Seno
Gumira Ajidarma: “Tumirah (Sang Mucikari)” Cerminan Carut Marut Kehidupan
Lonthe yang Bercumbu Arti Cinta
Oleh
Ranggi
Ramadhani Ilminisa
Cinta. Cinta dalam naskah drama “Tumirah (Sang
Mucikari)” adalah suatu hal yang dirasa
sangat manusiawi. Tentu sangat menarik jika berbicara mengenai “Cinta”, apalagi
cinta yang ini adalah cinta yang tumbuh dan berkembang dalam dunia para lonthe.
Jika bermain logika, maka cinta diantara para lonthe adalah mustahil, karena
mereka “melayani” karena tuntutan profesi bukan karena cinta. Berikut adalah
nukilan naskah yang berbicara mengenai cinta.
MINAH
Ada sih
Mbak, banyak malah. Tapi kita kan harus kawin hanya dengan orang kita cintai?
TUMIRAH
Cinta.
Cinta. Apa pelacur itu mengenal cinta?
LASTRI
Memangnya
Mbak Tumirah tidak pernah jatuh cinta?
Dilaog tersebut jelas menggambarkan bahwa
seorang lonthe sangat mustahil untuk merasakan cinta. Mereka sangsi terhadap
arti cinta yang ada pada dunia mereka. Berikut adalah monolog dari Tumirah yang
“menyangsikan” untuk bercumbu dengan cinta.
TUMIRAH
Apa
mungkin? Apa mungkin manusia tidak mengenal cinta? Ini yang selalu membuat aku
tidak mengerti. Seorang penjahat pun punya Ibu, dan apakah mungkin seorang
manusia itu tidak mencintai ibunya sendiri? Aku dulu seorang pelacur. Sekarang
kadang-kadang juga masih melacur kalau masih mau ada yang make, tapi aku juga
seorang perempuan. Aku tidak bisa membayangkan seorang perempuantanpa cinta.
Aku dulu pernah punya keluarga, punya suami, dua kali malah. Punya anak – aku
tahu apa itu cinta, kangen, rindu, aku tahu.
Tidak ada
yang tidak mungkin bahwa seorang lonthepun dapat merasakan cinta. Cinta adalah
rasa bagi setiap makhluk yang hidup dan mempunyai rasa. Jangan dikata hanya
manusia, semua makhluk yang bernyawa memiliki cinta, apalagi arti sebuah cinta
bagi seorang lonthe.
Drama Tumirah (Sang Mucikari) seakan “menggoyang” dan “mengobrak-abrik”
tatanan pemikiran tentang pelacur yang pernah bersarang di otak. Betapa
pun pelacur menjual tubuhnya, mereka tidak menjual cinta.
Lakon Tumirah (Sang Mucikari) menceritakan kehidupan seorang germo
yang bernama Tumirah. Ia adalah seorang wanita berusia 40 tahun yang menjadi ”Ibu”
bagi beberapa pelacur muda yang mendiami rumah bordil. Rumah bordil tersebut
terletak di pinggir hutan tak jauh dari medan pertempuran antara pasukan
pemerintah dan pasukan pemberontak (dalam
naskah disebut gerilyawan). Tak jarang pasukan pemerintah maupun pasukan
pemberontak berkunjung dan melepaskan kepenatan di rumah bordil yang menawarkan
surga duniawi ini.
Suatu ketika, rumah bordil Tumirah
didatangi rombongan penari. Pesta pun digelar, hiruk pikuk keceriaan terbangun
dalam keremangan malam di tepi hutan. Para pelacur menari dan menyatu dalam
suasana pesta yang memesona. Namun suasana itu tidak berlangsung lama,
tiba-tiba datang kelompok ninja (entah siapa mereka). Para ninja
mengobrak-abrik rumah bordil, menganiaya, memperkosa, bahkan membunuh seorang
pelacur di sana. Tindakan perkosaan yang dilakukan menimpa mereka merupakan
suatu pukulan telak yang menghancurkan segala harapannya.
