Translate

Saturday, May 4, 2013

ESAI KRITIK PROSA Ramadhaniar Wulananda

EKSISTENSI SEKS PEREMPUAN DALAM LARUNG KARYA AYU UTAMI
OLEH:
Ramadhaniar Wulananda - 100211404907


Dalam novel Larung karya Ayu Utami tema seksualitas sangat menonjol. Tema yang sangat kuat ini sangat berhubungan dengan nilai-nilai moral dan agama. Keempat tokoh perempuannya adalah perempuan-perempuan yang tidak mengakui adanya lembaga pernikahan. Perilaku seksualitas yang diceritakan oleh Ayu Utami hampir sebagian besar ditentang oleh masyarakat Indonesia karena seharusnya perilaku seksualitas dikatakan dapat dilakukan apabila sudah menikah dan mempunyai surat-surat nikah yang sah, tetapi yang diceritakan dalam novel ini justru sebaliknya.

Dalam hal ini Ayu Utami terlalu berani bercerita tentang eksistensi seks perempuan, lewat diary tokoh Cok, tahun 1996:

”Cerita ini berawal dari selangkangan teman-temanku sendiri: Yasmin dan Saman, Laila dan Sihar” (hal.77).

Cerita tentang perselingkuhan Yasmin dan Saman serta kecintaan Laila pada Sihar membawa tokoh-tokohnya berpetualang ke negeri Paman Sam. Sebuah negeri yang bisa jadi dianggap sebagai media pelarian ketertekanan seksual sang tokoh pada kultur yang membesarkannya. Mungkin karena Amerikalah yang dianggap negeri yang mampu mewakili representasi eksistensi seksual perempuan.
Problema-problema seks perempuan, yang selama ini menjadi endapan dalam masyarakat Indonesia, pecah dalam tingkah laku tokoh-tokoh novel ini. Contohnya saja tokoh Yasmin yang sempurna, cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan, bermoral pancasila, setia pada suami kembali menemukan kebebasan seksualnya bersama Saman, bekas frater. Eksistensi seksualitas perempuan Indonesia yang selama ini terkungkung budaya patriarki dilibas habis oleh Ayu Utami. Hanya saja, seks yang digambarkan Ayu bukanlah teknik persetubuhan melainkan memaparkan problema yang bisa jadi dialami banyak wanita. Misalnya cerita tentang bagaimana Cok melepas keperawanannya. Bagaimana mitos kesucian keperawanan membuat Cok membiarkan sang lelaki bermasturbasi dengan payudaranya.
Ejekan atas keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh Laila meskipun sosok ini mampu melawan gender keperempuannya. Semasa sekolah dia paling banyak berlatih fisik. Naik gunung, berkemah, turun tebing, dan jenis olahraga kelompok lainnya yang kebanyakan anggotanya lelaki. Dia juga tidur bersisian dengan kawan lelaki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada masa itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia lelaki yang dinamis.

”…tidak semua anak perempuan bisa melakukan itu, menyangkal hal-hal yang lembek, dan ia merasa ada supremasi pada dirinya” (hal. 118).



Ternyata supremasi itu tidak dapat dibawa tokoh Laila sampai dewasa. Ia tak bisa masuk ke dalam dunia pria dewasa. Tapi keperawanan Laila yang terjaga seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia justru menjadi problema. Lelaki takut padanya dan keperawanan dinilai sebagai tanggung jawab. Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu melihat faktor lelaki pada diri Tala. Gabungan sosok Saman dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila muncul pada diri Tala. Hingga akhirnya, Laila melupakan Tala sebagai perempuan. Ketertarikan Laila ditanggapi Tala sehingga dalam Larung ini muncul sebuah relasi seksual di mana lelaki benar-benar diabaikan. Dalam hal ini Ayu masih mencoba membela kaumnya. Tala bukanlah seorang androgini yang maniak. Ia hanya ingin menyelamatkan Laila. Penggambaran tentang dunia lesbian, yang benar-benar belum bisa diterima kultur Indonesia.

No comments:

Post a Comment