Translate

Thursday, May 16, 2013

ESAI KRITIK PROSA Firdausya Lana

SEBAIK-BAIKNYA KEBAIKAN DALAM NOVEL MENATAP PUNGGUNG MUHAMMAD 
KARYA FAHD DJIBRAN

Oleh
Firdausya Lana - 100211406092

Saya jatuh cinta pada intisari cerita ini yang  dengan indahnya melambangkan tagline,”apapun agamamu, kebaikan tak mungkin kau tolak”

Pertama kali saya mendengar nama Fahd Djibran tahun 2011 melalui forum diskusi kaskus dari rekomen salah satu teman diskusi saya. Awalnya saya kurang tertarik dengan judulnya, karena bagi saya asma yang agung sekelas Muhammad tidak sepantasnya dijadikan fiksi. Sekelas Kanjeng Nabi seharusnya semata hanya ada di kitab suci atau paling banter biografi. Rasanya sombong sekali berani mengimajinasikan sosok manusia yang paling dilindungi oleh Sang Kausa Prima, seakan berani menyentuh kesakralannya yang sudah dijaga turun-temurun seluruh umat muslimin di dunia.



Prinsip saya dianggap kolot dan memang tidak adil ketika saya menilai sesuatu sebelum saya pahami betul objek itu. Tidak hanya membaca antusiasme pembaca lewat testimoni dalam forum diskusi, tetapi juga berbagai jejaring sosial yang bersangkutan dengan diskusi penggemar karya Fahd Djibran yang berjudul Menatap Punggung Muhammad ini. Akhirnya saya mulai tergelitik untuk membaca juga, iman tergoda untuk membeli pula. Jika akhirnya saya menerima pendapat positif teman-teman pasti sangat menyenangkan memiliki buku dengan ekspektasi yang baik di mata teman-teman saya. Jikapun setelah saya membaca, saya semakin banyak menemukan kebenaran atas dugaan saya diawal, maka saya akan memuseumkan buku tersebut, dengan catatan “saya tidak akan baca lagi!”
Pada akhirnya saya mendapatkan buku ini. Saya membacanya seperti makan camilan gurih, pahit, manis, dan masam secara bergantian. Namun semua rasa dalam buku ini menuju satu tujuan yaitu kenyang akan pesan moral universal. Istilah ‘universal’ ini perlu digaris bawahi dan ditebalkan. Bagaimana tidak? Meski mengusung nama Muhammad, karya ini dominasi ceritanya menurut saya dalam lingkup universal, tidak berpihak. Memang kental akan unsur Islam, namun kepadatan unsur Islam ini bukan dari sisi berat yang dipenuhi potongan ayat ataupun hadits dan hanya ditahui umat muslim yang keluar masuk masjid.  Cerita ini membuat orang awam macam saya lebih mencintai Islam karena kesahajaannya yang mengajarkan kita atas ‘kebaikan’ yang sesungguhnya, ‘kebenaran’ sesungguhnya dan ‘toleransi’ sesungguhnya. Secara tidak langsung membaca buku ini adalah memberi makan rohani kita.
Menatap Punggung Muhammad ini menceritakan tokoh Aku adalah seorang non-Muslim yang melakukan “pencarian” setelah ia bermimpi bertemu dengan Muhammad, Sang Nabi. Sebuah mimpi yang menyentakkan kesadarannya, sebab dalam mimpi itu Muhammad berpesan padanya tentang kebaikan, apapun agamamu, kebaikan tak mungkin kau tolak.
Mulanya, ia berusaha menolak mimpi itu. Tetapi, semakin ia tolak, bayangan Muhammad dalam mimpinya semakin lekat dalam ingatannya. Entah bagaimana mimpi ini terus-menerus membuatnya gelisah. Ada semacam getar spiritual yang ia rasakan dalam hatinya; ia sama sekali merasa tak pantas menerimanya, sementara sosok Muhammad begitu memesona. Bila mimpi bertemu dengan Muhammad adalah mimpi yang suci bagi mereka yang Muslim, batinnya, mengapa mesti aku yang mendapatkannya? Sampai saatnya, ia memutuskan untuk memulai sebuah pencarian menemukan Muhammad.
Dari mimpi itulah yang membuat dia harus mencari kebenaran atau mencari Muhammad. Padahal dia telah mencoba untuk menghilangkan mimpi itu dalam pikirannya, namun semakin dia mencoba menghilangkan mimpi itu dalam pikirannya, nyatanya dia semakin memikirkan mimpinya itu. Walhasil,  dia harus meninggalkan rumah, keluarga dan juga pacarnya, yang  kemudian beberapa bulan setelah itu dia mengirim surat seratus halaman itu pada kekasihnya, Azalea. Dari suratnya itu, tokoh Aku bercerita tentang perjalan pencariannya itu. Saat bertemu  kembali dengan paman yang lama tak bertemu disebabkan pamannya menjadi muallaf yang tak diterima dalam keluarganya.
Dari pamannya itu kemudian dia share atas apa yang terjadi padanya.  Pamannya pun memberi jawaban-jawaban yang bijak dan menambah banyak pengetahuan padanya. Konon, pamannya masuk islam sama persis karena apa yang terjadi pada dia, sehingga sampai saat ini pamannya ada dalam lingkungan pesantren dan mengajar di sebuah universitas Islam swasta. Dia banyak Tanya tentang mimpi dan Muhammad.
Tak hanya itu, dia juga akhirnya bertemu dengan seorang muslim di sebuah perpustakaan, yang akhirnya bisa menjadi teman share dan diskusi dengannya, masih dengan perihal yang sama, tentang mimpi dan Muhammad. Dari orang itu pula akhirnya dia mendapatkan banyak masukkan dan ilmu. Dia semakin tertarik membaca buku-buku tentang mimpi dan Muhammad. Semua literature barat dan timur tentang Muhammad dia baca dan itupun dia ceritakan pada kekasihnya dalam surat yang ia kirimkan.
