Translate

Thursday, May 16, 2013

ESAI KRITIK PUISI Doni Choiril Mahfud

Pesan untuk Generasi Muda dalam Puisi Membaca Tanda-tanda Karya Taufik Ismail
Oleh 
Doni Choiril Mahfud

Membaca Tanda-tanda
(Taufik Ismail)
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya tidak begitu jelas
tapi kita kini mulai merindukannya

Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pergi hari


Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukannya

Puisi di atas dibuat oleh Taufik Ismail, seorang sastrawan yang sudah lama menciptakan berbagai karya sastra. Peran beliau sangat penting dalam mewarnai karya sastra Indonesia, terutama dalam puisi. Patut sekiranya untuk ditinjau salah satu dari puluhan karya beliau sebagai pembelajaran yang berguna bagi pecinta karya sastra. Berikut akan ditelaah puisi beliau yang berjudul membaca tanda-tanda dari sudut pandang objektifitas karya satra.
            Objektifitas suatu karya bisa ditentukan oleh beberapa hal, yaitu majas-majas, citraan, simbol yang digunakan, gaya bahasa, diksi-diksi yang menyampaikan makna secara implisit maupun eksplisit, serta rima. Majas yang digunakan oleh Taufik antara lain
Personifikasi
Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru (bait kelima)
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir (bait ke-6, baris 2-7)
Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang melebih-lebihkan sesuatu. Hiperbola dalam puisi ini terdapat dalam kutipan :
Banjir air mata (bait ke-6, baris ke-8)
Imaji /citraan
Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery).  Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (Altenbern dalam  Pradopo. 1997: 79).
Imaji terbagi menjadi imaji penglihatan (visual imagery), imaji pendengaran (audiotory imagery), imaji raba dan sebagainya.  Imaji atau citraan yang terdapat dalam puisi Membaca Tanda-tanda antara lain
Imaji penglihatan
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya (bait ke-3)
Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru (bait ke-5)
Kita sasksikan Gunung membawa abu (bait ke-6)
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda (bait ke-7)
Imaji Pendengaran
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari (bait ke-3, baris ke-3)
Imaji Raba
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita (bait ke-1)
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari (bait ke-10)

Simbol
Analisis simbol pada puisi Membaca Tanda-tanda diuraikan sebagai berikut :
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Bait puisi ini menyimbolkan bahwa penyair merasa kehilangan sesuatu yang dekat sekali dengan dirinya juga orang lain yaitu keasrian alam.
Ada sesuatu yang mulanya tidak begitu jelas
tapi kita kini mulai merindukannya
Bait puisi ini menyimbolkan bahwa ia merindukan suasana alam yang masih murni, indah, asri dan belum terjamah oleh tangan-tangan manusia, karena sekarang suasana itu sudah tidak terasa lagi (tidak begitu jelas).
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Maksudnya adalah udara yang terpolusi oleh asap (pencemaran udara) disimbolkan bahwa warna udaranya menjadi abu-abu.
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Maksudnya adalah air danau yang tercemar kian lama volumenya kian menyusut sehingga disimbolkan bahwa air danau semakin surut.
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari
Maksudnya (merupakan simbol) bahwa pada pagi hari tidak ada lagi suara kicauan burung-burung yang bersahut-sahutan karena perburuan liar dan penebangan hutan menyebabkan mereka kehilangan tempat tinggal (hutan), sehingga mereka pergi mencari tempat baru atau bahkan hampir punah.
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Bait puisi di atas menyimbolkan gejala-gejala perubahan alam yang ditandai dengan hilangnya komponen-komponen alam itu mulai dari yang terkecil (daun) hingga yang terbesar (hutan).
Kita sasksikan zat asam didesak karbon dioksid menggilas paru-paru
Baris puisi ini menyimbolkan adanya zat-zat asam dan karbon akibat polusi yang banyak terkandung di udara menyebabkan terjadinya berbagai penyakit yang berhubungan dengan terganggunya alat-alat pernapasan seperti paru-paru.
Kita saksikan Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu                (terjadi bencana gunung berapi, tanah
Lindu membawa longsor          longsor dan banjir)
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata  (memakan korban jiwa)
Bait puisi ini menyimbolkan adanya pencemaran udara, penebangan hutan, perburuan liar dan sebagainya telah mengundang berbagai macam bencana mulai dari gunung berapi, longsor dan banjir yang memakan korban jiwa.
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir                            (bencana-bencana)
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami           (timbul kesadaran)

