Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PROSA Aninda Lestia Anjani

KESEMPURNAAN TOKOH NOVEL AYAT-AYAT CINTA
Oleh:
Aninda Lestia Anjani - 100211406105



            Karya sastra sebagai sesuatu yang indah dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia selalu bisa mencerminkan masyarakat di mana karya tersebut dilahirkan. Dan memang begitulah karya sastra yang baik seharusnya, yaitu mampu menggambarkan keadaan masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk masyarakat penikmatnya, baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalam pengungkapan karya sastra

            Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami. Novel ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi dengan konflik-onflik yang disusun dengan apik oleh penulisnya. Novel ini mengisahkan tentang perjalanan cinta antara 2 anak manusia, Fahri sebagai pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta antara laki-laki dan wanita. Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan, seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan tentu saja pada cinta sejati, Allah SWT. Perjalanan cinta yang tidak biasa digambarkan dengan tidak biasa pula oleh Habiburrachman.
            Nilai dan budaya islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. Ya, katakana saja paragraf yang sarat dengan amanah. Tapi, dengan bentuk yang seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi membosankan untuk dibaca karena penulis tetap menggunakan kata-kata sederhana yang mudah dipahami dan tidak terkesan menggurui. Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan justru menyadarkan kita bahwa sedikit sekali yang baru kita ketahui tentang Islam.
            Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat kejadian, waktu ataupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan tiap lekuk bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan-akan mengajak pembaca untuk berwisata dan menikmati suasana Mesir di Timur Tengah sana lewat karya tulisannya. Seperti pada cuplikan berikut ini:
“…Nun jauh di sana cahaya lampu-lampu rumah dan gedung-gedung dekat sungai Nil tampak berkelip-kelip diterpa angin. Sayup-sayup kami mendengar bunyi irama musik rakyat mengalun di kejauhan sana…” (hal: 72)

“Sehari menjelang pulang ke Cairo kami jalan-jalan ke kawasan El-Manshiya yang merupakan pusat kotaAlexandria dan disebut juga Alexandria lama. Di El-Manshiya itulah, tepatnya, kota Alexandria kuno berada. Puing-puing peninggalan Romawi masih ada di sana. Misalnya dapat dilihat bekasnya di Graeco-Roman Museum dan Achaelogical and Roman Amphitheatre…”(hal:298)

            Bukan hal yang aneh kemudian ketika penulis mampu untuk menggambarkan latar yang bisa dikatakan sempurna itu karena ia memang beberapa tahun hidup di Mesir karena tuntutan belajar. Tetapi, tidak mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan latar, bahkan oleh orang Mesir sendiri, jika memang ia tidak memiliki sarana bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan.
            Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur maju, cerita berjalan tidak monoton karena banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. Konflik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novel-novel teenlit. Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca, atau bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan.
            Satu hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini adalah karakter tokoh, yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna dalam novel tersebut. Seperti yang tergambar pada cuplikan novel berikut:

“Maafkan aku Maria, maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Quran dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia istri atau mahramku. Ku harap kau mengerti dan tidak kecewa!” terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah. (hal:133)

“Jangan Maria tolong, ja…jangan sentuh!”
“Maaf, aku lupa. Keadaan haru sering membuat orang lupa.” (hal:176)

“Saif, kenapa kautinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menungguiku? Dia bukan mahramku.” (hal:177)

Selain itu, sikap tokoh ‘Fahri’ dalam novel ini juga sangatlah sabar dan tidak tersulut emosinya ketika dia benar-benar difitnah habis-habisan oleh seseorang.

…”Saat itu aku sebenarnya sangat marah pada penjahat itu. Tapi aku masih menghormatinya sebagai tamu di negeri ini dan aku mengira itu hanyalah isenga anak muda…”(hal:345)

Kebaikan budi pekerti dan cara berpikirnya juga tertuang dalam beberapa cuplikan novel berikut ini:

…Jika aku diharamkan belajar di Al-Azhar. Allah mungkin akan membuka jalan untuk belajar di tempat yang lain, termasuk belajar di dalam penjara. Bahkan bisa jadi penjara adalah universitas paling dasyat di dunia…” (hal: 353)

Berikut juga digambarkan sosok Fahri yang sangat sabar dan selalu mengingatkan teman-temannya untuk selalu mendekatkan diri pada Allah.

“Dekatkan diri pada Allah! Dekatkan diri pada Allah! Dan dekatkan diri pada Allah! Kita ini orang yang sudah tahu hokum Allah dalam menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. Kita ini orang yang mengerti ajaran agama…” (Hal:358)

            Maksud penulis di sini, mungkin ia ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan hatinya. Tapi menjadi janggal jika kemudian sosok yang digambarkan begitu sempurna hingga sulit atau bahkan tidak ditemukan kesalahan sedikitpun padanya.
            Hanya saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut sehingga tidak terlalu kentara. Ini diluar bahasa karya sastra lama yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbol).
            Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya adakah sosok yang memang bisa sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh diserahkan sepenuhnya pada diri penulis tapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang dimunculkan memang berkarakter baik maka paling tidak ada sisi lain yang dimunculkan tapi tentu saja dengan porsi yang lebih kecil atau bisa diminimalisasikan tapi jangan sampai karakter ini dihilangkan karena pada kenyataannya tidak ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah.


5 comments:

  1. Itu esai apa kritik ? Mohon alasannya

    ReplyDelete
  2. Esai karena menurut pandangan penulis( subjektif ) tdk berdasarkan teori-teori sastra yang mendukung/ memperkuat pendapat penulis

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete