Translate

Monday, May 27, 2013

ESAI KRITIK DRAMA Ramadhaniar Wulananda

KRITIK SOSIAL IWAN SIMATUPANG DALAM NASKAH DRAMA
‘RT NOL RW NOL’
Oleh: Ramadhaniar Wulananda

Aneh, inilah kata yang tiba-tiba muncul ketika sekilas melihat judul sebuah tulisan, yang ternyata adalah judul sebuah naskah drama karya Iwan Simatupang, ‘Rt Nol Rw Nol’. Namun justru dari keanehan itulah sisi menarik dari naskah drama ini muncul, tak hanya sekedar aneh, namun judul naskah drama ini dapat dikatakan unik. Jika biasanya alamat kependudukan dimulai dari angka satu, misalnya saja Rt 01 Rw 01, maka kali ini dimulai dengan angka nol. Memang tidak wajar, namun inilah yang membuat pembaca benar-benar tertarik untuk membaca naskah drama ini untuk mencari tahu apakah yang dimaksud dengan angka nol di dalam judul ini. Karena tidak mungkin judul dari naskah drama ini dibuat secara asal-asalan. Penulis pasti sengaja membuat judul demikian dengan tujuan tertentu.



Ketika selesai membaca seluruh naskah drama ini, sesuai dengan prediksi awal, judul ‘Rt nol Rw nol’ merupakan sebuah simbol. yakni untuk melambangkan para gelandangan dan orang-orang terlantar yang tidak memiliki alamat yang jelas, orang-orang yang tidak memiliki Kartu Tada Penduduk, bahkan keberadaan mereka di negeri ini seolah-olah diabaikan oleh masyarakat.
Naskah drama ini menceritakan tentang  nasib dari beberapa orang gelandangan dan dua wanita penghibur yang hidup di dalam satu lokasi, mereka semua tinggal di kolong jembatan. Dari kolong jembatan inilah cerita dimulai dan berakhir. Cerita ini dimulai  dengan perbincangan antara Kakek, Si pincang, Ina, dan Ani di bawah kolong jembatan yang ramai oleh hiruk pikuk lalu lintas. Kakek adalah seorang mantan kelasi kapal, Si pincang adalah seseorang yang memiliki kekurangan kondisi fisik, yang selalu gagal mendapatkan pekerjaan yang memuaskan. Sedangkan Ani dan Ina adalah kakak-beradik yang bekerja sebagai wanita penghibur. Mereka meratapi kejamnya kota besar. Setiap hari Ani dan Ina pergi mencari pelanggan dengan ditemani oleh seorang tukang becak yang bertugas mencarikan dan mengantarkan mereka kepada pelanggannya. Ani dan Ina selalu berharap dari pekerjaannya ini mereka akan hidup lebih baik.
Setelah Ani dan Ina pergi bekerja, datanglah laki-laki bernama Bopeng. Bopeng juga merupakan penghuni kolong jembatan itu, namun hari itu Bopeng mengisyaratkan bahwa ini adalah hari terakhirnya tinggal di kolong jembatan, karena ia telah diterima bekerja sebagai kelasi kapal. Hari itu Bopeng datang ke kolong jembatan bersama seorang wanita bernama Ati. Ati adalah seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya ketika di pelabuhan. Ati tersesat dan tak tahu arah jalan pulang, ia juga kehabisan uang untuk pulang ke kampungnya hingga akhirnya bertemu dengan Bopeng.