Setelah kejadian itu berlalu, banyak
oknum yang berdiri di atas kata “keadilan” memanfaatkan situasi dengan mengorek
informasi dari Tumirah. Ketulusan semu dari para oknum (pengacara, wartawan,
polisi, dan intel) mempunyai maksud tersendiri. Hal itu semata-mata karena
hanya ingin menjual berita dan menebarluaskan penderitaan para pelacur sebagai
konsumsi publik.
Berikut adalah nukilan dari dialog
antara pengacara dan Tumirah. Dalam nukilan berikut terdapat gambaran bahwa si
pengacara hanya ingin menguntungkan dirinya sendiri dengan memanfaatkan
keadaan.
PENGACARA
Kami akan
membuat tuntutan Mbak Tumirah berhasil. Kami akan menyebarluaskan berita ini.
Kami akan berusaha menarik simpati orang banyak. Kami akan datangkan wartawan, kami
akan mengangkat masalah ini ke permukaan.
TUMIRAH
Wahai
pengacara, dengarlah, kami sedang berduka di sini. Tolong jangan jual kami,
tinggalkan kami. Kami bukan tokoh oposisi, bukan pula selebriti. Enyahlah.
Pergilah. Cari bangkai-bangkai yang lain.
...
Berikut adalah nukilan dialog antara Tumirah dan
wartawan, tentu dalam hal ini tugas wartawan adalah “menghiperbolakan” sesuatu agar seolah-olah pembaca melihat sendiri
kejadiannya.
TUMIRAH
“Para
pelacur diperkosa ninja” Wah. Berita bagus ya?
WARTAWAN
Bagus
sekali Mbak Tumirah. Sensasional. Biarkan saya tulis berita itu. Akan saya
bikin sedramatis mungkin. Seolah-olah pembaca melihat sendiri kejadiannya.
Pasti pembaca menyukainya. Nanti foto mbak Tumirah saya pasang besar sekali.
Malah ada wawancara khusu dengan mbak Tumirah. “Pengakuan Seorang Germo”.
Berceritalah Mbak Tumirah apa adanya. Sekarang tidak ada sensor lagi. Tidak ada
pembredelan. Kita bisa menulis tanpa takut lagi.
TUMIRAH
Pergi kamu
wartawan! Pergi! Jangan bikin aku risi! Tidak tahu malu!
...
Berikut adalah nukilan dialog antara polisi dan Tumirah.
Dalam dialog ini secara tegas menyiratkan sindiran bahwa polisi datang jika
kerusuhan telah usai dan kalau ada kerusuhan mereka malah pergi. Sungguh sangat
miris.
TUMIRAH
Nah! Baru datang
polisi sekarang! Kalau ada kerusuhan, mereka pergi! Kerusuhan selesai mereka
dating! Apa maunya pak Polisi ini? Mau ngamar atau interogasi?
POLISI
Saya datang Cuma mau minta
keterangan, Mbak Tumirah.
...
Berikut adalah nukilan dialog antara Tumirah dan Intel.
Jelas terpampang di sini bahwa intel
yang digambarkan adalah seorang intel yang “goblok.” Bagaimana tidak yang
seharusnya intel menyembunyikan identitasnya justru sebaliknya, Seno
menggambarkannya dengan terang-terangan mengaku bahwa dia adalah intel yang
bermaksud akan memata-matai.
TUMIRAH
Sudah!
Daritadi kamu ngecap terus! Sekarang kasih tahu apa tujuanmu dating kemari!?
Mau ngamar atau memata-matai?
INTEL
Sebetulnya
saya disuruh bilang ngamar Mbak Tumirah. Tapi sebenarnya saya disuruh
memata-matai
TUMIRAH
Hahahaha!
