KESEMPURNAAN TOKOH NOVEL AYAT-AYAT CINTA
Oleh:
Aninda Lestia Anjani - 100211406105
Karya
sastra sebagai sesuatu yang indah dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia
selalu bisa mencerminkan masyarakat di mana karya tersebut dilahirkan. Dan
memang begitulah karya sastra yang baik seharusnya, yaitu mampu menggambarkan
keadaan masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan
untuk masyarakat penikmatnya, baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif.
Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia,
manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya
sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalam
pengungkapan karya sastra
Begitu
pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang
berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena
tersendiri dalam perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran
islami. Novel ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi dengan
konflik-onflik yang disusun dengan apik oleh penulisnya. Novel ini mengisahkan
tentang perjalanan cinta antara 2 anak manusia, Fahri sebagai pelajar Indonesia
yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema
cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta antara laki-laki dan
wanita. Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan, seperti cinta pada
sahabat, kekasih hidup, dan tentu saja pada cinta sejati, Allah SWT. Perjalanan
cinta yang tidak biasa digambarkan dengan tidak biasa pula oleh Habiburrachman.
Nilai
dan budaya islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap bagiannya.
Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. Ya,
katakana saja paragraf yang sarat dengan amanah. Tapi, dengan bentuk yang
seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi membosankan untuk dibaca
karena penulis tetap menggunakan kata-kata sederhana yang mudah dipahami dan
tidak terkesan menggurui. Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan justru
menyadarkan kita bahwa sedikit sekali yang baru kita ketahui tentang Islam.
Hal
lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan
Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat
kejadian, waktu ataupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan
tiap lekuk bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah
dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan-akan mengajak pembaca
untuk berwisata dan menikmati suasana Mesir di Timur Tengah sana lewat karya
tulisannya. Seperti pada cuplikan berikut ini:
“…Nun
jauh di sana cahaya lampu-lampu rumah dan gedung-gedung dekat sungai Nil tampak
berkelip-kelip diterpa angin. Sayup-sayup kami mendengar bunyi irama musik
rakyat mengalun di kejauhan sana…” (hal:
72)
“Sehari
menjelang pulang ke Cairo kami jalan-jalan ke kawasan El-Manshiya yang
merupakan pusat kotaAlexandria dan disebut juga Alexandria lama. Di El-Manshiya
itulah, tepatnya, kota Alexandria kuno berada. Puing-puing peninggalan Romawi
masih ada di sana. Misalnya dapat dilihat bekasnya di Graeco-Roman Museum dan
Achaelogical and Roman Amphitheatre…”(hal:298)
Bukan
hal yang aneh kemudian ketika penulis mampu untuk menggambarkan latar yang bisa
dikatakan sempurna itu karena ia memang beberapa tahun hidup di Mesir karena
tuntutan belajar. Tetapi, tidak mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat
yang dijadikan latar, bahkan oleh orang Mesir sendiri, jika memang ia tidak
memiliki sarana bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia
sampaikan.
Alur
cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur
maju, cerita berjalan tidak monoton karena banyak peristiwa yang tidak terduga
menjadi kejutan. Konflik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi
novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novel-novel teenlit. Banyak kejutan, banyak
inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca, atau bahkan bisa
menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan.
Satu
hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini adalah karakter tokoh,
yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna dalam novel tersebut. Seperti yang
tergambar pada cuplikan novel berikut:
“Maafkan
aku Maria, maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Quran dan
Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia istri atau
mahramku. Ku harap kau mengerti dan tidak kecewa!” terangku tegas. Dalam
masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat setan
masuk ke dalam aliran darah.
(hal:133)
“Jangan
Maria tolong, ja…jangan sentuh!”
“Maaf,
aku lupa. Keadaan haru sering membuat orang lupa.” (hal:176)
“Saif,
kenapa kautinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menungguiku?
Dia bukan mahramku.”
(hal:177)
Selain itu, sikap tokoh ‘Fahri’
dalam novel ini juga sangatlah sabar dan tidak tersulut emosinya ketika dia
benar-benar difitnah habis-habisan oleh seseorang.
…”Saat
itu aku sebenarnya sangat marah pada penjahat itu. Tapi aku masih
menghormatinya sebagai tamu di negeri ini dan aku mengira itu hanyalah isenga
anak muda…”(hal:345)
Kebaikan budi pekerti dan cara
berpikirnya juga tertuang dalam beberapa cuplikan novel berikut ini:
…Jika
aku diharamkan belajar di Al-Azhar. Allah mungkin akan membuka jalan untuk
belajar di tempat yang lain, termasuk belajar di dalam penjara. Bahkan bisa
jadi penjara adalah universitas paling dasyat di dunia…” (hal: 353)
Berikut juga digambarkan sosok Fahri
yang sangat sabar dan selalu mengingatkan teman-temannya untuk selalu
mendekatkan diri pada Allah.
“Dekatkan
diri pada Allah! Dekatkan diri pada Allah! Dan dekatkan diri pada Allah! Kita
ini orang yang sudah tahu hokum Allah dalam menguji hamba-hamba-Nya yang
beriman. Kita ini orang yang mengerti ajaran agama…” (Hal:358)
Maksud
penulis di sini, mungkin ia ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar
mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan hatinya. Tapi menjadi
janggal jika kemudian sosok yang digambarkan begitu sempurna hingga sulit atau
bahkan tidak ditemukan kesalahan sedikitpun padanya.
Hanya
saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang langsung
menunjukkan kesempurnaan tersebut sehingga tidak terlalu kentara. Ini diluar
bahasa karya sastra lama yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbol).
Pembaca
yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya adakah sosok yang memang bisa
sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh diserahkan
sepenuhnya pada diri penulis tapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang
dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang
dimunculkan memang berkarakter baik maka paling tidak ada sisi lain yang
dimunculkan tapi tentu saja dengan porsi yang lebih kecil atau bisa
diminimalisasikan tapi jangan sampai karakter ini dihilangkan karena pada
kenyataannya tidak ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah.
ini essay atau kritik kak?
ReplyDeleteItu esai apa kritik ? Mohon alasannya
ReplyDeleteEsai karena menurut pandangan penulis( subjektif ) tdk berdasarkan teori-teori sastra yang mendukung/ memperkuat pendapat penulis
ReplyDeletehalo bu ida
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete