Nilai
Moralitas dalam cerpen Rubuhnya Surau Kami karya AA Navis
Oleh
Doni
Choiril Mahfud
Proses kreatif seorang sastrawan bisa
muncul dalam berbagai bentuk dan aspek baik itu aspek hukum, sosial, politik,
agama, budaya, dll. Dari proses yang berlangsung itu, seorang sastrawan tidak
hanya melihat suatu masalah dari satu sudut pandang melainkan juga diperhatikan
dari berbagai sudut pandang dan kajian-kajian tertentu. Begitu pula yang
dikerjakan oleh seorang AA Navis, nama lengkapnya Haji Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat,
17 November 1924 dan meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun,
dalam memandang suatu permasalahan selalu melihat kedepan, perspektif
pemikirannya membuat semua orang sadar dan memandang hidup lebih bermakna. Seperti
salah satu karya beliau yaitu Rubuhnya Surau Kami, merupakan sebuah kritik
sosial yang bisa merubah cara pandang tentang hidup. A.A Navis sendiri mempunyai pandangan bahwa karya sastra itu
harus awet dan berguna sepanjang masa, jangan seperti kereta api yang hanya
lewat saja. Dan ide-ide yang dikatakan begitulahyang mempengaruhi banyak terhadap
karya-karya sastra yang dibuat oleh A.A Navis. Salah satunya adalah cerpen
Rubuhnya Surau Kami ini.
Diceritakan ada seorang kakek
yang tinggal di surau tua, yah memang dia bertugas menjaga surau itu dengan
baik. Kakek tersebut sangatlah rajin beribadah, taat pada perintah allah,
bersembahyang setiap waktunya. Selain itu dia senantiasa berbuat baik ketika
ada orang yang membutuhkan bantuan, bahkan ketika diberi upah tidak jarang dia
menolaknya dengan baik.Sang kakek suatu hari didatangi oleh seorang pemuda yang
bernama Adjo Sidi. Adjo sidi diceritakan sebagai seorang pembual yang ulung,
yang kerjaannya hanya ingin mengejek orang tua termasuk kakek yang tinggal
disurau tersebut.
Singkat cerita kakek tersebut meninggal dunia, akibat ulah Adjo sidi yang telah mendatanginya, mungkin untuk sedikit mengobrol. Namun siapa yang menyangka bahwa akhir dari obrolan tersebut akan memicu kematian sang kakek yang mati bunuh diri. Sebab kematian sang kakek yah tidak lain adalah obrolan singkat yang dilakukan diantara Adjo Sidi tempo hari sebelum sang kakek menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur.
Singkat cerita kakek tersebut meninggal dunia, akibat ulah Adjo sidi yang telah mendatanginya, mungkin untuk sedikit mengobrol. Namun siapa yang menyangka bahwa akhir dari obrolan tersebut akan memicu kematian sang kakek yang mati bunuh diri. Sebab kematian sang kakek yah tidak lain adalah obrolan singkat yang dilakukan diantara Adjo Sidi tempo hari sebelum sang kakek menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur.
Berikut beberapa kutipan cerpen
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi
aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi.
Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu
lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama
aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan
tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang
memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya,
Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya
bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang
bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah
disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan?
Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Dialog tersebut merupakan awal
mula sebuah konflik. Terlihat seorang AA Navis mengambil seorang tokoh yang
berlatar belakang agama kuat. Mengangkat tema yang mencakup unsur agama
merupakan masalah sensitif di Negara ini. Mengingat Indonesia adalah Negara
plural meskipun mayoritas penduduknya muslim. Namun cerita ini bisa dikemas
begitu rapi dan menimbulkan kesan yang amat mendalam pada akhirnya. Seperti
kutipan ketika Adjo Sidi bercerita, yang membuat seorang kakek taat ibadah sampai merenung,
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu
melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan
orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi
antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang
kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat
tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau
semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di
sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah
mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"
Di atas adalah ceria seorang
haji saleh dan Tuhan. Haji saleh tidak menerima keputusan Tuhan yang
memasukkannya ke neraka, karena haji saleh sudah merasa beribadah dengan giat.
Namun haji saleh sepanjang hidupnya hanya dibuat untuk menyembah Allah tanpa
melakukan apapun lagi. Setelah itu diteruskan pembicaraan dengan malaikat.
‘Tidak.
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.
Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
mempedulikan mereka sedikit pun
Inilah kehebatan seorang Navis
dalam menggambarkan sebuah kritik sosial. Sebuah kritik yang mengandung nilai
moral yang sangat kental bahwa sesama manusia harus saling membantu yang saat
ini rasa kepedulian mulai luntur di kalangan masyarakat kita. Seperti istilah
dari Horace yang menyebutkan sastra adalah dulce
et utile, menyenangkan dan berguna karena dari istilah tersebut tersirat
makna bahwa sastra bisa berfungsi sebagai sarana rekreatif dan untuk pengajaran
moral kepada manusia. Mungkin hal yang seperti diatas bisa kita temui didalam
karya-karyanya A.A Navis.
No comments:
Post a Comment