Memang betul kamu itu goblok. Apanya dariku yang mau dimata-matai? Aku ini kan
Cuma germo, mucikari pinggiran dari rumah bordil di tepi hutan. Kalau mau
memata-matai jangan di sini. Di sana tuh, sama orang-orang yang mau jadi
presiden. Siapa tahu mereka juga mau main curang kayak pendahulunya.
Tumirah sebagai tokoh sentral
digambarkan sebagai seorang germo, yang secara realitas di masyarakat merupakan
sosok yang teralienasi dari masyarakat. Padahal di sisi lain, pelacur juga
manusia yang masih memiliki rasa, sifat, ambisi, cita-cita, bahkan kebaikan
yang sama seperti manusia lain. Lakon Tumirah
(Sang Mucikari) mencoba
menggeser pandangan umum tentang pelacur.
TUMIRAH
Anak manusia yang malang, siapakah kamu?
Darimana asalmu? Kemana tujuanmu? Cahaya langit telah melahirkan kamu, lantas
kamu dapat nama, tapi tak seorang pun kini yang tahu siapa namamu. Orang-orang
tidak perlu nama untuk balas dendam, kekerasan tidak pernah punya nama. Untuk
apa? Kekerasan selalu hadir demi keangkuhannya sendiri. Kekerasan tidak pernah
rendah hati. Orang muda yang malang, siapakah kamu? Siapa bapakmu? Siapa ibumu? Sudah kawin apa
belum? Oalah…apa yang membuat manusia harus menerima kemalangan seperti ini?
Orang-orang itu tidak kenal sama kamu. Tapi banyak orang sekarang yang
takut kepada banyak orang. Padahal banyak orang itu siapa juga kagak
jelas. Tiba-tiba saja mereka merajam kamu. O, anak yang malang siapa kamu? Di
zaman susah seperti ini, kita tidak bisa tahu sama sekali kenapa kepala kita
dipenggal. Belum berpikir sudah dibacok. Aduuuh…negeri apa ini? Orang-orangnya
ramah. Ya ramah sekali. Bisa mengalungkan celurit sambil tersenyum.
(Sosok
ninja itu bergerak dalam sekaratnya. Tumirah mendekat.)
Aduh, kamu masih hidup ya? Mungkin lebih baik
kamu mati saja. Kalau tahu kamu masih hidup, mereka pasti akan merajam kamu
lagi. Aduh, anak orang, bagaimana caranya anak seorang ibu harus mengalami
nasib seperti ini? Anak-anakku juga bernasib terajam-rajam seperti ini.
(Pelacur-pelacur
masuk dari segala arah, mereka seperti mayat hidup. Berjalan dengan pandangan
kosong)
Apakah yang bisa lebih kejam bagi seorang
perempuan selain dari derita perkosaan? Biarpun mereka pelacur, mereka punya
hati. Mereka menjual tubuh, tapi tidak menjual cinta. Bahkan seorang pelacur
pun tidak berhak diperkosa! Ada yang diperkosa, ada yang dirajam, ada yang
dipenggal kepalanya. Hidup macam apa ini!
(Sosok
ninja bergerak lagi)
Ah, betul dia masih hidup. Anak-anakku, ayo kita
tolong dia. Kasihan.
Dari nukilan tersebut tentu seseorang dapat memberikan simpulan
bahwa ada sesuatu makna yang masih tersembunyi. Dari dialog Tumirah “Aduuuh…negeri apa ini?
Orang-orangnya ramah. Ya ramah sekali. Bisa mengalungkan celurit sambil
tersenyum” jelas mengisyaratkan bahwa keadaan negeri pada
masa orde baru sangat tidak adil.
