KRITIK SOSIAL IWAN
SIMATUPANG DALAM NASKAH DRAMA
‘RT NOL RW NOL’
Oleh: Ramadhaniar
Wulananda
Aneh, inilah
kata yang tiba-tiba muncul ketika sekilas melihat judul sebuah tulisan, yang
ternyata adalah judul sebuah naskah drama karya Iwan Simatupang, ‘Rt Nol Rw
Nol’. Namun justru dari keanehan itulah sisi menarik dari naskah drama ini
muncul, tak hanya sekedar aneh, namun judul naskah drama ini dapat dikatakan
unik. Jika biasanya alamat kependudukan dimulai dari angka satu, misalnya saja
Rt 01 Rw 01, maka kali ini dimulai dengan angka nol. Memang tidak wajar, namun
inilah yang membuat pembaca benar-benar tertarik untuk membaca naskah drama ini
untuk mencari tahu apakah yang dimaksud dengan angka nol di dalam judul ini.
Karena tidak mungkin judul dari naskah drama ini dibuat secara asal-asalan.
Penulis pasti sengaja membuat judul demikian dengan tujuan tertentu.
Ketika
selesai membaca seluruh naskah drama ini, sesuai dengan prediksi awal, judul
‘Rt nol Rw nol’ merupakan sebuah simbol. yakni untuk melambangkan para
gelandangan dan orang-orang terlantar yang tidak memiliki alamat yang jelas,
orang-orang yang tidak memiliki Kartu Tada Penduduk, bahkan keberadaan mereka
di negeri ini seolah-olah diabaikan oleh masyarakat.
Naskah drama
ini menceritakan tentang nasib dari beberapa orang gelandangan dan
dua wanita penghibur yang hidup di dalam satu lokasi, mereka semua tinggal di
kolong jembatan. Dari kolong jembatan inilah cerita dimulai dan berakhir.
Cerita ini dimulai dengan perbincangan antara Kakek, Si pincang,
Ina, dan Ani di bawah kolong jembatan yang ramai oleh hiruk pikuk lalu lintas.
Kakek adalah seorang mantan kelasi kapal, Si pincang adalah seseorang yang
memiliki kekurangan kondisi fisik, yang selalu gagal mendapatkan pekerjaan yang
memuaskan. Sedangkan Ani dan Ina adalah kakak-beradik yang bekerja sebagai
wanita penghibur. Mereka meratapi kejamnya kota besar. Setiap hari Ani dan Ina
pergi mencari pelanggan dengan ditemani oleh seorang tukang becak yang bertugas
mencarikan dan mengantarkan mereka kepada pelanggannya. Ani dan Ina selalu
berharap dari pekerjaannya ini mereka akan hidup lebih baik.
Setelah Ani
dan Ina pergi bekerja, datanglah laki-laki bernama Bopeng. Bopeng juga
merupakan penghuni kolong jembatan itu, namun hari itu Bopeng mengisyaratkan
bahwa ini adalah hari terakhirnya tinggal di kolong jembatan, karena ia telah
diterima bekerja sebagai kelasi kapal. Hari itu Bopeng datang ke kolong
jembatan bersama seorang wanita bernama Ati. Ati adalah seorang wanita yang
ditinggal oleh suaminya ketika di pelabuhan. Ati tersesat dan tak tahu arah
jalan pulang, ia juga kehabisan uang untuk pulang ke kampungnya hingga akhirnya
bertemu dengan Bopeng.
Karena merasa
iri hati, pincang menyudutkan Bopeng, hingga membuat Bopeng tersinggung.
Akhirnya terjadilah pertengkaran argumen diantara mereka, kemudian kakek
memisahkan mereka berdua. Ati yang gundah hatinya ingin ikut Bopeng berlayar,
namun Bopeng menolaknya dan menyuruh Ati untuk pulang ke kampung halamannya.
Beberapa saat kemudian Ina datang dan membawa kabar bahwa Ani akan dinikahi
oleh salah satu pelanggannya, Ina sendiri juga membawa kabar bahwa ia akan
menikah dengan Si tukang becak. Hal ini mengisyaratkan bahwa Ani dan Ina akan
segera meninggalkan kolong jembatan itu untuk hidup yang lebih baik. Singkat cerita,
Si pincang akhirnya juga sepakat untuk mengantarkan Ati ke kampung halamannya,
dan berjanji akan kembali bekerja, kemudian menikahi Ati. Ati sebenarnya juga
mengajak Kakek untuk pulang ke kampung, namun kakek menolaknya dan memilih
tetap tinggal di kolong jembatan itu, yang sering mereka sebut dengan Rt nol Rw
nol.
