MELIHAT
SISI PERJUANGAN DALAM PUISI “KRAWANG-BEKASI” DAN “AKU” KARYA CHAIRIL ANWAR
OLEH:
Dwi Hidayati Kusumaningtyas - 100211406094
PENDAHULUAN
Puisi
adalah karya sastra ungkapan perasaan penulis yang menggunakan kata-kata indah
yang penuh makna. Keindahan puisi dikarenakan pemilihan diksi, majas, rima, dan
irama yang tepat dalam puisi tersebut. Seorang pengarang mempunyai cara yang
berbeda sesuai dengan perasaannya dalam menulis puisi. Oleh karena itu, ada
pengarang yang mengemukakan perasaannya dengan kata-kata indah atau bermakna
sebenarnya dan ada juga yang terselubung.
Puisi
pasti memiliki unsur-unsur yang membangun puisi tersebut. Unsur-unsur itu
meliputi unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur intrinsik dalam puisi
meliputi rima, rasa, nada, diksi, gaya bahasa, kata-kata konkret, irama atau ritme,
citraan, tema, dan amanat.
Dalam
menilai sebuah karya sastra terutama puisi diperlukan beberapa aspek kajian,
seperti kajian sastra melalui
pendekatan ekspresif, pendekatan pragmatik, pendekatan, mimetik, dan objektif. Pendekatan
objektif yaitu kajian satra yang menitik beratkan kajiannya pada karya sastra
itu sendiri.
Dalam
kesempatan kali ini akan dipaparkan pembahasan lebih mendalam puisi-puisi karya
Chairil Anwar melalui pendekatan objektif khususnya terhadapa puisi yang
bertemakan perjuangan.
Chairil Anwar adalah seorang penyair
legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya
berjudul “Aku”). Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26
Julai 1922. Nama Chairil mulai terkenal dalam
dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942,
pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang
dia tulis merujuk pada kematian.
Chairil Anwar yang
dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul Aku) adalah
pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi
yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Chairil Anwar meninggal sebelum menginjak usia
27 tahun. karena penyakit TBC.
ANALISIS PUISI
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
Puisi “Karawang-Bekasi” memiliki tema perjuangan. Disini
Chairil Anwar lebih menekankan semangat melanjutkan perjuangan meskipun tidak
dalam bentuk perang ataupun harus mati, tetapi lebih kepada memajukan Negara
dan tetap mengenang jasa-jasa Pahlawan yang telah tiada seperti tergambar dalam
larik
Kaulah
lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan (bait 4 larik ke-3)
Teruskan,
teruskan jiwa kami. (bait 7
larik ke-2)
AKU
Kalau
sampai waktuku
’Ku mau
tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu
sedu sedan itu
Aku ini
binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku tetap
meradang menerjang
Luka dan
bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan aku
akan lebih tidak perduli
Aku mau
hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Sementara
itu dalam puisi ”Aku” Chairil Anwar masih menekankan sisi perjuangannya, namun
dalam puisi ini berbeda dengan puisi ”Krawang-Bekasi”. Jika pada
”Krawang-Bekasi” sisi perjuangan lebih ditekankan pada semangat melanjutkan
perjuangan dalam membangun Negara, dalam puisi ”Aku” sisi perjuangan ditekankan
pada perjuangan yang pribadi atau individu. Hal ini di tunjukkan dalam
pemilihan diksi puisi tersebut yang tergambar dalam larik Biar peluru menembus kulitku (bait 4 larik ke-1) dan Aku tetap meradang menerjang (bait 5
larik ke-2). Selain itu semangat perjuangan untuk mendapatkan apa yang
diinginkan dan mencapai tujuan hidup seorang individu yang dalam hal ini adalah
Chairil Anwar sendiri.
Selain tema, rima dalam puisi-puisi
karya Chairil Anwar yang dalam pembahasan kali ini hanya membandingkan dua puisi
yaitu ”Krawang=Bekasi” dan ”Aku” juga memiliki perbedaan. Dalam
”Krawang-Bekasi” Chairil Anwar memberikan rima yang cukup bervariasi seperti,
·
Rima aliterasi
[pengulangan bunyi konsonan] yang terdapat dalam larik
Kami mati muda
Atau
jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan
dan harapan
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
· Rima
akhir
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
· Rima awal
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Sementara
itu dalam puisi “Aku” Chairil Anwar memberikan rima yang jelas berbeda dengan
“Krawang-Bekasi”, hal ini terlihat dalam larik
· Rima
tak sempurna
AKU
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan
merayu
Tidak juga kau
· Rima Terbuka à yang berima
adalah suku akhir suku terbuka dengan vokal yang sama.
AKU
Luka dan bisa kubawa
berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Selain
rima, puisi-puisi Chairil Anwar juga memiliki gaya bahasa yang khas di tiap
puisi yang ditulisnya. Dalam ”Krawang-Bekasi” gaya bahasa yang muncul adalah
hiperbola, Terlihat dalam larik Belum
bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
dan pada larik Kami cuma tulang-tulang
berserakan. Sedangkan dalam
puisi ”Aku” gaya bahasa yang diberikan oleh Chairil Anwar juga hiperbola
seperti yang tergambar dalam larik
Aku ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan
aku akan lebih tidak perduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi
Hal ini jelas
hiperbola tersebut merupakan penonjolan pribadi Chairil Anwar, ia mencoba untuk
nyata berada di dalan dunianya.
Selanjutnya dalam kedua puisi
tersebut “Krawang-Bekasi” dan “Aku” Chairil Anwar juga memberikan pencitraan
yang semakin menambah keestetisan kedua peusi tersbut. Dalam puisi
“Krawang-Bekasi” terdapat pencitraan citraan pendengaran (auditory
imagery) yaitu citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan
atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang, dendang, dentum, dan sebagainya. Citraan pendengaran
berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indera pendengaran
(telinga).
tidak
bisa teriak "Merdeka" dan
angkat senjata lagi (bait 1 larik ke-2)
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar
deru kami, (bait 1 larik ke-3)
Kami
bicara padamu dalam hening di malam
sepi (bait 2 larik ke-1)
Kaulah
sekarang yang berkata (bait
4 larik ke-3)
Kami
tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
(bait 5 larik 4-5)
Kemudian citraan selanjutnya adalah citraan perasaan.
Citraan perasaan yaitu ungkapan hati penyair dalam mengambarkan perasaan yang
sedang dirasakan penyair yang dituangkan lewat puisi. Begitu juga dengan
Chairil Anwar dia mengungkapkan perasaannya melalui puisi “Krawang-Bekasi”
Jika
dada rasa hampa dan jam dinding yang
berdetak (bait 2 larik ke-2).
Sementara itu, dalam
puisi “Aku” Chairil Anwar memberikan pencitraan
gerak dan perasaan. Citraan gerak merupakan gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Dapat juga
gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak dalam puisi ini tergambar dalam
larik Luka dan bisa kubawa berlari (bait 5 larik ke-1). Sementara citraan perasaan tergambar dalam
larik Hingga hilang pedih peri (bait 5
larik ke-3).
Setelah tema, rima, gaya bahasa, dan
citraan, Chairil Anwar juga memberikan amanat baik secara tersirat maupun
tersurat dalam puisi “Krawang-Bekasi” dan “Aku. Dalam puisi “Aku” Chairil Anwar
memberikan pesan secara tersurat yang terdiri dari:
- Manusia
harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan
menghadang.
- Manusia
harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan
kelebihannya saja.
- Manusia
harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan
semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
Sementara dalam puisi “Krawang-Bekasi” pesan yang
disampaikan oleh Chairil Anwar juga secara tersurat yang terdiri dari:
§
Sebuah perjuangan untuk kebebasan mengatur negeri sendiri
hendaknya tetap kita pertahankan. Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita
tersebut adalah dengan angkat senjata yaitu dengan jalan “Perang” (pada massa
itu).
§
Perjuangan harus dilanjutkan meskipun banyak korban yang
berjatuhan, seperti dalam kutipan kalimat “Teruskan, teruskan jiwa kami”.
§ Hendaknya semangat dari para
pendahulu yang telah gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh
generasi yang akan datang, seperti dalam kutipan kalimat “
PENUTUP
Kiasan-kiasan
yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam
dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan
mencetusan langsung dari jiwa. Seperti dalam puisi “Krawang-Bekasi” dan “Aku”.
Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang
dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan
sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan puisinya.
No comments:
Post a Comment