Seno membuat lakon “Tumirah (Sang
Mucikari)” menjadi sesuatu yang berbeda. Titik perbedaan ituah yang membuat
naskah drama ini sangat menarik. Dari dialog “Ah, betul dia masih hidup. Anak-anakku, ayo kita tolong dia. Kasihan”,
para pelacur digambarakan sebagai manusia yang masih memiliki rasa belas
kasihan yang tinggi terhadap manusia lain, walaupun manusia itu sendiri yang
berlaku tidak manusiawi terhadap mereka para kaum teralienasi. Hal ini tentu
mengubah paradigma masyarakat yang selama ini menganggap kehadiran mereka
hanyalah sampah. Padahal di sisi lain mereka juga memiliki hati yang
sewaktu-waktu dapat bercokol dengan indahnya.
Ada sisi lain yang tersembunyi dalam
diri seorang pelacur, yang tidak pernah terbaca oleh orang lain dalam situasi
biasa. Sisi “kemanusiaan” yang memang menjadi kodrat setiap manusia.
LASTRI
Mbak,
tolong dong, sebelum kami terpaksa harus melihat wajah pemerkosa kami, beritahu
kami, mengapa kami harus menolongnya?
TUMIRAH
Dasar
pelacur goblok. Karena kita ini manusia, tahu! Karena kita manusia! Mau
ditindas sampai gepeng, mau diperkosa sampai dobol, mau dirajam sampai hancur,
hanya satu hal kita tidak boleh hilang, yaitu kemanusiaan kita, ngerti!? Kalau
kita mau menindas juga, kalau kita mau memperkosa dan merajam siapapun yang
lewat kampong kita, itu hanya menjadikan kita sama saja dengan para bajingan
itu, ngerti nggak? Meski aku ini Cuma germo lulusan SMP, jelek-jelek begini aku
mengerti menjaga hati. Kita ini perempuan, jangan pernah kita kehilangan
keperempuanan kita. Kita punya cara sendiri untuk melawan. Jangan mau didikte
untuk menjadi mahluk seperti mereka. Melawan kekerasan dengan kekerasan Cuma
cara orang bego. Itu bukan cara manusia, itu cara monyet! Buruan, buka dulu
topengnya!
Lakon “Tumirah (Sang Mucikari) juga menyiratkan
adanya kemelut politik dan kekacauan di masyarakat. Penganiayaan
pelacur dan politik adu domba ninja seakan mewakili ketimpangan sosial bangsa.
Peperangan antara pemberontak dan pemerintah adalah simbol dari disintegrasi
bangsa. Kacaunya hukum di negara ini juga disimbolkan dengan adanya pengadilan
rakyat tanpa ada dasar hukum yang kuat, membunuh orang yang belum tentu
bersalah seakan menjadi hal biasa.
Berikut adalah nukilan tersirat yang menyampaikan
sindirian terhadap negara hukum tapi tak adil. Dari dialog seseorang yang
mengatakan negara ini adalah negara hukum dan yang lain menimpali “hukum
rimba,” maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa negara hukum yang
memberlakukan bahwa siapa yang menang atau yang kuat dialah yang berkuasa.
SESEORANG
Ayo, kita
adili sekarang!
SESEORANG
Iya! Kita
adili sekarang! Kita bentuk pengadilan rakyat
SESEORANG
Aku jadi
hakim!
SESEORANG
Aku jadi
jaksa!
SESEORANG
Aku jadi
pembela
SESEORANG
Tidak
perlu pembela! Taik kucing dengan pembela! Mereka saja main hakim sendiri.
SESEORANG
Lho, ini
kan Negara hukum?
SESEORANG
Iya! Hukum
rimba!
Menakjubkan. Meski judul naskah
drama ini menggelitik telingat namun esensi pesan yang terkandung di dalamnya
memancing untuk berfikir lebih kritis terhadap arti sebuah kehidupan. Bukan
sisi erotisisme yang lebih ditonjolkan, namun pesan moral yang teramat dalam
yang ingin disampaikan. Carut-marut kehidupan dengan segala perniknya terkadang
mampu menciptakan disharmoni hidup yang mau tidak mau harus disikapi dengan
tegas. Cinta dan kasih adalah rasa untuk memperkuat keharmonisan hidup yang
kita jalani.
No comments:
Post a Comment