Naskah drama
yang menurut catatan dibuat sekitar tahun 1966 ini memiliki tema tentang
perjuangan hidup seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan lebih
baik. Penggunaan tokoh gelandangan dan PSK menunjukkan masyarakat kaum bawah,
yang miskin dan menderita. Jika kembali diputar ke masa lalu saat naskah ini di
tulis, yakni pada tahun 1966, angka inflasi di Indonesia sangat tinggi,
disebabkan oleh menumpuknya defisit APBN dari tahun 1950an hingga pertengahan
1960an, akibatnya Indonesia mengalami krisis ekonomi yang meresahkan. Krisis
ekonomi inilah yang yang menyebabkan masyarakat menderita. Naskah drama ini
seolah-olah merupakan sindiran terhadap keadaan sosial-ekonomi saat itu yang sedang
berada di bawah.
Selain itu
naskah drama ini juga memberikan banyak kritik sosial yang terjadi di Indonesia
saat itu. Bahkan saat ini, kritik sosial yang ada di dalam naskah drama ini
sebenarnya masih cukup relevan. Secara sederhana kritik sosial merupakan
tanggapan atau kecaman terhadap kondisi yang ada di dalam suatu masyarakat.
Jika ditinjau dari judulnya, sebenarnya naskah drama ini sudah menunjukkan
adanya kritik sosial. Judul ‘Rt Nol Rw Nol’ artinya tidak memiliki alamat. Dari
judulnya terlihat bahwa pengarang sebenarnya ingin menanggapi tentang
keberadaan orang-orang pinggiran yang dalam naskah drama ini diwujudkan pada
sosok gelandangan dan PSK yang menghuni Rt Nol Rw Nol. Orang-orang
ini sebenarnya ingin diakui dan diperhatikan oleh negara, mereka ingin memiliki
alamat tetap dan Kartu Tanda Penduduk tetap. Akan terasa sangat menyakitkan
jika keberadaan mereka tidak diperhatikan. Padahal mereka juga bagian dari
negara ini.
Dari
kutipan-kutipan dialognya, naskah drama ini juga banyak mengandung kritik
sosial. Penggunaan bahasa yang mudah dicerna, penataan alur maju dan lurus juga
memudahkan pembaca dalam menafsirkan isi dan menemukan kritik sosial dari
naskah drama ini. Berikut adalah beberapa kutipan dialog yang mengandung kritik
sosial.
PINCANG :
Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.
KAKEK :Gandengan
lagi! Nanti roboh jembatan ini.
Bukankah dilarang gandengan lewat
di sini.
ANI :
Lalu?
KAKEK :
Hendaknya, peraturan itu diturutlah.
ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.
KAKEK :
Kalau begitu apa guna larangan?
ANI :
Untuk dilanggar.
KAKEK :
Dan kalau sudah dilanggar?
ANI :
Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya:
bernegara.
Kutipan
dialog di atas menunjukkan bahwa pengarang ingin menyinggung dan
mengecam mengenai realita sosial yang ada di negara ini, yakni
tentang banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang ada di berbagai aspek, yang
membuat rakyat kecil menjadi menderita. Pelanggaran-pelanggaran yang ada ini
akhirnya membuat aparat yang bersangkutan menjadi sibuk, sehingga fungsi mereka
akan terlihat dalam menyikapi pelanggaran ini.
ANI :
Banyak-banyak terimakasih, bang! Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang
kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½
busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, bah! Aku bosan!
Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak. Sepiring nasi putih
panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir
telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah
pisang raja yang kuning emas.
Kutipan
dialog dari Ani di atas menanggapi tentang penderitaan yang dialami orang-orang
pinggiran yang digambarkan dengan memakan makanan yang semuanya serba setengah
busuk. Kata busuk merujuk pada sesuatu yang sudah tidak layak, rusak dan
berbau. Pengarang seperti ingin menunjukkan kepada pembaca betapa kejamnya
hidup yang dihadapi oleh orang-orang pinggiran seperti mereka. Mereka sebenarnya
juga mendambakan hidup yang layak dan lebih baik, yang digambarkan dengan
sepiring nasi, sepotong daging rendang, sebutir telur balado, segelas penuh the
manis panas, dan pisang raja kuning emas.
