KULTUR BUDAYA JAWA DAN PENGGAMBARAN SUASANA YANG
MENDETAIL PADA NOVEL BEKISAR MERAH
KARYA AHMAD TOHARI
Oleh:
Fenin
Inaya - 100211406102
Bekisar merupakan sejenis ayam, hasil persilangan antara ayam
hutan dengan ayam piaraan. Keberadaannya cukup langka dan memiliki banyak
keistimewaan. Sejumlah ayam dan unggas menghargainya demikian tinggi. Jauh
lebih tinggi dari harga masing-masing induknya. Namun, novel ini tidak berbicara
tentang bekisar dalam artian sesungguhnya.
Novel ini justru berkisah tentang kehidupan Karangsoga,
kampung pembuat gula kelapa, di mana para lelaki memanjat kelapa untuk
memperoleh nira yang dikumpulkan dalam pongkor bambu sementara para perempuan
menunggu di rumah sembari bersiap memasak nira dalam tungku panas hingga
menjadi gula.
Ahmad Tohari dengan penguasaannya terhadap kultur Jawa
bertutur dengan sangat baik tentang sistem kepercayaan dan nilai Jawa dalam
masyarakat. Dalam novel ini, ia masih memunculkan masyarakat Jawa yang polos,
lugu dan memegang teguh nilai luhur budaya Jawa. Di mana di sana selalu ada
panutan, rujukan dalam setiap masalah yang dihadapi warga.
Ahmad Tohari juga sangat piawai menggambarkan alam pedesaan
Karangsoga. Setiap sudut keasrian dewa ia ungkapkan dengan sangat mendetail.
Sehingga, para pembaca ikut merasakan kesejukan alam pedesaan. Pada setiap
bagian awal adegan dalam novel selalu ia mulai dengan penggambaran situasi alam
di desa itu. Sungguh sangat piawai dia dalam menggambarkan alam sekitar dalam
novel hingga pembaca mampu mengimajinasikannya.
Kemiskinan penduduk digambarkan dengan sangat menyentuh oleh
Tohari. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan
struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat
rinci. Kekuatan lain dari novel-novelnya adalah pemaparan yang sangat
artikulatif tentang alam pedesaan. Pembaca seolah dibawa ke alam pedesaan
hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir, menyaksikan burung
jalak yang memberi makan anak-anaknya, kelentang-kelentung bunyi pongkor (bambu
untuk menadah getah nira), ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang
airnya mengalir lewat batu-batu berlumut. Pemahaman tentang masalah sumberdaya
alam juga sangat dalam, misalnya tentang perusakan hutan tutupan oleh penduduk
setempat karena faktor kemiskinan mereka. Tidak ada alternatif untuk memperoleh
keuntungan sedikit lebih, dengan ‘mencuri’ kayu sebagai bahan bakar membuat
tengguli, bahan gula merah.
Tokoh utama dalam novel tersebut adalah Lasi, seorang
wanita keturunan blasteran Jawa–Jepang. Dia dikisahkan sebagai perempuan paling
cantik di antara sebayanya. Ayah Lasi ialah bekas serdadu Jepang. Karena
kecantikannya, ia selalu menjadi target para lelaki di desanya. Dalam kisah
kecilnya, Lasi selalu menjadi olok-olok teman sekolahnya. Karena matanya yang
sipit, berbeda dengan kebanyakan anak Karangsoga. Tetapi ada satu anak yang
tidak ikut menggoda Lasi, bernama Kanjat. Dua tahun lebih muda, namun pintar
dan baik hati di mata Lasi.
Menginjak usia dewasa, Lasi kemudian menikah. Ia menjadi
istri Darsa, pemanjat yang memiliki dua belas pohon kelapa. Sekaligus juga
keponakan Wiryaji, suami sambung ibunya. Kehidupan pasangan muda ini
berbahagia, meskipun dalam jerat kemiskinan dan bayangan masa depan tidak
menentu. Sampai tiga tahun pernikahan, mereka belum juga memiliki keturunan.
Lasi sangat mengabdi pada Darsa, setiap pagi menjelang Lasi dengan sekuat
tenaga membantu Darsa membuat gula merah, hasil olahan nira kelapa.
Suatu ketika Darsa jatuh dari pohon kelapa, tidak mati tetapi
mengalami luka parah, terus menerus buang air kecil tanpa henti. Dengan sabar
Lasi merawatnya. Bahkan sampai menggadaikan tanah pada tengkulak untuk menutup
biaya pengobatan Darsa di Rumah Sakit. Meskipun Ia tahu konsekuensinya, harga
gula produksinya akan dipermainkan dengan seenak hati oleh tengkulak. Tapi
Darsa belum sembuh benar, terpaksa dibawa pulang karena ketiadaan biaya. Di
dalam rumah Darsa selalu mengerang kesakitan serta memanggil-manggil nama Lasi
untuk membersihkan ompol yang selalu membasahi kasurnya. Tak pelak, gairah
kelaki-lakiannya juga terganggu.
Darsa kemudian berobat pada dukun pijat, Bunek yang terkenal
dapat menyembuhkan segala jenis penyakit yang berhubungan dengan alat vital
pria. Perlahan tapi pasti, Ia kemudian sembuh. Hingga suatu pagi, Ia mendatangi
istrinya bercerita bahwa Ia sudah tidak ngompol lagi. Sejenak kebahagian
dirasakan pasangan muda ini. Gairah yang sekian lama terpendam dapat
disalurkan. Darsa kembali utuh sebagai lelaki.
Tetapi disinilah justru permasalahan dan konflik mulai
terbangun. Tidak berapa lama semenjak kesembuhan Darsa. Sipah, anak Bunek
meminta pertanggungjawaban. Ia mengaku hamil oleh perbuatan Darsa. Lasi
kemudian kalut, bercampur sedih dan jengkel karena suami yang dirawat dengan
penuh kasih dan pengorbanan semasa sakit ternyata berbuat tidak semestinya
dengan perempuan lain. Lasi kemudian lari ke Jakarta, menumpang truk Pardi,
tetangganya mengantarkan gula kelapa.
Sebagaimana sopir kebanyakan, Pardi memiliki sejumlah rumah
makan langganan sepanjang perjalanan menuju Jakarta. Ia juga punya ’pacar’ di
tiap rumah makan yang disinggahi. Lasi kemudian dititipkan di salah satu rumah
makan langganan Pardi untuk diambil kembali sepulang dari Jakarta. Lasi
diperlakukan dengan sangat baik oleh pemilik rumah makan, Bu Koneng. Seolah
menemukan kedamaian, Ia tidak mau kembali ke Karangsoga. Tetapi tidak ada
kebaikan tanpa pamrih, apalagi di kota besar seperti Jakarta.
Petualangan Lasi berlanjut. Karena keluguannya, Ia tidak
sadar kalau masuk dalam perangkap perdagangan perempuan. Lepas dari Bu Koneng,
Ia kemudian dibawa oleh Bu Lanting, yang terkagum akan kecantikan Lasi. Sekali
lagi, Bu Lanting adalah orang baik di mata Lasi, sementara Lasi berprinsip
bahwa ketika menerima kebaikan seseorang, Ia seperti berhutang sehingga harus
dibayar dengan kebaikan pula. Karena itu ia menurut saja ketika diajak ikut Bu
Lanting ke rumahnya. Perempuan bermata sipit pada masa itu memang sedang tren,
mengikuti Pemimpin Besar Revolusi yang memiliki istri bermata sipit.Oleh Bu
Lanting, Lasi dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi kian cantik. Ia juga
dibiasakan dengan budaya kota, termasuk dalam hal berpakaian dan gaya hidup.
Sampai dianggap siap, Ia kemudian dikenalkan dengan Handarbeni, lelaki tua yang
sedang mencari perempuan bermata sipit untuk dijadikan istri, entah keberapa.
Lasi kemudian menikah dengan Handarbeni. Sebuah pernikahan
pura-pura, tanpa makna. Sekedar prestise bagi Handarbeni. Dalam rangka mengurus
surat cerai dari Darsa, Lasi kembali ke Karangsoga sebagai ’sosok berbeda’.
Lasi yang sangat kaya dan kian cantik. Ia bercengkrama kembali dengan sebagian
masa lalunya. Bertemu kembali dengan Kanjat yang sudah menjadi sarjana. Dua
insan ini ternyata saling mencintai. Namun masing-masing harus menjalani
takdirnya, Lasi kembali ke Jakarta dan menjalani pernikahan semu dengan
Handarbeni. Sementara hatinya tetap untuk Kanjat. Dalam tidurnya, Lasi selalu
berdoa akan segalanya. Segala cinta yang telah ia rasakan pada Kanjat.
Handarbeni mengetahui apa yang dirasakan oleh Lasi. kepada
Kanjat. Perasaan Pak Handarbeni kepada Lasi tak berubah adanya, justru
Handarbeni membiarkan Lasi pulang kembali ke KarangSoga agar menjalin hubungan
lagi dengan Kanjat yang selama ini ia damba-dambakan.
Dalam pembahasan teori mengenai Bekisar Merah ada beberapa
teori pendukung dalam analisis ini, yaitu moral itu sendiri. Moral yang sangat
mendasari pada kandungan isi sebuah novel baik dari segi sikap, tingkah laku
dan ceritanya. Istilah Moral berasal dari bahasa latin. Moral merupakan sesuatu
yang ingin disampaiakan oleh pengarang kepada pembaca, yang merupakan makna
yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang disarankan lewat
cerita.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatik.
Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan
tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan
politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan
ini cenderung nenilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai
tujuan tertentu bagi pembacanya. Karena karya satra tidak lepas dari sebuah
pelajaran dan permasalahan kehidupan. Sehingga sering sekali karya sastra
disebut dengan realitas yang difiksikan dengan mengambil berbagai nilai atau
pelajaran yang ada.
Selain itu juga terdapat pendekatan mimetik. Pendekatan
mimetik memandang karya sastra sebagai pencerminan kenyataan kehidupan manusia.
Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan
aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan.
Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu
menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan
realita semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi
oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan
kenyataan.
Nilai yang bermanfaat bagi pembaca pada novel tersebut ialah
jangan pernah mengecewakan dan menghianati kepercayaan orang lain, tidak
sombong dan peduli terhadap orang yang kurang mampu serta membeli sesuatu yang
hanya bermanfaaat saja, tidak mencari istri cantik sebagai kepuasan saja serta
mau menolong meskipun diri sendiri mengalami suatu permasalahan yang sama-sama
berat.
No comments:
Post a Comment