Lepas dari sinopsis yang tadi saya paparkan, saya lebih menyoroti nilai-nilai kerohanian yang menjurus pada kebaikan tanpa mengenal perbedaann disuguhkan Fahd Djibran melalui potongan-potongan cerita si Aku (tokoh utama) dalam suratnya.
Nilai moral dalam novel Menatap Punggung Muhammad karya Fahd Djibran ini, didominasi dalam penokohan Muhammad dan Aku. Semisal tokoh Muhammad dijelaskan melalui beberapa ilustrasi yang diambil dari hadits, seperti cerita tokoh Muhammad dan pengemis buta yang mengangkat moralitas.
Diceritakan bahwa Muhammad setiap harinya senantiasa memberikan makanan pada seorang pengemis buta yang selalu menghardiknya. Meski pengemis sangat membencinya tapi Muhammad sangat peduli padanya bahkan Muhammad menghaluskan makanannya sebelum dia menyuapi pengemis itu.
Sang pengemis buta itu tidak tahu bahwa orang yang memberinya makan setiap hari itu adalah Muhammad yang amat dia benci. Pengemis buta itu sangat menyayangi pemuda itu, bahkan kabar kematian Muhammad pun ingin ia kabarkan pertama kali pada pemuda yang memberinya makan tiap hari. Ia tak menyadari bahwa orang yang ia benci dan orang yang amat ia sayangi adalah orang yang sama.
Pengemis buta itu akhirnya menyadari hal itu dari Abu Bakar. Abu Bakar senantiasa mengamalkan segala sesuatu yang dilakukan Nabi selama hidup di dunia. Abu Bakar mendatangi pengemis itu.
Berikut kutipan percakapan dan peristiwa Abu Bakar dengan Pengemis yang menunjukkan nilai moral yang ditunjukkan Muhammad melalui kebaikan telam melunturkan kebencian pada si Pengemis, pada halaman 64.
“Siapa kau?” kata si Pengemis sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi. Ia menepis tangan Abu Bakar yang ingin menyuapinya.
“Aku orang yang biasa mendatangimu,” kata Abu Bakar sekali lagi. Ada getar di ujung suaranya.
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!” bantah si Pengemis itu. Kepalanya bergerak-gerak. “Kau bukan orang itu. Sebab apabila ia datang padaku, tidak akan susah tangan ini memegang dan tidak akan susah tangan ini memegang dan tidak akan susah tangan ini mengunyah. Orang yang setiap hari mendatangiku akan akan duduk bersimpuh disampingku, lalu ia mulai menyuapiku setelah terlebih dahulu ia haluskan makana yang ia bawa untukku,” Si Pengemis menjelaskan semuanya.
Mendengar kata-kata Si Pengemis, Abu Bakar tak bisa menahan air matanya lagi. “Aku memang bukan orang yang biasa mendatangimu,” kata Abu Bakar sambil terisak, “Aku hanyalah salah seorang sahabatnya. Orang yang sangat mulia itu telah pergi, ia telah tiada. Dialah Muhammad Rasulullah”
Mendengar kata-kata terakhir Abu Bakar, Si Pengemis merasakan sesuatu seolah menghantam dadanya dengan keras. Ingatannya kembalipada saat-saat orang yang sangat lembut  dan penuh kasih itu biasa mendatanginya setiap hari. Diakah Muhammad? Dadanya tiba-tiba menjadi sangat lemah. Ia mulai mendapati air mata melelh dari tebing pipinya. Diakah Muhammad yang setiap hari aku caci-maki dengan penuh kebencian? Katanya dalam hati.
Tindakan tokoh Muhammada dalam novel ini membuktikan bahwa untuk melawan suatu kebencian bukan berarti dengan kebencian yang sama. Tapi dengaan kasih yang penuh maaf mampu memaklumi karena mata si Pengemis hanya belum mengetahui siapa diri Muhammad sesungguhnya.
Sedangkan tokoh Aku dalam novel ini menyibak sisi kebaikan secara gamblang melalui introspeksi tindakan yang dilakukan pada kesalahan dimasa lalu bersama kekasihnya Azalea. Berikut kutipan dari novel yang menunjukkan bahkan tokoh Aku menyesali segala tindaknya dimasa lalu, di halaman 120.
Pasti ada yang slah dengan kita berdua, Azalea. Atau memang beginikah karma di mabuk cinta? Kita menjadi dua orang yang di mudah sekali lupa pada janji yang kita buat bersama. Kita mengabaikan getar hati yang menolak untuk melakukan kebusukan dan dosa-dosa, kita lebih berpihak padakenangan sesaat yang sering sekali membawa pada penyesalan—sesaat.
Azalea, malam itu, sesampainya dirumah. Aku benar-benar berpikir bahwa kita memang telah menjadi dua orang yang oenuh dosa. Seminggu belakangan ini kita banyak bicara soal iman, agama, dan lainnya—tetapi sikap dan perilaku kita bertentangan dengannya. Aku juga tak mengerti mengapa pengetahuan yang kita pahami tak bisa kita konversikan menjadi kesadaran yang kita laksanakan dalam tindakan kita sehari-hari? Entahlah, aku juga tak mengerti.
Aku berpikir keras sekali. Ada yang salah dengan diri kita, Azalea. Paling tidak, ada cara yang salah dengan cara kita merayakan cinta. Kesalahan yang sangat besar dan fatal.
Tokoh aku disini mengakui dan menyesali segala tindak zina yang pernah ia lakukan bersama kekasihnya.
Melalui debat antara tokoh Paman Herman dan tokoh aku juga mengangkat nilai kebaikan yang kental namun diulas secara sederhana melalui sebuah metafora duri. Berikut kutipan debat antara keponakan dan Paman tersebut.
Aku:

