Translate

Wednesday, May 15, 2013

ESAI KRITIK PUISI Atria Dicky Asmarahadi

Nilai budaya jawa dalam puisi Parikesit dan Gatoloco karya Goenawan Mohamad

Oleh
Atria Dicky Asmarahadi - 100211406111


Banyak yang mengatakan bahwa puisi adalah ungkapan perasaan seseorang yang pernah atau sedang dialami oleh seseorang. Namun ada juga puisi yang terinspirasi dari lingkungan sekitar atau pemadangan. Tapi sebagian besar, puisi adalah ungkapan perasaan atau pikiran seseorang. Di Indonesia sendiri sudah banyak sastrawan-sastrawan besar lahir melalui puisi. Goenawan Mohamad misalnya yang sudah sangat terkenal dengan karya-karyanya.

Goenawan Mohamad merupakan orang Jawa yang masa kecil hingga awal dewasanya tinggal di kota kecil yang kental kejawaannya, ternyata tidak melupakan tanah budaya asalnya, bahkan demikian lekat dan terdapat jejak yang dalam pada karya-karyanya. Tidak saja dalam pilihan tema, tetapi yang terasa dan demikian menguasainya adalah nada sajak-sajaknya yang lembut menghanyutkan, seperti sebuah pupuh yang tidak mendayu atau merengek-rengek. Di satu sisi nadanya adalah keriuhan kota-kota dan ingar dan menusuk. Perpaduan antara kelambanan, kelembutan Jawa denagn keriuhan kota-kota besar adalah seperti yang terasa dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. Kita bisa merasakan betapa kuat suasana Jawa yang tenang dan kelembutannya pada beberapa potongan puisinya ini.
Pariksit
Pariksit menunggu hari segera lewat
Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan
Crengi kepadanya berakhir, hingga baginda
Bebas dari ancaman kebinasaan oleh naga Taksaka
Saat itu hari dekat senja
Raja muda yang disembunyikan di puncak menara itu tengah tegak,
merapatlan diri ke tingkap angin bangkit
II
Menara penjara, dan penyelamat jasadku.
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
Keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi tempatku.
Dan bumi gemetar meninggalkanku
Kini telah kupilih, sebab keluarga dan
Rakyat yang kukasih kesalalmtan jasadku.
Kini telah ku pilih, karena takutku, hari-hari
Yang tak memerdekakan hatiku.
Dan telah kuhindari maut, mautku sendiri.
Barisan burung-burung yang kian jauh
Seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang sepi.
Kota yang berbatas gurun, berbatas rimba serta rumah-rumah pertapa.
Kota yang melenguhkan hidup
Bila musimpun rekah dan yang melenguhkan hidup
Bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.
Aku telah lama bernafas dari kandungannya.
Telah lama.
Asuatama, mengapa tak kau bunuh dulu
Bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?
III
Maka segeralah senja ini penuh dan titik mentari terakhir jatuh.
Dan kutuk itu datang, membinasakan dan melebur daku jadi abu.
Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan semua itu.
Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan,
Kemenangan yang mengalahkan kecut hatiku.
Karena memang kutakutkan selamat tinggal yang kekal.
Seperti bila dari tingkap ini kuhembuskan nafasku dan tak kembali
Tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
Tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup kulit tubuhku.
Juga tanpa laut, yang jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.
Seperti bila langit dan titik-titik bintang.
Yang haluspun raib bersama harummu, perempuan dalam telanjang dini hari
Pada akhirnya kita tak senantiasa bersama. Ajal
Memisah kita masing-masing tinggal.

