Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Evi Dana Setia Ningrum

KEAGUNGAN DIBALIK KESEDERHANAAN SAJAK “AKU INGIN”
SAPARDI DJOKO DAMONO
Oleh
Evi Dana Setia Ningrum - 100211404899


                          Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Aku ingin mecintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
                                     Sapardi Djoko Damono, (1989)


Terkadang, kita bisa menyampaikan sesuatu dengan lebih jelas ketika kita menyampaikannya secara sederhana, mungkin itu yang bisa kita lihat dari puisi ini. Berbeda dibandingkan dengan puisi cinta umumnya yang penuh puji dan puja dan kalimat yang melangit, dalam puisi ini Sapardi justru menekankan pada kesederhanaan bersajak. Namun dalam kesederhanaannya kita bisa melihat kedalaman lukisan perasaan sang penulis.
Untuk memahami suatu karya sastra sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari asal terbitnya puisi ini. Bagaimana situasi yang dihadapi seorang penulis umumnya akan sangat membantu kita untuk memahami suatu karya sastra, terutama puisi. Puisi “Aku Ingin” ini adalah puisi yang ditulis ketika istri Sapardi sedang sakit. Hal ini menjadi kondisi yang melahirkan rasa dan jiwa dari puisi ini. Pengaruh perasaannya itulah yang menjadikan puisi ini lebih condong pada puisi romantisme dari pendekekatan ekspresif.
Sapardi ingin menyampaikan bahwa cinta itu sederhana. Cinta itu asalnya dari perasaan, dan yang namanya perasaan itu tidak bisa dimanipulasi. Dan kemurnian dari perasaan yang membuat cinta menjadi sangat sederhana.  Ada kontroversi dalam puisi ini yang sering menjadi teka-teki bagi para penikmat sastra, yaitu unsur peniadaan dalam melukiskan cintanya. Api yang meniadakan kayu dan hujan yang meniadakan awan. Kita memahami bahwa Sapardi hendak mengatakan bahwa cinta adalah ketulusan. Api membutuhkan kayu untuk bertahan, demikian juga hujan yang membutuhkan awan. Kayu dan awan mengorbankan dirinya demi api dan hujan tanpa perlu mengungkapkan betapa besar pengorbanan mereka. Cinta memang tak lepas dari pengorbanan dan ketika kita mencintai seseorang, kita akan rela berkorban demi orang yang kita cintai meskipun terkadang itu membuat kita menghadapi kesulitan karenanya. Dan inilah kesederhanaan cinta.
Dibalik setiap kata-kata yang terbentuk menjadi bait-bait puisi dalam puisi “Aku Ingin” ini Sapardi melambangkan keagungan cinta yang tersirat dalam kesederhanaan kata.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu

Pada baris pertama dari bait pertama ini saya terfokus pada nuansa kata “sederhana”. Kata ini mengategorikan keadaan (sifat) dari ungkapan sebelumnya, yaitu “mencintai”. Terlepas dari keterkaitanya dengan kata yang lain, kita akan mengandaikan kata tersebut dengan keseharian yang kita temui. “Sederhana” dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Cet. Ke-3: 1990) dikategorikan kata sifat yang memiliki arti: sedang, bersahaja, tidak banyak seluk-beluknya, dsb. Di sana dicontohkan: hidupnya selalu bersahaja. Dalam baris Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, mengahadirkan keinginan cinta dengan (sikap) yang sederhana. Cinta yang dihadirkan bukan cinta yang lain, pasif atau progresif, nafsu atau hal yang mengawang, dan ataupun wujud yang lain. “Mencinta” di sini hadir dengan wajah yang sederhana, sedang dan tak berseluk-beluk.
Namun sebelum berpikir lebih jauh dengan kata “sederhana”, kembali dihadirkan dengan nuansa lain dari makna “sederhana”. Baris ke-2 dan ke-3 adalah semacam penjelasan akan kata “sederhana”, bagaimana ia menjadi sifat mencinta dalam puisi ini. Ada sebuah ketertundaan pada maksud “…kata yang tak sempat diucapkan…”, namun tetap dirasa sebagai sesuatu yang utuh. “kata” menjadi mendium dari sebuah ungkapan terimakasih, rasa kagum, ingin dari “kayu” yang sampai pada tahap tertentu lantaran “api”, yaitu “abu”. “kata” jika diucapkan akan menjadi ukuran, sejauh mana rasa terimaksih kayu akan tergambar. Bisa jadi uangkapan dari “kata” menjadi hal yang biasa, muluk-muluk ataupun tak sesuai dengan maksud perasaan dan menjadi hal yang tidak sederhana lagi. Ketika “kata” tak sempat di utarakan, maka ia akan menjadi hal yang tertangguh dalam benak, terbawa dalam sikap sehari-hari. Pada akhirnya sikap itulah yang benar-benar hidup dan menjadi ungkapan sebenarnya yang lebih utuh, tulus dan sederhana.

Yang Meniadakan
Aku ingin mecintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Kita akan bertanya-tanya kenapa dalam sajak ini cinta itu selalu diungkapan metaforis, “kenapa ungkapanya menggunakan sesuatu yang saling meniadakan (api meniadakan kayu, hujan meniadakan awan) Bukankah ini tentang cinta yang sebenarnya adalah keutuhan tentang keutuhan”. Namun setelah menyimak lebih lekat kata “sederhana”. Karena baris-baris selanjutnya bermuara pada kata itu. Di lain hal, penggunaan metafor tersebut tidak mengandaikan maksud saling meniadakan tetapi sebuah proses keberlanjuntan. Jadi keberlanjutan itu seolah kebutuhan yang mesti ada untuk sampai pada wujud selanjutnya. Kayu tidak akan menjadi abu tanpa api membakarnya begitupula awan tidak akan lenyap bila hujan tak mengurainya.

Proses peniadaan seolah tak terhentikan, bahkan barang sedetik pun. Oleh karena itu, “penyampain” pada cerita dalam puisi itu seolah terhalang oleh berlangsungnya proses. Namun justru dengan metaforis yang seperti ini ungkapan tersebut menghadirkan macam-macam penafsiran tentang mencinta.

No comments:

Post a Comment