PEMUDA, bakal dan calon PENIPU
Oleh
Firda Rizky Kadidya
Naskah “Matahari di sebuah Jalan
Kecil” karya Arifin C. Noor merupakan salah satu kritik pedas terhadap
carut-marutnya pemerintahan Indonesia saat itu. Dulu pemuda dianggap paling
bersih diantara yang lain. Namun sekarang berbanding terbalik. Pemuda tak lagi
lugu. Mereka mulai menggeliat dan bahkan kini menjadi penipu ulung. Tak tahu
dari mana mereka belajar, yang pasti banyak orang yang tidak sadar akan
kebohongan itu.
Analogi sekaligus realita hidup di
zaman sekarang. Arifin menganalogikan seorang pemuda makan nasi pecel dan
kemudian kabur karena tidak membawa uang. Itu penipuan yang terjadi di
masyarakat kalangan bawah. Jika penipuan itu terjadi di masyarakat kelas atas,
pasti bukan nasi pecel yang menjadi prolog permasalahan, namun tentang hak-hak
orang banyak yang dijadikan awal cerita.
Para pejabat yang sedang memimpin
negara tentu memiliki kekuasaan lebih daripada rakyatnya. Oleh karena itu,
mereka dengan mudah menyalahgunakan jabatan tersebut untuk mengambil alih yang
bukan menjadi hak dan tugasnya. Ketika kesalahgunaan itu diketahui banyak
orang, seperti halnya pemuda yang akan kabur setelah makan nasi pecel, mereka
memanfaat rasa iba masyarakat untuk berlindung dan memaafkannya. Hal ini
digambarkan dalam dialog Pemuda kepada Mbok penjual pecel.
PEMUDA: Tidak Mbok, bukan maksud saya minta dikasihani, saya hanya ingin
menceritakan dan saya hanya ingin mengatakan bahwa hati saya bersih. Terhadap
baju itu sudah rela dan paham bahwa barang itu patut saya berikan pada Simbok
sebagai ganti makanan yang telah saya makan.
Mungkin pada saat itu pemerintahan
sedang dilanda krisis kepercayaan. Ketika sudah tertangkap basah dan terbukti
bersalah, namun mereka tetap bersikeras membela diri dengan memutar balikkan
fakta, agar mereka segera terbebas dari hukuman.
Adapula yang tidak mau
membesar-besarkan perkara itu. Mereka dengan mudah memilih jalan pintas, yaitu
menyuap agar masalah yang sedang terjadi cepat selesai. Namun, untuk
menyelesaikan penipuan ini, bukan dengan uang, tetapi dengan tanggungjawab,
bagaimana pelaku dapat menjelaskan sejujur-jujurnya tentang masalah yang ia
alami.
Selain itu, penamaan tokoh dalam
cerita ini juga seperti sindiran terhadap budaya bangsa yang selalu memanggil
seseorang dengan nama sindiran. Misalnya si kurus, si pendek, dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment