Translate

Thursday, May 16, 2013

ESAI KRITIK PROSA Fenin Inaya

KULTUR BUDAYA JAWA DAN PENGGAMBARAN SUASANA YANG MENDETAIL PADA NOVEL BEKISAR MERAH
KARYA AHMAD TOHARI
Oleh:
Fenin Inaya - 100211406102


Bekisar merupakan sejenis ayam, hasil persilangan antara ayam hutan dengan ayam piaraan. Keberadaannya cukup langka dan memiliki banyak keistimewaan. Sejumlah ayam dan unggas menghargainya demikian tinggi. Jauh lebih tinggi dari harga masing-masing induknya. Namun, novel ini tidak berbicara tentang bekisar dalam artian sesungguhnya.

Novel ini justru berkisah tentang kehidupan Karangsoga, kampung pembuat gula kelapa, di mana para lelaki memanjat kelapa untuk memperoleh nira yang dikumpulkan dalam pongkor bambu sementara para perempuan menunggu di rumah sembari bersiap memasak nira dalam tungku panas hingga menjadi gula.
Ahmad Tohari dengan penguasaannya terhadap kultur Jawa bertutur dengan sangat baik tentang sistem kepercayaan dan nilai Jawa dalam masyarakat. Dalam novel ini, ia masih memunculkan masyarakat Jawa yang polos, lugu dan memegang teguh nilai luhur budaya Jawa. Di mana di sana selalu ada panutan, rujukan dalam setiap masalah yang dihadapi warga.
Ahmad Tohari juga sangat piawai menggambarkan alam pedesaan Karangsoga. Setiap sudut keasrian dewa ia ungkapkan dengan sangat mendetail. Sehingga, para pembaca ikut merasakan kesejukan alam pedesaan. Pada setiap bagian awal adegan dalam novel selalu ia mulai dengan penggambaran situasi alam di desa itu. Sungguh sangat piawai dia dalam menggambarkan alam sekitar dalam novel hingga pembaca mampu mengimajinasikannya.
Kemiskinan penduduk digambarkan dengan sangat menyentuh oleh Tohari. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat rinci. Kekuatan lain dari novel-novelnya adalah pemaparan yang sangat artikulatif tentang alam pedesaan. Pembaca seolah dibawa ke alam pedesaan hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir, menyaksikan burung jalak yang memberi makan anak-anaknya, kelentang-kelentung bunyi pongkor (bambu untuk menadah getah nira), ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat batu-batu berlumut. Pemahaman tentang masalah sumberdaya alam juga sangat dalam, misalnya tentang perusakan hutan tutupan oleh penduduk setempat karena faktor kemiskinan mereka. Tidak ada alternatif untuk memperoleh keuntungan sedikit lebih, dengan ‘mencuri’ kayu sebagai bahan bakar membuat tengguli, bahan gula merah.
Tokoh utama dalam novel tersebut adalah Lasi, seorang  wanita keturunan blasteran Jawa–Jepang. Dia dikisahkan sebagai perempuan paling cantik di antara sebayanya. Ayah Lasi ialah bekas serdadu Jepang. Karena kecantikannya, ia selalu menjadi target para lelaki di desanya. Dalam kisah kecilnya, Lasi selalu menjadi olok-olok teman sekolahnya. Karena matanya yang sipit, berbeda dengan kebanyakan anak Karangsoga. Tetapi ada satu anak yang tidak  ikut menggoda Lasi, bernama Kanjat. Dua tahun lebih muda, namun pintar dan baik hati di mata Lasi.
Menginjak usia dewasa, Lasi kemudian menikah. Ia menjadi istri Darsa, pemanjat yang memiliki dua belas pohon kelapa. Sekaligus juga keponakan Wiryaji, suami sambung ibunya. Kehidupan pasangan muda ini berbahagia, meskipun dalam jerat kemiskinan dan bayangan masa depan tidak menentu. Sampai tiga tahun pernikahan, mereka belum juga memiliki keturunan. Lasi sangat mengabdi pada Darsa, setiap pagi menjelang Lasi dengan sekuat tenaga membantu Darsa membuat gula merah, hasil olahan nira kelapa.
Suatu ketika Darsa jatuh dari pohon kelapa, tidak mati tetapi mengalami luka parah, terus menerus buang air kecil tanpa henti. Dengan sabar Lasi merawatnya. Bahkan sampai menggadaikan tanah pada tengkulak untuk menutup biaya pengobatan Darsa di Rumah Sakit. Meskipun Ia tahu konsekuensinya, harga gula produksinya akan dipermainkan dengan seenak hati oleh tengkulak. Tapi Darsa belum sembuh benar, terpaksa dibawa pulang karena ketiadaan biaya. Di dalam rumah Darsa selalu mengerang kesakitan serta memanggil-manggil nama Lasi untuk membersihkan ompol yang selalu membasahi kasurnya. Tak pelak, gairah kelaki-lakiannya juga terganggu.
Darsa kemudian berobat pada dukun pijat, Bunek yang terkenal dapat menyembuhkan segala jenis penyakit yang berhubungan dengan alat vital pria. Perlahan tapi pasti, Ia kemudian sembuh. Hingga suatu pagi, Ia mendatangi istrinya bercerita bahwa Ia sudah tidak ngompol lagi. Sejenak kebahagian dirasakan pasangan muda ini. Gairah yang sekian lama terpendam dapat disalurkan. Darsa kembali utuh sebagai lelaki.
