Nilai
budaya jawa dalam puisi Parikesit dan Gatoloco karya Goenawan Mohamad
Oleh
Atria Dicky Asmarahadi - 100211406111
Banyak yang mengatakan bahwa puisi adalah ungkapan
perasaan seseorang yang pernah atau sedang dialami oleh seseorang. Namun ada
juga puisi yang terinspirasi dari lingkungan sekitar atau pemadangan. Tapi
sebagian besar, puisi adalah ungkapan perasaan atau pikiran seseorang. Di
Indonesia sendiri sudah banyak sastrawan-sastrawan besar lahir melalui
puisi. Goenawan Mohamad misalnya
yang sudah sangat terkenal dengan karya-karyanya.
Goenawan Mohamad merupakan orang Jawa yang masa kecil
hingga awal dewasanya tinggal di kota kecil yang kental kejawaannya, ternyata
tidak melupakan tanah budaya asalnya, bahkan demikian lekat dan terdapat jejak
yang dalam pada karya-karyanya. Tidak saja dalam pilihan tema, tetapi yang
terasa dan demikian menguasainya adalah nada sajak-sajaknya yang lembut
menghanyutkan, seperti sebuah pupuh yang tidak mendayu atau merengek-rengek. Di
satu sisi nadanya adalah keriuhan kota-kota dan ingar dan menusuk. Perpaduan
antara kelambanan, kelembutan Jawa denagn keriuhan kota-kota besar adalah
seperti yang terasa dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. Kita bisa merasakan betapa
kuat suasana Jawa yang tenang dan kelembutannya pada beberapa potongan puisinya
ini.
Pariksit
Pariksit menunggu hari
segera lewat
Orang-orang pun menunggu
batas waktu kutukan
Crengi kepadanya berakhir,
hingga baginda
Bebas dari ancaman
kebinasaan oleh naga Taksaka
Saat itu hari dekat senja
Raja muda yang
disembunyikan di puncak menara itu tengah tegak,
merapatlan diri ke tingkap angin
bangkit
II
Menara penjara, dan penyelamat
jasadku.
Tinggi ia menghujat bumi,
mendamik dada ke langit:
Keangkuhan besar ke tengah
maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang
sarat warna tiada lagi tempatku.
Dan bumi gemetar
meninggalkanku
Kini telah kupilih, sebab
keluarga dan
Rakyat yang kukasih
kesalalmtan jasadku.
Kini telah ku pilih, karena
takutku, hari-hari
Yang tak memerdekakan
hatiku.
Dan telah kuhindari maut,
mautku sendiri.
Barisan burung-burung yang
kian jauh
Seakan-akan menyingkirkan
diri dari kotaku yang sepi.
Kota yang berbatas gurun,
berbatas rimba serta rumah-rumah pertapa.
Kota yang melenguhkan hidup
Bila musimpun rekah dan
yang melenguhkan hidup
Bila tahun-tahun
mengatupkan pintu-pintunya.
Aku telah lama bernafas
dari kandungannya.
Telah lama.
Asuatama, mengapa tak kau
bunuh dulu
Bayi itu? Mengapa kau
lepaskan aku?
III
Maka segeralah senja ini penuh
dan titik mentari terakhir jatuh.
Dan kutuk itu datang, membinasakan
dan melebur daku jadi abu.
Bukan kegelisahan dahsyat
yang hendakkan semua itu.
Bukan siksa menunggu yang
menyuruhku.
Tapi kurindukan
kemenangan-kemenangan,
Kemenangan yang mengalahkan
kecut hatiku.
Karena memang kutakutkan
selamat tinggal yang kekal.
Seperti bila dari tingkap
ini kuhembuskan nafasku dan tak kembali
Tanpa burung-burung, tanpa
redup sore di pohon-pohon
Tanpa musim, tanpa warna,
yang menyusup kulit tubuhku.
Juga tanpa laut, yang jauh menyimak
matahari, rimba dan hewan-hewan meriah.
Seperti bila langit dan
titik-titik bintang.
Yang haluspun raib bersama
harummu, perempuan dalam telanjang dini hari
Pada akhirnya kita tak
senantiasa bersama. Ajal
Memisah kita masing-masing
tinggal.
Sajak Pariksit adalah
sajak yang prosais, yang menceritakan kisah raja terakhir negeri Amarta yakni
Pariksit anaknya Arjuna. Raja ini mati atas kutukan Crenggi melalui tangan
Aswatama yang penuh dendam kepada pihak Pandawa karena ayahnya (Dorna) terbunuh
oleh pihak Pandawa dalam peperangan dengan Kurawa.
Tokoh mitologi jawa, Raja
Paraiksit dalam versi cerita yang diciptakan Goenawan, berjudul Pariksit akhirnya berani membuat pilihan
yang baik dan benar. Dia terancam kutukan: akan dibunuh sebelum matahari
terbenam oleh Naga Taksaka atas pesan seorang raja Sernggi yang dihinakannya.
