kekurangan tersebut terlihat dari biaya pendidikan yang sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini membuat generasi muda yang seharusnya memperoleh pendidikan yang baik tetapi justru terlantar.  

            Berbicara soal pendidikan, maka perlu dipahami terlebih dahulu arti pendidikan. Dalam KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Di dalam pendidikan tentunya terdapat nilai, baik nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan agama, maupun nilai pendidikan moral. Tulisan ini akan membahas potret pendidikan di tengah kemiskinan dalam “Laskar Pelangi” yang di dalamnya tentu terdapat beberapa nilai pendidikan yang bisa dijadikan sebagai perenungan dan teladan.
            Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa nilai adalah sesuatu berharga yang terkandung dalam sesuatu hal yang bisa digunakan sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kupperman dalam Mulyana (2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Oleh karena itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.
 ‘Laskar Pelangi’ merupakan sebuah novel yang banyak memuat nilai pendidikan. Nilai pendidikan tersebut mampu memotret pendidikan di tengah kemiskinan rakyat Belitong. Belitong adalah daerah yang kaya tetapi kekayaannya telah dirampas oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Hal ini membuat kehidupan rakyatnya harus bergelut dalam kemiskinan. Sehingga pendidikan di daerah ini menjadi terbengkelai dan berbenturan dengan masalah ekonomi. Masyarakat Belitong enggan menyekolahkan anak-anak mereka. Hal ini karena mereka memang tidak memiliki biaya dan lebih suka anaknya bekerja guna membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Lalu, apakah pantas anak di bawah umur dipaksa untuk bekerja? Jawabannya tentu tidak.
Melihat situasi dan kondisi seperti itu, datanglah sosok guru teladan yaitu Pak Harfan dan Bu Muslimah. Mereka berdua berjuang untuk mempertahankan pendidikan yang ada di Belitong. Dengan sepenuh hati tanpa pamrih, mereka menyumbangkan ilmu kepada murid-muridnya.
Murid-murid tersebut adalah sepuluh anak yang oleh gurunya diberi julukan Laskar Pelangi. Mereka sama-sama berasal dari keluarga miskin, tetapi mereka berasal dari kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Ada anak buruh pabrik, ada anak nelayan, ada anak Tionghoa kebun, ada yang sangat pandai di bidang ilmu matematika, ada yang sangat pandai di bidang ilmu seni, ada yang hanya bisa tersenyum sepanjang hari. Semuanya menjadi satu kelompok dalam Laskar Pelangi. Mereka saling mendukung, saling menguatkan demi pengembangan diri. Tidak ada yang merasa lebih baik atau berusaha untuk menjadi berkuasa. Berikut kutipan ceritanya.
“Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu” (halaman 3—4).
“Agaknya selama keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya” (halaman 11).
“Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikirang ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian! Bapak Tionghoa berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong” (halaman 26). 
Anggota Laskar Pelangi memang berasal dari keluarga miskin. Akan tetapi, di tengah kemiskinan tersebut mereka memiliki daya juang yang tinggi dan memiliki loyalitas yang baik dalam hal pendidikan. Daya juang tersebut tidak dapat dilepaskan dari sosok Lintang. Sosok pribadi seperti Lintang itulah yang menggambarkan sosok pribadi yang penuh dengan daya juang tinggi, penuh semangat, dan pantang menyerah untuk mewujudkan cita-citanya. Jarak tempuh puluhan kilometer ia lalui tiap hari dengan setia dan tanpa mengeluh sedikitpun. Tak sekalipun ia membolos. Sepeda Onthel warisan keluarga adalah alat transportasi darat sekaligus sungai, karena jalanan kerap berubah menjadi sungai jika hujan telah turun. Tak jarang jalanan menjadi tempat berjemur bagi buaya. Tantangan itu tidak menyurutkan langkah Lintang untuk berangkat ke sekolah. Sepeda onthel yang telah tua, rantai yang terkadang putus dan tidak bisa disambung lagi, ban bocor, itu semua belum cukup untuk mencegah langkah Lintang berangkat ke sekolah. Rumah Lintang paling jauh dari pada 9 temannya yang lain. Meski demikian dialah siswa yang paling rajin di sekolah itu.
Semakin besar tantangan yang ada, semakin besar pula semangat Lintang untuk belajar. Siapa tahu ini adalah saat terakhir untuk belajar. Mungkin itulah yang dipikirkan oleh Lintang. Jangan pernah menunda untuk belajar, karena bisa jadi kita tak sempat lagi mengetahuinya. Berikut ini nukilan ceritanya.
“Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil hingga berbulan-bulan semua orang tak mempunyai uang sepeserpun, pada musim buaya berkembang biak sehingga mereka menjadi semakin ganas, pada musim angin barat puting beliung, pada musim demam, pada musim sampar—sehari pun Lintang tak pernah bolos” (halaman 94).
Nukilan tersebut menggambarkan bahwa Lintang adalah pribadi yang gigih dalam mencari ilmu. Segala upaya ia tempuh untuk bisa sampai di sekolahnya tercinta, SD-SMP Muhammadiyah.
Belajar dari SD-SMP Muhamamdiyah, tempat Lintang, Ikal dan kawan-kawannya belajar, di sana setiap anak dikembangkan sesuai dengan bakatnya. Memang ini adalah bagian tersulit dalam pendidikan, yaitu membantu menemukan identitas diri peserta didik. Misalnya Lintang. Ia langsung dikenal sebagai anak yang super jenius karena mampu menjawab seluruh pertanyaan matematis dengan cepat tanpa menggunakan alat bantu. Namun, bakat-bakat yang lain akan sulit ditemukan. Misalnya saja, ada anak yang memiliki bakat luar biasa dalam musik, tetapi jika ia tidak pernah menyentuh alat musik, ia tidak akan pernah diketahui sebagai pemusik handal. Berikut ini cuplikan ceritanya.
“Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena nalarnya demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi ruang berbagai dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan teorema phytagorean. Semua materi ini melampaui tingkat usia dan pendidikannya” (halaman 101—102).
“Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang bertindak selaku pemadu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding dalam velositas yang bereskalasi” (halaman 138).
Pendidikan harus membantu setiap pribadi untuk mengembangkan dirinya. Lintang dan Mahar dalam novel ini adalah gambaran yang sempurna untuk mendefinisikan kecerdasan. Keduanya sama-sama cerdas dalam bidangnya masing-masing. Lintang tidak mungkin diubah atau sekedar diarahkan untuk menjadi seperti Mahar, Demikian pula sebaliknya. Keduanya bisa disatukan dan akan menghasilkan karya yang luar biasa. Maka tugas guru bukanlah sekedar tukang transfer ilmu. Ia mesti juga menjadi seorang pemandu bakat, yang membantu seseorang menemukan jati dirinya.
            Apabila dilihat dari sampulnya, novel “Laskar Pelangi” ini memiliki arti bahwa warna hitam pada sampul menggambarkan kesedihan melihat kehidupan rakyat Belitong yang serba kekurangan di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Rakyat Belitong ibarat budak yang bekerja di tempat kelahirannya sendiri dan orang Gedong ibarat majikan yang tidak peduli dengan kesejahteraan pekerjanya. Sedangkan warna pelangi pada sampul tersebut menggambarkan keberagaman suku/ras, bakat/minat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam novel “Laskar Pelangi”. Warna-warni pelangi tersebut menggambarkan bahwa keberagaman itu indah layaknya pelangi yang beragam warna dan tetap indah dipandang mata. Dengan keberagaman kita bisa saling melengkapi satu sama lain tanpa adanya rasa paling pintar atau paling berkuasa. Sementara itu, gambar orang yang terdapat dalam sampul tersebut mengambarkan anggota Laskar Pelangi itu sendiri, yakni Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan Harun.
            Isi dalam cerpen ini patut dijadikan sebagai renungan agar kita senantiasa tidak mudah berputus asa dalam meraih suatu impian. Karena dimana ada kemauan pasti akan ada jalan untuk mewujudkan mimpi itu. Sesulit apapun jalan yang akan dilalui harus senantiasa berusaha dan berdoa.
            Demikianlah potret pendidikan di tengah kemiskinan dalam “Laskar Pelangi”. Pendidikan yang ada terlihat sangat sulit dikembangkan dan memerlukan kerja keras untuk bisa mengembangkannya di tengah-tengah kemelut kemiskinan yang senantiasa menjadi bayang-bayang suram.

