Mahalnya Harga Kejujuran
dalam Naskah Drama Matahari di
Sebuah Jalan Kecil
Oleh
Wuri Setya Wardhani - 100211404898
Ada
pepatah bilang, kejujuran itu mahal harganya. Hal itu sekiranya sangat tepat
untuk mengkiaskan dengan kehidupan sekarang ini. Jika kita renungkan lebih
dalam, banyak sekali ketidakjuuran yang terjadi di sekeliling kita. Tidak perlu
muluk-muluk untuk menengok kehidupan
para pejabat yang glamor akan harta. Yang jelas-jelas kita tahu semuanya itu
hanya semu. Semu karena kelicikan dan akal bulus mereka, tanpa jerih payah yang
terlalu susah. Sekali lagi tidak perlu mengulik kehidupan mereka.
Mungkin
sadar atau tidak, di sekitar kita pun telah banyak yang menodai arti sebuah
kejujuran. Mereka dengan gampangnya meluncurkan kebohongan untuk memperdaya
orang-orang. Entahlah, barangkali mereka hanya berpikir sesaat dan tak pernah
berpikir bahwa kelak kita akan membutuhkan bantuan dari orang yang kita
perdaya. Bukankah sangat penting arti kepercayaan yang telah diberikan kepada
kita, kemudian dengan gampangnya kita menodainya dengan sebuah kebohongan.
Naskah
drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil karya
Arifin Chairin Noer mengajak kita meneropong ke dalam kisah nyata yang terjadi
pada masyarakat kita. Drama ini menceritakan tentang kisah kehidupan
para pegawai pabrik dan sebuah pembelajaran tentang jujur dan kebohongan di
sebuah warung milik seorang simbok yang letaknya berdekatan dengan lokasi
pabrik tersebut. Penulis menggambarkan nama para tokoh dengan menggunakan
simbol dan berikut nama para tokoh dalam naskah drama tersebut: si Tua, si
Pendek, si Kurus, si Peci, si Kacamata, Simbok, Pemuda, Penjaga malam,
Perempuan, dan si Sopir. Berawal dari obrolan ringan para buruh pabrik yang
mencoba menyindir bagaimana kejamnya kehidupan saat ini meliputi merajalelanya
tindak korupsi yang digambarkan penulis seperti seekor tikus dan tikus saat ini
sudah berani beraksi di siang hari.
Di tengah-tengah obrolan di warung Simbok tersebut
muncul seorang Pemuda dan memesan makanan. Obrolan tersebut berakhir seiring
lonceng tanda masuk bekerja telah berbunyi. Tinggal seorang Pemuda tersebut dan
sewaktu akan membayar tiba-tiba dia mengaku dompetnya tertinggal di rumah. Dia
mengaku rumahnya tidak jauh dari warung tersebut dan Simbokpun tidak langsung
percaya. Kemudian, muncul lagi si Kurus dan si Peci yang mencoba mencerca
Pemuda dengan berbagai pertanyaan untuk membuktikan bahwa benar Pemuda tersebut
memiliki rumah di desa tersebut. Namun, Pemuda selalu menjawab dan pandai dalam
mencari jawaban. Setelah itu, muncul Perempuan yang mencoba meredakan sedikit
keributan itu dengan membayarkan uang makanan Pemuda tersebut kepada Simbok.
Kaos Pemuda dijadikan barang jaminan, sampai pada akhirnya dengan kata-kata
yang berhasil memikat hati Simbok untuk menyerahkan kaos itu kembali dengan
tanpa syarat. Hingga pada akhirnya Pemuda tersebut ternyata sudah biasa
berbohong sama seperti yang telah dia lakukan di warung Simbok.
Pemenang
Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan penulis skenario terbaik ini
kali ini ingin memberikan sebuah gambaran kehidupan yang di mana harga
kejujuran itu sangat mahal. Penulis ingin menyampaikan nilai-nilai kehidupan
yang memberikan gambaran kepada pembacanya mengenai sesuatu kebaikan dan
pembelajaran hidup. Namun, Arifin tidak gamblang menyampaikan uneg-unegnya tersebut.
Barangkali
banyak yang ingin disampaikan oleh Arifin. Tetapi, jika boleh saya simpulkan,
semua yang ingin disampaikan oleh Arifin berujung pangkal pada kejujuran.
SIMBOK : Ya,
sayapun tak pernah menyangka, anak saya itu akan menjadi pencuri sepeda. Tidak,
saya cukup memberi ia makan. Tapi barangkali disebabkan pergaulannya atau
barangkali saya salah mengajar atau mendidik dia atau…..atau…..atau…. Oh, saya
tidak tahu. Tapi aku tahu dan percaya matamu lain dengan matanya. Saya melihat
matamu bening, sebab itu saya yakin kau tidak seperti anak saya. Kau seperti
kemenakan saya. Kau pasti…Kau pasti anak baik. (tiba-tiba) Akh, cepat terimalah
baju ini dan segeralah kau pergi dari tempat ini sebelum penjaga malam sampai
kemari.