Karena merasa iri hati, pincang menyudutkan Bopeng, hingga membuat Bopeng tersinggung. Akhirnya terjadilah pertengkaran argumen diantara mereka, kemudian kakek memisahkan mereka berdua. Ati yang gundah hatinya ingin ikut Bopeng berlayar, namun Bopeng menolaknya dan menyuruh Ati untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa saat kemudian Ina datang dan membawa kabar bahwa Ani akan dinikahi oleh salah satu pelanggannya, Ina sendiri juga membawa kabar bahwa ia akan menikah dengan Si tukang becak. Hal ini mengisyaratkan bahwa Ani dan Ina akan segera meninggalkan kolong jembatan itu untuk hidup yang lebih baik. Singkat cerita, Si pincang akhirnya juga sepakat untuk mengantarkan Ati ke kampung halamannya, dan berjanji akan kembali bekerja, kemudian menikahi Ati. Ati sebenarnya juga mengajak Kakek untuk pulang ke kampung, namun kakek menolaknya dan memilih tetap tinggal di kolong jembatan itu, yang sering mereka sebut dengan Rt nol Rw nol.
Naskah drama yang menurut catatan dibuat sekitar tahun 1966 ini memiliki tema tentang perjuangan hidup seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan lebih baik. Penggunaan tokoh gelandangan dan PSK menunjukkan masyarakat kaum bawah, yang miskin dan menderita. Jika kembali diputar ke masa lalu saat naskah ini di tulis, yakni pada tahun 1966, angka inflasi di Indonesia sangat tinggi, disebabkan oleh menumpuknya defisit APBN dari tahun 1950an hingga pertengahan 1960an, akibatnya Indonesia mengalami krisis ekonomi yang meresahkan. Krisis ekonomi inilah yang yang menyebabkan masyarakat menderita. Naskah drama ini seolah-olah merupakan sindiran terhadap keadaan sosial-ekonomi saat itu yang sedang berada di bawah.
Selain itu naskah drama ini juga memberikan banyak kritik sosial yang terjadi di Indonesia saat itu. Bahkan saat ini, kritik sosial yang ada di dalam naskah drama ini sebenarnya masih cukup relevan. Secara sederhana kritik sosial merupakan tanggapan atau kecaman terhadap kondisi yang ada di dalam suatu masyarakat. Jika ditinjau dari judulnya, sebenarnya naskah drama ini sudah menunjukkan adanya kritik sosial. Judul ‘Rt Nol Rw Nol’ artinya tidak memiliki alamat. Dari judulnya terlihat bahwa pengarang sebenarnya ingin menanggapi tentang keberadaan orang-orang pinggiran yang dalam naskah drama ini diwujudkan pada sosok  gelandangan dan PSK yang menghuni Rt Nol Rw Nol. Orang-orang ini sebenarnya ingin diakui dan diperhatikan oleh negara, mereka ingin memiliki alamat tetap dan Kartu Tanda Penduduk tetap. Akan terasa sangat menyakitkan jika keberadaan mereka tidak diperhatikan. Padahal mereka juga bagian dari negara ini.
Dari kutipan-kutipan dialognya, naskah drama ini juga banyak mengandung kritik sosial. Penggunaan bahasa yang mudah dicerna, penataan alur maju dan lurus juga memudahkan pembaca dalam menafsirkan isi dan menemukan kritik sosial dari naskah drama ini. Berikut adalah beberapa kutipan dialog yang mengandung kritik sosial.

