Translate

Thursday, May 16, 2013

ESAI KRITIK PROSA Doni Choiril Mahfud

Nilai Moralitas dalam cerpen Rubuhnya Surau Kami karya AA Navis
Oleh
Doni Choiril Mahfud

Proses kreatif seorang sastrawan bisa muncul dalam berbagai bentuk dan aspek baik itu aspek hukum, sosial, politik, agama, budaya, dll. Dari proses yang berlangsung itu, seorang sastrawan tidak hanya melihat suatu masalah dari satu sudut pandang melainkan juga diperhatikan dari berbagai sudut pandang dan kajian-kajian tertentu. Begitu pula yang dikerjakan oleh seorang AA Navis, nama lengkapnya Haji Ali Akbar Navis  lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924  dan  meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun, dalam memandang suatu permasalahan selalu melihat kedepan, perspektif pemikirannya membuat semua orang sadar dan memandang hidup lebih bermakna. Seperti salah satu karya beliau yaitu Rubuhnya Surau Kami, merupakan sebuah kritik sosial yang bisa merubah cara pandang tentang hidup. A.A Navis sendiri  mempunyai pandangan bahwa karya sastra itu harus awet dan berguna sepanjang masa, jangan seperti kereta api yang hanya lewat saja. Dan ide-ide yang dikatakan begitulahyang mempengaruhi banyak terhadap karya-karya sastra yang dibuat oleh A.A Navis. Salah satunya adalah cerpen Rubuhnya Surau Kami ini.

Diceritakan ada seorang kakek yang tinggal di surau tua, yah memang dia bertugas menjaga surau itu dengan baik. Kakek tersebut sangatlah rajin beribadah, taat pada perintah allah, bersembahyang setiap waktunya. Selain itu dia senantiasa berbuat baik ketika ada orang yang membutuhkan bantuan, bahkan ketika diberi upah tidak jarang dia menolaknya dengan baik.Sang kakek suatu hari didatangi oleh seorang pemuda yang bernama Adjo Sidi. Adjo sidi diceritakan sebagai seorang pembual yang ulung, yang kerjaannya hanya ingin mengejek orang tua termasuk kakek yang tinggal disurau tersebut.
Singkat cerita kakek tersebut meninggal dunia, akibat ulah Adjo sidi yang telah mendatanginya, mungkin untuk sedikit mengobrol. Namun siapa yang menyangka bahwa akhir dari obrolan tersebut akan memicu kematian sang kakek yang mati bunuh diri. Sebab kematian sang kakek yah tidak lain adalah obrolan singkat yang dilakukan diantara Adjo Sidi tempo hari sebelum sang kakek menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur.
Berikut beberapa kutipan cerpen
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Dialog tersebut merupakan awal mula sebuah konflik. Terlihat seorang AA Navis mengambil seorang tokoh yang berlatar belakang agama kuat. Mengangkat tema yang mencakup unsur agama merupakan masalah sensitif di Negara ini. Mengingat Indonesia adalah Negara plural meskipun mayoritas penduduknya muslim. Namun cerita ini bisa dikemas begitu rapi dan menimbulkan kesan yang amat mendalam pada akhirnya. Seperti kutipan ketika Adjo Sidi bercerita, yang membuat seorang  kakek taat ibadah sampai merenung,
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"
Di atas adalah ceria seorang haji saleh dan Tuhan. Haji saleh tidak menerima keputusan Tuhan yang memasukkannya ke neraka, karena haji saleh sudah merasa beribadah dengan giat. Namun haji saleh sepanjang hidupnya hanya dibuat untuk menyembah Allah tanpa melakukan apapun lagi. Setelah itu diteruskan pembicaraan dengan malaikat.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun

Inilah kehebatan seorang Navis dalam menggambarkan sebuah kritik sosial. Sebuah kritik yang mengandung nilai moral yang sangat kental bahwa sesama manusia harus saling membantu yang saat ini rasa kepedulian mulai luntur di kalangan masyarakat kita. Seperti istilah dari Horace yang menyebutkan sastra adalah dulce et utile, menyenangkan dan berguna karena dari istilah tersebut tersirat makna bahwa sastra bisa berfungsi sebagai sarana rekreatif dan untuk pengajaran moral kepada manusia. Mungkin hal yang seperti diatas bisa kita temui didalam karya-karyanya A.A Navis.   

No comments:

Post a Comment