Sumber
Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sinopsis
LASKAR PELANGI
Cerita dalam novel “Laskar Pelangi” diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri, yakni Andrea Hirata. Novel ini menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin di kampung Belitong. Anak orang-orang ‘kecil’ yang mencoba memperbaiki masa depan mereka melalui pendidikan yang ala kadarnya.
Perjalanan pendidikan tokoh-tokoh yang ada dalam novel “Laskar Pelangi” dimulai dari SD Muhammadiyah. SD Muhammadiyah tampak begitu rapuh dan menyedihkan dibandingkan dengan sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah kelahiran mereka.
Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin. Mereka berdua berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor.
Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan 15 kilo beras per bulan, sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu.
Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani dalam menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai Laskar Pelangi.
Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhammadiyah mengikuti festival karnaval yang diketuai oleh laskar pelangi dan mereka mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN Timah. Beberapa waktu kemudian, keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah PN Timah dan sekolah-sekolah negeri lainnya. Prestasi tersebut merupakan suatu prestasi yang puluhan tahun selalu diboyong sekolah PN Timah.
Setelah beberapa keajaiban hadir di SD Muhammadiyah, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah, yakni ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal hanya butuh waktu satu triwulan untuk menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga, sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia.
Belitong kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga. Sementara itu, disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
Akhirnya pada awal tahun 90-an sekolah Muhammadiyah ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri. Akan  tetapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi.

 

No comments:

Post a Comment