Pesan untuk Generasi Muda dalam Puisi Membaca Tanda-tanda Karya Taufik
Ismail
Oleh
Doni Choiril Mahfud
Membaca
Tanda-tanda
(Taufik
Ismail)
Ada sesuatu
yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur
lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu
yang mulanya tidak begitu jelas
tapi kita
kini mulai merindukannya
Kita
saksikan udara abu-abu warnanya
Kita
saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung
kecil tak lagi berkicau pergi hari
Hutan
kehilangan ranting
Ranting
kehilangan daun
Daun
kehilangan dahan
Dahan
kehilangan hutan
Kita
saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru
Kita
saksikan
Gunung
membawa abu
Abu membawa
batu
Batu membawa
lindu
Lindu
membawa longsor
Longsor
membawa air
Air membawa
banjir
Banjir air
mata
Kita telah saksikan
seribu tanda-tanda
Bisakah kita
membaca tanda-tanda?
Allah
Kami telah
membaca gempa
Kami telah
disapu banjir
Kami telah
dihalau api dan hama
Kami telah
dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah
dosa-dosa kami
Beri kami
kearifan membaca tanda-tanda
Karena ada
sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan
meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada
sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini
kami mulai merindukannya
Puisi di
atas dibuat oleh Taufik Ismail, seorang sastrawan yang sudah lama menciptakan
berbagai karya sastra. Peran beliau sangat penting dalam mewarnai karya sastra
Indonesia, terutama dalam puisi. Patut sekiranya untuk ditinjau salah satu dari
puluhan karya beliau sebagai pembelajaran yang berguna bagi pecinta karya sastra.
Berikut akan ditelaah puisi beliau yang berjudul membaca tanda-tanda dari sudut pandang objektifitas karya satra.
Objektifitas
suatu karya bisa ditentukan oleh beberapa hal, yaitu majas-majas, citraan,
simbol yang digunakan, gaya bahasa, diksi-diksi yang menyampaikan makna secara
implisit maupun eksplisit, serta rima. Majas yang digunakan oleh Taufik antara
lain
Personifikasi
Kita
saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru (bait
kelima)
Gunung
membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir (bait ke-6,
baris 2-7)
Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang
melebih-lebihkan sesuatu. Hiperbola dalam puisi ini terdapat dalam kutipan :
Banjir air mata (bait ke-6,
baris ke-8)
Imaji /citraan
Dalam puisi, untuk memberi gambaran
yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup
gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian,
penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat
kepuitisan yang lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery).
Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya
(Altenbern dalam Pradopo. 1997: 79).
Imaji terbagi menjadi imaji
penglihatan (visual imagery), imaji pendengaran (audiotory imagery),
imaji raba dan sebagainya. Imaji atau citraan yang terdapat dalam puisi Membaca
Tanda-tanda antara lain
Imaji penglihatan
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin
surut jadinya (bait ke-3)
Kita saksikan zat asam didesak
karbon dioksid itu menggilas paru-paru (bait ke-5)
Kita sasksikan Gunung membawa abu (bait ke-6)
Kita telah saksikan seribu
tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda (bait ke-7)
Imaji Pendengaran
Burung-burung kecil tak lagi
berkicau pagi hari (bait ke-3, baris ke-3)
Imaji Raba
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
kita (bait ke-1)
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari (bait
ke-10)
Simbol
Analisis simbol pada puisi Membaca
Tanda-tanda diuraikan sebagai berikut :
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
kita
Bait puisi ini menyimbolkan bahwa
penyair merasa kehilangan sesuatu yang dekat sekali dengan dirinya juga orang
lain yaitu keasrian alam.
Ada sesuatu yang mulanya tidak
begitu jelas
tapi kita kini mulai merindukannya
Bait puisi ini menyimbolkan bahwa ia
merindukan suasana alam yang masih murni, indah, asri dan belum terjamah oleh
tangan-tangan manusia, karena sekarang suasana itu sudah tidak terasa lagi
(tidak begitu jelas).
Kita
saksikan udara abu-abu warnanya
Maksudnya adalah udara yang
terpolusi oleh asap (pencemaran udara) disimbolkan bahwa warna udaranya menjadi
abu-abu.
Kita
saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Maksudnya adalah air danau yang
tercemar kian lama volumenya kian menyusut sehingga disimbolkan bahwa air danau
semakin surut.
Burung-burung
kecil tak lagi berkicau pagi hari
Maksudnya (merupakan simbol) bahwa
pada pagi hari tidak ada lagi suara kicauan burung-burung yang bersahut-sahutan
karena perburuan liar dan penebangan hutan menyebabkan mereka kehilangan tempat
tinggal (hutan), sehingga mereka pergi mencari tempat baru atau bahkan hampir
punah.