PINCANG       : Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.
KAKEK           :Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini.
 Bukankah dilarang gandengan  lewat di sini.
ANI                  : Lalu?
KAKEK           : Hendaknya, peraturan itu diturutlah.

ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.

KAKEK           : Kalau begitu apa guna larangan?
ANI                  : Untuk dilanggar.
KAKEK           : Dan kalau sudah dilanggar?
ANI                  : Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya:
  bernegara.

Kutipan dialog di atas menunjukkan bahwa pengarang ingin menyinggung dan mengecam  mengenai realita sosial yang ada di negara ini, yakni tentang banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang ada di berbagai aspek, yang membuat rakyat kecil menjadi menderita. Pelanggaran-pelanggaran yang ada ini akhirnya membuat aparat yang bersangkutan menjadi sibuk, sehingga fungsi mereka akan terlihat dalam menyikapi pelanggaran ini.

ANI   : Banyak-banyak terimakasih, bang! Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas.

Kutipan dialog dari Ani di atas menanggapi tentang penderitaan yang dialami orang-orang pinggiran yang digambarkan dengan memakan makanan yang semuanya serba setengah busuk. Kata busuk merujuk pada sesuatu yang sudah tidak layak, rusak dan berbau. Pengarang seperti ingin menunjukkan kepada pembaca betapa kejamnya hidup yang dihadapi oleh orang-orang pinggiran seperti mereka. Mereka sebenarnya juga mendambakan hidup yang layak dan lebih baik, yang digambarkan dengan sepiring nasi, sepotong daging rendang, sebutir telur balado, segelas penuh the manis panas, dan pisang raja kuning emas.

SUARA GELUDUK KERAS, DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT.
INA     : Gimana, kak?
ANI     : Terus, pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?!

Dari kutipan dialog antara Ina dan Ani di  atas pengarang seolah ingin semakin memantapkan pandangannya kepada pembaca mengenai kejamnya kehidupan yang dialami oleh orang-orang pinggiran ini. Ina dan Ani adalah wanita penghibur, demi mendapatkan uang agar dapat hidup lebih baik, mereka mengabaikan semua halangan yang ada selagi merasa masih mampu.

PINCANG : Satu per satu kita – pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran.
KAKEK    :   Itu masih mendingan. Itu namanya, bahkan dengan mayat kita, kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan, lewat ilmu urai untuk mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa jadinya dengan kemanusiaan nantinya, tanpa kita?

Dari dialog di atas pengarang juga ingin menyindir Satpol PP (Sekarang) yang memperlakukan mayat-mayat orang pinggiran ini secara tidak sepantasnya, yang menguburkan mereka tanpa adanya upacara pemakaman. Namun di sisi lain mereka masih bersyukur jika kelak mayatnya dapat berguna bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran, mereka merasa bahwa seolah-olah mereka menjadi pahlawan.

KAKEK      : Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang  kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku. (KEMBALI MENGUAP) Pada diriku, semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel, dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (MENGUAP) Ah, selamat malam.

Dan kutipan terakhir dari Kakek ini menunjukkan sebuah peenyelesaian dari drama ini yang menunjukkan betapa kejamnya hidup mereka, ‘manusia-manusia terpojok’ yang memiliki nasib tak menentu, hidup dalam ketidakpastian, memiliki cita-cita, tapi tak tahu bagaimana mewujudkannya. Pengarang melalui kritik sosial di dalam drama ini seolah-olah mengajak pembaca untuk lebih peduli dan memperhatikan keberadaan mereka. Pengarang ingin menyampaikan bahwa mereka sebenarnya masih memiliki eksistensi, mereka berusaha menunjukkan eksistensinya dengan melakukan usaha-usaha untuk mengangkat derajat mereka. Meskipun terkadang cara-caranya kurang tepat, hal ini disebabkan karena keterbatasan mereka.  Tidak sepatutnya mereka direndahkan oleh manusia yang lain, karena sebenarnya mereka masih mempunyai harga diri, mereka ingin hidup layak dan berada dalam kepastian.

Secara keseluruhan, ditinjau dari kritik-kritik sosial yang tersurat maupun tersirat, dapat dikatakan bahwa naskah drama ini merupakan sebuah karya sastra yang luar biasa. Pengarang mampu menangkap realita-realita sosial yang ada secara tepat, kemudian menanggapinya dengan melakukan sindiran-sindiran yang tertuang dalam naskah drama ini. Tema dari naskah drama yang membahas tentang perjuangan hidup masyarakat kalangan bawah untuk lepas dari penderitaan ini, rasanya juga sudah cukup untuk menyindir akibat buruk adanya krisis ekonomi pada tahun 1966 yang membuat masyarakat benar-benar menderita. Pembaca juga diajak oleh pengarang untuk lebih peduli dan memperhatikan, serta tidak merendahkan orang-orang pinggiran ini.  Keunikan dari karya ini adalah kritik-kritik sosial yang ada di dalamnya masih relevan dengan keadaan yang ada saat ini, padahal karya ini diciptakan hampir 50 tahun yang lalu. Berarti dapat dikatakan bahwa sikap masyarakat saat ini secara garis besar tidak berbeda jauh dengan stengah abad yang lalu, meskipun modernisasi perlahan-lahan sudah mengubah pola pikir masyarakat saat ini.

No comments:

Post a Comment