SUARA GELUDUK KERAS,
DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT.
INA :
Gimana, kak?
ANI :
Terus, pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?!
Dari kutipan
dialog antara Ina dan Ani di atas pengarang seolah ingin semakin
memantapkan pandangannya kepada pembaca mengenai kejamnya kehidupan yang
dialami oleh orang-orang pinggiran ini. Ina dan Ani adalah wanita penghibur,
demi mendapatkan uang agar dapat hidup lebih baik, mereka mengabaikan semua
halangan yang ada selagi merasa masih mampu.
PINCANG : Satu
per satu kita – pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan
terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli
kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal.
Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling
mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa
kedokteran.
KAKEK :
Itu masih mendingan. Itu namanya,
bahkan dengan mayat kita, kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal
bagi kemanusiaan, lewat ilmu urai untuk mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa
jadinya dengan kemanusiaan nantinya, tanpa kita?
Dari dialog
di atas pengarang juga ingin menyindir Satpol PP (Sekarang) yang memperlakukan
mayat-mayat orang pinggiran ini secara tidak sepantasnya, yang menguburkan
mereka tanpa adanya upacara pemakaman. Namun di sisi lain mereka masih
bersyukur jika kelak mayatnya dapat berguna bagi mahasiswa-mahasiswa
kedokteran, mereka merasa bahwa seolah-olah mereka menjadi pahlawan.
KAKEK :
Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari
hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang
datang kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain
lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya
berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan
cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku.
(KEMBALI MENGUAP) Pada diriku, semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling
tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras:
usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar
kita dari rel, dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup.
Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang
membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir
mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran,
menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (MENGUAP) Ah, selamat
malam.
Dan kutipan
terakhir dari Kakek ini menunjukkan sebuah peenyelesaian dari drama ini
yang menunjukkan betapa kejamnya hidup mereka, ‘manusia-manusia terpojok’
yang memiliki nasib tak menentu, hidup dalam ketidakpastian, memiliki
cita-cita, tapi tak tahu bagaimana mewujudkannya. Pengarang melalui kritik
sosial di dalam drama ini seolah-olah mengajak pembaca untuk lebih peduli dan
memperhatikan keberadaan mereka. Pengarang ingin menyampaikan bahwa mereka
sebenarnya masih memiliki eksistensi, mereka berusaha menunjukkan eksistensinya
dengan melakukan usaha-usaha untuk mengangkat derajat mereka. Meskipun
terkadang cara-caranya kurang tepat, hal ini disebabkan karena keterbatasan
mereka. Tidak sepatutnya mereka direndahkan oleh manusia yang lain,
karena sebenarnya mereka masih mempunyai harga diri, mereka ingin hidup layak
dan berada dalam kepastian.
Secara
keseluruhan, ditinjau dari kritik-kritik sosial yang tersurat maupun tersirat,
dapat dikatakan bahwa naskah drama ini merupakan sebuah karya sastra yang luar
biasa. Pengarang mampu menangkap realita-realita sosial yang ada secara tepat,
kemudian menanggapinya dengan melakukan sindiran-sindiran yang tertuang dalam
naskah drama ini. Tema dari naskah drama yang membahas tentang perjuangan hidup
masyarakat kalangan bawah untuk lepas dari penderitaan ini, rasanya juga sudah
cukup untuk menyindir akibat buruk adanya krisis ekonomi pada tahun 1966 yang
membuat masyarakat benar-benar menderita. Pembaca juga diajak oleh pengarang
untuk lebih peduli dan memperhatikan, serta tidak merendahkan orang-orang
pinggiran ini. Keunikan dari karya ini adalah kritik-kritik sosial
yang ada di dalamnya masih relevan dengan keadaan yang ada saat ini, padahal
karya ini diciptakan hampir 50 tahun yang lalu. Berarti dapat dikatakan bahwa
sikap masyarakat saat ini secara garis besar tidak berbeda jauh dengan stengah
abad yang lalu, meskipun modernisasi perlahan-lahan sudah mengubah pola pikir
masyarakat saat ini.
No comments:
Post a Comment