Tetapi disinilah justru permasalahan dan konflik mulai terbangun. Tidak berapa lama semenjak kesembuhan Darsa. Sipah, anak Bunek meminta pertanggungjawaban. Ia mengaku hamil oleh perbuatan Darsa. Lasi kemudian kalut, bercampur sedih dan jengkel karena suami yang dirawat dengan penuh kasih dan pengorbanan semasa sakit ternyata berbuat tidak semestinya dengan perempuan lain. Lasi kemudian lari ke Jakarta, menumpang truk Pardi, tetangganya mengantarkan gula kelapa.
Sebagaimana sopir kebanyakan, Pardi memiliki sejumlah rumah makan langganan sepanjang perjalanan menuju Jakarta. Ia juga punya ’pacar’ di tiap rumah makan yang disinggahi. Lasi kemudian dititipkan di salah satu rumah makan langganan Pardi untuk diambil kembali sepulang dari Jakarta. Lasi diperlakukan dengan sangat baik oleh pemilik rumah makan, Bu Koneng. Seolah menemukan kedamaian, Ia tidak mau kembali ke Karangsoga. Tetapi tidak ada kebaikan tanpa pamrih, apalagi di kota besar seperti Jakarta.
Petualangan Lasi berlanjut. Karena keluguannya, Ia tidak sadar kalau masuk dalam perangkap perdagangan perempuan. Lepas dari Bu Koneng, Ia kemudian dibawa oleh Bu Lanting, yang terkagum akan kecantikan Lasi. Sekali lagi, Bu Lanting adalah orang baik di mata Lasi, sementara Lasi berprinsip bahwa ketika menerima kebaikan seseorang, Ia seperti berhutang sehingga harus dibayar dengan kebaikan pula. Karena itu ia menurut saja ketika diajak ikut Bu Lanting ke rumahnya. Perempuan bermata sipit pada masa itu memang sedang tren, mengikuti Pemimpin Besar Revolusi yang memiliki istri bermata sipit.Oleh Bu Lanting, Lasi dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi kian cantik. Ia juga dibiasakan dengan budaya kota, termasuk dalam hal berpakaian dan gaya hidup. Sampai dianggap siap, Ia kemudian dikenalkan dengan Handarbeni, lelaki tua yang sedang mencari perempuan bermata sipit untuk dijadikan istri, entah keberapa.
Lasi kemudian menikah dengan Handarbeni. Sebuah pernikahan pura-pura, tanpa makna. Sekedar prestise bagi Handarbeni. Dalam rangka mengurus surat cerai dari Darsa, Lasi kembali ke Karangsoga sebagai ’sosok berbeda’. Lasi yang sangat kaya dan kian cantik. Ia bercengkrama kembali dengan sebagian masa lalunya. Bertemu kembali dengan Kanjat yang sudah menjadi sarjana. Dua insan ini ternyata saling mencintai. Namun masing-masing harus menjalani takdirnya, Lasi kembali ke Jakarta dan menjalani pernikahan semu dengan Handarbeni. Sementara hatinya tetap untuk Kanjat. Dalam tidurnya, Lasi selalu berdoa akan segalanya. Segala cinta yang telah ia rasakan pada Kanjat.
Handarbeni mengetahui apa yang dirasakan oleh Lasi. kepada Kanjat. Perasaan Pak Handarbeni kepada Lasi tak berubah adanya, justru Handarbeni membiarkan Lasi pulang kembali ke KarangSoga agar menjalin hubungan lagi dengan Kanjat yang selama ini ia damba-dambakan.
Dalam pembahasan teori mengenai Bekisar Merah ada beberapa teori pendukung dalam analisis ini, yaitu moral itu sendiri. Moral yang sangat mendasari pada kandungan isi sebuah novel baik dari segi sikap, tingkah laku dan ceritanya. Istilah Moral berasal dari bahasa latin. Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaiakan oleh pengarang kepada pembaca, yang merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang disarankan lewat cerita.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatik. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung nenilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya. Karena karya satra tidak lepas dari sebuah pelajaran dan permasalahan kehidupan. Sehingga sering sekali karya sastra disebut dengan realitas yang difiksikan dengan mengambil berbagai nilai atau pelajaran yang ada.
Selain itu juga terdapat pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai pencerminan kenyataan kehidupan manusia. Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.

Nilai yang bermanfaat bagi pembaca pada novel tersebut ialah jangan pernah mengecewakan dan menghianati kepercayaan orang lain, tidak sombong dan peduli terhadap orang yang kurang mampu serta membeli sesuatu yang hanya bermanfaaat saja, tidak mencari istri cantik sebagai kepuasan saja serta mau menolong meskipun diri sendiri mengalami suatu permasalahan yang sama-sama berat.

No comments:

Post a Comment