Pariksit menyembunyikan diri di atas menara, yang diamankan seoptimal mungkin.
Di sana dia menunggu sendirian, sama sekali terasing dari sesama manusia,
sampai waktu kutuk berakhir dan dia selamat. Dan tampaknya dia berhasil: dan
telah kuhindari maut, mautku sendiri. Tetapi akhirnya Pariksit sadar bahwa
pembebasan dari maut yang dicarinya buka pembebasan yang sungguh-sungguh; yang
dinobatkan dalam menara itu tidak lain hanya ketakutannya, ketakutan akan
“selamat tinggal yang kekal”. Akhirnya dia menyerah lalu dia menyeru “Maka,
Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!/ Dan mati.” Sebab maut bagi manusia
wajar bahkan “Demi matiku, kutunjukkan padamu segala yang tak sia-sia ini {...}
dan segalanya pun terurai, seperti musim bunga”.
Ada juga sajak Gatoloco yang menarik karena
menggabungkan kedua aspek antara kebudayaan jawa dan islam. Gatoloco adalah seorang tokoh terkenal dalam sastra Jawa. Dia ahli
mistik yang menganut aliran ekstrim yang memungkiri perbedaan antara kholiq dan
makhluk dan menganggap diri sama dengan Tuhan, sama Maha Tahunya. Dengan
takabur Gatoloco mengembor-gemborkan bahwa Tuhan dan alam semesta tidak ada
lagi teka-teki baginya. Dalam sajak Goenawan, Gatoloco berteriak: “Beri aku es!”,
namun langsung dia kaget: “Tiba-tiba kulihat Kau di sudut itu” Tuhan mendapatkannya dan menunjukinya
tempatnya yang sebenarnya dalam konfrontasi yang menghinakan: tempatnya kata
Tuhan,
“pada kolong dan kekerlak
pada kitab
Dan kertas-kertas kepinding
yang mati setiap pagi.
Padamu sendiri. “
Dan Tuhan melarangnya
dengan keras:
“Kau tidak bisa lagi
memamerkan-Ku.
[. . .]
Tak bisa lagi bersuara
tengkar dari seminar ke seminar,
Dan memenangkan-Ku, seperti
seorang pengacara. Sebab kau hanya
Pengembara, yang menghitung
jarak perjalanan, lelah tapi
Pongah dengan karcis dua
jurusan.”
Akhirnya Gatoloco sadar
siapa dia sebenarnya: “hanya seorang turis, tak lebih dari itu”. Dan dia tahu
pula bahwa Tuhan tak pernah terpahami manusia, sebab” Kau tetap ingin mengekalkan
teka-teki dan mengelak dari setiap ujung argumentasi”. Memang keakraban Allah
tetap di luar pemahaman manusia.
Di sini realitas yang ada
dalam sajak Goenawan adalah realitas yang telah mengalami pendalaman, dalam
arti dia telah memilih salah satu sudut pandang tertentu yang lebih menukik ke
sasaran tema yang dikehendakinya. Di sini, berita sudah menjadi tidak sekedar
berita yang hanya mengabarkan permukaan tetapi lebih mengajak ke sebuah
perenungan yang dalam tentang sebuah nasib yang tidak bisa ditolak
kehadirannya. Meskipun dalam kapasitas raja sekalipun, Pariksit yang penuh
pengawalan ketat prajurit dan rakyatnya, jika nasib telah menggariskan dirinya
harus mati maka pembunuh itu bisa lolos dari pengawalan dengan leluasa dan
mencabut nyawa sang raja.
Dalam sajak Pariksit ini
Goenawan mengungkapkan pandangannya tentang raja yang tak pernah berdoa padahal
rakyatnya berdoa mati-matian juga tentang rakyat yang sebenarnya selalu sendiri
dan tak dipengaruhi oleh kekuatan pembimbingan raja.
Mereka
yang mendoa, sementara aku tiada berdoa.
Mereka
yang kini mempunyai angin-angin sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita
yang sendiri. Mereka tak tahu kita tak bisa berbagi.
Hampir semua sajak
Goenawan adalah perpaduan antara faktual dan fiksional, seperti kebudayaan jawa
dan islam yang ada pada kedua puisinya tadi. Dengan demikian sajak-sajak
Goenawan adalah sebuah ungkapan intelektual yang mempunyai keberpihakan pada
sesuatu yang dilindas dan ditindas kekuasaan. Sajak-sajak Goenawan merupakan
bebunyian yang betul-betul mempunyai makna yang dalam, sehingga bukan saja
berita yang didapat pembaca tetapi juga sebuah sentuhan terhadap kalbu yang
ujung-ujungnya melahirkan pula semacam keikutsertaan pembaca terhadap derita
atau realitas yang dikabarkan sajak-sa
No comments:
Post a Comment