Translate

Thursday, May 16, 2013

ESAI KRITIK DRAMA Wuri Setya Wardhani

Mahalnya Harga Kejujuran
dalam Naskah Drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil

Oleh
Wuri Setya Wardhani - 100211404898



Ada pepatah bilang, kejujuran itu mahal harganya. Hal itu sekiranya sangat tepat untuk mengkiaskan dengan kehidupan sekarang ini. Jika kita renungkan lebih dalam, banyak sekali ketidakjuuran yang terjadi di sekeliling kita. Tidak perlu muluk-muluk untuk menengok kehidupan para pejabat yang glamor akan harta. Yang jelas-jelas kita tahu semuanya itu hanya semu. Semu karena kelicikan dan akal bulus mereka, tanpa jerih payah yang terlalu susah. Sekali lagi tidak perlu mengulik kehidupan mereka.

Mungkin sadar atau tidak, di sekitar kita pun telah banyak yang menodai arti sebuah kejujuran. Mereka dengan gampangnya meluncurkan kebohongan untuk memperdaya orang-orang. Entahlah, barangkali mereka hanya berpikir sesaat dan tak pernah berpikir bahwa kelak kita akan membutuhkan bantuan dari orang yang kita perdaya. Bukankah sangat penting arti kepercayaan yang telah diberikan kepada kita, kemudian dengan gampangnya kita menodainya dengan sebuah kebohongan.
Naskah drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil karya Arifin Chairin Noer mengajak kita meneropong ke dalam kisah nyata yang terjadi pada masyarakat kita. Drama ini menceritakan tentang kisah kehidupan para pegawai pabrik dan sebuah pembelajaran tentang jujur dan kebohongan di sebuah warung milik seorang simbok yang letaknya berdekatan dengan lokasi pabrik tersebut. Penulis menggambarkan nama para tokoh dengan menggunakan simbol dan berikut nama para tokoh dalam naskah drama tersebut: si Tua, si Pendek, si Kurus, si Peci, si Kacamata, Simbok, Pemuda, Penjaga malam, Perempuan, dan si Sopir. Berawal dari obrolan ringan para buruh pabrik yang mencoba menyindir bagaimana kejamnya kehidupan saat ini meliputi merajalelanya tindak korupsi yang digambarkan penulis seperti seekor tikus dan tikus saat ini sudah berani beraksi di siang hari.
Di tengah-tengah obrolan di warung Simbok tersebut muncul seorang Pemuda dan memesan makanan. Obrolan tersebut berakhir seiring lonceng tanda masuk bekerja telah berbunyi. Tinggal seorang Pemuda tersebut dan sewaktu akan membayar tiba-tiba dia mengaku dompetnya tertinggal di rumah. Dia mengaku rumahnya tidak jauh dari warung tersebut dan Simbokpun tidak langsung percaya. Kemudian, muncul lagi si Kurus dan si Peci yang mencoba mencerca Pemuda dengan berbagai pertanyaan untuk membuktikan bahwa benar Pemuda tersebut memiliki rumah di desa tersebut. Namun, Pemuda selalu menjawab dan pandai dalam mencari jawaban. Setelah itu, muncul Perempuan yang mencoba meredakan sedikit keributan itu dengan membayarkan uang makanan Pemuda tersebut kepada Simbok. Kaos Pemuda dijadikan barang jaminan, sampai pada akhirnya dengan kata-kata yang berhasil memikat hati Simbok untuk menyerahkan kaos itu kembali dengan tanpa syarat. Hingga pada akhirnya Pemuda tersebut ternyata sudah biasa berbohong sama seperti yang telah dia lakukan di warung Simbok.
Pemenang Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan penulis skenario terbaik ini kali ini ingin memberikan sebuah gambaran kehidupan yang di mana harga kejujuran itu sangat mahal. Penulis ingin menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang memberikan gambaran kepada pembacanya mengenai sesuatu kebaikan dan pembelajaran hidup. Namun, Arifin tidak gamblang menyampaikan uneg-unegnya tersebut.
Barangkali banyak yang ingin disampaikan oleh Arifin. Tetapi, jika boleh saya simpulkan, semua yang ingin disampaikan oleh Arifin berujung pangkal pada kejujuran.

SIMBOK     : Ya, sayapun tak pernah menyangka, anak saya itu akan menjadi pencuri sepeda. Tidak, saya cukup memberi ia makan. Tapi barangkali disebabkan pergaulannya atau barangkali saya salah mengajar atau mendidik dia atau…..atau…..atau…. Oh, saya tidak tahu. Tapi aku tahu dan percaya matamu lain dengan matanya. Saya melihat matamu bening, sebab itu saya yakin kau tidak seperti anak saya. Kau seperti kemenakan saya. Kau pasti…Kau pasti anak baik. (tiba-tiba) Akh, cepat terimalah baju ini dan segeralah kau pergi dari tempat ini sebelum penjaga malam sampai kemari.
PEMUDA    : (menerima baju itu) baiklah. Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.