Bait puisi di atas menyimbolkan bencana-bencana yang timbul akibat manusia yang lalai akan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi. Namun semuanya tidak lepas dari kehendak Sang Pencipta.  Dia menguji makhluk-Nya dengan menimpakan musibah dan bencana.  Lalu timbul lah kesadaran pada diri manusia dan rasa ingin kembali, serta meminta pengampunan kepada-Nya atas semua kesalahan yang diperbuat.
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda
Kearifan membaca tanda-tanda di sini menyimbolkan manusia yang meminta kepada tuhannya agar dapat peka terhadap lingkungan dan benar-benar menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dengan sebaik-baiknya dari melihat tanda-tanda alam yang ada.
Diksi
Diksi digunakan oleh penyair untuk mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya.  Penyair harus benar-benar tepat memilih kata jika ingin mengekspresikan  dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya tersebut.
Taufik Ismail dalam puisinya Membaca Tanda-tanda banyak menyindir manusia sebagai khalifah di bumi yang masih saja merusak alam dengan perburuan hewan, penebangan hutan, dan lain sebagainya yang menyebabkan alam mulai kehilangan keindahannya.  Taufik mengunakan diksi ‘kehilangan’ pada bait keempat untuk menggambarkan hilangnya keindahan alam.  Taufik pun banyak menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan alam seperti udara, danau, burung, hutan, gunung dan lain sebagainya untuk menyesuaikan puisinya dengan tema alam.  Selain itu ia memilih kata-kata seperti longsor, banjir, gempa dan sebagainya untuk menggambarkan bencana.
Diksi yang dipilih Taufik Ismail dalam puisi ini pada umumnya memakai kata-kata yang lumrah digunakan dan mudah dipahami maknanya. Kesemuanya membuat puisi ini menjadi menarik sehingga pesannya juga lebih cepat diterima oleh pembaca.
Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya bahasa menjadi bagian dari diksi kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Gaya bahasa yang terdapat dalam puisi Membaca Tanda-tanda antara lain;
Repetisi, ditunjukkan dalam bait berikut
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir                             repetisi
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami   (bait ke-8)
Satire
Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir. Satire dalam puisi ini terdapat dalam kutipan :
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda? (baik ke-7)
Di sini, Taufik menyindir apakah kita (semua orang termasuk dirinya) bisa merenungkan tanda-tanda atau gejala-gejala perubahan alam yang telah disaksikan.
Klimaks
Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat (memuncak) kepentigannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Klimaks dalam puisi ini terdapat dalam kutipan :
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata   (bait ke-6)
Rima
Rima adalah bunyi yang berselang atau berulang, baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik-larik puisi.  Rima disebut juga persajakan. Rima digunakan untuk mengolah bunyi pada puisi. Oleh karena itu penyair memilih diksi-diksi yang mempunyai persamaan bunyi. Pola rima pada puisi ini tidak teratur.  Misalnya saja pada bait pertama dan kedua bersajak (a-b), bait ketiga (a-a-b), bait keempat (a-b-b-b) dan seterusnya. Pada puisi Membaca Tanda-tanda, hanya terdapat rima luar, yaitu rima yang terdapat antarbaris yang terletak di awal, tengah dan akhir.
Awal
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu  (bait ke-8, baris 2-5)

Tengah
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan  (bait ke-4)
Akhir
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan  (bait ke-4, baris 2-4)


No comments:

Post a Comment