Sajak Pariksit adalah sajak yang prosais, yang menceritakan kisah raja terakhir negeri Amarta yakni Pariksit anaknya Arjuna. Raja ini mati atas kutukan Crenggi melalui tangan Aswatama yang penuh dendam kepada pihak Pandawa karena ayahnya (Dorna) terbunuh oleh pihak Pandawa dalam peperangan dengan Kurawa.
Tokoh mitologi jawa, Raja Paraiksit dalam versi cerita yang diciptakan Goenawan, berjudul Pariksit akhirnya berani membuat pilihan yang baik dan benar. Dia terancam kutukan: akan dibunuh sebelum matahari terbenam oleh Naga Taksaka atas pesan seorang raja Sernggi yang dihinakannya. Pariksit menyembunyikan diri di atas menara, yang diamankan seoptimal mungkin. Di sana dia menunggu sendirian, sama sekali terasing dari sesama manusia, sampai waktu kutuk berakhir dan dia selamat. Dan tampaknya dia berhasil: dan telah kuhindari maut, mautku sendiri. Tetapi akhirnya Pariksit sadar bahwa pembebasan dari maut yang dicarinya buka pembebasan yang sungguh-sungguh; yang dinobatkan dalam menara itu tidak lain hanya ketakutannya, ketakutan akan “selamat tinggal yang kekal”. Akhirnya dia menyerah lalu dia menyeru “Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!/ Dan mati.” Sebab maut bagi manusia wajar bahkan “Demi matiku, kutunjukkan padamu segala yang tak sia-sia ini {...} dan segalanya pun terurai, seperti musim bunga”.
Ada juga sajak Gatoloco yang menarik karena menggabungkan kedua aspek antara kebudayaan jawa dan islam. Gatoloco adalah seorang tokoh terkenal dalam sastra Jawa. Dia ahli mistik yang menganut aliran ekstrim yang memungkiri perbedaan antara kholiq dan makhluk dan menganggap diri sama dengan Tuhan, sama Maha Tahunya. Dengan takabur Gatoloco mengembor-gemborkan bahwa Tuhan dan alam semesta tidak ada lagi teka-teki baginya. Dalam sajak Goenawan, Gatoloco berteriak: “Beri aku es!”, namun langsung dia kaget: “Tiba-tiba kulihat Kau di sudut itu”  Tuhan mendapatkannya dan menunjukinya tempatnya yang sebenarnya dalam konfrontasi yang menghinakan: tempatnya kata Tuhan,
“pada kolong dan kekerlak pada kitab
Dan kertas-kertas kepinding yang mati setiap pagi.
Padamu sendiri. “
Dan Tuhan melarangnya dengan keras:
“Kau tidak bisa lagi memamerkan-Ku.
[. . .]
Tak bisa lagi bersuara tengkar dari seminar ke seminar,
Dan memenangkan-Ku, seperti seorang pengacara. Sebab kau hanya
Pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi
Pongah dengan karcis dua jurusan.”
Akhirnya Gatoloco sadar siapa dia sebenarnya: “hanya seorang turis, tak lebih dari itu”. Dan dia tahu pula bahwa Tuhan tak pernah terpahami manusia, sebab” Kau tetap ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung argumentasi”. Memang keakraban Allah tetap di luar pemahaman manusia.
Di sini realitas yang ada dalam sajak Goenawan adalah realitas yang telah mengalami pendalaman, dalam arti dia telah memilih salah satu sudut pandang tertentu yang lebih menukik ke sasaran tema yang dikehendakinya. Di sini, berita sudah menjadi tidak sekedar berita yang hanya mengabarkan permukaan tetapi lebih mengajak ke sebuah perenungan yang dalam tentang sebuah nasib yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Meskipun dalam kapasitas raja sekalipun, Pariksit yang penuh pengawalan ketat prajurit dan rakyatnya, jika nasib telah menggariskan dirinya harus mati maka pembunuh itu bisa lolos dari pengawalan dengan leluasa dan mencabut nyawa sang raja.
Dalam sajak Pariksit ini Goenawan mengungkapkan pandangannya tentang raja yang tak pernah berdoa padahal rakyatnya berdoa mati-matian juga tentang rakyat yang sebenarnya selalu sendiri dan tak dipengaruhi oleh kekuatan pembimbingan raja.
Mereka yang mendoa, sementara aku tiada berdoa.
Mereka yang kini mempunyai angin-angin sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang sendiri. Mereka tak tahu kita tak bisa berbagi.
Hampir semua sajak Goenawan adalah perpaduan antara faktual dan fiksional, seperti kebudayaan jawa dan islam yang ada pada kedua puisinya tadi. Dengan demikian sajak-sajak Goenawan adalah sebuah ungkapan intelektual yang mempunyai keberpihakan pada sesuatu yang dilindas dan ditindas kekuasaan. Sajak-sajak Goenawan merupakan bebunyian yang betul-betul mempunyai makna yang dalam, sehingga bukan saja berita yang didapat pembaca tetapi juga sebuah sentuhan terhadap kalbu yang ujung-ujungnya melahirkan pula semacam keikutsertaan pembaca terhadap derita atau realitas yang dikabarkan sajak-sa

No comments:

Post a Comment