BEGITU IA LENYAP, MUNCUL PENJAGA MALAM YANG TAMPAK BARU SELESAI MANDI. IA TAMPAK KEDINGINAN.

PENJAGA MALAM: Minta pecel yang pedes (kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?
SIMBOK     : (tak begitu acuh) Ya.
PENJAGA MALAM: Bagaimana tampangnya?
SIMBOK     : Kurus dan cantik.
PENJAGA MALAM: Pakai baju lurik.
SIMBOK     : Ya, kalau tidak salah.
PENJAGA MALAM: Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia? Jangkrik anak itu! Belut!
SIMBOK     : Ada apa? Ada apa?
PENJAGA MALAM: Pasti dia. Kemarin malam dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.
SIMBOK     : Haa….? (menelan ludah) Ya, Allah.

           Lewat tingkah laku seorang tokoh yang ia simbolkan sebagai pemuda, ia menampilkan ketidakjujuran itu. Seorang pemuda yang bermulut manis berbohong pada simbok untuk tidak membayar makanan yang dibelinya. Dengan hasutan dan rayuaannya, ia berhasil memperdaya kepercayaan yang diberikan simbok kepadanya. Di satu sisi, Arifin juga menampilkan beberapa kelompok orang yang masih menjunjung tinggi kejujuran.

PEMUDA  : Saya tidak berniat minggat.
SI KURUS : Masih muda sudah belajar tidak jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa jerih payah.
SI PECI     : Kenapa tidak membayar?

            Orang hidup itu harus memegang teguh sebuah kejujuran. Dengan kejujuran yang kita miliki, maka akan membawa sebuah kemujuran. Prinsip hidup seperti itu memang tidak mudah dijalani. Tetapi Arifin menunjukkan seorang tokoh yang mau bekerja keras untuk memperjuangkan hidup, tapi ia tetap memegang teguh kejujuran.

SI KURUS : Puh! Pembohong. Tampangmu saja sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya adalah orang yang paling benci pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal sekali melihat penipu semuda kau. Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau tahu? Gaji saya sedikit, tapi saya tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja kau semakin kurus, sebab benar kata Joyoboyo, yang pintar keblinger yang jujur mujur. Sekarang baiklah, bayar atau tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh rupiah, tapi bagi saya kejahatan tetap kejahatan, dan saya benci serta menyesal, yang melakukan perbuatan hina itu adalah manusia bukan anjing. Dan lebih menyesal lagi kalau yang melakukan kerja nista itu adalah bakal dan calon orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar atau tidak? Terus terang.

           Jika kita berani berbohong untuk hal sekecil apapun, tentu lama-kelamaan akan menjadi besar dan semakin berani. Tak hanya kepada sesama manusia, bahkan ia berani berbohong atas nama Tuhan.

PEMUDA  : Sungguh mati. Demi Tuhan, tentang celana dalam saya tidak berbohong. Kalau saya menanggalkan pantalon saya, saya telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu bagaimana saya mengatakannya. Dan tentu saja sayapun tak dapat membuktikannya. Percayalah kalau saya membuka celana, akan telanjanglah saya.

            Sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga yang dicoba diutarakan oleh Arifin C. Noer. Sangat sederhana dengan mencoba menampilkannya dalam lingkup lingkungan kecil dan rakyat kecil. Dengan kondisi sosial ekonomi yang dapat saya katakan kurang, tidak menutup kemungkinan orang-orang di sana melakukan kesalahan dengan berbuat curang atau tidak jujur. Tapi, diantara kemungkinan itu, ternyata masih ada orang yang masih mau berbuat jujur dan mengajarkan atau menegakkan kejujuran.

           Pada awalnya mungkin pembaca akan dibuat bingung. Bingung karena mana pihak yang benar dan mana yang salah. Tetapi itulah gaya yang dipilih oleh Arifin C. Noer untuk membuat naskah ini lebih menarik. Kalau boleh saya berpendapat, naskah drama ini lebih mengarah ke arah sebuah nasehat. Jadi Arifin terkesan menggurui pembaca. Barangkali ada beberapa pembaca yang kurang tertarik karena terkesan menggurui tadi. Tapi, jika kita tilik dari segi yang berbeda, naskah drama Matahari di Sebuah Jalan Kecil ini syarat akan makna dan pelajaran hidup yang berharga.

No comments:

Post a Comment