KEAGUNGAN DIBALIK
KESEDERHANAAN SAJAK “AKU INGIN”
SAPARDI DJOKO
DAMONO
Oleh
Evi Dana Setia
Ningrum - 100211404899
Aku Ingin
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan
kata yang tak sempat diucapkan
Kayu
kepada api yang menjadikanya abu
Aku
ingin mecintaimu dengan sederhana
Dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono, (1989)
Terkadang,
kita bisa menyampaikan sesuatu dengan lebih jelas ketika kita menyampaikannya
secara sederhana, mungkin itu yang bisa kita lihat dari puisi ini. Berbeda
dibandingkan dengan puisi cinta umumnya yang penuh puji dan puja dan kalimat
yang melangit, dalam puisi ini Sapardi justru menekankan pada kesederhanaan
bersajak. Namun dalam kesederhanaannya kita bisa melihat kedalaman lukisan
perasaan sang penulis.
Untuk
memahami suatu karya sastra sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari asal
terbitnya puisi ini. Bagaimana situasi yang dihadapi seorang penulis umumnya
akan sangat membantu kita untuk memahami suatu karya sastra, terutama puisi. Puisi
“Aku Ingin” ini adalah puisi yang ditulis ketika istri Sapardi sedang sakit. Hal
ini menjadi kondisi yang melahirkan rasa dan jiwa dari puisi ini. Pengaruh
perasaannya itulah yang menjadikan puisi ini lebih condong pada puisi
romantisme dari pendekekatan ekspresif.
Sapardi
ingin menyampaikan bahwa cinta itu sederhana. Cinta itu asalnya dari perasaan,
dan yang namanya perasaan itu tidak bisa dimanipulasi. Dan kemurnian dari
perasaan yang membuat cinta menjadi sangat sederhana. Ada kontroversi dalam puisi ini yang sering
menjadi teka-teki bagi para penikmat sastra, yaitu unsur peniadaan dalam
melukiskan cintanya. Api yang meniadakan kayu dan hujan yang meniadakan awan. Kita
memahami bahwa Sapardi hendak mengatakan bahwa cinta adalah ketulusan. Api
membutuhkan kayu untuk bertahan, demikian juga hujan yang membutuhkan awan.
Kayu dan awan mengorbankan dirinya demi api dan hujan tanpa perlu mengungkapkan
betapa besar pengorbanan mereka. Cinta memang tak lepas dari pengorbanan dan
ketika kita mencintai seseorang, kita akan rela berkorban demi orang yang kita
cintai meskipun terkadang itu membuat kita menghadapi kesulitan karenanya. Dan
inilah kesederhanaan cinta.
Dibalik
setiap kata-kata yang terbentuk menjadi bait-bait puisi dalam puisi “Aku Ingin”
ini Sapardi melambangkan keagungan cinta yang tersirat dalam kesederhanaan
kata.
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Pada
baris pertama dari bait pertama ini saya terfokus pada nuansa kata “sederhana”.
Kata ini mengategorikan keadaan (sifat) dari ungkapan sebelumnya, yaitu
“mencintai”. Terlepas dari keterkaitanya dengan kata yang lain, kita akan
mengandaikan kata tersebut dengan keseharian yang kita temui. “Sederhana” dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Cet. Ke-3: 1990) dikategorikan
kata sifat yang memiliki arti: sedang, bersahaja, tidak banyak seluk-beluknya,
dsb. Di sana dicontohkan: hidupnya selalu bersahaja. Dalam baris Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
mengahadirkan keinginan cinta dengan (sikap) yang sederhana. Cinta yang
dihadirkan bukan cinta yang lain, pasif atau progresif, nafsu atau hal yang
mengawang, dan ataupun wujud yang lain. “Mencinta” di sini hadir dengan wajah
yang sederhana, sedang dan tak berseluk-beluk.
Namun
sebelum berpikir lebih jauh dengan kata “sederhana”, kembali dihadirkan dengan
nuansa lain dari makna “sederhana”. Baris ke-2 dan ke-3 adalah semacam
penjelasan akan kata “sederhana”, bagaimana ia menjadi sifat mencinta dalam
puisi ini. Ada sebuah ketertundaan pada maksud “…kata yang tak sempat diucapkan…”, namun tetap dirasa sebagai
sesuatu yang utuh. “kata” menjadi mendium dari sebuah ungkapan terimakasih,
rasa kagum, ingin dari “kayu” yang sampai pada tahap tertentu lantaran “api”,
yaitu “abu”. “kata” jika diucapkan akan menjadi ukuran, sejauh mana rasa
terimaksih kayu akan tergambar. Bisa jadi uangkapan dari “kata” menjadi hal
yang biasa, muluk-muluk ataupun tak sesuai dengan maksud perasaan dan menjadi
hal yang tidak sederhana lagi. Ketika “kata” tak sempat di utarakan, maka ia
akan menjadi hal yang tertangguh dalam benak, terbawa dalam sikap sehari-hari.
Pada akhirnya sikap itulah yang benar-benar hidup dan menjadi ungkapan
sebenarnya yang lebih utuh, tulus dan sederhana.
Yang Meniadakan
Aku ingin
mecintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Kita akan
bertanya-tanya kenapa dalam sajak ini cinta itu selalu diungkapan metaforis, “kenapa
ungkapanya menggunakan sesuatu yang saling meniadakan (api meniadakan kayu,
hujan meniadakan awan) Bukankah ini tentang cinta yang sebenarnya adalah
keutuhan tentang keutuhan”. Namun setelah menyimak lebih lekat kata
“sederhana”. Karena baris-baris selanjutnya bermuara pada kata itu. Di lain
hal, penggunaan metafor tersebut tidak mengandaikan maksud saling meniadakan
tetapi sebuah proses keberlanjuntan. Jadi keberlanjutan itu seolah kebutuhan
yang mesti ada untuk sampai pada wujud selanjutnya. Kayu tidak akan menjadi abu
tanpa api membakarnya begitupula awan tidak akan lenyap bila hujan tak
mengurainya.
Proses
peniadaan seolah tak terhentikan, bahkan barang sedetik pun. Oleh karena itu,
“penyampain” pada cerita dalam puisi itu seolah terhalang oleh berlangsungnya
proses. Namun justru dengan metaforis yang seperti ini ungkapan tersebut
menghadirkan macam-macam penafsiran tentang mencinta.
No comments:
Post a Comment