Paman, mengapa kebaikan lebih utama daripada iman?

Paman Herman:

Keponakanku,

Kita semua telah tahu bahwa iman bukan hanya soal pengakuan dan persaksian, iman harus bisa dibuktikan melalui perbuatan. Muhammad pernah bersabda, jenis keimanan bisa bermacam-macam, dan salah satunya adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Kita pasti bertanya-tanya, apa hubungannya keimanan dengan menyingkirkan duri dari jalanan?

Kita tahu duri adalah benda, yang meskipun kecil, sangat mungkin mengganggu pengguna jalan . tentu saja ini hanya metafora, dizaman ketika Muhammad hidup, karena perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki atau menunggang unta atau kuda, amsal material yang paling tepat untuk menunjukkan material yang dapat mengganggu keselamatan para pajalan adalah duri. Kini, duri bisa saja menjadi benda lain, misalanya paku atau batu.  Namun yang terpenting adalah bahwa hadits ini memiliki dasar ajaran Islam dalam memperbaiki tiap “penyakit” yang dapat merusak “kehidupan-bersama”. Ya, “kehidupan-bersama”, sebab para pengguna jalan bukan hanya mereka yang beragama Islam—mereka bisa jadi orang lain yang beragama berbeda atau memiliki ideologi politik yang berbeda-beda.