PEMUDA : (menerima
baju itu) baiklah. Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.
BEGITU IA LENYAP, MUNCUL PENJAGA MALAM YANG
TAMPAK BARU SELESAI MANDI. IA TAMPAK KEDINGINAN.
PENJAGA
MALAM: Minta pecel yang pedes
(kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?
SIMBOK : (tak
begitu acuh) Ya.
PENJAGA
MALAM: Bagaimana tampangnya?
SIMBOK : Kurus dan
cantik.
PENJAGA
MALAM: Pakai baju lurik.
SIMBOK : Ya, kalau
tidak salah.
PENJAGA
MALAM: Bajigur! Bajigur! Kurang
ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia? Jangkrik anak itu!
Belut!
SIMBOK : Ada apa?
Ada apa?
PENJAGA
MALAM: Pasti dia. Kemarin malam dia
juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.
SIMBOK : Haa….?
(menelan ludah) Ya, Allah.
Lewat
tingkah laku seorang tokoh yang ia simbolkan sebagai pemuda, ia menampilkan ketidakjujuran itu. Seorang pemuda yang
bermulut manis berbohong pada simbok untuk tidak membayar makanan yang dibelinya.
Dengan hasutan dan rayuaannya, ia berhasil memperdaya kepercayaan yang
diberikan simbok kepadanya. Di satu sisi, Arifin juga menampilkan beberapa
kelompok orang yang masih menjunjung tinggi kejujuran.
PEMUDA : Saya tidak berniat minggat.
SI KURUS : Masih muda sudah belajar tidak
jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa jerih payah.
SI PECI : Kenapa tidak membayar?
Orang
hidup itu harus memegang teguh sebuah kejujuran. Dengan kejujuran yang kita
miliki, maka akan membawa sebuah kemujuran. Prinsip hidup seperti itu memang
tidak mudah dijalani. Tetapi Arifin menunjukkan seorang tokoh yang mau bekerja
keras untuk memperjuangkan hidup, tapi ia tetap memegang teguh kejujuran.
SI KURUS : Puh! Pembohong.
Tampangmu saja sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya adalah orang
yang paling benci pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal sekali melihat
penipu semuda kau. Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau tahu? Gaji saya
sedikit, tapi saya tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja kau semakin
kurus, sebab benar kata Joyoboyo, yang pintar keblinger yang jujur mujur.
Sekarang baiklah, bayar atau tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh
rupiah, tapi bagi saya kejahatan tetap kejahatan, dan saya benci serta
menyesal, yang melakukan perbuatan hina itu adalah manusia bukan anjing. Dan
lebih menyesal lagi kalau yang melakukan kerja nista itu adalah bakal dan calon
orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus terang.
Jika
kita berani berbohong untuk hal sekecil apapun, tentu lama-kelamaan akan
menjadi besar dan semakin berani. Tak hanya kepada sesama manusia, bahkan ia
berani berbohong atas nama Tuhan.
PEMUDA : Sungguh mati. Demi Tuhan,
tentang celana dalam saya tidak berbohong. Kalau saya menanggalkan pantalon
saya, saya telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu bagaimana saya mengatakannya.
Dan tentu saja sayapun tak dapat membuktikannya. Percayalah kalau saya membuka
celana, akan telanjanglah saya.
Sebuah pelajaran hidup yang sangat
berharga yang dicoba diutarakan oleh Arifin C. Noer. Sangat sederhana dengan
mencoba menampilkannya dalam lingkup lingkungan kecil dan rakyat kecil. Dengan
kondisi sosial ekonomi yang dapat saya katakan kurang, tidak menutup
kemungkinan orang-orang di sana melakukan kesalahan dengan berbuat curang atau
tidak jujur. Tapi, diantara kemungkinan itu, ternyata masih ada orang yang
masih mau berbuat jujur dan mengajarkan atau menegakkan kejujuran.
Pada
awalnya mungkin pembaca akan dibuat bingung. Bingung karena mana pihak yang
benar dan mana yang salah. Tetapi itulah gaya yang dipilih oleh Arifin C. Noer
untuk membuat naskah ini lebih menarik. Kalau boleh saya berpendapat, naskah
drama ini lebih mengarah ke arah sebuah nasehat. Jadi Arifin terkesan menggurui
pembaca. Barangkali ada beberapa pembaca yang kurang tertarik karena terkesan
menggurui tadi. Tapi, jika kita tilik dari segi yang berbeda, naskah drama Matahari
di Sebuah Jalan Kecil ini
syarat akan makna dan pelajaran hidup yang berharga.
No comments:
Post a Comment