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Bait puisi di atas menyimbolkan
gejala-gejala perubahan alam yang ditandai dengan hilangnya komponen-komponen
alam itu mulai dari yang terkecil (daun) hingga yang terbesar (hutan).
Kita
sasksikan zat asam didesak karbon dioksid menggilas paru-paru
Baris puisi ini menyimbolkan adanya
zat-zat asam dan karbon akibat polusi yang banyak terkandung di udara menyebabkan
terjadinya berbagai penyakit yang berhubungan dengan terganggunya alat-alat
pernapasan seperti paru-paru.
Kita saksikan Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa
lindu
(terjadi
bencana gunung berapi, tanah
Lindu membawa longsor
longsor dan banjir)
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata (memakan korban jiwa)
Bait puisi ini menyimbolkan adanya
pencemaran udara, penebangan hutan, perburuan liar dan sebagainya telah
mengundang berbagai macam bencana mulai dari gunung berapi, longsor dan banjir
yang memakan korban jiwa.
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu
banjir
(bencana-bencana)
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa
kami (timbul kesadaran)
Bait puisi di atas menyimbolkan
bencana-bencana yang timbul akibat manusia yang lalai akan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi. Namun semuanya tidak lepas
dari kehendak Sang Pencipta. Dia menguji makhluk-Nya dengan menimpakan
musibah dan bencana. Lalu timbul lah kesadaran pada diri manusia dan rasa
ingin kembali, serta meminta pengampunan kepada-Nya atas semua kesalahan yang
diperbuat.
Beri kami
kearifan membaca tanda-tanda
Kearifan membaca tanda-tanda di sini
menyimbolkan manusia yang meminta kepada tuhannya agar dapat peka terhadap
lingkungan dan benar-benar menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi
dengan sebaik-baiknya dari melihat tanda-tanda alam yang ada.
Diksi
Diksi
digunakan oleh penyair untuk mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan
setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Penyair harus benar-benar
tepat memilih kata jika ingin mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat
menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut.
Taufik Ismail dalam puisinya Membaca
Tanda-tanda banyak menyindir manusia sebagai khalifah di bumi yang masih
saja merusak alam dengan perburuan hewan, penebangan hutan, dan lain sebagainya
yang menyebabkan alam mulai kehilangan keindahannya. Taufik mengunakan
diksi ‘kehilangan’ pada bait keempat untuk menggambarkan hilangnya keindahan
alam. Taufik pun banyak menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan
alam seperti udara, danau, burung, hutan, gunung dan lain sebagainya untuk menyesuaikan
puisinya dengan tema alam. Selain itu ia memilih kata-kata seperti
longsor, banjir, gempa dan sebagainya untuk menggambarkan bencana.
Diksi yang dipilih Taufik Ismail
dalam puisi ini pada umumnya memakai kata-kata yang lumrah digunakan dan mudah
dipahami maknanya. Kesemuanya membuat puisi ini menjadi menarik sehingga
pesannya juga lebih cepat diterima oleh pembaca.
Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa
dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya bahasa menjadi bagian
dari diksi kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau
klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Gaya bahasa yang terdapat
dalam puisi Membaca Tanda-tanda antara lain;
Repetisi, ditunjukkan dalam bait
berikut
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu
banjir
repetisi
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami (bait
ke-8)
Satire
Satire adalah puisi yang
mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan
cara menyindir. Satire dalam puisi ini terdapat dalam kutipan :
Kita telah saksikan seribu
tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda? (baik ke-7)
Di sini, Taufik menyindir apakah
kita (semua orang termasuk dirinya) bisa merenungkan tanda-tanda atau
gejala-gejala perubahan alam yang telah disaksikan.
Klimaks
Klimaks adalah gaya bahasa yang
mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat (memuncak)
kepentigannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Klimaks dalam puisi ini terdapat
dalam kutipan :
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata (bait ke-6)
Rima
Rima adalah bunyi yang berselang
atau berulang, baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik-larik
puisi. Rima disebut juga persajakan. Rima digunakan untuk mengolah bunyi
pada puisi. Oleh karena itu penyair memilih diksi-diksi yang mempunyai persamaan
bunyi. Pola rima pada puisi ini tidak teratur. Misalnya saja pada bait
pertama dan kedua bersajak (a-b), bait ketiga (a-a-b), bait keempat (a-b-b-b)
dan seterusnya. Pada puisi Membaca Tanda-tanda, hanya terdapat rima
luar, yaitu rima yang terdapat antarbaris yang terletak di awal, tengah dan
akhir.
Awal
Kami telah
membaca gempa
Kami telah
disapu banjir
Kami telah
dihalau api dan hama
Kami telah
dihujani abu dan batu (bait ke-8, baris 2-5)
Tengah
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan (bait ke-4)
Akhir
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan (bait ke-4, baris 2-4)
No comments:
Post a Comment