Translate

Saturday, May 11, 2013

ESAI KRITIK PUISI Aninda Lestia Anjani

KEINDAHAN PUISI-PUISI RINI
Oleh
Aninda Lestia Anjani

            Dalam antologi puisi “Phantasy Poetica” ini Rini Intama menyertakan 5 (lima) puisinya, masing-masing berjudul “Di Persimpangan yang Lindap”, “Sajak Hampa”, “Nyanyian Sang Ombak”, “Merajuk”, dan “Surat pada Mei”. Menilik dan menelisik judul-judulnya ini pembaca mulai disuguhkan permen aneka rasa. Rasa gamang seperti di persimpangan dapat terlacak lewat puisi

            “Di Persimpangan yang Lindap” rasa hampa tertuang pada puisi “Hampa” persoalan gelora riak dan ombak terasa menyergap dalam puisi “Nyanyian Ombak”, puisi “Merajuk” secara denotatif memberi pekabaran perihal merajuk; dan persoalan reformasi terdedah melalui judul “Surat Kepada Mei”.
            Apakah yang menarik dari puisi? Puisi selalu menawarkan daya tarik berupa tawaran dunia fantasi yang diolah berdasarkan diksi dan imajinasi. Setiap puisi sudah barang tentu terdapat diksi, yakni pilihan kata yang dilakukan oleh penyair. Penyair pastilah bekerja keras dalam memilih kata-kata yang secara tepat dapat mengabadikan pengalaman dan perasaannya ke dalam teks puisi. Penyair selalu cermat dalam memilih kata. Seleksi yang ketat ini biasanya lalu terkait dengan dunia fantasi yang secara nyata hadir dari pilihan dan penggarapan imajinasi. Penyair menyeleksi kata yang secara fantastis menumbuhkan ruang imajinasi bagi para pembaca puisinya. Melaui diksi dan imaji inilah penyair mengajak para pembacanya memasuki dunia fantasi lewat puisi-puisi yang digubahnya. Di sebuah persimpangan yang indah, Rini Intama berusaha mengabadikannya dengan diksi dan imaji berikut:

kutebas pedang karat di pucuk rindu senyap
kupinang darah pekat di dada nafasku megap
di langit kisah kisah mengendap
(“Di Persimpangan yang Lindap”)

Pada saat perasaan merasa hampa oleh berbagai sebab, misalnya saat ada pengalaman di rumah sakit jiwa, Rini Intama memilah dan memilih diksi yang memuat imaji yang berdampak fantasi seperti ini:


tak ingkar jika melihat nestapa dalam debar
cahaya memendar melepas di depan cermin kusam
dalam waktu sepanjang badan
(“Sajak Hampa: Senandung Lirih di Sebuah Rumah Sakit Jiwa”)

Pada jiwa dan rasa bergolak, rasa cinta, rindu, sendu, dan aneka rasa lainnya secara imajinatif terpapar melalui diksi ombak. Kita simak “Nyanyian Sang Ombak” secara utuh-menyeluruh agar kita bisa menikmati diksi, imaji, dan dunia fantasi yang diciptakan oleh Rini Intama:

NYANYIAN SANG OMBAK
Sajak Pantai Utara, Hutan Bakau, dan Aroma Cinta
Burung burung hanyut bercengkerama lepas dalam gairah yang sublim
di atas akar akar bakau yang menjalar
menyela kokoh di rawa berlumpur
memisah kejahan dari debur ombak yang menderu
mengalun nyanyian cinta

            Perasaan dan sikap “merajuk” dapat kita nikmati dalam puisi bertajuk “Merajuk” dan “Surat Pada Mei”. Seseorang dapat saja merajuk oleh berbagai sebab. Sikap merajuk ini tentu saja bukan semata merupakan kecengengan, sebab di dalamnya terdapat juga sebuah gambaran sikap. Bagaimana gambaran sikap “merajuk” seorang Rini Intama ketika menghadapi peristiwa Mei saat reformasi terjadi? Kita nikmati saja puisi satu bait berjudul “Surat Pada Mei”.

SURAT PADA MEI
ketika bertanya pada Mei, purnama menungguku
di tengah bulan yang terbebas, lantas menangis
bah …
kau palingkan wajah dan sudut mata mengerling tajam
kau tak mengerti! katamu pelan tak berintonasi
tak ingin aku mengedip memandang kemarahan yang merah
di sela waktu yang membusuk
karena terlalu lama teronggok
aku tak ingin bertanya lagi Mei!
kecuali ketika pucuk cemara tertawa geli
mengundang debu jalan yang tersapu angina

            puisi-puisi gubahan Rini Intama dalam buku “Phantasy Poetica”. Puisi memang selalu memberikan ruang fantasi, ruang kontemplasi, penuh dengan pilihan diksi yang kaya imajinasi. Sebagai pereview, saya tak mau dikelompokkan pada golongan yang nyinyir menelanjangi puisi, memberikan ruang tafsir yang njlimet dan bisa jadi membuat kepala mumet. Rini Intama yang terlahir di Garut 21 Februari yang tahun kelahirannya disembunyikannya. Memang, terkadang usia tidak menjamin kematangan karya, tetapi semangat muda untuk berkarya tentulah perlu diberi penghargaan. Rini Intama, tentu saja tak tergolong tua, tak pula masuk dalam barisan muda-remaja dalam berkarya.

No comments:

Post a Comment