Translate

Tuesday, May 7, 2013

ESAI KRITIK PUISI Dwi Hidayati Kusumaningtyas

MELIHAT SISI PERJUANGAN DALAM PUISI “KRAWANG-BEKASI” DAN “AKU” KARYA CHAIRIL ANWAR
OLEH:
Dwi Hidayati Kusumaningtyas - 100211406094

PENDAHULUAN
Puisi adalah karya sastra ungkapan perasaan penulis yang menggunakan kata-kata indah yang penuh makna. Keindahan puisi dikarenakan pemilihan diksi, majas, rima, dan irama yang tepat dalam puisi tersebut. Seorang pengarang mempunyai cara yang berbeda sesuai dengan perasaannya dalam menulis puisi. Oleh karena itu, ada pengarang yang mengemukakan perasaannya dengan kata-kata indah atau bermakna sebenarnya dan ada juga yang terselubung.
Puisi pasti memiliki unsur-unsur yang membangun puisi tersebut. Unsur-unsur itu meliputi unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur intrinsik dalam puisi meliputi rima, rasa, nada, diksi, gaya bahasa, kata-kata konkret, irama atau ritme, citraan, tema, dan amanat.
Dalam menilai sebuah karya sastra terutama puisi diperlukan beberapa aspek kajian, seperti kajian sastra melalui pendekatan ekspresif, pendekatan pragmatik, pendekatan, mimetik, dan objektif. Pendekatan objektif yaitu kajian satra yang menitik beratkan kajiannya pada karya sastra itu sendiri.
Dalam kesempatan kali ini akan dipaparkan pembahasan lebih mendalam puisi-puisi karya Chairil Anwar melalui pendekatan objektif khususnya terhadapa puisi yang bertemakan perjuangan.
Chairil Anwar adalah seorang penyair legendaris yang dikenal juga sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul “Aku”). Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.
Chairil Anwar yang dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat.  Chairil Anwar meninggal sebelum menginjak usia 27 tahun. karena penyakit TBC.

ANALISIS PUISI

KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957

Puisi “Karawang-Bekasi” memiliki tema perjuangan. Disini Chairil Anwar lebih menekankan semangat melanjutkan perjuangan meskipun tidak dalam bentuk perang ataupun harus mati, tetapi lebih kepada memajukan Negara dan tetap mengenang jasa-jasa Pahlawan yang telah tiada seperti tergambar dalam larik
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan (bait 4 larik ke-3)
Teruskan, teruskan jiwa kami. (bait 7 larik ke-2)
                        AKU

Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

Sementara itu dalam puisi ”Aku” Chairil Anwar masih menekankan sisi perjuangannya, namun dalam puisi ini berbeda dengan puisi ”Krawang-Bekasi”. Jika pada ”Krawang-Bekasi” sisi perjuangan lebih ditekankan pada semangat melanjutkan perjuangan dalam membangun Negara, dalam puisi ”Aku” sisi perjuangan ditekankan pada perjuangan yang pribadi atau individu. Hal ini di tunjukkan dalam pemilihan diksi puisi tersebut yang tergambar dalam larik Biar peluru menembus kulitku (bait 4 larik ke-1) dan Aku tetap meradang menerjang (bait 5 larik ke-2). Selain itu semangat perjuangan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan mencapai tujuan hidup seorang individu yang dalam hal ini adalah Chairil Anwar sendiri.
            Selain tema, rima dalam puisi-puisi karya Chairil Anwar yang dalam pembahasan kali ini hanya membandingkan dua puisi yaitu ”Krawang=Bekasi” dan ”Aku” juga memiliki perbedaan. Dalam ”Krawang-Bekasi” Chairil Anwar memberikan rima yang cukup bervariasi seperti,
·      Rima aliterasi [pengulangan bunyi konsonan] yang terdapat dalam larik
Kami mati muda
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

·      Rima akhir
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
·      Rima awal
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Sementara itu dalam puisi “Aku” Chairil Anwar memberikan rima yang jelas berbeda dengan “Krawang-Bekasi”, hal ini terlihat dalam larik
·      Rima tak sempurna
AKU
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
·      Rima Terbuka à yang berima adalah suku akhir suku terbuka dengan vokal yang sama.
AKU
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
            Selain rima, puisi-puisi Chairil Anwar juga memiliki gaya bahasa yang khas di tiap puisi yang ditulisnya. Dalam ”Krawang-Bekasi” gaya bahasa yang muncul adalah hiperbola, Terlihat dalam larik Belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa dan pada larik Kami cuma tulang-tulang berserakan. Sedangkan dalam puisi ”Aku” gaya bahasa yang diberikan oleh Chairil Anwar juga hiperbola seperti yang tergambar dalam larik
            Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
           
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Hal ini  jelas hiperbola tersebut merupakan penonjolan pribadi Chairil Anwar, ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.

Selanjutnya dalam kedua puisi tersebut “Krawang-Bekasi” dan “Aku” Chairil Anwar juga memberikan pencitraan yang semakin menambah keestetisan kedua peusi tersbut. Dalam puisi “Krawang-Bekasi” terdapat pencitraan citraan pendengaran (auditory imagery) yaitu citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara, misalnya dengan munculnya diksi sunyi, tembang, dendang, dentum, dan sebagainya. Citraan pendengaran berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga).
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi (bait 1 larik ke-2)
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, (bait 1 larik ke-3)
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi (bait 2 larik ke-1)
Kaulah sekarang yang berkata (bait 4 larik ke-3)
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata (bait 5 larik 4-5)
           
            Kemudian citraan selanjutnya adalah citraan perasaan. Citraan perasaan yaitu ungkapan hati penyair dalam mengambarkan perasaan yang sedang dirasakan penyair yang dituangkan lewat puisi. Begitu juga dengan Chairil Anwar dia mengungkapkan perasaannya melalui puisi “Krawang-Bekasi”
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak (bait 2 larik ke-2).
           
Sementara itu, dalam puisi “Aku” Chairil Anwar memberikan pencitraan  gerak dan perasaan. Citraan gerak merupakan gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Dapat juga gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak dalam puisi ini tergambar dalam larik Luka dan bisa kubawa berlari (bait 5 larik ke-1). Sementara citraan perasaan tergambar dalam larik Hingga hilang pedih peri (bait 5 larik ke-3).
Setelah tema, rima, gaya bahasa, dan citraan, Chairil Anwar juga memberikan amanat baik secara tersirat maupun tersurat dalam puisi “Krawang-Bekasi” dan “Aku. Dalam puisi “Aku” Chairil Anwar memberikan pesan secara tersurat yang terdiri dari:
  • Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang.
  • Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja.
  • Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
Sementara dalam puisi “Krawang-Bekasi” pesan yang disampaikan oleh Chairil Anwar juga secara tersurat yang terdiri dari:
§  Sebuah perjuangan untuk kebebasan mengatur negeri sendiri hendaknya tetap kita pertahankan. Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan angkat senjata yaitu dengan jalan “Perang” (pada massa itu). 
§  Perjuangan harus dilanjutkan meskipun banyak korban yang berjatuhan, seperti dalam kutipan kalimat “Teruskan, teruskan jiwa kami”. 
§  Hendaknya semangat dari para pendahulu yang telah gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang, seperti dalam kutipan kalimat “

PENUTUP

Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chair Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Seperti dalam puisi “Krawang-Bekasi” dan “Aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan puisinya. 

No comments:

Post a Comment