Nilai Perjuangan pada novel ”Cinta di Dalam Gelas” karya
Andrea Hirata
Oleh
Atria Dicky Asmarahadi - 100211406111
Berbicara tentang hari kartini yang selalu diperingati pada tanggal 21
April, pasti kita akan langsung mengingat ibu Raden Ajeng Kartini. Sosok
pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita, yang tak ingin selalu di bawah bayang-bayang laki-laki. Ia
memperjuangkannya agar tak hanya laki-laki saja yang mampu berkuasa, namun
wanita juga harus mendapatkan hak yang sama pula sebagai manusia. Sungguh
perjuangan seorang wanita yang patut diteladani wanita masa kini.
Di masa sekarang sudah
terbukti bahwa wanita sudah mempunyai hak yang sama sebagai manusia untuk
menjadi setara derajatnya dengan laki-laki. Seperti mantan presiden RI ibu
Megawati Soekarno Putri dan banyak para wanita yang banyak mengajukan dirinya
sebagai kepala daerah atau sejenisnya. Namun, perjuangan pada
era modern ini mungkin tidak bisa kita samakan
dengan masa lalu itu. Karena situasi dan kondisinya telah berbeda, kita hanya
bisa mengambil sisi posfitifnya saja lalu kita meneladaninya.
Melalui karya Andrea Hirata pada novel “cinta di dalam gelas” kita juga bisa belajar
tentang perjuangan seorang wanita yang memperjuangkan hak-haknya sebagai
manusia.
Jika kita amati dalam novel Cinta di Dalam Gelas karya
Andrea Hirata. Nilai-nilai perjuangan dalam
novel ini dapat kita lihat dari perjuangan
seorang tokoh wanita yaitu Mryamah Karpov. Jika pada masa lampau orang
bisa dikatakan pejuang karena
telah melawan penjajah dari tanah air.
Namun untuk pada masa kini tak harus melalui penjajahan ataupun peperangan
melainkan dari hal-hal kecil seperti yang ada pad novel Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata ini.
Nilai perjuangan
merupakan nilai yang dapat kita pahami melalui usaha besar yang telah
diperjuangkan oleh seorang tokoh. Pada
novel “Cinta di Dalam Gelas” berkisah tentang tokoh
utama bernama Maryamah. Seorang perempuan yang hidup di daerah kampung melayu
dan dibesarkan dikeluarga yang kurang mampu. Tapi, latar belakangnya tak
mengahalangi niat maryamah untuk menegakkan martabatnya. Tak peduli dengan
pendidikan terakhrir seorang Maryamah yang hanya sampai SD itupun tak sampai
tamat.
Latar
belakang dari keluarga yang miskin tak
membuat niatnya berhenti begitu saja. Nasibnya pun juga sama seperti masalah
ekonomi keluarganya. Maryamah menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga
setelah orang tuanya tiada. Dialah yang menajdi sandaran hidup keluarganya
ditengah himpitan kemiskinan yang semakin menjadi.
Didalam hidup melawan
kemiskinan Maryamah masih memiliki cita-cita yang ingin ia gapai yaitu belajar
Bahasa Inggris. Padahal itu jelas sangat bertolak belakang dengan kondisi
ekonomi dan sosialnya. Meskipun ia hanya bekerja sebagai pendulang timah ia
tetap berusaha untuk terus belajar Bahasa Inggris yang masih harus menempuh
jarak 100 km dari rumahnya.
Senyum lebar terpancar
dai Wajah Maryamah karena ia mendapatkan undangan untuk mernghadiri acara
wisuda kursus Bahasa Inggrisnya. Dengan pakaian terbaiknya Maryamah datang
bersama Detektif M. Nur. Ibu indri sebagai direktur kursus, mengumumkan lima
lulusan terbaik. Pertama seorang wanita muda Tionghoa, yang kedua anak muda
Melayu kelas dua SMA, yang ketiga dan keempat adalah anak-anak kelas tiga SMA.
“Lulusan terbaik kelima,” kata bu Indri. “Maryamah binti Zamzami!”. Ia sangat
terkejut mendengarnya, dengan bangganya Maryamah pun maju untuk mengambil
piagamnya. Istimewanya lagi ia diberi kesempatan berpidato, namun Maryamah diam
sejenak lalu berkata, “Sacrifice,
honesty, freedom. “ itu saja, lalu ia mundur.
Setelah menjadi pecatur
wanita pertama yang mengikuti turnamen di hari kemerdekaan Indonesia Maryamah
menjadi sangat dikenal banyak orang. Dengan gaya bermain caturnya yang seperti
permainan catur ala Anatoly Karpov kini Maryamah mendapat nama belakang
Karpov juga. Permain caturnya seperti media perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan beberapa orang (laki-laki) terhadapnya dulu. Dengan hasil
yang telah dirasakan Maryamah sebagai pemenang permainan caturnya kini Maryamah
bisa menghilangkan traumanya yang selama ini menjadi pikiran didirinya.
Jadi
untuk menjadi pahlawan atau pejuang atau patriot tak harus ikut peperangan
ataupun sejenisnya. Melainkan dari hal-hal yang simpel yang kadang selalu
diremehkan oleh laki-laki. Seperti yang diceritakan pada Novel “Cinta di Dalam
Gelas” karya Andrea Hirata ini, seorang wanita yang mampu mengalahkan para
pecatur-pecatur laki-laki. Untuk saat ini kita bisa menjadi pahlawan bagi
teman, saudara, guru, orangtua, keluarga, dan lain-lain melalui karya-karya
yang simpel dan berguna bagi mereka.
No comments:
Post a Comment