Barang kali ini bisamanjadi jawaban awal mengapa kebaikan lebih utama dari iman. Sebab kebaikan adalah pembuktian keimanan yang sanggup melampaui keimanan itu sendiri. Melampaui batas-batas agama. Saat kita menjadi orang beriman, kita memiliki identitas tersendiri—kita tahu bahwa ada seseorang yang lain dengan keimanan yang berbeda. Tetapi saat kita berbuat baik, kita tak perlu melihat identitas—keimanan orang lain –sebab kebaikan sesungguhnya selalu melampaui iman. Itulah sebab mengapa menyingkirkan duri dari jalanan merupakan pembuktian keimanan yang dianjurkan oleh Muhammad.

Saat kamu membantu seorang tua menyebrang jalan, meskipun sang tua hendak pergi melakukan peribadatan agamanya yang berbeda denganmu, tindakanmu tetaplah sebuah kebaikan. Maka, Muhammad memberikan metaphor yang sangat baik uantuk memotret keindahan iman yang diaplikasikan menjadi kebaikan: menyingkirkan duri dari jalanan.

Metafora duri ini, bagi Paman, mengajarkan kita dua keinsyafan. Keinsyafan yang pertama mengajarkan kita bahwa “masalah”  yang kita jumpai di ruang publik adalah masalah bersama . suatu masalah, seperti setitik nila, ia mungkin jatuh pada sudut tertentu di belanga susu; namun nila itu akan membuat seluruh susu itu menjadi tercemar. Maka, bila merujuk pada hadits duri , keimanan yang baik seharusnya tercermin melalui kebaikan yang melampaui identitas “aku”, “kamu”. “kami” dan “mereka”. Perbuatan baik, sebagai wujud dari keimanan, harus bisa melampaui identitas apapun.

Keinsyafan kedua adalah bahwa tindakan iman dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Menyingkirkan duri dari jalanan itu sederhana, namun Muhammad menegaskan bahwa dalam kesederhanaan itu (bila memberikan keselamatan bagi manusia lain) terletak bukti keimanan.    . . .

Nasihat yang diberikan Paman dari tokoh aku ini dijelaskan, tokoh Paman dengan nuansa kebapakan yang penuh pengertian dengan penjabaran detail. Lewat nasehat yang diberikan Paman Herman ini, terlihat sekali bahwa penulis benar-benar mempertimbangkan analisa kejiwaan tiap tokoh dan perannya. Dimana sosok paman yang berwibawa seperti Paman Herman ini menggunakan tutur yang tertata dan bersahaja, menampakkan sisi kedewasaan yang sudah mengenyam pahit getir kehidupan.
Penjabaran detail yang diberikan tokoh Paman Herman ini juga menunjukkan “rasa memaklumi” pada keponakannya yang belum memahami tentang perihal yang ditanyakan.
Selain itu, Fahd Djibran sukses mencipta karya dengan alur periodik yang anggun dan membawa unsur fiksi ke alam nyata. Bapak satu anak ini dengan apiknya menggiring fiksi seakan jadi nyata dengan menggunamakan nama Penyunting Novel ini sebagai tokoh didalamnya pada bagian innterlude.
Novel ini memberi pandangan universal mengenai kebaikan yang melampaui iman dan menggambarkan permasalahan sosial dari sisi yang berbeda. Terlihat sekali niatan penulis menghadirkan karya fiksi ini untuk saling menghargai kepercayaan yang beragam di Indonesia. Lewat esai kritik ini pula saya mohon maaf kepada penulis Fahd Djibran, atas keberanian saya untuk merendahkan suatu karya tanpa membaca dan mengapresiasinya terlebih dahulu. Saya ucapkan terimakasih pula karena sudah menciptakan karya ini dan saya ucapkan terimakasih pula pada novel ini karena sudah menginspirasi tidak hanya dalam menulis sastra tetapi juga dalam kehidupan.

DAFTAR RUJUKAN

Djibran, Fahd. 2010. Menatap Punggung Muhammad. Jakarta: Litera Pustaka

No comments:

Post a Comment